LOGINMalam semakin larut. Jarum jam menunjukkan angka yang semakin menuju tengah malam, namun Bita tak bisa memejamkan matanya. Ia merasa aneh tidur di kamar seluas dan semewah itu seorang diri, di kamar yang menyimpan begitu banyak kenangan pahit dari beberapa jam yang lalu. Kenyamanan kamar hotel milik Gelar Aditama justru terasa menyesakkan baginya.
Ia segera melepas piyama tidur hotel yang tadi ia pakai, dan menggantinya dengan pakaian yang sopan dan layak—sebuah kemeja longgar dan celana panjang yang ia ambil dari tasnya. Setelah merasa sedikit lebih baik, ia melangkah keluar dari kamar. Tujuannya adalah area restoran hotel. Ia butuh udara lain, butuh memproses segala yang terjadi, dan ia butuh kafein.Melewati meja resepsionis di lobi, ia disapa dengan sangat ramah, senyuman staf itu tulus dan profesional."Selamat malam, Kak Sabita, semoga hari Anda menyenangkan."Kening Bita berkerut. Ia tidak yakin pernah menyebutkan namanya kepada staf hotelBita memantapkan hati, menatap pantulan dirinya di cermin. Ia menarik napas panjang, menguatkan diri. Ia tetap mengenakan daster satin pendek berwarna merah muda itu. Ia harus tampil totalitas, sesuai permintaan Gelar Aditama, demi kesepakatan yang sudah mereka buat.Bunyi deru mobil yang memasuki halaman vila tak lama kemudian mengagetkannya. 'Itu pasti Mas Gelar.“ Bita segera melangkah ke ruang tamu, jantungnya berdebar kencang. Ia mencoba bersikap senatural mungkin, seperti seorang istri yang menyambut suaminya pulang.Gelar tiba, membuka pintu, dan sejenak tertegun melihat penampilan Bita yang menawan. Daster satin itu terlihat sangat pas di tubuh ramping Bita, memancarkan aura kehangatan dan keindahan yang Gelar rindukan. Wajah Gelar yang tadinya tampak lelah karena pekerjaan, seketika berubah cerah."Mas," sapa Bita lembut, senyumnya sedikit dipaksakan namun terlihat tulus.Gelar melangkah mendekat, matanya tidak lepas dari Bita. Ia kemudian
Sudah beberapa hari Bita menempati vila seorang diri. Kehidupan di vila mewah itu terasa damai dan tenang, sangat kontras dengan segala keterbatasan di rumah kos atau tekanan dari Hendy. Namun, ada satu hal yang terasa janggal. Gelar, entah kenapa, menjadi jarang menghubungi dan belum pernah lagi datang ke vila sejak ia mengantarkan Bita.Bita sebagai 'istri-istrian' tetap berusaha profesional menjalankan tugasnya sesuai janji yang ia ukir di atas materai. Ia selalu mengirim pesan pada Gelar untuk menanyakan kesehatannya, pola makannya, dan perhatian-perhatian kecil lainnya yang menurut Bita belum pernah didapatkan Gelar dari Rima selama ini. Ia benar-benar mencoba menjadi sosok istri yang dibutuhkan Gelar."Mas, jangan lupa makan siang tepat waktu. Minum vitamin juga," atau "Mas, jangan lembur terlalu larut. Kesehatanmu lebih penting dari tumpukan pekerjaan," adalah contoh-contoh pesan yang rutin ia kirimkan.Sejauh ini komunikasi berkirim pesan hanya ber
Gelar Aditama tidak langsung pergi, melainkan malah melepas setelan jasnya, menyisakan kaus singlet dan celana pendek. Ia kemudian melangkah ke dapur, memeriksa kulkas, lalu ke berbagai ruangan lainnya sambil berkata pada Bita yang selalu mengekor di belakangnya."Aku harus pastikan semua keran air, lampu, dan peralatan lainnya berfungsi dengan baik dulu sebelum pergi. Aku khawatir nanti kamu kebingungan jika ada yang rusak," ujar Gelar.Bita hanya mengangguk pelan. Dalam hatinya ia menghangat mendapatkan perhatian begitu besar dari Gelar. Bahkan hanya untuk urusan lampu mati saja Gelar begitu mengontrolnya. Perhatian sekecil ini terasa sangat berharga bagi Bita.Dalam diamnya, Bita mengamati Gelar beraktivitas. 'Kalau lihat seperti ini, hanya pakai pakaian rumah, dia beda banget. Seperti suami siaga. Sayangnya dia suami orang. Kapan ya aku bisa punya suami seperti dia?' batinnya.Dalam pakaian Gelar seperti itu, Bita bisa melihat lebih jelas baga
Bita memicingkan mata, penasaran, lalu melangkah lebih dekat dan mengambil beberapa pakaian yang memicu perhatiannya. Ia mengangkat satu per satu pakaian itu. Ia kini benar-benar semakin terkejut. Hampir separuh dari lemari berisi dengan aneka ragam pakaian seksi yang akan membuat mata pria mana pun melompat melihatnya."Mas, ini pakaian apa?" tanya Bita menatap ngeri, memegang salah satu babydoll transparan.Gelar terkekeh, senang dengan reaksinya. "Pakaian untuk istriku. Bukankah kamu ingin membuatku nyaman?"Bita tergagap. "Tapi—""Bukankah kau ingin membuatku nyaman, bahagia? Berpenampilan segar untuk menyambut suamimu datang?" potong Gelar lagi, suaranya tenang namun mengandung otoritas.Bita masih menanggapi. "Iya, tapi—""Itu masuk dalam klausal kesepakatan, Bita. Menjadi istri sepenuhnya bisa berupa banyak hal, termasuk pakaian."Bita tak jadi berucap. Matanya hanya nanar menatap lembar demi lembar pakaian yang m
"Istriku, aku mau kesana sekarang." Isi pesan Gelar saat Bita membukanya.Bita mengerutkan kening. Ia segera membalas, merasa tindakan Gelar tidak bijak. "Mas kan sedang ada waktu untuk berduaan dengan istri. Manfaatkan itu, Mas."Beberapa saat kemudian balasan Gelar masuk. "Dia tidak pulang malam ini. Katanya ada launching desain pakaian baru di luar kota. Aku tadi pulang sampai sekarang juga tidak bertemu Rima."Bita menjawab, berusaha tetap logis. "Mas, ini sudah malam. Tolong jangan labil seperti anak kecil. Kalau Mas ke kamarku malam-malam begini, bagaimana pandangan para staf Mas di hotel? Ingat loh, Mas. Hotel ini milikmu sendiri. Jangan sampai namamu tercoreng, apalagi sampai terdengar ke telinga Mbak Rima.""Aku kesepian, Bita," jawab Gelar jujur, sebuah pengakuan yang menyentuh namun tetap harus ditolak Bita demi kebaikan bersama."Ya, dan Mas harus logis. Lihat waktu dan situasi. Sebaiknya Mas tunggu besok saja untuk bertemu,"
Gelar benar-benar pulang, meskipun terlihat jelas ia enggan melakukannya. Ia melakukan itu hanya demi menuruti permintaan Bita, yang ingin Gelar mencoba memperbaiki rumah tangganya. Bita menatap pintu kamar yang kembali tertutup sesaat setelah Gelar Aditama pergi.'Aku berharap rumah tangga kalian bisa diselamatkan, Mas. Aku akan menjadi orang yang akan mengarahkanmu perlahan agar kau berhasil melewati ujian ini dan kembali ke dalam pelukan istrimu dengan bahagia,' ucap Bita bertekad dalam hati. Dalam hati kecil Bita, sebagai wanita, ia bisa merasakan sepinya dalam kesendirian. Ia berharap Gelar dan Rima tidak akan mengalami kesepian abadi itu.—Malam harinya, Bita membulatkan tekad untuk menghubungi Hendy. Ia tidak ingin menunda-nunda lagi. Ia ingin masalah utang dan ancaman yang membebani pikirannya segera selesai.Ia meraih ponselnya dan mencari kontak bertuliskan 'Pak Hendy'.Beberapa saat kemudian terdengar suara ringan dari seberan







