LOGINBita cepat menggoyangkan telapak tangannya di depan wajah Gelar, mencoba menepis tuduhan itu. "Bukan seperti itu, Mas. Kamu salah paham. Tadi hanya... Tidak sengaja lihat," ucapnya, diakhiri dengan kalimat lirih karena malu. Wajahnya terasa panas.
Gelar tersenyum, senyum penuh makna yang membuat Bita semakin salah tingkah, namun ia tak melanjutkan godaannya. Ia menyudahi makanannya, menghabiskan air putih di gelas, dan melangkah menuju kursi sofa depan televisi."Mas mau dibuatkan minuman hangat? Jahe madu mungkin? Bisa untuk minuman relaksasi setelah lelah bekerja," tanya Bita dari arah meja makan, mencoba menawarkan kenyamanan lain sebagai istrinya.Gelar menjawab pendek. "Boleh."Lima menit kemudian, Bita meletakkan jahe madu hangat di meja depan Gelar, kemudian ia duduk di sebelah Gelar, menjaga jarak yang wajar.Keduanya terpaku menatap televisi tanpa kata. Bita akhirnya berinisiatif, karena teringat tugasnya. "Mas capek? Mau aku pijMatahari sore di Pantai Dreamland mulai turun, menciptakan semburat warna jingga yang memantul di permukaan air laut yang tenang. Setelah percakapan yang cukup menguras emosi tadi, Bita merasa perlu sedikit waktu untuk menenangkan diri. Ia memutuskan untuk melepaskan alas kakinya, membiarkan telapak kakinya yang halus bersentuhan langsung dengan butiran pasir putih yang masih menyimpan sedikit hangatnya sinar matahari. Ia melangkah perlahan menyusuri garis pantai, menikmati setiap semilir angin sore yang menerpa wajahnya dan memainkan helaian rambutnya yang tergerai.Zen, dengan setia dan penuh kewaspadaan, mengikuti setiap langkah Bita dari belakang dengan jarak yang tidak terlalu jauh. Sesuai janjinya pada Pak Herman untuk menjaga keamanan, keselamatan, serta ketenangan Bita, Zen memposisikan diri sebagai penjaga terbaik. Matanya tidak hanya menikmati pemandangan laut, tetapi juga menyapu area sekitar untuk memastikan tidak ada gangguan bagi wanita yang kini menjadi tanggung jawabny
"Bita, jika kau mengizinkanku memberikan saran sebagai orang yang ingin melihatmu bahagia," Zen memulai bicaranya dengan nada yang lebih berat. "Masih banyak pria lain di luar sana yang jauh lebih layak untuk kau cintai. Pria-pria yang lajang, yang tidak membawa beban masa lalu yang rumit. Pak Gelar itu adalah pria beristri, Bita. Menemuinya kembali hanya akan membawamu ke dalam masalah yang lebih besar. Lagipula, menurut pandanganku, dia juga bukan sepenuhnya pria baik. Itu terbukti dengan tindakannya yang sempat menyewamu di awal sebagai wanita penghibur. Pria yang benar-benar baik tidak akan memperlakukan wanita seperti komoditas. Untuk apa kau memberatkan pikiranmu demi dia? Itu percuma, Bita. Hanya akan menyia-nyiakan waktu dan perasaanmu."Bita mulai bisa meraba arah pikiran Zen. Sebagai wanita yang peka, ia merasakan ada ketidaksukaan yang mendalam dari Zen terhadap sosok Gelar. Zen seperti sedang memberikan peringatan, atau mungkin lebih tepatnya, mencoba memaksa secara halus
Zen tampak sedikit salah tingkah, namun ia segera menguasai diri. Ia memperbaiki letak kacamata hitamnya dan kembali menatap laut. "Aku hanya ingin memastikannya, Bita. Sebagai orang yang ditugaskan Pak Herman untuk menjagamu, aku harus tahu siapa saja yang mungkin menjadi ancaman bagi ketenanganmu di masa depan. Pak Gelar adalah pria yang sangat berpengaruh."Melihat Bita yang masih terdiam dengan raut wajah mendung, Zen menambahkan dengan suara yang lebih lembut, "Maafkan aku, Bita. Jika kamu merasa tidak nyaman membahas masalah ini lebih jauh, tak perlu kau jawab lagi. Aku tidak bermaksud mengorek luka lamamu. Aku hanya ingin kita mulai bisa terbuka satu sama lain.""Terima kasih, Mas Zen," jawab Bita singkat.Mereka kembali terhanyut dalam keheningan, hanya ditemani oleh suara deburan ombak yang konsisten. Namun, di balik keheningan itu, pikiran keduanya berpacu. Bita mulai mempertanyakan perasaannya sendiri, sementara Zen mulai menyadari bahwa ia mungkin memiliki ketertarikan yan
Angin laut berembus cukup kencang, membawa aroma garam yang khas dan menyegarkan di sepanjang pesisir Pantai Dreamland, Bali. Tebing-tebing karang yang menjulang tinggi di sisi pantai seolah menjadi benteng alami yang memisahkan Bita dan Zen dari hiruk-pikuk dunia korporasi yang selama dua minggu ini mengurung mereka. Di bawah payung pantai yang lebar, keduanya duduk bersantai di atas kursi malas, menikmati pemandangan gradasi warna air laut dari biru muda hingga biru pekat yang memikat mata.Meskipun Zen adalah sosok yang sangat kaku, formal, dan serius saat berada di kantor, ternyata ia juga bisa menjelma menjadi teman bicara yang hangat. Ia bisa bercanda santai layaknya seorang kakak yang sedang melindungi adiknya, membuat Bita merasa jauh lebih tenang dari biasanya.Bita menyesap air kelapa muda langsung dari batoknya, lalu mengaduk-aduk daging kelapa yang putih bersih dengan sendok kecil. Matanya menatap jauh ke arah cakrawala, tempat debur ombak putih pecah menghantam pasir."Ma
Zen tersenyum tipis, mencoba memahami kegelisahan hati Bita. “Senioritas itu hanya masalah usia dan pengalaman teknis, Nona Bita. Saya memang lebih tua lima tahun darimu, tapi secara struktur organisasi dan secara kekeluargaan, kau tetap berada di posisi yang harus saya hormati. Pak Herman pun pasti akan menegur jika saya bersikap tidak sopan kepadamu.”Bita berbalik badan, menatap Zen dengan tegas namun tetap lembut. “Pokoknya aku tetap tidak nyaman dipanggil seperti itu. Cukup panggil Bita saja, Mas Zen. Anggap saja ini permintaan pribadiku sebagai Direktur Utama di sini, atau sebagai adik angkatmu jika kau mengizinkan. Lagipula, ini di Denpasar. Ayah tidak ada di sini untuk mengawasi setiap kata yang keluar dari mulutmu. Ayah pasti akan mengerti jika aku yang memintanya sendiri.”Melihat keteguhan di mata Bita, Zen akhirnya menyerah. Ia tahu bahwa berdebat dengan wanita cerdas ini hanya akan berakhir dengan kekalahannya. Ia menganggukkan kepala perlahan sebagai tanda setuju.“Baikl
Cahaya matahari pagi di Kota Denpasar menyelinap masuk melalui jendela besar di lantai dua gedung kantor Puspita Ayu, sebuah perusahaan kosmetik yang kini berada di bawah kendali Bita Hermanto. Aroma lembut bunga kamboja yang menjadi salah satu bahan dasar produk terbaru mereka tercium samar di udara, menciptakan suasana kerja yang menenangkan namun tetap profesional. Di balik meja kerja kayu jati yang megah, Bita sedang memeriksa beberapa laporan pemasaran dengan kening yang sedikit berkerut, menunjukkan keseriusannya dalam mengemban amanah baru sebagai Direktur Utama.Dalam kurun waktu dua minggu sejak kedatangannya di Pulau Dewata, Bita telah menunjukkan perubahan yang sangat drastis. Ia bukan lagi gadis yang terlihat awam dan tidak terpelajar. Kini, ia mengenakan setelan kantor yang elegan, rambutnya tertata rapi, dan sorot matanya memancarkan kecerdasan serta ketegasan. Kemampuannya dalam beradaptasi dengan lingkungan korporasi yang sangat kompleks benar-benar di luar dugaan.Ze







