LOGINDi atas ranjang king size yang mewah, Bita tergolek lemah tanpa busana, hanya diselimuti oleh selimut putih hotel yang tebal. Kehangatan selimut itu terasa kontras dengan dinginnya kehampaan yang menjalar di hatinya. Di sampingnya, Gelar yang juga tanpa busana tampak sedang asyik membuka ponsel dan membalas pesan, seolah-olah apa yang baru saja terjadi hanyalah interupsi kecil dalam jadwal hariannya.
Mata Bita nanar menatap langit-langit kamar yang tinggi. Tatapannya kosong, tanpa gairah, tanpa semangat. Batinnya berbisik, suara yang lirih namun menusuk. ‘Aku sudah melakukan itu… Dia sudah menggagahiku.’ Perlahan, air mata Bita menetes, membasahi bantal lembut di bawah kepalanya. Air mata itu adalah luapan dari rasa kecewa, penyesalan, dan kemarahan yang begitu dalam, yang kini bercampur menjadi satu adonan pahit. Ia merasa hancur, terlampau rapuh, dan tertipu. Ia masih terdiam, pikiran-pikiran buruk mulai berputar di kepalanya. Apakah ini pekerjaan yang ia cari? Ia merantau ke ibu kota karena kabur dari orang tuanya. Ia ingin menemukan masa depan baru di Jakarta. ‘Apakah Jakarta memang sekeras ini? Apakah ini jalan hidup yang harus kulalui?’ lirih hatinya. Ia merasa terperangkap, antara harga diri yang telah direnggut dan kenyataan kejam yang harus ia hadapi. Tiba-tiba, Gelar meletakkan ponselnya di nakas. Ia menoleh ke samping, pandangannya jatuh pada wajah Bita yang basah oleh air mata. "Kau kenapa?" tanya Gelar, nadanya terdengar terkejut sekaligus acuh tak acuh. "Kenapa menangis?" Bita tetap diam. Ia tidak sanggup mengeluarkan satu patah kata pun. Tenggorokannya tercekat oleh rasa dongkol dan amarah yang memuncak pada Gelar, pria yang baru saja memaksanya untuk berhubungan badan. Ia tidak ingin berbicara dengannya, tidak ingin menatapnya, bahkan tidak ingin mengakui keberadaannya di sampingnya. Gelar menunggu sejenak. Karena tidak ada respons, ia melanjutkan, suaranya mengandung sedikit nada provokasi yang tidak ia sadari. "Kau marah padaku? Pada bagian mana yang tidak kau sukai? Apa permainanku kurang kasar dan tidak sesuai dengan ekspektasimu? Apa kau kurang puas?" Pertanyaan-pertanyaan itu menusuk Bita jauh lebih dalam daripada tindakan Gelar sebelumnya. Gelar berbicara seolah-olah ia baru saja memberikan layanan, dan Bita, sebagai penerima layanan, memiliki hak untuk berkomentar tentang kualitasnya. Bita menyentak, bangkit sedikit, menopang tubuhnya dengan tangan. Ia menatap Gelar dengan mata penuh kebencian. "Diam!" bentak Bita. "Jangan ucapkan lagi hal-hal itu. Telingaku sakit mendengarnya." Gelar tertegun. Ia menyandarkan punggung ke kepala ranjang. Ada sedikit keheranan dalam tatapannya. "Ada apa? Apa aku salah?" tanya Gelar. Bagi Gelar, situasinya jelas: ia membayar, dan ia mendapatkan apa yang ia bayar. Bita kembali menoleh cepat ke arah Gelar. Air mata kembali berderai membasahi pipinya. Matanya kini menyala karena amarah. "Ya! Kau salah besar, Tuan Gelar Aditama yang terhormat," seru Bita. Suaranya bergetar antara isak tangis dan kemarahan yang tertahan. "Kau sudah menodaiku!" Gelar tampak benar-benar kaget. Ia memandang Bita dengan kebingungan yang nyata. "Menodai?" Gelar tertawa singkat, tawa yang sinis. "Hei, aku ini membayarmu untuk melakukan itu. Apa maksudmu?" Bita menggeleng keras. Selimut putih yang menutupi tubuhnya sedikit merosot, namun ia tidak peduli. Seluruh fokusnya kini adalah menyampaikan kebenaran, betapa pun sulitnya itu. "Membayar? Siapa yang ingin menjual diri? Sudah kukatakan sejak awal, Hendy brengsek itu yang menjebakku!" kata Bita, nada suaranya berubah menjadi putus asa. "Aku datang ke sini untuk pekerjaan, untuk karier. Aku bukan wanita panggilan!" Gelar menggeleng tak peduli. Ia kembali bersikap dingin dan tidak mau terlibat dalam drama internal. "Sudahlah," katanya. "Aku sudah bilang, itu adalah urusanmu dengan dia, bukan urusanku." Keduanya kembali terdiam, keheningan mencekam menyelimuti kamar itu, hanya terdengar suara napas yang berat dan isak tangis yang tertahan. Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing, Gelar dengan sikapnya yang masa bodoh, dan Bita dengan kehancuran batinnya. Tak lama kemudian, suara Gelar kembali terdengar, memecah keheningan. Ia mengubah topik, nadanya lebih ingin tahu, ada sedikit empati dari ucapannya. "Bagaimana kau bisa bertemu dengan Pak Hendy? Kenapa kau menerima pekerjaan marketing bohongan itu?" Bita menggeleng lemah. “Bukankah tadi kau bilang ini bukan urusanmu? Jadi untuk apa kau kembali membahas itu lagi?“ Gelar terdiam sejenak, berusaha menyusun kata-kata yang lebih bisa diterima Bita. “Anggap saja aku bersimpati. Jadi, kau patut berterima kasih atas perhatianku ini,” ujar Gelar dengan masih mempertahankan karakter arogansinya. Mata Bita menyipit, hatinya cukup terusik dengan kalimat tersebut. “Sombong sekali kata-katamu, Tuan Gelar Aditama! Apa kau pikir aku begitu rendah dimatamu?“ # #Bita menggeleng pelan. "Jangan menyimpulkan hal yang kau sendiri ragu akan kesimpulannya," ucap Bita, mengacu pada pertanyaan Gelar sebelumnya.Wajah Bita kini telah kembali tenang, menyembunyikan rapat-rapat semua gejolak emosi yang sebelumnya membakar dirinya. Setelah waktu yang lama di kamar mandi, ia menyadari bahwa ia tidak bisa hanya terus marah dan menangis. Kemarahan tidak akan membawanya keluar dari masalah ini. Ia tahu, ia harus tenang, berpikir cerdas, dan menemukan jalan keluarnya sendiri.Bita menarik napas, kini siap melancarkan strateginya. "Bagaimana jika kita membuat kesepakatan?"Gelar mengerutkan kening, merasa aneh dengan kata-kata Bita. Kesepakatan? Itu adalah bahasa bisnis, bukan bahasa tubuh yang ia harapkan dari wanita yang ia bayar."Kesepakatan? Apa maksudmu?" tanya Gelar, kini ia setengah duduk, perhatiannya sepenuhnya terpusat pada Bita.Bita berdiri dari kursi persegi dan berjalan perlahan di sisi ranjang, menjaga jarak, namun memancarkan aura keyakinan ya
Gelar Aditama berusaha menjaga rona wajahnya agar tetap terlihat tenang, tidak terpengaruh oleh gejolak emosi Bita. Ia menatap Bita, yang masih memendam amarah dan kesedihan."Aku bukan sombong, tapi lebih ke arah respek," kata Gelar, suaranya datar, mencoba menjustifikasi tindakannya yang terasa begitu dingin. "Karena sebenarnya, pelanggan seperti aku ini tidak perlu tahu masalah apa yang sedang kamu hadapi, karena aku membayar untuk mendapatkan kesenangan, bukan air mata."Ia sedikit menjeda. "Jadi, dengan aku memberikan respekku padamu seperti ini, itu adalah nilai lebih yang kuberikan."Bita membuang muka, menoleh ke arah jendela kamar hotel yang menyajikan pemandangan ibu kota yang luas."Tidak perlu," jawabnya lirih.Dalam hati Bita, ia merasa harga dirinya benar-benar terinjak-injak. Ia merasa direndahkan ke tingkat yang paling hina. Status wanita yang 'dibayar' terasa tak ubahnya seperti ranjang: hanya bisa ditiduri, pasrah, tanpa memiliki hak untuk berbicara atau mengungkapka
Di atas ranjang king size yang mewah, Bita tergolek lemah tanpa busana, hanya diselimuti oleh selimut putih hotel yang tebal. Kehangatan selimut itu terasa kontras dengan dinginnya kehampaan yang menjalar di hatinya. Di sampingnya, Gelar yang juga tanpa busana tampak sedang asyik membuka ponsel dan membalas pesan, seolah-olah apa yang baru saja terjadi hanyalah interupsi kecil dalam jadwal hariannya.Mata Bita nanar menatap langit-langit kamar yang tinggi. Tatapannya kosong, tanpa gairah, tanpa semangat. Batinnya berbisik, suara yang lirih namun menusuk. ‘Aku sudah melakukan itu… Dia sudah menggagahiku.’Perlahan, air mata Bita menetes, membasahi bantal lembut di bawah kepalanya. Air mata itu adalah luapan dari rasa kecewa, penyesalan, dan kemarahan yang begitu dalam, yang kini bercampur menjadi satu adonan pahit. Ia merasa hancur, terlampau rapuh, dan tertipu.Ia masih terdiam, pikiran-pikiran buruk mulai berputar di kepalanya. Apakah ini pekerjaan yang ia cari?Ia merantau ke ibu ko
Bita melangkah mundur dengan tergesa-gesa, wajahnya pucat pasi, hingga punggungnya mendapati dinding dingin kamar hotel. Ia menempel pada permukaan itu, tak bisa mundur lebih jauh lagi."Tidak, apa maksud Anda? Saya tidak untuk dipesan," ucap Bita, suaranya sedikit bergetar, namun ia berusaha keras mempertahankan ketenangan. "Saya menunggu Anda di sini untuk memperkenalkan produk perusahaan milik Pak Hendy."Gelar Aditama tersenyum, senyuman yang kini terasa sangat meremehkan, bahkan terkesan galak. Ia tidak bergerak mendekat, namun tatapannya mengunci Bita dengan intensitas yang mengintimidasi."Wow, nampaknya ada drama di antara kamu dan Pak Hendy," ujar Gelar santai, ia kemudian mengambil langkah kecil ke samping, seolah mengamati situasi. "Maaf, itu bukan urusanku."Ia kembali menatap Bita. "Yang menjadi urusanku sekarang adalah menikmati apa yang sudah kupesan. Dan perlu kau tahu, aku sudah mentransfer sejumlah uang muka yang tidak sedikit pada bosmu itu."Kepala Bita terasa berd
Bita menatap lekat pantulan dirinya di cermin kamar hotel. Tubuhnya yang ayu kini terbalut dress berbahan tipis dengan belahan dada rendah. Pakaian itu terasa asing dan memalukan di kulitnya.Sebelumnya, Pak Hendy menginstruksikan Bita agar membelanjakan uang sepuluh juta itu untuk membeli beberapa pakaian yang indah dan seksi. Dengan uang itu pula Bita diminta melakukan perawatan lengkap di salon kecantikan. Pak Hendy beralasan, penampilan Bita yang menarik sangat dibutuhkan saat bertemu dengan klien perusahaan.Kini, di kamar hotel mewah inilah Pak Hendy memintanya mewakili untuk menemui seorang klien penting karena ia berhalangan hadir. Tugas Bita hanyalah sebagai marketing dari produk yang dipasarkan oleh perusahaan Pak Hendy.Bita tertegun sendiri, ‘Kenapa rasanya janggal, ya? Disuruh membeli pakaian seksi, perawatan kecantikan, lalu menemui klien perusahaan untuk memperkenalkan produk di dalam kamar hotel? Apa sepenting itu sehingga harus dilakukan di dalam kamar?’Bita mulai ra
Sabita duduk terpekur di atas ranjang kecilnya. Matanya sembab, bekas tangis luap kesedihan yang tadi ia tahan mati-matian di depan Pak Kusen dan Ibunya. Ia meratapi nasibnya yang terasa begitu pahit. Pikirannya dipenuhi amarah dan tekad.‘Ini sudah melewati batas. Aku tak bisa terus-menerus membiarkan mereka bertindak sesuka hati untuk hidupku. Ini tak bisa dibiarkan. Aku harus mengambil langkah!’ bisik Bita dalam hati.Bita bangkit dari ranjang, membuka laci kecil dalam lemarinya, menghitung uang tabungan yang selama ini ia kumpulkan. ‘Uang ini cukup untuk membawaku pergi dari sini. Bukan untuk menghindari masalah, namun agar mereka bertanggung jawab menyelesaikan masalah yang mereka timbulkan sendiri,’ lanjutnya.Tanpa banyak kata, Bita mulai mengemas beberapa pakaiannya yang masih layak. Tujuannya adalah pergi ke Jakarta untuk menemukan masa depannya sendiri, terlepas dari intervensi Pak Kusen dan Ibunya.—Di Jakarta, Bita berhasil menyewa sebuah kamar kos sederhana yang ukuranny







