LOGINBita melangkah mundur dengan tergesa-gesa, wajahnya pucat pasi, hingga punggungnya mendapati dinding dingin kamar hotel. Ia menempel pada permukaan itu, tak bisa mundur lebih jauh lagi.
"Tidak, apa maksud Anda? Saya tidak untuk dipesan," ucap Bita, suaranya sedikit bergetar, namun ia berusaha keras mempertahankan ketenangan. "Saya menunggu Anda di sini untuk memperkenalkan produk perusahaan milik Pak Hendy." Gelar Aditama tersenyum, senyuman yang kini terasa sangat meremehkan, bahkan terkesan galak. Ia tidak bergerak mendekat, namun tatapannya mengunci Bita dengan intensitas yang mengintimidasi. "Wow, nampaknya ada drama di antara kamu dan Pak Hendy," ujar Gelar santai, ia kemudian mengambil langkah kecil ke samping, seolah mengamati situasi. "Maaf, itu bukan urusanku." Ia kembali menatap Bita. "Yang menjadi urusanku sekarang adalah menikmati apa yang sudah kupesan. Dan perlu kau tahu, aku sudah mentransfer sejumlah uang muka yang tidak sedikit pada bosmu itu." Kepala Bita terasa berdengung. Dunia seakan berputar, dan suara Gelar seolah datang dari lorong yang panjang dan gelap. Dalam benaknya, ia berteriak. ‘Apa sekejam ini kehidupan di ibu kota? Dasar Hendy brengsek!’ Pikirannya kemudian beralih pada pria di hadapannya. ‘Dan Gelar ini juga tak tahu malu. Sudah sekaya dan sekeren itu, tapi masih juga cari wanita di luar. Astaga! Aku harus bagaimana ini?’ Ketidakpercayaan dan kepanikan bercampur menjadi satu. Bita tidak pernah membayangkan situasi ini ketika ia menerima tugas 'penting' untuk menemui investor utama perusahaan. Ia datang dengan segala persiapan presentasi produk, bukan dengan persiapan untuk menjual dirinya. Gelar Aditama memperhatikan perubahan ekspresi di wajah Bita. Dari penolakan, kini beralih menjadi kepanikan yang nyaris histeris. Ia mencondongkan sedikit tubuhnya. "Kau sepertinya memiliki masalah," kata Gelar. "Itu terlihat jelas dari kepanikanmu." Bita menarik napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan sisa-sisa keberanian dan harga dirinya. Ia menegakkan punggungnya yang bersandar di dinding, menolak untuk terlihat sebagai mangsa yang lemah. "Ya, itu masalahnya ada di kamu dan Hendy brengsek itu. Kalian berdua sama-sama brengsek!" jawab Bita dengan nada tajam. Ia tidak lagi menggunakan sapaan 'Anda' kepada Gelar, melainkan 'kamu,' sebuah pergeseran bahasa yang menunjukkan bahwa ia tidak lagi memiliki rasa hormat sedikit pun kepada pria di hadapannya. Harga dirinya jauh lebih penting daripada etika berbisnis. Gelar tertegun. Alisnya terangkat karena terkejut. Sangat jarang ada wanita yang berani menyebutnya brengsek, apalagi di tengah transaksi, yang ia anggap sudah selesai sejak transfer uang muka. "Brengsek?" ulang Gelar, senyum sinisnya kembali merekah, kali ini lebih menakutkan. "Kau menyebutku brengsek?" Ia mengambil beberapa langkah maju, mengurangi jarak di antara mereka. Bita merasakan ancaman dari setiap langkah itu. Jantungnya berdebar kencang seakan hampir meledak. "Apa kau memang di setting Pak Hendy sebagai wanita yang menyukai adegan kekerasan seksual?" Gelar bertanya dengan nada merendahkan, membuat darah Bita mendidih. "Kau ingin kita memainkan cosplay pemerkosaan?" Kalimat itu adalah puncak penghinaan. Bita terkejut dan cepat-cepat bergeser ke samping, berusaha menjauh dari Gelar dan mencari celah menuju pintu. Namun, kamar itu terasa terlalu kecil, dan pintu terlalu jauh. Lengan kekar Gelar bergerak cepat. Dalam sekejap, lengan itu sudah menggapai Bita. Ia meraih lengan Bita, cengkeramannya kuat dan mendesak. Gelar menarik tubuh Bita menjauh dari dinding, merengkuhnya dalam pelukan yang tiba-tiba dan begitu kuat. Bita menggeram marah. Ia berusaha melepaskan diri, mendorong dada bidang Gelar dengan sekuat tenaga yang ia miliki, namun tenaganya tidak sebanding. Bau parfum mewah pria itu kini menyesakkan indra penciumannya. "Jangan, Gelar!" teriak Bita, suaranya kini dipenuhi keputusasaan. Ia memejamkan mata, memohon agar ini semua hanyalah mimpi buruk. "Aku bilang, hentikan!" Bita merasakan Gelar tidak menghentikan tindakannya, justru mendekapnya lebih erat, seolah menyalurkan seluruh kekuasaan dan dominasinya. Bita membuka matanya dan melihat Gelar hanya menyeringai puas, senyuman yang menandakan bahwa ia telah memenangkan pertempuran ini sebelum dimulai. Perasaan ngeri bercampur dengan amarah yang meledak-ledak menguasai hati dan pikiran Bita. “Akting galakmu boleh juga, cantik. Aku suka itu,” desis Gelar yang kini mulai mengendus tengkuk dan leher jenjang Bita. “Jangan! Apa yang sedang kau lakukan? Tunggu, Gelar!“ Krakk! “Tidakk!“ Tiba-tiba Gelar sudah merobek gaun bagian atas Bita, sedikit brutal. “Akan kuberikan apa yang kau mau. Mari kita mainkan permainan ini dengan serius!” # #Bita menggeleng pelan. "Jangan menyimpulkan hal yang kau sendiri ragu akan kesimpulannya," ucap Bita, mengacu pada pertanyaan Gelar sebelumnya.Wajah Bita kini telah kembali tenang, menyembunyikan rapat-rapat semua gejolak emosi yang sebelumnya membakar dirinya. Setelah waktu yang lama di kamar mandi, ia menyadari bahwa ia tidak bisa hanya terus marah dan menangis. Kemarahan tidak akan membawanya keluar dari masalah ini. Ia tahu, ia harus tenang, berpikir cerdas, dan menemukan jalan keluarnya sendiri.Bita menarik napas, kini siap melancarkan strateginya. "Bagaimana jika kita membuat kesepakatan?"Gelar mengerutkan kening, merasa aneh dengan kata-kata Bita. Kesepakatan? Itu adalah bahasa bisnis, bukan bahasa tubuh yang ia harapkan dari wanita yang ia bayar."Kesepakatan? Apa maksudmu?" tanya Gelar, kini ia setengah duduk, perhatiannya sepenuhnya terpusat pada Bita.Bita berdiri dari kursi persegi dan berjalan perlahan di sisi ranjang, menjaga jarak, namun memancarkan aura keyakinan ya
Gelar Aditama berusaha menjaga rona wajahnya agar tetap terlihat tenang, tidak terpengaruh oleh gejolak emosi Bita. Ia menatap Bita, yang masih memendam amarah dan kesedihan."Aku bukan sombong, tapi lebih ke arah respek," kata Gelar, suaranya datar, mencoba menjustifikasi tindakannya yang terasa begitu dingin. "Karena sebenarnya, pelanggan seperti aku ini tidak perlu tahu masalah apa yang sedang kamu hadapi, karena aku membayar untuk mendapatkan kesenangan, bukan air mata."Ia sedikit menjeda. "Jadi, dengan aku memberikan respekku padamu seperti ini, itu adalah nilai lebih yang kuberikan."Bita membuang muka, menoleh ke arah jendela kamar hotel yang menyajikan pemandangan ibu kota yang luas."Tidak perlu," jawabnya lirih.Dalam hati Bita, ia merasa harga dirinya benar-benar terinjak-injak. Ia merasa direndahkan ke tingkat yang paling hina. Status wanita yang 'dibayar' terasa tak ubahnya seperti ranjang: hanya bisa ditiduri, pasrah, tanpa memiliki hak untuk berbicara atau mengungkapka
Di atas ranjang king size yang mewah, Bita tergolek lemah tanpa busana, hanya diselimuti oleh selimut putih hotel yang tebal. Kehangatan selimut itu terasa kontras dengan dinginnya kehampaan yang menjalar di hatinya. Di sampingnya, Gelar yang juga tanpa busana tampak sedang asyik membuka ponsel dan membalas pesan, seolah-olah apa yang baru saja terjadi hanyalah interupsi kecil dalam jadwal hariannya.Mata Bita nanar menatap langit-langit kamar yang tinggi. Tatapannya kosong, tanpa gairah, tanpa semangat. Batinnya berbisik, suara yang lirih namun menusuk. ‘Aku sudah melakukan itu… Dia sudah menggagahiku.’Perlahan, air mata Bita menetes, membasahi bantal lembut di bawah kepalanya. Air mata itu adalah luapan dari rasa kecewa, penyesalan, dan kemarahan yang begitu dalam, yang kini bercampur menjadi satu adonan pahit. Ia merasa hancur, terlampau rapuh, dan tertipu.Ia masih terdiam, pikiran-pikiran buruk mulai berputar di kepalanya. Apakah ini pekerjaan yang ia cari?Ia merantau ke ibu ko
Bita melangkah mundur dengan tergesa-gesa, wajahnya pucat pasi, hingga punggungnya mendapati dinding dingin kamar hotel. Ia menempel pada permukaan itu, tak bisa mundur lebih jauh lagi."Tidak, apa maksud Anda? Saya tidak untuk dipesan," ucap Bita, suaranya sedikit bergetar, namun ia berusaha keras mempertahankan ketenangan. "Saya menunggu Anda di sini untuk memperkenalkan produk perusahaan milik Pak Hendy."Gelar Aditama tersenyum, senyuman yang kini terasa sangat meremehkan, bahkan terkesan galak. Ia tidak bergerak mendekat, namun tatapannya mengunci Bita dengan intensitas yang mengintimidasi."Wow, nampaknya ada drama di antara kamu dan Pak Hendy," ujar Gelar santai, ia kemudian mengambil langkah kecil ke samping, seolah mengamati situasi. "Maaf, itu bukan urusanku."Ia kembali menatap Bita. "Yang menjadi urusanku sekarang adalah menikmati apa yang sudah kupesan. Dan perlu kau tahu, aku sudah mentransfer sejumlah uang muka yang tidak sedikit pada bosmu itu."Kepala Bita terasa berd
Bita menatap lekat pantulan dirinya di cermin kamar hotel. Tubuhnya yang ayu kini terbalut dress berbahan tipis dengan belahan dada rendah. Pakaian itu terasa asing dan memalukan di kulitnya.Sebelumnya, Pak Hendy menginstruksikan Bita agar membelanjakan uang sepuluh juta itu untuk membeli beberapa pakaian yang indah dan seksi. Dengan uang itu pula Bita diminta melakukan perawatan lengkap di salon kecantikan. Pak Hendy beralasan, penampilan Bita yang menarik sangat dibutuhkan saat bertemu dengan klien perusahaan.Kini, di kamar hotel mewah inilah Pak Hendy memintanya mewakili untuk menemui seorang klien penting karena ia berhalangan hadir. Tugas Bita hanyalah sebagai marketing dari produk yang dipasarkan oleh perusahaan Pak Hendy.Bita tertegun sendiri, ‘Kenapa rasanya janggal, ya? Disuruh membeli pakaian seksi, perawatan kecantikan, lalu menemui klien perusahaan untuk memperkenalkan produk di dalam kamar hotel? Apa sepenting itu sehingga harus dilakukan di dalam kamar?’Bita mulai ra
Sabita duduk terpekur di atas ranjang kecilnya. Matanya sembab, bekas tangis luap kesedihan yang tadi ia tahan mati-matian di depan Pak Kusen dan Ibunya. Ia meratapi nasibnya yang terasa begitu pahit. Pikirannya dipenuhi amarah dan tekad.‘Ini sudah melewati batas. Aku tak bisa terus-menerus membiarkan mereka bertindak sesuka hati untuk hidupku. Ini tak bisa dibiarkan. Aku harus mengambil langkah!’ bisik Bita dalam hati.Bita bangkit dari ranjang, membuka laci kecil dalam lemarinya, menghitung uang tabungan yang selama ini ia kumpulkan. ‘Uang ini cukup untuk membawaku pergi dari sini. Bukan untuk menghindari masalah, namun agar mereka bertanggung jawab menyelesaikan masalah yang mereka timbulkan sendiri,’ lanjutnya.Tanpa banyak kata, Bita mulai mengemas beberapa pakaiannya yang masih layak. Tujuannya adalah pergi ke Jakarta untuk menemukan masa depannya sendiri, terlepas dari intervensi Pak Kusen dan Ibunya.—Di Jakarta, Bita berhasil menyewa sebuah kamar kos sederhana yang ukuranny







