Share

65. Tak Salah Lagi

Author: Leva Lorich
last update Last Updated: 2025-12-16 09:05:33

Bita masih berdiri mematung di luar pintu ruang rapat, jantungnya berdegup kencang. Ia tahu ia tidak bisa melarikan diri, tetapi ia juga belum siap menghadapi Gelar Aditama, terutama dalam peran barunya sebagai Bita Hermanto. Tekanan emosional dan peran sosial yang harus ia mainkan terasa terlalu berat.

Menunggu cukup lama—sekitar sepuluh menit—Pak Herman akhirnya menghubungi ponsel Bita. Nada dering samar-samar terdengar dari tas tangan Bita yang kini ia peluk erat.

“Nak, kamu di mana? Kami sudah menunggu dari tadi. Ayah tidak mau membuat relasi bisnis Ayah menunggu terlalu lama,” tanya Pak Herman dari seberang telepon, nadanya sedikit mendesak.

Bita segera menyusun alasan. Otaknya yang cerdas bekerja cepat. “Ah, maaf, Ayah! Aku mendadak datang bulan, dan stok di tas habis. Jadi, terpaksa pergi ke minimarket di depan kantor untuk membeli pembalut dulu. Mohon maaf atas keterlambatannya, Yah.”

Pak Herman yang mendengarnya terdengar menghela napas,
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Terjebak Hasrat Terlarang Pria Ibu Kota   89. Dinamika Hubungan

    Zen melangkah maju satu langkah, mencoba mendekat. "Tapi, Bita... aku merasakannya. Aku merasakan getaran itu saat aku menggendongmu. Aku—""Tapi, tidak sekarang, Mas!" potong Bita dengan cepat, suaranya naik satu nada. "Tindakanmu ini... ini terlalu cepat buatku. Kita baru saja mulai membangun komunikasi yang lebih santai hari ini. Kamu terlalu terburu-buru, Mas Zen! Aku belum siap untuk apa pun yang melibatkan perasaan sedalam ini."Zen terhenti. Ia menarik napas panjang, mencoba meredam gejolak di dalam dadanya. Ia menatap Bita yang masih tampak terguncang, lalu menundukkan kepalanya sejenak. Ia menyadari bahwa tindakannya tadi memang sangat gegabah. Ia telah melompati batasan profesional dan emosional yang seharusnya ia jaga. Mereka memang baru saja berkomitmen untuk menjadi lebih nyaman satu sama lain sebagai teman, namun mereka belum sepenuhnya akrab hingga tahap saling memiliki secara fisik."Maafkan aku, Bita," ujar Zen akhirnya dengan suara rendah yang penuh penyesalan. "Aku

  • Terjebak Hasrat Terlarang Pria Ibu Kota   88. Tolong Jangan

    Zen terus melangkah dengan pasti di atas pasir pantai yang mulai mendingin, membawa tubuh Bita dalam gendongan eratnya menuju deretan kursi malas yang sebelumnya mereka gunakan untuk bersantai. Jarak di antara wajah mereka begitu intim, hanya menyisakan celah beberapa sentimeter saja. Bita bisa merasakan embusan napas Zen yang hangat menerpa pipinya, sementara Zen bisa mencium aroma sisa-sisa air kelapa dan parfum lembut yang menguar dari leher Bita.Sesampainya di depan kursi malas, Zen tidak langsung meletakkan Bita. Ia justru tetap berdiri diam, membopong tubuh wanita itu dengan kedua lengan kokohnya. Matanya mengunci manik mata Bita, menatapnya dalam-dalam dengan binar yang sulit diartikan—sebuah campuran antara rasa kagum, perlindungan, dan ketertarikan yang membuncah. Bita seolah terhipnotis oleh tatapan itu, ia merasa dunianya seakan berhenti berputar, hanya menyisakan suara deburan ombak yang jauh di belakang sana.Perlahan, seolah waktu melambat, Zen memberanikan diri untuk m

  • Terjebak Hasrat Terlarang Pria Ibu Kota   87. Jejak Yang Dalam

    Bita terkejut bukan main. Tubuhnya yang ringan seolah melayang di udara saat tangan kekar Zen menyusup di bawah lipatan lutut dan punggungnya. Secara refleks, kedua tangannya melingkar erat di leher Zen untuk menjaga keseimbangan agar tidak terjatuh. Wajah Bita seketika merona merah padam, panas menjalar hingga ke telinga saat menyadari posisi mereka yang sangat intim di ruang publik."Mas Zen! Turunkan aku! Aku bisa jalan sendiri, aku tidak perlu digendong seperti ini. Ini memalukan, Mas, banyak orang yang melihat kita!" protes Bita dengan suara tertahan, mencoba melepaskan diri namun tenaganya tentu tak sebanding dengan lengan kokoh pria di hadapannya.Zen menggelengkan kepala dengan tegas, menunjukkan raut wajah yang tidak bisa dibantah. Ia menatap lekat wajah cantik Bita yang kini berada tepat hanya beberapa sentimeter di depan wajahnya. Tatapan matanya tajam namun menenangkan."Jangan membantah, Bita. Biar aku gendong kau kembali ke kursi malas tadi. Pasir di sini kasar dan menga

  • Terjebak Hasrat Terlarang Pria Ibu Kota   86. Dedikasi Dan Perhatian

    Matahari sore di Pantai Dreamland mulai turun, menciptakan semburat warna jingga yang memantul di permukaan air laut yang tenang. Setelah percakapan yang cukup menguras emosi tadi, Bita merasa perlu sedikit waktu untuk menenangkan diri. Ia memutuskan untuk melepaskan alas kakinya, membiarkan telapak kakinya yang halus bersentuhan langsung dengan butiran pasir putih yang masih menyimpan sedikit hangatnya sinar matahari. Ia melangkah perlahan menyusuri garis pantai, menikmati setiap semilir angin sore yang menerpa wajahnya dan memainkan helaian rambutnya yang tergerai.Zen, dengan setia dan penuh kewaspadaan, mengikuti setiap langkah Bita dari belakang dengan jarak yang tidak terlalu jauh. Sesuai janjinya pada Pak Herman untuk menjaga keamanan, keselamatan, serta ketenangan Bita, Zen memposisikan diri sebagai penjaga terbaik. Matanya tidak hanya menikmati pemandangan laut, tetapi juga menyapu area sekitar untuk memastikan tidak ada gangguan bagi wanita yang kini menjadi tanggung jawabny

  • Terjebak Hasrat Terlarang Pria Ibu Kota   85. Meraba Pikiran

    "Bita, jika kau mengizinkanku memberikan saran sebagai orang yang ingin melihatmu bahagia," Zen memulai bicaranya dengan nada yang lebih berat. "Masih banyak pria lain di luar sana yang jauh lebih layak untuk kau cintai. Pria-pria yang lajang, yang tidak membawa beban masa lalu yang rumit. Pak Gelar itu adalah pria beristri, Bita. Menemuinya kembali hanya akan membawamu ke dalam masalah yang lebih besar. Lagipula, menurut pandanganku, dia juga bukan sepenuhnya pria baik. Itu terbukti dengan tindakannya yang sempat menyewamu di awal sebagai wanita penghibur. Pria yang benar-benar baik tidak akan memperlakukan wanita seperti komoditas. Untuk apa kau memberatkan pikiranmu demi dia? Itu percuma, Bita. Hanya akan menyia-nyiakan waktu dan perasaanmu."Bita mulai bisa meraba arah pikiran Zen. Sebagai wanita yang peka, ia merasakan ada ketidaksukaan yang mendalam dari Zen terhadap sosok Gelar. Zen seperti sedang memberikan peringatan, atau mungkin lebih tepatnya, mencoba memaksa secara halus

  • Terjebak Hasrat Terlarang Pria Ibu Kota   84. Membekas Di Hati

    Zen tampak sedikit salah tingkah, namun ia segera menguasai diri. Ia memperbaiki letak kacamata hitamnya dan kembali menatap laut. "Aku hanya ingin memastikannya, Bita. Sebagai orang yang ditugaskan Pak Herman untuk menjagamu, aku harus tahu siapa saja yang mungkin menjadi ancaman bagi ketenanganmu di masa depan. Pak Gelar adalah pria yang sangat berpengaruh."Melihat Bita yang masih terdiam dengan raut wajah mendung, Zen menambahkan dengan suara yang lebih lembut, "Maafkan aku, Bita. Jika kamu merasa tidak nyaman membahas masalah ini lebih jauh, tak perlu kau jawab lagi. Aku tidak bermaksud mengorek luka lamamu. Aku hanya ingin kita mulai bisa terbuka satu sama lain.""Terima kasih, Mas Zen," jawab Bita singkat.Mereka kembali terhanyut dalam keheningan, hanya ditemani oleh suara deburan ombak yang konsisten. Namun, di balik keheningan itu, pikiran keduanya berpacu. Bita mulai mempertanyakan perasaannya sendiri, sementara Zen mulai menyadari bahwa ia mungkin memiliki ketertarikan yan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status