LOGINMina menyipitkan mata, mengamati layar ponsel Aqila yang masih menampilkan pause pada rekaman video di kafe kemarin. Ia menggeser-geser garis durasi dengan ujung kuku yang terpoles rapi, mencari sudut pandang yang lebih baik."Yakin kamu dia orang yang sama?" tanya Aqila sekali lagi. Suaranya terdengar tidak sabar, ada nada harapan sekaligus kecemasan yang berbaur di sana.Mina menarik napas panjang, lalu bersandar ke kursi. "Jujur, kalau ditanya seratus persen yakin ... aku nggak berani bilang, Qila. Sudut pengambilan gambarmu ini cuma dapet samping belakang. Tapi dari cara duduknya, tasnya, dan aura 'wanita baik-baik' yang dia tunjukkan ... itu mirip banget sama perempuan yang aku lihat sama Fahmi di Bogor."Aqila mendengus kasar. Ia mengambil kembali ponselnya dan menatap gambar itu dengan penuh kebencian. Mina kembali mencondongkan tubuh, jarinya menunjuk ke sudut bawah layar ponsel yang kini dipegang Aqila. "Coba play lagi bagian dia berdiri pas mau kabur itu. Pelan-pelan."Aqil
Claudia menepis tangan Nina dengan sentakan kasar begitu mereka sampai di koridor depan poli. Napasnya masih menderu, dadanya naik-turun menahan amarah yang hampir meledak. Beberapa pasien yang sedang duduk mengantre di kursi panjang menatapnya dengan pandangan penuh tanya dan bisik-bisik. Para perawat sejawat yang baru saja memulai shift pagi pun tak kalah heran melihat sikap kalap Claudia.Namun, rasa malu sudah mati dalam diri Claudia. Yang tersisa hanyalah api cemburu yang membakar logikanya.“Swiss?” desisnya pelan, mengabaikan tatapan orang-orang di sekitarnya. “Kamu mau membawa pengkhianat itu ke tempat impian kita, Van? Jangan harap!”Tanpa memperdulikan Nina yang masih berdiri cemas di ambang pintu, Claudia berjalan pergi dengan langkah kaki yang menghentak keras. Ia tidak pulang untuk beristirahat meski baru saja menyelesaikan jadwal piket malam. Di kepalanya, sebuah rencana licik mulai tersusun rapi. Jika Ervan butuh bukti visual yang lebih dari sekadar foto, maka ia akan
Tepat saat bibir Claudia hendak mengucapkan nama siapa pria itu, pintu ruangan terbuka. Nina, asisten perawat yang baru, melongokkan kepalanya dengan wajah cemas."Maaf, Dokter Ervan ... pasien di luar sudah mulai gelisah karena belum dipanggil lagi. Jadwalnya sudah lewat lima belas menit, Dok," ucap Nina pelan.Ervan mengangguk pada Nina. "Iya, Nin. Sebentar lagi."Ervan menoleh kembali pada Claudia, sorot matanya kini penuh dengan perintah untuk segera pergi. "Keluar, Claudia. Aku tidak punya waktu lagi untukmu. Kamu tahu sendiri, waktu yang kumiliki hari ini sangat berarti. Aku harus menyelesaikan pemeriksaan semua pasienku di poli, dan setelah itu aku masih punya jadwal menangani dua orang pasien lagi yang harus segera dioperasi."Ervan berdiri, merapikan jas putihnya dengan gerakan tegas. "Aku harus menyelesaikan semua pekerjaanku secepat mungkin karena setelah ini, aku dan Rina sudah berencana untuk pergi liburan ke Swiss. Kami butuh waktu berdua untuk memperbaiki semuanya."Men
Ervan menatap amplop cokelat yang tergeletak di atas meja periksanya dengan pandangan yang sulit diartikan. Di ruangan serba putih itu, keberadaan amplop tersebut terasa seperti benda asing yang membawa hawa tidak enak. Ervan menyandarkan punggungnya ke kursi kebesarannya, melipat tangan di dada, lalu menatap Claudia yang masih berdiri dengan senyum penuh kemenangan."Apa ini?" tanya Ervan pendek. Suaranya dingin, seolah sedang bertanya tentang laporan medis yang membosankan.Claudia terkekeh pelan. Ia melangkah satu langkah lebih dekat, jemarinya yang lentur mengetuk permukaan amplop itu. "Buka saja, Van. Aku tidak mau dianggap hanya membual atau 'berdrama' seperti yang sering kamu tuduhkan padaku. Lihat dengan mata kepalamu sendiri."Ervan menarik napas panjang. Dengan gerakan yang sengaja dibuat malas dan tidak acuh, seolah hanya ingin memuaskan keinginan wanita di depannya agar cepat pergi. Ia meraih amplop tersebut. Merobek ujungnya dengan kasar dan mengeluarkan isinya.Seketika,
Keheningan di ruang tengah itu terasa seperti benang yang ditarik kencang, siap putus kapan saja. Ervan masih menatap monitor dengan raut muka datar yang sulit ditebak. Matanya yang tajam seolah sedang menghitung setiap detik yang hilang dari log sistem CCTV tersebut.Rina berdiri mematung, keringat dingin membasahi punggungnya. Ia merasa seperti terdakwa yang sedang menunggu vonis mati. Namun, tepat sebelum Ervan melontarkan pertanyaan maut selanjutnya, ponsel di genggaman Ervan bergetar hebat.Ervan melirik layar ponselnya, menghela nafas kasar, lalu mengangkatnya."Ya, Sus?" ucap Ervan. Suaranya seketika berubah menjadi sangat profesional, nada khas seorang dokter spesialis. "Iya, maaf. Saya tadi sudah di jalan, tapi harus putar balik ke rumah karena ponsel tertinggal. Saya segera kembali sekarang. Sekitar dua puluh menit lagi saya sampai di rumah sakit."Panggilan berakhir. Ervan memasukkan ponselnya ke saku jas putih yang tersampir di lengannya. Ia menatap Rina sekali lagi, seola
Dering ponsel itu bagaikan lonceng penyelamat di tengah sidang eksekusi. Ervan yang jarinya sudah menempel kuat pada mouse, seketika menghentikan gerakannya. Kepalanya menoleh ke arah sumber suara yang berasal dari balik meja pantry di dapur."Van, itu suara dering ponselmu! Bunyinya dari dapur!" seru Rina dengan nada yang sengaja ditinggikan, mencoba menutupi gemetar di suaranya.Ervan terdiam sejenak, matanya sempat kembali melirik monitor CCTV sebelum akhirnya menghela napas panjang. "Ternyata benar tertinggal di sana. Tunggu sebentar," ucapnya datar.Begitu langkah kaki Ervan menjauh dan bayangannya menghilang di balik sekat ruang makan, Rina langsung bergerak bagaikan kesurupan. Ia menyambar mouse dengan tangan yang basah oleh keringat dingin. Jantungnya berdentum begitu keras hingga ia merasa dadanya nyeri."Cepat ... cepat ...!" bisiknya pada diri sendiri, dengan bibir pucat.Mata Rina menyisir menu di layar dengan panik. Ia mencari folder rekaman pagi ini.07:25. Layar menampi







