MasukTepat saat bibir Claudia hendak mengucapkan nama siapa pria itu, pintu ruangan terbuka. Nina, asisten perawat yang baru, melongokkan kepalanya dengan wajah cemas."Maaf, Dokter Ervan ... pasien di luar sudah mulai gelisah karena belum dipanggil lagi. Jadwalnya sudah lewat lima belas menit, Dok," ucap Nina pelan.Ervan mengangguk pada Nina. "Iya, Nin. Sebentar lagi."Ervan menoleh kembali pada Claudia, sorot matanya kini penuh dengan perintah untuk segera pergi. "Keluar, Claudia. Aku tidak punya waktu lagi untukmu. Kamu tahu sendiri, waktu yang kumiliki hari ini sangat berarti. Aku harus menyelesaikan pemeriksaan semua pasienku di poli, dan setelah itu aku masih punya jadwal menangani dua orang pasien lagi yang harus segera dioperasi."Ervan berdiri, merapikan jas putihnya dengan gerakan tegas. "Aku harus menyelesaikan semua pekerjaanku secepat mungkin karena setelah ini, aku dan Rina sudah berencana untuk pergi liburan ke Swiss. Kami butuh waktu berdua untuk memperbaiki semuanya."Men
Ervan menatap amplop cokelat yang tergeletak di atas meja periksanya dengan pandangan yang sulit diartikan. Di ruangan serba putih itu, keberadaan amplop tersebut terasa seperti benda asing yang membawa hawa tidak enak. Ervan menyandarkan punggungnya ke kursi kebesarannya, melipat tangan di dada, lalu menatap Claudia yang masih berdiri dengan senyum penuh kemenangan."Apa ini?" tanya Ervan pendek. Suaranya dingin, seolah sedang bertanya tentang laporan medis yang membosankan.Claudia terkekeh pelan. Ia melangkah satu langkah lebih dekat, jemarinya yang lentur mengetuk permukaan amplop itu. "Buka saja, Van. Aku tidak mau dianggap hanya membual atau 'berdrama' seperti yang sering kamu tuduhkan padaku. Lihat dengan mata kepalamu sendiri."Ervan menarik napas panjang. Dengan gerakan yang sengaja dibuat malas dan tidak acuh, seolah hanya ingin memuaskan keinginan wanita di depannya agar cepat pergi. Ia meraih amplop tersebut. Merobek ujungnya dengan kasar dan mengeluarkan isinya.Seketika,
Keheningan di ruang tengah itu terasa seperti benang yang ditarik kencang, siap putus kapan saja. Ervan masih menatap monitor dengan raut muka datar yang sulit ditebak. Matanya yang tajam seolah sedang menghitung setiap detik yang hilang dari log sistem CCTV tersebut.Rina berdiri mematung, keringat dingin membasahi punggungnya. Ia merasa seperti terdakwa yang sedang menunggu vonis mati. Namun, tepat sebelum Ervan melontarkan pertanyaan maut selanjutnya, ponsel di genggaman Ervan bergetar hebat.Ervan melirik layar ponselnya, menghela nafas kasar, lalu mengangkatnya."Ya, Sus?" ucap Ervan. Suaranya seketika berubah menjadi sangat profesional, nada khas seorang dokter spesialis. "Iya, maaf. Saya tadi sudah di jalan, tapi harus putar balik ke rumah karena ponsel tertinggal. Saya segera kembali sekarang. Sekitar dua puluh menit lagi saya sampai di rumah sakit."Panggilan berakhir. Ervan memasukkan ponselnya ke saku jas putih yang tersampir di lengannya. Ia menatap Rina sekali lagi, seola
Dering ponsel itu bagaikan lonceng penyelamat di tengah sidang eksekusi. Ervan yang jarinya sudah menempel kuat pada mouse, seketika menghentikan gerakannya. Kepalanya menoleh ke arah sumber suara yang berasal dari balik meja pantry di dapur."Van, itu suara dering ponselmu! Bunyinya dari dapur!" seru Rina dengan nada yang sengaja ditinggikan, mencoba menutupi gemetar di suaranya.Ervan terdiam sejenak, matanya sempat kembali melirik monitor CCTV sebelum akhirnya menghela napas panjang. "Ternyata benar tertinggal di sana. Tunggu sebentar," ucapnya datar.Begitu langkah kaki Ervan menjauh dan bayangannya menghilang di balik sekat ruang makan, Rina langsung bergerak bagaikan kesurupan. Ia menyambar mouse dengan tangan yang basah oleh keringat dingin. Jantungnya berdentum begitu keras hingga ia merasa dadanya nyeri."Cepat ... cepat ...!" bisiknya pada diri sendiri, dengan bibir pucat.Mata Rina menyisir menu di layar dengan panik. Ia mencari folder rekaman pagi ini.07:25. Layar menampi
"Mungkin kalian hanya pernah berpapasan di jalan kompleks, Van. Namanya juga tetanggaan, pasti sering bertemu tanpa sengaja. Hanya saja karena baru kali ini kalian berkenalan secara resmi, rasanya jadi seperti pernah bertemu di tempat lain," timpal Rina cepat. Suaranya diusahakan tetap stabil.Rina berusaha sekuat tenaga agar matanya tidak melirik ke arah Fahmi dengan cara yang mencurigakan. Ia harus terlihat seperti istri yang sedang memberikan penjelasan logis, bukan komplotan yang sedang menyembunyikan rahasia. Fahmi segera menangkap umpan Rina. Ia mengangguk dengan senyum yang dipaksakan tetap santai. "Iya, bisa jadi. Kompleks ini kan tidak terlalu besar. Mungkin kita pernah berpapasan saat aku sedang lari pagi atau mencuci mobil."Ervan menyipitkan mata, seolah sedang memindai memori di otaknya, namun akhirnya ia mengangguk. Karena merasa buru-buru harus mencari ponselnya yang tertinggal dan kemudian kembali berangkat ke rumah sakit.Senyum ramahnya kembali tersungging, meski bi
Udara di halaman rumah itu mendadak terasa tipis, seolah oksigen tersedot habis oleh kehadiran Ervan yang berdiri mematung di ambang pintu gerbang kecil. Keheningan yang tercipta begitu pekat, hanya menyisakan suara kicauan burung yang kini terdengar seperti ejekan bagi Rina dan Fahmi.Ervan tidak bergerak. Matanya yang tajam di balik kacamata bening itu menyapu pemandangan di depannya dengan ketelitian seorang ahli bedah. Ia menatap Rina, lalu beralih pada Fahmi, mengamati jarak yang tersisa di antara mereka yang menurutnya terlalu akrab untuk sekadar percakapan antar tetangga.Gurat keterkejutan di wajah Rina tak bisa disembunyikan. Ia merasa seluruh sendinya melemas, namun otaknya dipaksa bekerja secepat kilat. Sebelum Ervan membuka suara dan melontarkan pertanyaan yang bisa menghancurkan segalanya, Rina buru-buru memecah kesunyian."Ini ... tetangga sebelah, Van. Fahmi," ucap Rina dengan nada bicara yang diusahakan tetap ringan, meski suaranya sedikit bergetar di ujung kalimat.Er







