“Tidak …,” pekik Rina lirih. Derai air mata semakin deras membasahi pipinya.
Bahkan layar ponselnya pun terbasahi tetesan air mata itu. Foto terakhir ini menampakkan Ervan mencium bibir wanita berseragam putih-putih itu. Walau diambil dari jarak jauh dan dengan mode zoom, tapi cukup jelas untuk memperlihatkan jika si pria yang ada di dalam foto ini memang suaminya! “Jadi … ternyata alasan kamu sering pulang telat dan dingin sama aku selama satu tahun ini adalah dia?” gumam Rina dengan suara bergetar. “Tega-teganya kamu Van … Salah apa aku sama kamu?” lanjutnya sembari terbayang kembali jika ia rela mengundurkan diri dari jabatannya sebagai manager di sebuah restoran hotel bintang lima demi menjadi istri yang baik dan berbakti. Nafasnya naik turun. Emosinya benar-benar menguasainya. Udara malam pun terasa semakin menusuk. Ia duduk termenung di ruang tamu berjam-jam lamanya. Matanya terus menatap layar ponsel. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Rumah terasa semakin hampa, hanya suara detik jam yang terdengar menemani kegelisahannya. Tangan Rina bergetar saat mencoba menelepon Ervan. Sekali, dua kali, tiga kali. Panggilannya tidak pernah dijawab. Dadanya semakin sesak. “Kenapa teleponku nggak kamu angkat?” bisiknya lirih, seperti sedang berbicara pada dirinya sendiri. Akhirnya ia mengetik pesan. “Kenapa teleponku tidak kamu angkat? Aku menunggumu pulang. Ini sudah jam sebelas malam. Apa kamu akan pulang terlambat lagi?” Jantungnya berdebar ketika notifikasi balasan masuk. “Aku sudah bilang jangan tunggu aku saat mau berangkat. Makanya kalau suami ngomong itu dengerin!” Rina menatap layar itu lama, lalu jari-jarinya kembali mengetik. “Cepat pulang, aku menunggumu. Ada yang harus kita bicarakan. Hal penting.” Ia berharap Ervan akan tersentak dengan kalimat itu, berharap suaminya merasa ada yang mendesak dan segera pulang. Namun beberapa detik kemudian, balasan masuk lagi. “Hal penting apa sih? Sudahlah … jangan tunggu aku pulang. Tidur duluan saja.” Rina tertegun. Pesan itu nyaris bukan kalimat seorang suami. Tidak ada perhatian, tidak ada kehangatan. Hanya dingin, seakan ia bukan pasangan hidup, melainkan orang asing yang tak layak dipedulikan. Matanya memanas. Sakit yang tadi sore ia rasakan ketika melihat foto-foto Ervan bersama perempuan lain kini kembali menikam. Ingatan itu muncul dengan jelas: suara perempuan misterius dari balik pintu kamar mandi, ekspresi sinis Ervan ketika ditanya, dan kini foto-foto yang dikirim Dea. Senyum lebar Ervan dan tatapan hangatnya yang hanya ditujukan pada perempuan lain. Juga ciuman manis Ervan di bibir perempuan itu benar-benar menghujam hatinya seperti sembilu tajam. Rina duduk di kursi santai halaman belakang rumah, menatap kolam renang yang terpantul cahaya lampu taman. Airnya tenang, berkilau, seolah mengejek hatinya yang bergemuruh. Nafasnya berat, dadanya penuh sesak seperti tertindih batu besar. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, tubuhnya bergetar. “Apa aku sudah tidak berarti lagi buatmu, Van? Apa semua ini cuma kebodohanku saja?” bisiknya lirih. “Aku yang cuman kecintaan sama kamu?” Beberapa menit ia hanya terdiam, sampai tiba-tiba rasa sesak itu memuncak. Tanpa sadar, tubuhnya bergerak cepat. Ia berdiri, berteriak keras, lalu berlari kencang menuju kolam. Dengan pakaian lengkap gaun tidur malam berbahan satin yang tipis warna pink dusty, ia melompat. Byuuur! Suara cipratan besar memecah keheningan malam. Riak air menyebar, bergelombang, membentur tepi kolam. Namun berbeda dengan biasanya, kali ini tubuh Rina tidak berusaha berenang. Ia hanya membiarkan tubuhnya meluncur turun ke dasar, seakan menyerahkan dirinya pada dingin dan tekanan air. Air dingin merayap ke seluruh tubuh Rina. Matanya terasa berat, pandangannya mulai menggelap. Dadanya tertekan, paru-parunya menjerit minta udara. Namun ia pasrah. “Kalau memang ini akhirnya, mungkin lebih baik begini …,” batinnya lirih. Semua suara lenyap, hanya gemuruh air di telinga. Ia merasa tubuhnya makin tenggelam, gaun tidur tipisnya berayun pelan dalam air. Rambut panjangnya melayang tak beraturan. Saat pandangannya hampir gelap total, tiba-tiba cahaya lampu taman yang memantul dari permukaan air seakan terpecah. Ada bayangan hitam yang menyelam cepat. Sesuatu meraih pinggangnya dengan kokoh, lalu tangan itu menahannya erat. Sekejap tubuh Rina tersentak. Lalu, hangat bibirnya disentuh sesuatu yang lembut. Napas. Oksigen yang begitu ia rindukan mengalir masuk, membuat paru-parunya terbakar sekaligus hidup kembali. “Ervan, apa itu kamu?” bisiknya dalam hati, meski suaranya tak keluar. Hati kecilnya begitu berharap suaminya lah yang datang. Tubuhnya kini ditarik naik, melewati riak air yang berkilau di bawah cahaya lampu taman. Hingga akhirnya, Byuur! Kepalanya menembus permukaan. Udara malam yang dingin langsung menyambar wajahnya. Ia terbatuk hebat, paru-parunya bekerja keras. Rina juga mendengar suara napas berat, dekat sekali dengan telinganya. Ia menoleh, matanya setengah kabur karena air dan sesak napas. Pria yang tadi ia pikir suaminya … ternyata bukan! Pria itu …. “Fa-Fahmi …?” suaranya serak, nyaris tak percaya siapa yang dengan sigap menyelamatkannya. “Ya ini aku … Tetanggamu,” jawab Fahmi sambil masih merangkul pinggang Rina. “Apa yang kamu lakukan Rin?!” serunya dengan mimik sedikit kesal. “Kamu mau mati? Kalau ada masalah, jangan bunuh diri di kolam renang yang keliatan dari jendela kamarku dong!” Kening Rina berkerut, ia jadi kesal dimarahi Fahmi. “Kenapa kamu marah? Nggak ada urusannya sama kamu ya!” “Ada!” sahut Fahmi tegas, memeluknya lebih erat. Dada Rina kini menempel lekat pada dada bidang Fahmi. Ia gelagapan, netra mereka saling bertemu. “Fah-Fahmi …,” pekiknya nyaris tercekat. “Jangan mati di depan mataku! Nggak akan aku biarkan kamu mati …,” ucap Fahmi dengan suara bergetar namun penuh ketegasan. Satu lengannya merangkul pinggang, sementara tangannya yang lain terangkat, menyentuh tengkuk Rina dengan lembut. “Kamu jangan sok tau!” “Memang ada masalah apa sampai kamu mau menenggelamkan diri begini?!” Fahmi menatapnya serius. Rina akhirnya meledak. “Suamiku selingkuh! Sama aku dia terlihat jijik! Tapi sama perempuan lain dia menikmatinya!” Fahmi menarik napas dalam, suaranya menurun lebih lembut. “Kalau suamimu bisa selingkuh … kenapa kamu tidak membalasnya dengan cara yang sama?” Bersambung“Tidak …,” pekik Rina lirih. Derai air mata semakin deras membasahi pipinya.Bahkan layar ponselnya pun terbasahi tetesan air mata itu.Foto terakhir ini menampakkan Ervan mencium bibir wanita berseragam putih-putih itu. Walau diambil dari jarak jauh dan dengan mode zoom, tapi cukup jelas untuk memperlihatkan jika si pria yang ada di dalam foto ini memang suaminya!“Jadi … ternyata alasan kamu sering pulang telat dan dingin sama aku selama satu tahun ini adalah dia?” gumam Rina dengan suara bergetar.“Tega-teganya kamu Van … Salah apa aku sama kamu?” lanjutnya sembari terbayang kembali jika ia rela mengundurkan diri dari jabatannya sebagai manager di sebuah restoran hotel bintang lima demi menjadi istri yang baik dan berbakti.Nafasnya naik turun. Emosinya benar-benar menguasainya. Udara malam pun terasa semakin menusuk.Ia duduk termenung di ruang tamu berjam-jam lamanya. Matanya terus menatap layar ponsel. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Rumah terasa semakin ha
Fahmi cepat mengerjap, lalu mendekat.“Minggir, biar aku yang atasi.”Fahmi mendekat. Otomatis ia pun ikut basah karena semburan air yang muncrat ke mana-mana.Rina melirik ke arah Fahmi yang kini pakaiannya sama seperti dia. Basah kuyup. Kemeja kasualnya menapak jelas pada tubuhnya. Menerawang karena basah, dan hal itu membuat tubuh atletis sixspacknya terlihat jelas.“Tenang aja … Gak apa-apa. A-aku bisa—”“Percaya sama aku,” potong Fahmi cepat. Ia langsung membuka kemejanya yang sudah basah untuk menyumbat sementara pipa yang bocor. Lalu kemudian bertanya pada Rina, “Kamu punya kunci pipa? Atau kunci inggris?”“Ada di kolong wastafel,” jawab Rina secepat kilat.Ia meraih kunci pipa di bawah wastafel, memutar katup utama dengan cekatan. Dalam hitungan detik, semburan air berhenti.Suasana mendadak hening.Rina berdiri terpaku, baju rumah tipisnya menempel di tubuh karena basah kuyup. Rambutnya berantakan, wajahnya masih penuh cipratan air. Pakaiannya lebih basah dari Fahmi tadi. Bah
Rina membeku, matanya melebar tak percaya. Sementara Fahmi menahan napas, tubuhnya kaku di bawahnya. Hangat dan lembut, sentuhan itu membuat dada mereka sama-sama bergemuruh.Rina buru-buru menjauh, wajahnya memerah padam. “A-aku … aku nggak sengaja …” suaranya nyaris berbisik.“Rina …” Fahmi menatapnya, masih terengah. Bibirnya terasa hangat, matanya tak bisa lepas dari sosok Rina yang panik.Sunyi memenuhi ruangan itu. Hanya desiran napas mereka berdua yang terdengar.“A—aku harus pulang, terima kasih makanannya .…”Rina pun buru-buru merapikan bajunya dan pergi meninggalkan Fahmi yang masih tak bergerak.Sekeluarnya dari pintu, Rina langsung memijat keningnya yang berkedut.Gila! Aku baru saja berciuman dengan tetangga baruku?!***Suasana rumah malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Angin dari celah jendela hanya membawa dingin, tidak membawa ketenangan bagi Rina.Ia masih gelisah sejak pulang dari rumah Fahmi, terbayang-bayang kelembutan yang mendarat di bibirnya oleh sang t
Tok … tok … tok …Pagi itu, suara ketukan terdengar di pintu utama rumah Rina. Ia yang sedang merapikan meja makan langsung menoleh. Alisnya berkerut. Jarang ada tamu sepagi ini, apalagi Ervan sudah berangkat lebih dulu ke rumah sakit sejak subuh.Dengan langkah hati-hati, ia mendekat dan membuka pintu. Matanya langsung bertemu dengan sosok pria asing yang berdiri di teras.Seorang pria tinggi, mungkin hampir 180 cm. Tubuhnya tegap dengan bahu bidang, terlihat jelas meski hanya mengenakan kemeja biru laut lengan panjang yang digulung hingga siku dan celana bahan chinos warna abu-abu yang rapi membuatnya terlihat formal sekaligus santai.Rambut hitamnya agak berantakan, seperti baru saja ditata seadanya dengan jari, memberi kesan alami. Rahangnya tegas, kulitnya sawo matang bersih, dan sorot matanya … hangat sekaligus tajam, seakan mampu menembus isi hati orang yang ditatapnya.Rina nyaris kehilangan kata.“Selamat pagi,” sapa pria itu dengan senyum menawan, memperlihatkan lesung pipit
“Tolong … lebih keras, Sayang …,” bisik Rina dengan napas tersengal.Ranjang mereka bergoyang, deritnya beradu dengan detak jantung Rina yang semakin terpompa.Di tengah pergumulan itu, rambut panjangnya terurai, menutupi sebagian wajahnya yang kini menatap suaminya.Tapi yang Rina lihat justru membuat dadanya sesak, Ervan–suaminya, bahkan tak menunjukkan minat, seolah tubuhnya bergerak hanya demi kewajiban dan naluri prianya saja.“Ah …,” suara lirih itu lolos begitu saja dari bibir Rina. Ia meremas rambut suaminya yang berpotongan sangat rapi itu. Tiba-tiba saja suara dering ponsel Ervan berdering.Mendengar dering ponselnya, Ervan langsung melepaskan tubuh Rina. Ia menjauh. Seolah istrinya tidak penting, sedangkan gawainya adalah hal yang paling membuatnya tertarik.Ervan sudah menjauh. Nafasnya berat, tubuhnya jatuh ke sisi ranjang.Rina mengernyitkan keningnya. “Van … Kamu ngapain? Siapa yang kirim pesan malam-malam begini?”Ervan sudah bangkit, meraih baju tidurnya, lalu berjala