Home / Romansa / Terjebak Hasrat Terlarang Tetanggaku / Pelukan hangat di kolam renang

Share

Pelukan hangat di kolam renang

Author: Risya Petrova
last update Last Updated: 2025-09-12 19:27:13

“Tidak …,” pekik Rina lirih. Derai air mata semakin deras membasahi pipinya.

Bahkan layar ponselnya pun terbasahi tetesan air mata itu.

Foto terakhir ini menampakkan Ervan mencium bibir wanita berseragam putih-putih itu. Walau diambil dari jarak jauh dan dengan mode zoom, tapi cukup jelas untuk memperlihatkan jika si pria yang ada di dalam foto ini memang suaminya!

“Jadi … ternyata alasan kamu sering pulang telat dan dingin sama aku selama satu tahun ini adalah dia?” gumam Rina dengan suara bergetar.

“Tega-teganya kamu Van … Salah apa aku sama kamu?” lanjutnya sembari terbayang kembali jika ia rela mengundurkan diri dari jabatannya sebagai manager di sebuah restoran hotel bintang lima demi menjadi istri yang baik dan berbakti.

Nafasnya naik turun. Emosinya benar-benar menguasainya. Udara malam pun terasa semakin menusuk.

Ia duduk termenung di ruang tamu berjam-jam lamanya. Matanya terus menatap layar ponsel. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Rumah terasa semakin hampa, hanya suara detik jam yang terdengar menemani kegelisahannya.

Tangan Rina bergetar saat mencoba menelepon Ervan. Sekali, dua kali, tiga kali. Panggilannya tidak pernah dijawab. Dadanya semakin sesak. “Kenapa teleponku nggak kamu angkat?” bisiknya lirih, seperti sedang berbicara pada dirinya sendiri.

Akhirnya ia mengetik pesan.

“Kenapa teleponku tidak kamu angkat? Aku menunggumu pulang. Ini sudah jam sebelas malam. Apa kamu akan pulang terlambat lagi?”

Jantungnya berdebar ketika notifikasi balasan masuk.

“Aku sudah bilang jangan tunggu aku saat mau berangkat. Makanya kalau suami ngomong itu dengerin!”

Rina menatap layar itu lama, lalu jari-jarinya kembali mengetik.

“Cepat pulang, aku menunggumu. Ada yang harus kita bicarakan. Hal penting.”

Ia berharap Ervan akan tersentak dengan kalimat itu, berharap suaminya merasa ada yang mendesak dan segera pulang. Namun beberapa detik kemudian, balasan masuk lagi.

“Hal penting apa sih? Sudahlah … jangan tunggu aku pulang. Tidur duluan saja.”

Rina tertegun. Pesan itu nyaris bukan kalimat seorang suami. Tidak ada perhatian, tidak ada kehangatan. Hanya dingin, seakan ia bukan pasangan hidup, melainkan orang asing yang tak layak dipedulikan.

Matanya memanas. Sakit yang tadi sore ia rasakan ketika melihat foto-foto Ervan bersama perempuan lain kini kembali menikam.

Ingatan itu muncul dengan jelas: suara perempuan misterius dari balik pintu kamar mandi, ekspresi sinis Ervan ketika ditanya, dan kini foto-foto yang dikirim Dea. Senyum lebar Ervan dan tatapan hangatnya yang hanya ditujukan pada perempuan lain. Juga ciuman manis Ervan di bibir perempuan itu benar-benar menghujam hatinya seperti sembilu tajam.

Rina duduk di kursi santai halaman belakang rumah, menatap kolam renang yang terpantul cahaya lampu taman. Airnya tenang, berkilau, seolah mengejek hatinya yang bergemuruh. Nafasnya berat, dadanya penuh sesak seperti tertindih batu besar.

Ia menutup wajah dengan kedua tangan, tubuhnya bergetar. “Apa aku sudah tidak berarti lagi buatmu, Van? Apa semua ini cuma kebodohanku saja?” bisiknya lirih. “Aku yang cuman kecintaan sama kamu?”

Beberapa menit ia hanya terdiam, sampai tiba-tiba rasa sesak itu memuncak. Tanpa sadar, tubuhnya bergerak cepat. Ia berdiri, berteriak keras, lalu berlari kencang menuju kolam. Dengan pakaian lengkap gaun tidur malam berbahan satin yang tipis warna pink dusty, ia melompat.

Byuuur!

Suara cipratan besar memecah keheningan malam. Riak air menyebar, bergelombang, membentur tepi kolam.

Namun berbeda dengan biasanya, kali ini tubuh Rina tidak berusaha berenang. Ia hanya membiarkan tubuhnya meluncur turun ke dasar, seakan menyerahkan dirinya pada dingin dan tekanan air.

Air dingin merayap ke seluruh tubuh Rina. Matanya terasa berat, pandangannya mulai menggelap. Dadanya tertekan, paru-parunya menjerit minta udara. Namun ia pasrah.

“Kalau memang ini akhirnya, mungkin lebih baik begini …,” batinnya lirih.

Semua suara lenyap, hanya gemuruh air di telinga. Ia merasa tubuhnya makin tenggelam, gaun tidur tipisnya berayun pelan dalam air. Rambut panjangnya melayang tak beraturan.

Saat pandangannya hampir gelap total, tiba-tiba cahaya lampu taman yang memantul dari permukaan air seakan terpecah. Ada bayangan hitam yang menyelam cepat. Sesuatu meraih pinggangnya dengan kokoh, lalu tangan itu menahannya erat.

Sekejap tubuh Rina tersentak. Lalu, hangat bibirnya disentuh sesuatu yang lembut. Napas. Oksigen yang begitu ia rindukan mengalir masuk, membuat paru-parunya terbakar sekaligus hidup kembali.

“Ervan, apa itu kamu?” bisiknya dalam hati, meski suaranya tak keluar. Hati kecilnya begitu berharap suaminya lah yang datang.

Tubuhnya kini ditarik naik, melewati riak air yang berkilau di bawah cahaya lampu taman. Hingga akhirnya,

Byuur!

Kepalanya menembus permukaan. Udara malam yang dingin langsung menyambar wajahnya. Ia terbatuk hebat, paru-parunya bekerja keras.

Rina juga mendengar suara napas berat, dekat sekali dengan telinganya. Ia menoleh, matanya setengah kabur karena air dan sesak napas.

Pria yang tadi ia pikir suaminya … ternyata bukan!

Pria itu ….

“Fa-Fahmi …?” suaranya serak, nyaris tak percaya siapa yang dengan sigap menyelamatkannya.

“Ya ini aku … Tetanggamu,” jawab Fahmi sambil masih merangkul pinggang Rina. “Apa yang kamu lakukan Rin?!” serunya dengan mimik sedikit kesal. “Kamu mau mati? Kalau ada masalah, jangan bunuh diri di kolam renang yang keliatan dari jendela kamarku dong!”

Kening Rina berkerut, ia jadi kesal dimarahi Fahmi. “Kenapa kamu marah? Nggak ada urusannya sama kamu ya!”

“Ada!” sahut Fahmi tegas, memeluknya lebih erat.

Dada Rina kini menempel lekat pada dada bidang Fahmi. Ia gelagapan, netra mereka saling bertemu. “Fah-Fahmi …,” pekiknya nyaris tercekat.

“Jangan mati di depan mataku! Nggak akan aku biarkan kamu mati …,” ucap Fahmi dengan suara bergetar namun penuh ketegasan. Satu lengannya merangkul pinggang, sementara tangannya yang lain terangkat, menyentuh tengkuk Rina dengan lembut.

“Kamu jangan sok tau!”

“Memang ada masalah apa sampai kamu mau menenggelamkan diri begini?!” Fahmi menatapnya serius.

Rina akhirnya meledak. “Suamiku selingkuh! Sama aku dia terlihat jijik! Tapi sama perempuan lain dia menikmatinya!”

Fahmi menarik napas dalam, suaranya menurun lebih lembut.

“Kalau suamimu bisa selingkuh … kenapa kamu tidak membalasnya dengan cara yang sama?”

 

Bersambung

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjebak Hasrat Terlarang Tetanggaku   Ingin mesra-mesraan

    Fahmi tidak bisa merajut alasan. Semua alasan yang sudah tertata di dalam kepalanya mendadak terasa konyol dan tidak penting.“Aku … aku ke mari karena ingin bertemu denganmu, Rin,” jawab Fahmi jujur, mengakui perasaannya tanpa tedeng aling-aling. “Aku tahu kamar Mama kamu sudah kosong, jadi aku menelepon kamu untuk memastikan. Aku panik kamu sudah kembali ke Jakarta.”Rina mendesah. Ia menatap Fahmi dengan tatapan yang mengingatkannya pada janji mereka. “Bukannya kita sudah janji, ya, untuk sementara jangan ketemu dulu? Sampai suasana tenang? Kita nyaris ketahuan Aqila tadi malam, Mi!”“Aku tahu, dan aku minta maaf soal itu,” Fahmi meraih tangan Rina, tetapi Rina menariknya menjauh. “Tapi, Rin, dengerin aku. Aqila sudah pergi. Dia sekarang sudah di jalan menuju Cianjur lalu pasti menyusul ke tempat di mana keluarga besarnya membawa Kekey holiday. Dia akan lama di sana. Ervan juga sudah pulang duluan ke Jakarta. Aku tahu itu.”Rina terkejut. Matanya membola. “Kamu … kamu tahu Ervan su

  • Terjebak Hasrat Terlarang Tetanggaku   Sudah sepi

    Fahmi menginjak pedal gas, mobilnya melaju kencang membelah kepadatan lalu lintas pagi kota Bogor. Pikirannya dipenuhi satu nama: Rina. Percakapan Claudia dengan Ervan tadi, yang ia dengar tanpa sengaja, menjadi informasi vital yang mengubah rencananya. Rina sendirian di Bogor. Ini adalah celah kesempatan yang besar.Ia tidak peduli lagi dengan Aqila untuk sesaat. Fokusnya kini adalah mencari Rina, mengajaknya bicara, dan menghabiskan waktu bersamanya tanpa ada bayangan Ervan yang mengintai.Setibanya di rumah sakit, Fahmi memarkir mobilnya asal-asalan dan langsung bergegas masuk. Ia bergerak cepat menuju area rawat inap VIP. Jantungnya berdebar kencang, bukan karena kelelahan, melainkan karena takut. Takut Rina sudah pergi.“Kamar VIP Bu Ratih,” ucap Fahmi terengah-engah pada perawat yang ditemuinya di lorong.Perawat itu menunjuk ke salah satu kamar di ujung lorong. Fahmi langsung berlari.Sesampainya di depan pintu kamar tersebut, Fahmi menarik napas dalam-dalam, lalu mendorong pin

  • Terjebak Hasrat Terlarang Tetanggaku   Selalu kangen Rina

    “Membantu? Membantu apa? Membuat anak kita lupa siapa orang tuanya yang sebenarnya? Kita yang wajib mendidik dan menemani tumbuh kembang Kekey. Orang tuamu sebagai Nenek Kakek boleh main bareng sama cucunya. Tapi nggak menguasai begini!” Fahmi berjalan mendekat, menatap Aqila dengan mata memerah. “Kamu sudah tahu aku nggak suka dengan campur tangan ini, tapi kamu selalu diam! Kamu selalu membiarkan mereka, seolah-olah kamu nggak percaya aku bisa jadi Ayah yang baik! Aku muak dengan semua ini!”Aqila terdiam. Biasanya, ia akan langsung terpancing dan melawan, berteriak bahwa Fahmi tidak punya hak mengatur ibunya. Namun, entah kenapa, firasat dan kata hatinya malam itu memperingatkannya. Kata-kata Fahmi tadi malam terngiang jelas di benaknya, ‘Sisa satu talak lagi yang aku punya untukmu … Aqila.’Ia tidak boleh mengambil risiko. Ia tidak boleh kehilangan Fahmi sekarang. Apa lagi kata-kata Mina yang memberitahunya kalau ada wanita bersama Fahmi!Aqila memilih mengalah. Ia menarik nafas p

  • Terjebak Hasrat Terlarang Tetanggaku   Kemuakan Fahmi

    “Kamu sudah sarapan, Rin?” tanya Ervan saat mereka bersiap berangkat ke rumah sakit. Ia memegang tangan Rina sejenak, sesuatu yang sudah lama tidak ia lakukan.Rina menarik tangannya perlahan. “Sudah tadi di kamar. Ayo, kita cepat ke rumah sakit. Lebih cepat Mama pulang, lebih cepat kita bisa kembali ke Jakarta.”Ervan mengangguk, menyembunyikan kekecewaannya karena Rina menolak sentuhannya.Sesampainya di rumah sakit, semua berkas kepulangan Bu Ratih sudah selesai disiapkan. Bu Ratih sudah duduk di kursi roda, wajahnya terlihat jauh lebih segar. Rina sudah membayangkan ibunya akan beristirahat di rumah mereka di Jakarta, di bawah pengawasan dokter pribadi.“Mama sudah siap ke Jakarta, kan?” tanya Rina, tangannya memegang bahu sang ibu.Bu Ratih tersenyum dan menggeleng pelan. “Tidak, Sayang. Mama tidak mau ke Jakarta dulu.”Rina dan Ervan saling pandang, terkejut.“Kenapa, Ma?” tanya Rina.“Mama mau di rumah saja. Di sini, di Bogor. Ada Mbak Sumi yang nemenin Mama. Mama belum kuat ka

  • Terjebak Hasrat Terlarang Tetanggaku   Menyesal

    Rina keluar dari lift di lantai tujuh. Koridor itu terasa sangat panjang dan sunyi, kontras dengan ketegangan mencekam yang baru saja ia alami di lantai sembilan. Setiap langkahnya terasa berat. Ia baru saja lolos dari konfrontasi ganda. Konfrontasi dengan Claudia dan konfrontasi dengan Aqila. Kenangan akan pelukan erat Fahmi di sudut gelap tadi masih melekat, memberikan kehangatan palsu di tengah dinginnya kenyataan. Namun, kini ia harus kembali ke kenyataan yang paling pahit. Kamar 708, tempat suaminya, si pengkhianat manipulatif ulung sedang tidur.Dengan kunci kartu di tangan, Rina membuka pintu kamar 708 perlahan. Ia menggeser pintu itu tanpa suara, mencoba menyelinap masuk seperti tikus.Namun, ia gagal.Sesaat setelah Rina menutup pintu di belakangnya, sebuah suara serak dan berat memecah keheningan.“Dari mana saja kamu?”Rina terkesiap. Ervan tidak tidur nyenyak seperti yang ia bayangkan. Suaminya sudah duduk di tepi ranjang, punggungnya bersandar pada sandaran kepala. Air m

  • Terjebak Hasrat Terlarang Tetanggaku   Sisa satu talak

    Aqila langsung menoleh, ponsel masih menempel di telinganya. Netra mereka bertemu tatap. “Apanya yang makin kacau, Qi?” tanya Fahmi dengan suara datar. “Kamu ngobrol sama siapa malam-malam begini?”Jantung Aqila berdebar kencang, nyaris meledak. Ia mengambil nafas dalam-dalam, mengatur ekspresi wajahnya agar terlihat kesal, bukan takut. Ini adalah saatnya ia menggunakan profesi sebagai tameng.“Aku ngobrol sama Sasa, temenku, sesama model juga,” jawab Aqila, menurunkan ponselnya sedikit. “Aku kan izin pulang mendadak, padahal masih ada beberapa sesi pemotretan di Bali. Sesi pemotretan mereka jadi kacau. Biasalah, urusan kerjaan. Aku harus menjelaskan ke dia kalau aku nggak bisa balik secepat itu.”“Oh ….” Fahmi mengangguk pelan. Alasan itu terdengar logis. Ia terlalu lelah untuk menginterogasi panggilan telepon pekerjaan. Ia percaya Aqila karena urusan model memang sering serba mendadak dan kacau.“Sudahlah. Katakan saja besok pagi kamu akan selesaikan urusan itu. Sekarang waktunya t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status