Share

Ciuman liar di kolam renang

Penulis: Risya Petrova
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-20 23:32:19

"Jangan ngasal kalau ngasih saran, Fahmi," tukas Rina sembari berusaha melepaskan pelukan dari pria itu.

Namun Fahmi sepertinya enggan melepaskan Rina. Tubuhnya masih terhuyung di dalam pelukan Fahmi. Bibirnya masih merasakan sisa hangat yang barusan menyentuhnya, sebuah ciuman yang tiba-tiba, liar, tapi entah mengapa ia tidak sempat menolaknya. Malah, sebentar tadi, dirinya sempat membalas.

Fahmi menatap netra Rina langsung ke dalam manik matanya. Membuat Rina malah makin gelisah. Sebelah tangan Fahmi yang melingkari pinggang Rina itu semakin erat dan menempel. Sedangkan sebelah tangan lainnya, menangkup tengkuk Rina. 

Mata mereka saling menatap. Begerak dari netra dan turun ke arah bibir.

Fahmi kembali mendaratkan bibirnya yang mulai menggigil itu pada bibir Rina. Sekilas ia merasakan Rina sedikit membalas ciumannya.

Namun belum juga semenit, Rina tersentak, buru-buru mendorong dada Fahmi dengan kedua tangannya. Air cipratan dari gerakan itu memercik lagi ke wajah mereka. Nafasnya tersengal, jantungnya berdegup tak karuan.

“Cukup, Fahmi! Gila kamu!” suaranya serak, basah, dan bergetar. “Kenapa kamu ke sini? Kenapa kamu segala menolong aku sih?! Lebih baik … lebih baik kamu nggak usah ikut campur dalam urusanku. Nggak usah menolongku!”

Fahmi menatapnya dalam, mata gelapnya berkilat di bawah cahaya lampu taman. Rambutnya yang basah menetes, membentuk garis air di pipinya. Dada bidangnya naik turun cepat, masih menahan emosi.

“Kalau aku nggak ikut campur, kamu sudah mati, Rin!” seru Fahmi, nadanya tegas dan lebih keras. “Kamu sadar nggak apa yang baru kamu lakukan tadi? Kamu sengaja menenggelamkan diri! Kamu bisa mati beneran! Konyol banget tindakanmu ini!"

“Aku nggak peduli!” balas Rina terbata. Matanya basah, bukan hanya karena air kolam, tapi juga air mata yang bercampur.

Fahmi mengibaskan tangannya ke air dengan frustrasi. “Kamu pikir mati itu solusi?! Apa kamu kira dengan bunuh diri semua masalahmu selesai?! Kamu cuma lari, Rin. Kamu lari dari luka, bukan hadapi dia!”

Kata-kata itu menampar hati Rina. Ia terdiam, menggigil, matanya menatap kosong. Tapi di wajahnya ada kemarahan yang bercampur malu.

“Kenapa kamu cerewet sekali?!” bentaknya. “Kamu bahkan bukan siapa-siapa dalam hidupku! Kamu cuma tetangga! Jadi jangan seenaknya mengaturku! Dan … jangan sok tau!”

Fahmi maju setengah langkah, menatapnya lebih dekat. “Aku mungkin cuma tetangga, tapi aku nggak sanggup lihat kamu menyakiti dirimu sendiri. Kamu butuh teman bicara, Rin. Kalau kamu nggak bisa cerita sama Ervan, kalau kamu nggak bisa cerita sama siapa pun, cerita sama aku! Jangan pakai cara bodoh kayak tadi. Kamu bisa berenang, tapi kamu memilih tenggelam, itu nggak lucu sama sekali!”

Rina tercekat. 

Kata-kata Fahmi menusuk seperti pisau. Ia tahu pria itu benar. Tapi egonya, rasa malunya, membuatnya menoleh ke arah lain. Ia berusaha berenang ke tepi kolam, lalu naik. Tubuhnya gemetar, gaun tipisnya menempel erat di kulit, memperlihatkan lekuk tubuhnya yang indah.

Fahmi ikut naik, langkahnya berat, air menetes dari celana panjangnya yang kini melekat di paha dan betis. Dada bidangnya, perut six-pack yang basah, berkilau di bawah lampu taman. Nafasnya masih berat.

Rina menunduk cepat, pipinya memanas. Tapi di sela-sela lirikan kecil, matanya sempat menangkap tubuh Fahmi yang tegap dan kekar. Degup jantungnya semakin tidak karuan.

“Pulanglah, Fahmi,” ucap Rina akhirnya dengan suara pelan, namun tegas. “Aku nggak butuh kamu di sini. Aku … aku bisa sendiri.”

Fahmi berdiri tegak, air menetes dari rambut dan dagunya. Tatapannya menusuk.

“Aku nggak akan pulang.”

Rina mendongak, tak percaya. “Apa?!”

“Aku nggak bisa ninggalin kamu kayak gini,” tegas Fahmi. “Aku tahu kalau aku pergi, kamu akan coba nyakitin dirimu lagi. Jadi jangan harap aku bakal pergi.”

“Fahmi, jangan keras kepala! Aku bilang pergi, ya pergi!” suara Rina meninggi, nyaris teriak.

“Terserah kamu marah. Aku tetap di sini. Jaga kamu ….”

Rina geram. Ia melangkah cepat, tubuhnya masih basah kuyup, dan menarik lengan Fahmi dengan paksa. “Kalau kamu nggak mau pergi, aku yang akan menyeretmu keluar!”

Namun tubuhnya sendiri terlalu lemah. Tenaganya habis, kakinya goyah. Dan dalam hitungan detik, bukannya Fahmi yang terjatuh, justru dirinya sendiri yang kehilangan keseimbangan.

“Ahh—!” pekiknya.

Tubuh Rina menimpa dada Fahmi. Mereka berdua jatuh bersamaan di lantai marmer yang licin, menghasilkan suara berdebam pelan dan cipratan air dari sisa tubuh yang masih basah.

Rina terbaring di atas tubuh Fahmi, wajahnya hanya beberapa sentimeter dari wajah pria itu. Nafasnya memburu, matanya membulat. Fahmi menatapnya tajam, bibirnya hanya sejengkal dari bibir Rina.

Waktu terasa berhenti.

Jari-jari Fahmi bergerak perlahan, menyusuri pipi Rina yang masih basah. Sentuhan itu lembut, begitu hati-hati seolah ia takut Rina hancur jika disentuh kasar.

“Rin …,” suaranya parau, penuh emosi. “Aku nggak bisa lihat kamu kayak gini. Aku nggak tahan liat kamu seperti ini ….”

Sebelum Rina sempat berkata apa-apa, bibir Fahmi sudah menempel lagi pada bibirnya. Kali ini lebih dalam, lebih intens, penuh gairah sekaligus kepedihan.

Rina sempat kaget, ingin menolak, tapi tubuhnya lemas. Hatinya yang rapuh seperti tak mampu melawan kehangatan itu. Dan entah bagaimana, dalam sekejap, ia membalas ciuman itu. Tangannya tanpa sadar mencengkeram baju Fahmi yang basah, tubuhnya bergetar di pelukan pria itu.

Sakit hatinya pada Ervan, rasa sepinya, semuanya melebur dalam satu kehangatan yang Fahmi tawarkan.

Detik demi detik mereka larut dalam ciuman yang panjang dan dalam. Dunia serasa hanya milik mereka berdua.

Namun tiba-tiba—

Brummm…

Suara mesin mobil terdengar dari depan rumah. Lampu sorot menembus halaman.

Rina tersentak, matanya membesar. Dengan cepat ia melepaskan diri dari pelukan Fahmi, tubuhnya gemetar.

“Itu … itu mobil Damar!” bisiknya dengan panik. “Padahal katanya, dia akan pulang terlambat lagi seperti biasanya!”

Fahmi menoleh ke arah depan rumah. Jantungnya ikut berdegup keras. Ia tahu, dalam hitungan detik, keadaan akan berubah drastis.

Rina buru-buru berdiri, mencoba menata gaun tidurnya yang basah kuyup, sementara Fahmi bangkit perlahan, matanya tak lepas dari Rina.

Keduanya tahu, apa yang baru saja terjadi … bukan sesuatu yang bisa dengan mudah dijelaskan jika dilihat oleh Damar.

Dan mobil Damar kini sudah berhenti di halaman depan rumah Rina!

Bersambung

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Marlien Cute
Kenapa nama Ervan jadi Damar?!.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Terjebak Hasrat Terlarang Tetanggaku   Indra emosi

    Lorong VIP rumah sakit begitu tenang. Lampu-lampu di langit-langit menyinari lantai yang mengilap, aroma antiseptik menyatu dengan dinginnya udara AC. Pintu bertuliskan VIP Eksklusif terbuka perlahan, menampilkan pemandangan dua perawat perempuan yang baru saja keluar. Mereka tersenyum ramah pada Sarah dan Indra, lalu berlalu.Sarah menahan napas, dadanya sesak. Ia menatap ke dalam ruangan.Bondan terbaring di ranjang dengan selang infus menempel di tangannya. Wajahnya pucat, matanya terpejam rapat. Helaan napasnya pelan, seolah tubuh itu sedang berjuang melawan rasa sakit.“Bondan belum siuman,” ucap Indra pelan, nyaris berbisik.Namun baru saja kalimat itu selesai meluncur, terdengar suara serak tapi jelas dari ranjang.“Aku sudah sadar. Hanya operasi pengangkatan peluru di lengan. Cuma nyerempet.”Sarah terperanjat. Indra spontan menoleh.“Astaga … cuman katamu?” Sarah melangkah cepat ke sisi ranjang, menatap lengan Bondan yang dibalut perban tebal. “Kamu bisa kehilangan nyawa, Da

  • Terjebak Hasrat Terlarang Tetanggaku   Sentuhan hangat dibawah guyuran hujan

    Rina berdiri terhuyung di bawah payung kecil yang nyaris tak mampu melindungi tubuh mereka berdua. Nafasnya memburu, bukan hanya karena dingin, tapi karena bibir Fahmi baru saja melumat bibirnya tanpa ampun.Dan anehnya, ia tidak mendorong pergi.Ia membiarkan. Ia menikmati. Ia kehilangan kendali.“Mi ….” Suara Rina lirih, terhenti di antara helaan napas.Fahmi tidak menjawab. Ia kembali meraih wajah Rina, menempelkan keningnya di kening perempuan itu. Tatapannya tajam, penuh rasa yang menuntut diakui. “Aku udah terlalu lama nahan, Rin. Aku nggak bisa lagi pura-pura nggak peduli.”Rina menelan ludah, tubuhnya bergetar. “Tapi … ini salah ….”“Terserah orang mau bilang apa. Aku cuma tahu … aku butuh kamu.” Suara Fahmi terdengar parau, nyaris pecah oleh hasrat yang sudah tak bisa ia bendung.Rina tak sempat lagi mengelak. Bibir Fahmi kembali menubruk bibirnya, lebih dalam, lebih liar. Hujan deras jadi musik pengiring, menenggelamkan suara debar jantung mereka.Rina mendesah kecil, jemari

  • Terjebak Hasrat Terlarang Tetanggaku   Ternyata cinta dari pandangan pertama

    “Aku lihat dari tadi kamu gelisah, Rin. Kamu nggak bisa tidur, kan?” suara Fahmi tiba-tiba memecah keheningan kamar rumah sakit yang dingin.Rina menoleh pelan, matanya masih sembab. Ia duduk di kursi dekat ranjang ibunya, memegang jemari Bu Ratih yang terlelap dengan selang oksigen masih menempel. “Aku … takut, Mi. Takut Mama kenapa-kenapa kalau aku tinggalin sebentar.”Fahmi melangkah mendekat, tangannya masuk ke saku celana jeans. “Perawat di luar bisa jagain. Kita cuma keluar sebentar. Kamu butuh makan, Rin. Kopi juga biar nggak makin drop. Biar semangat.”Rina tersenyum tipis, lalu menggeleng cepat. “Nggak usah, Mi. Aku nggak lapar.”“Lapar nggak lapar, kamu tetep harus isi perut. Aku tahu kamu dari sore belum makan bener.” Suara Fahmi lembut tapi tegas. “Kalau kamu sakit, siapa yang jagain Mama kamu?”Rina terdiam. Kata-kata itu masuk di telinganya, meski hatinya masih berat. Ia menoleh ke mamanya yang tertidur tenang, lalu menghela napas panjang. “Ya udah … tapi sebentar aja, M

  • Terjebak Hasrat Terlarang Tetanggaku   Ketika setia menjadi luka

    Rina masih berdiri di depan pintu ruang rawat, ponsel menempel di telinganya. Suara Ervan di seberang begitu jelas terdengar, datang bersama nada yang menusuk jantungnya.“Aku di rumah sakit, Van. Mama sakit, dirawat di sini,” ucap Rina akhirnya, dengan suara serak menahan tangis. “Aku tadi buru-buru ke sini, jadi belum sempat kasih kabar.”Beberapa detik hening. Lalu terdengar helaan napas berat dari seberang. “Mama kamu sakit?” tanya Ervan singkat.“Iya, Van … Mama drop mendadak. Aku panik. Aku di sini dari sore." Rina menjawab setengah berbohong karena ia baru datang sekitar hampir jam sebelas malam.Ervan tidak langsung menjawab. Hanya bunyi tarikan napasnya yang terdengar. Ada jeda panjang, yang sempat membuat hati Rina berharap. Mungkin, kali ini Ervan akan mengatakan sesuatu yang hangat. Mungkin ia akan langsung menyusul ke rumah sakit.Namun, harapan itu buyar seketika.“Aku nggak bisa ke sana. Besok aku full operasi. Tiga jadwal sekaligus. Aku nggak bisa ninggalin. Kamu tahu

  • Terjebak Hasrat Terlarang Tetanggaku   Tidak tahan untuk membalas

    Malam itu berjalan lambat. Fahmi akhirnya menawarkan diri berjaga di samping Bu Ratna. “Kamu tiduran aja, Rin. Di sofa panjang itu. Aku yang di sini.”Rina sempat menolak. “Nggak usah, Mi. Kamu pasti capek. Dari tadi kamu udah nemenin aku. Aku jadi nggak enak hati.”Tapi Fahmi bersikeras. “Aku yang capek … itu nggak penting. Kamu yang harus jaga tenaga buat Mama kamu. Istirahat. Lagian ngapain jadi nggak enak hati sih?”Akhirnya, dengan berat hati, Rina menuruti. Ia rebah di sofa panjang di sudut ruangan. Namun sebelum tertidur, ia sempat menoleh lewat pintu kaca.Yang ia lihat membuat hatinya tersentuh. Fahmi duduk di samping ranjang Bu Ratih. Ia menepikan kursinya hingga dekat sekali. Tangannya membetulkan selimut di dada Bu Ratih dengan hati-hati, bahkan sesekali mengusap pelan punggung tangannya sendiri di atas jemari tua itu.Pemandangan itu menusuk Rina dalam-dalam. Ada rasa syukur … tapi juga ada sesuatu yang lebih, sesuatu yang ia tahu tak seharusnya tumbuh.Rina memejamkan ma

  • Terjebak Hasrat Terlarang Tetanggaku   Dia

    Belum sempat Rina membuka suara lagi untuk menanyakan maksud ucapan Fahmi, apa yang akan diinginkannya besok, suara langkah tergesa terdengar. Seorang perawat menghampiri, mengetuk pintu pelan.“Ibu Rina,” suster itu menunduk sopan, “ibu Anda, Bu Ratna, sudah dipindahkan ke ruang rawat. Kondisinya lebih stabil sekarang.”Degup jantung Rina yang tadi kacau sedikit reda. Ia mengangguk cepat. “Iya … terima kasih, Suster.” Ia bangkit, hampir melupakan Fahmi yang masih duduk di samping. Tanpa banyak pikir, ia mengikuti suster itu dengan langkah tergesa. Fahmi bangun dan berjalan di belakangnya, matanya tak lepas dari punggung Rina yang tampak rapuh sekaligus kuat.Setibanya di ruang rawat, Rina langsung terpaku. Ibunya, Bu Ratna, terbaring lemah dengan selang oksigen yang masih menempel, mata terpejam. Wajahnya pucat, namun napasnya jauh lebih teratur dibanding ketika tadi di IGD. “Mama ….” Suara Rina bergetar. Ia maju perlahan, lalu duduk di sisi ranjang. Jemarinya menggenggam tangan ibu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status