Fahmi cepat mengerjap, lalu mendekat.
“Minggir, biar aku yang atasi.” Fahmi mendekat. Otomatis ia pun ikut basah karena semburan air yang muncrat ke mana-mana. Rina melirik ke arah Fahmi yang kini pakaiannya sama seperti dia. Basah kuyup. Kemeja kasualnya menapak jelas pada tubuhnya. Menerawang karena basah, dan hal itu membuat tubuh atletis sixspacknya terlihat jelas. “Tenang aja … Gak apa-apa. A-aku bisa—” “Percaya sama aku,” potong Fahmi cepat. Ia langsung membuka kemejanya yang sudah basah untuk menyumbat sementara pipa yang bocor. Lalu kemudian bertanya pada Rina, “Kamu punya kunci pipa? Atau kunci inggris?” “Ada di kolong wastafel,” jawab Rina secepat kilat. Ia meraih kunci pipa di bawah wastafel, memutar katup utama dengan cekatan. Dalam hitungan detik, semburan air berhenti. Suasana mendadak hening. Rina berdiri terpaku, baju rumah tipisnya menempel di tubuh karena basah kuyup. Rambutnya berantakan, wajahnya masih penuh cipratan air. Pakaiannya lebih basah dari Fahmi tadi. Bahkan bra warna hitam yang dikenakannya menapak jelas pada baju putih santai ala rumahan. Fahmi menatapnya sekilas. Tapi cukup lama untuk membuat dada Rina kembali berdegup tak karuan. Kemudian netra mereka bertemu tatap lagi, dan lelaki itu cepat mengalihkan pandangan, mengambil napas dalam. “Sudah. Aman.” “Terima kasih ….” suara Rina lirih, pipinya merona. “Seharusnya aku yang minta maaf. Aku terlalu nekat langsung masuk tanpa izin,” ujar Fahmi, kali ini suaranya lebih tenang. “Tapi aku panik mendengar teriakanmu.” Rina menunduk, jari-jarinya meremas ujung baju yang basah. “Aku … nggak apa-apa. Memang kran ini sudah lama agak longgar.” Keheningan kembali menggantung. Hanya detak jantung mereka yang terdengar. Fahmi kemudian tersenyum tipis, mencoba mencairkan suasana. “Kamu butuh bantuan lagi? Aku bisa perbaiki permanen nanti sore. Aku cukup mengerti soal pipa. Penulis juga harus bisa mandiri, kan.” Rina terkekeh kecil, meski hatinya masih bergolak. “Aku nggak enak kalau merepotkan.” “Bukan merepotkan. Aku yang senang bisa menolong,” jawab Fahmi tulus. Tatapan mata mereka bertemu sesaat. Ada sesuatu yang kembali bergetar di antara keduanya—sebuah kedekatan yang tumbuh begitu saja, tanpa mereka sadari. Rina buru-buru mengalihkan pandangan, menelan ludah. Ia tahu batasannya. Ia istri orang. Tapi kenapa setiap kali bersama Fahmi, hatinya terasa … hidup? Sementara itu, jauh di lubuk hatinya, masih tersisa kecurigaan pada Ervan. Suara tawa wanita di kamar mandi semalam terus terngiang. Kata-kata Ervan yang meminta ‘buka semuanya’ juga masih mengganjal. Dan kini, kehangatan yang ditawarkan Fahmi diam-diam mulai menjadi pelarian yang berbahaya. Sementara itu, lantai dapur penuh genangan air. Bekas semburan dari kran tadi membuat ubin licin, sebagian sudah merembes hingga dekat meja makan. Rina buru-buru mengambil kain lap dan tongkat pel dari pojok dapur. Dengan gerakan tergesa ia jongkok, mengelap sisa air yang menetes, lalu berdiri untuk menggerakkan pel. Fahmi yang masih berdiri di dekat wastafel memperhatikan, kemudian mendekat. “Biar aku bantu,” katanya sambil meraih tongkat pel dari tangan Rina. Rina buru-buru menahan. “Nggak usah, Mi. Aku bisa sendiri. Kamu sudah cukup menolong tadi.” Namun Fahmi tidak melepas pandangan. Senyum hangat tergambar di wajahnya. “Rin, kalau tetangga nggak saling bantu, siapa lagi? Lagi pula kemarin kamu juga bantu aku, kan, setelah acara open house di rumahku? Kamu ikut beberes, padahal bukan kewajibanmu.” Rina terdiam sesaat. Ingatan itu muncul kembali, bagaimana ia ikut membereskan piring kotor di rumah Fahmi, membantu mengatur ulang kursi, sofa, membuang piring-piring dan gelas-gelas kertas, sementara tamu lain sudah pulang. Mau tak mau bibirnya tersenyum samar. “Iya juga, sih.” “Ya sudah,” kata Fahmi ringan. “Kita bagi tugas. Aku yang pel bagian sini, kamu lap area yang dekat meja. Biar cepat kering, nanti kamu nggak licin jalan di dapur.” Rina akhirnya mengangguk pelan. Mereka pun bergerak bersama. Suasana dapur yang tadinya tegang karena insiden air, kini berubah hangat. Sesekali tangan mereka hampir bersentuhan saat sama-sama memeras kain lap atau menggeser ember. “Seharusnya aku yang minta maaf, Rin,” ucap Fahmi di sela aktivitas. “Aku nggak sopan tadi langsung masuk rumahmu tanpa izin.” Rina menggeleng. “Kamu masuk karena panik. Aku malah bersyukur ada yang menolong. Kalau sendirian, mungkin dapurku bakalan banjur dan aku sudah basah kuyup lebih parah dari ini.” Mereka tertawa kecil bersama. Tawanya ringan, berbeda jauh dengan tawa sinis Ervan semalam yang masih menghantui ingatan Rina. Sambil membersihkan, obrolan mengalir tanpa sadar. Mereka berbicara tentang hal-hal kecil, resep brownies, kegiatan kompleks, sampai kebiasaan unik tetangga. Suasana terasa alami, seolah mereka sudah lama saling mengenal. Seperti ada benang merah yang terhubung dan mengikat. Tak terasa, lantai dapur sudah kering. Fahmi menepuk-nepuk celana panjangnya, lalu merapikan lengan kemeja yang agak kusut. “Nah, selesai sudah. Dapurmu kembali aman.” “Terima kasih, Mi. Serius, aku nggak tahu harus bilang apa,” ujar Rina tulus. Fahmi tersenyum. “Nggak usah bilang apa-apa. Aku senang bisa bantu.” Ketika ia hendak pamit, Rina tiba-tiba teringat brownies yang baru saja dibuatnya. “Tunggu sebentar.” Ia berbalik, mengambil kotak kecil berisi beberapa potong brownies yang sudah dihias stroberi. “Ini … aku baru bikin. Coba kamu cicipi,” katanya, menyodorkan kotak itu. Fahmi tampak sedikit terkejut, tapi wajahnya segera berbinar. Senyum lebar merekah, berbeda dari biasanya yang tenang. “Serius? Wah, terima kasih banyak, Rin. Aku suka cokelat, kebetulan sekali.” Rina ikut tersenyum, melihat ekspresi bahagia itu. Ada sesuatu di dada yang kembali bergetar, sesuatu yang ia takutkan sekaligus diam-diam ia rindukan. “Kalau begitu aku pulang dulu. Terima kasih lagi … untuk semuanya,” ujar Fahmi, menundukkan kepala singkat lalu melangkah pergi. Pintu rumah kembali tertutup. Keheningan menyelimuti. Rina berdiri termenung di dapur, pandangan kosong menatap lantai yang sudah kering. Dadanya masih berdebar. Ia tahu, apa yang dirasakannya barusan berbahaya. Ia tahu batasnya. Tapi kenyataan bahwa ada seorang pria yang bisa membuatnya tertawa tulus, membuatnya merasa dihargai, sungguh berbeda dengan apa yang ia dapatkan di rumah selama ini. Sore harinya, Rina baru saja selesai membereskan sisa cucian piring ketika ponselnya berbunyi. Notifikasi pesan masuk. Dari Dea, sahabat lamanya. “Aku tadi habis periksa ke rumah sakit, dan aku mampir ke restoran yang ada di dekatnya. Nggak sengaja aku ngeliat ini, Rin!” Kening Rina berkerut. Tangannya masih basah, buru-buru ia mengeringkan dengan handuk kecil sebelum membuka chat. Beberapa detik kemudian, pesan kedua masuk. Kali ini berupa foto-foto. Jantung Rina langsung berdegup kencang ketika melihatnya. Foto pertama: Ervan, suaminya, duduk di sebuah restoran. Senyum lebar terpampang di wajahnya, senyum yang sudah lama tidak pernah ia lihat di rumah. Sorot matanya pun tampak hangat. Dia terlihat sangat bahagia. Foto kedua: seorang perempuan cantik dengan seragam rumah sakit duduk di hadapannya. Rambutnya rapi terikat, wajahnya segar, tawa renyah tergambar jelas. Foto ketiga: Ervan dan perempuan itu tertawa bersama. Mereka duduk sangat dekat, terlalu dekat. Tatapan Ervan penuh perhatian, matanya berbinar. Ekspresi yang tidak pernah ia berikan kepada Rina belakangan ini, dan tangan mereka … saling menggenggam erat! Bahkan kedekatan yang bisa dilihat secara ganjil, untuk apa mereka makan hanya berdua saja? Tangan menggenggam erat seperti sepasang kekasih? Jika hanya kedekatan rekan kerja, harusnya mereka makan bersama-sama dengan teman-teman yang lainnya kan? Juga nggak ada acara pegang-pegangan tangan! Pikiran negatif langsung membanjiri pikiran Rina. Tangannya bergetar memegang ponsel. Nafasnya mendadak sesak, seolah ada beban berat menindih dadanya. “Astaga … ini apa?” batinnya kacau. Seketika hatinya terasa ditusuk sembilu. Perih menjalar ke seluruh tubuh. Air matanya menggenang tanpa bisa ia tahan. “Bisa-bisanya Ervan tertawa lepas begitu dengan perempuan lain?!” jerit hatinya. “Kenapa wajahnya tampak begitu bahagia bersamanya? Padahal di rumah, di hadapanku, yang kutemui hanya wajah kaku, datar, dingin. Bahkan senyum pun ia pelit memberikannya ….” Ia menutup mulut dengan tangan, menahan isak. Pandangannya kabur. Foto-foto itu terus menatapnya balik, seolah menampar kenyataan yang selama ini coba ia bantah. Semua curiga, semua rasa sakit, kini seakan menemukan jawabannya. Ervan, suaminya ternyata bisa tertawa bahagia. Hanya saja bukan bersamanya. Air matanya jatuh, membasahi layar ponsel. Ia terduduk di kursi, tubuhnya gemetar. “Apa aku sudah tidak cukup? Apa aku yang salah? Kenapa bisa begini …?” Namun di sela tangisnya, ingatan akan tatapan hangat Fahmi siang tadi muncul lagi. Tatapan penuh ketulusan, yang membuatnya merasa berarti. Kontras yang begitu jelas dengan Ervan, yang kini justru berbagi kebahagiaan dengan wanita lain. Lalu suara dering tanda satu pesan chat masuk lagi ke ponsel Rina. Spontan Rina langsung menatap ke arah layar dan menekan bagian pesan baru masuk. Dea mengirimi satu foto lagi. Satu foto lagi dengan mode satu kali lihat saja. Jantung Rina berdebar hebat. Rasa penasarannya semakin membuncah. Emosinya meruah. Dengan telunjuk yang gemetar ia menekan kiriman foto yang belum terlihat itu. Dan netranya langsung terbelalak kaget melihat apa yang dilihatnya!“Tidak …,” pekik Rina lirih. Derai air mata semakin deras membasahi pipinya.Bahkan layar ponselnya pun terbasahi tetesan air mata itu.Foto terakhir ini menampakkan Ervan mencium bibir wanita berseragam putih-putih itu. Walau diambil dari jarak jauh dan dengan mode zoom, tapi cukup jelas untuk memperlihatkan jika si pria yang ada di dalam foto ini memang suaminya!“Jadi … ternyata alasan kamu sering pulang telat dan dingin sama aku selama satu tahun ini adalah dia?” gumam Rina dengan suara bergetar.“Tega-teganya kamu Van … Salah apa aku sama kamu?” lanjutnya sembari terbayang kembali jika ia rela mengundurkan diri dari jabatannya sebagai manager di sebuah restoran hotel bintang lima demi menjadi istri yang baik dan berbakti.Nafasnya naik turun. Emosinya benar-benar menguasainya. Udara malam pun terasa semakin menusuk.Ia duduk termenung di ruang tamu berjam-jam lamanya. Matanya terus menatap layar ponsel. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Rumah terasa semakin ha
Fahmi cepat mengerjap, lalu mendekat.“Minggir, biar aku yang atasi.”Fahmi mendekat. Otomatis ia pun ikut basah karena semburan air yang muncrat ke mana-mana.Rina melirik ke arah Fahmi yang kini pakaiannya sama seperti dia. Basah kuyup. Kemeja kasualnya menapak jelas pada tubuhnya. Menerawang karena basah, dan hal itu membuat tubuh atletis sixspacknya terlihat jelas.“Tenang aja … Gak apa-apa. A-aku bisa—”“Percaya sama aku,” potong Fahmi cepat. Ia langsung membuka kemejanya yang sudah basah untuk menyumbat sementara pipa yang bocor. Lalu kemudian bertanya pada Rina, “Kamu punya kunci pipa? Atau kunci inggris?”“Ada di kolong wastafel,” jawab Rina secepat kilat.Ia meraih kunci pipa di bawah wastafel, memutar katup utama dengan cekatan. Dalam hitungan detik, semburan air berhenti.Suasana mendadak hening.Rina berdiri terpaku, baju rumah tipisnya menempel di tubuh karena basah kuyup. Rambutnya berantakan, wajahnya masih penuh cipratan air. Pakaiannya lebih basah dari Fahmi tadi. Bah
Rina membeku, matanya melebar tak percaya. Sementara Fahmi menahan napas, tubuhnya kaku di bawahnya. Hangat dan lembut, sentuhan itu membuat dada mereka sama-sama bergemuruh.Rina buru-buru menjauh, wajahnya memerah padam. “A-aku … aku nggak sengaja …” suaranya nyaris berbisik.“Rina …” Fahmi menatapnya, masih terengah. Bibirnya terasa hangat, matanya tak bisa lepas dari sosok Rina yang panik.Sunyi memenuhi ruangan itu. Hanya desiran napas mereka berdua yang terdengar.“A—aku harus pulang, terima kasih makanannya .…”Rina pun buru-buru merapikan bajunya dan pergi meninggalkan Fahmi yang masih tak bergerak.Sekeluarnya dari pintu, Rina langsung memijat keningnya yang berkedut.Gila! Aku baru saja berciuman dengan tetangga baruku?!***Suasana rumah malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Angin dari celah jendela hanya membawa dingin, tidak membawa ketenangan bagi Rina.Ia masih gelisah sejak pulang dari rumah Fahmi, terbayang-bayang kelembutan yang mendarat di bibirnya oleh sang t
Tok … tok … tok …Pagi itu, suara ketukan terdengar di pintu utama rumah Rina. Ia yang sedang merapikan meja makan langsung menoleh. Alisnya berkerut. Jarang ada tamu sepagi ini, apalagi Ervan sudah berangkat lebih dulu ke rumah sakit sejak subuh.Dengan langkah hati-hati, ia mendekat dan membuka pintu. Matanya langsung bertemu dengan sosok pria asing yang berdiri di teras.Seorang pria tinggi, mungkin hampir 180 cm. Tubuhnya tegap dengan bahu bidang, terlihat jelas meski hanya mengenakan kemeja biru laut lengan panjang yang digulung hingga siku dan celana bahan chinos warna abu-abu yang rapi membuatnya terlihat formal sekaligus santai.Rambut hitamnya agak berantakan, seperti baru saja ditata seadanya dengan jari, memberi kesan alami. Rahangnya tegas, kulitnya sawo matang bersih, dan sorot matanya … hangat sekaligus tajam, seakan mampu menembus isi hati orang yang ditatapnya.Rina nyaris kehilangan kata.“Selamat pagi,” sapa pria itu dengan senyum menawan, memperlihatkan lesung pipit
“Tolong … lebih keras, Sayang …,” bisik Rina dengan napas tersengal.Ranjang mereka bergoyang, deritnya beradu dengan detak jantung Rina yang semakin terpompa.Di tengah pergumulan itu, rambut panjangnya terurai, menutupi sebagian wajahnya yang kini menatap suaminya.Tapi yang Rina lihat justru membuat dadanya sesak, Ervan–suaminya, bahkan tak menunjukkan minat, seolah tubuhnya bergerak hanya demi kewajiban dan naluri prianya saja.“Ah …,” suara lirih itu lolos begitu saja dari bibir Rina. Ia meremas rambut suaminya yang berpotongan sangat rapi itu. Tiba-tiba saja suara dering ponsel Ervan berdering.Mendengar dering ponselnya, Ervan langsung melepaskan tubuh Rina. Ia menjauh. Seolah istrinya tidak penting, sedangkan gawainya adalah hal yang paling membuatnya tertarik.Ervan sudah menjauh. Nafasnya berat, tubuhnya jatuh ke sisi ranjang.Rina mengernyitkan keningnya. “Van … Kamu ngapain? Siapa yang kirim pesan malam-malam begini?”Ervan sudah bangkit, meraih baju tidurnya, lalu berjala