Share

Kiriman foto!

Author: Risya Petrova
last update Huling Na-update: 2025-09-12 19:26:09

Fahmi cepat mengerjap, lalu mendekat.

“Minggir, biar aku yang atasi.”

Fahmi mendekat. Otomatis ia pun ikut basah karena semburan air yang muncrat ke mana-mana.

Rina melirik ke arah Fahmi yang kini pakaiannya sama seperti dia. Basah kuyup. Kemeja kasualnya menapak jelas pada tubuhnya. Menerawang karena basah, dan hal itu membuat tubuh atletis sixspacknya terlihat jelas.

“Tenang aja … Gak apa-apa. A-aku bisa—”

“Percaya sama aku,” potong Fahmi cepat. Ia langsung membuka kemejanya yang sudah basah untuk menyumbat sementara pipa yang bocor. Lalu kemudian bertanya pada Rina, “Kamu punya kunci pipa? Atau kunci inggris?”

“Ada di kolong wastafel,” jawab Rina secepat kilat.

Ia meraih kunci pipa di bawah wastafel, memutar katup utama dengan cekatan. Dalam hitungan detik, semburan air berhenti.

Suasana mendadak hening.

Rina berdiri terpaku, baju rumah tipisnya menempel di tubuh karena basah kuyup. Rambutnya berantakan, wajahnya masih penuh cipratan air. Pakaiannya lebih basah dari Fahmi tadi. Bahkan bra warna hitam yang dikenakannya menapak jelas pada baju putih santai ala rumahan.

Fahmi menatapnya sekilas. Tapi cukup lama untuk membuat dada Rina kembali berdegup tak karuan. Kemudian netra mereka bertemu tatap lagi, dan lelaki itu cepat mengalihkan pandangan, mengambil napas dalam. “Sudah. Aman.”

“Terima kasih ….” suara Rina lirih, pipinya merona.

“Seharusnya aku yang minta maaf. Aku terlalu nekat langsung masuk tanpa izin,” ujar Fahmi, kali ini suaranya lebih tenang. “Tapi aku panik mendengar teriakanmu.”

Rina menunduk, jari-jarinya meremas ujung baju yang basah. “Aku … nggak apa-apa. Memang kran ini sudah lama agak longgar.”

Keheningan kembali menggantung. Hanya detak jantung mereka yang terdengar.

Fahmi kemudian tersenyum tipis, mencoba mencairkan suasana. “Kamu butuh bantuan lagi? Aku bisa perbaiki permanen nanti sore. Aku cukup mengerti soal pipa. Penulis juga harus bisa mandiri, kan.”

Rina terkekeh kecil, meski hatinya masih bergolak. “Aku nggak enak kalau merepotkan.”

“Bukan merepotkan. Aku yang senang bisa menolong,” jawab Fahmi tulus.

Tatapan mata mereka bertemu sesaat. Ada sesuatu yang kembali bergetar di antara keduanya—sebuah kedekatan yang tumbuh begitu saja, tanpa mereka sadari.

Rina buru-buru mengalihkan pandangan, menelan ludah. Ia tahu batasannya. Ia istri orang. Tapi kenapa setiap kali bersama Fahmi, hatinya terasa … hidup?

Sementara itu, jauh di lubuk hatinya, masih tersisa kecurigaan pada Ervan. Suara tawa wanita di kamar mandi semalam terus terngiang. Kata-kata Ervan yang meminta ‘buka semuanya’ juga masih mengganjal.

Dan kini, kehangatan yang ditawarkan Fahmi diam-diam mulai menjadi pelarian yang berbahaya.

Sementara itu, lantai dapur penuh genangan air. Bekas semburan dari kran tadi membuat ubin licin, sebagian sudah merembes hingga dekat meja makan.

Rina buru-buru mengambil kain lap dan tongkat pel dari pojok dapur. Dengan gerakan tergesa ia jongkok, mengelap sisa air yang menetes, lalu berdiri untuk menggerakkan pel.

Fahmi yang masih berdiri di dekat wastafel memperhatikan, kemudian mendekat. “Biar aku bantu,” katanya sambil meraih tongkat pel dari tangan Rina.

Rina buru-buru menahan. “Nggak usah, Mi. Aku bisa sendiri. Kamu sudah cukup menolong tadi.”

Namun Fahmi tidak melepas pandangan. Senyum hangat tergambar di wajahnya. “Rin, kalau tetangga nggak saling bantu, siapa lagi? Lagi pula kemarin kamu juga bantu aku, kan, setelah acara open house di rumahku? Kamu ikut beberes, padahal bukan kewajibanmu.”

Rina terdiam sesaat. Ingatan itu muncul kembali, bagaimana ia ikut membereskan piring kotor di rumah Fahmi, membantu mengatur ulang kursi, sofa, membuang piring-piring dan gelas-gelas kertas, sementara tamu lain sudah pulang.

Mau tak mau bibirnya tersenyum samar. “Iya juga, sih.”

“Ya sudah,” kata Fahmi ringan. “Kita bagi tugas. Aku yang pel bagian sini, kamu lap area yang dekat meja. Biar cepat kering, nanti kamu nggak licin jalan di dapur.”

Rina akhirnya mengangguk pelan. Mereka pun bergerak bersama. Suasana dapur yang tadinya tegang karena insiden air, kini berubah hangat. Sesekali tangan mereka hampir bersentuhan saat sama-sama memeras kain lap atau menggeser ember.

“Seharusnya aku yang minta maaf, Rin,” ucap Fahmi di sela aktivitas. “Aku nggak sopan tadi langsung masuk rumahmu tanpa izin.”

Rina menggeleng. “Kamu masuk karena panik. Aku malah bersyukur ada yang menolong. Kalau sendirian, mungkin dapurku bakalan banjur dan aku sudah basah kuyup lebih parah dari ini.”

Mereka tertawa kecil bersama. Tawanya ringan, berbeda jauh dengan tawa sinis Ervan semalam yang masih menghantui ingatan Rina.

Sambil membersihkan, obrolan mengalir tanpa sadar. Mereka berbicara tentang hal-hal kecil, resep brownies, kegiatan kompleks, sampai kebiasaan unik tetangga. Suasana terasa alami, seolah mereka sudah lama saling mengenal.

Seperti ada benang merah yang terhubung dan mengikat.

Tak terasa, lantai dapur sudah kering. Fahmi menepuk-nepuk celana panjangnya, lalu merapikan lengan kemeja yang agak kusut. “Nah, selesai sudah. Dapurmu kembali aman.”

“Terima kasih, Mi. Serius, aku nggak tahu harus bilang apa,” ujar Rina tulus.

Fahmi tersenyum. “Nggak usah bilang apa-apa. Aku senang bisa bantu.”

Ketika ia hendak pamit, Rina tiba-tiba teringat brownies yang baru saja dibuatnya. “Tunggu sebentar.” Ia berbalik, mengambil kotak kecil berisi beberapa potong brownies yang sudah dihias stroberi.

“Ini … aku baru bikin. Coba kamu cicipi,” katanya, menyodorkan kotak itu.

Fahmi tampak sedikit terkejut, tapi wajahnya segera berbinar. Senyum lebar merekah, berbeda dari biasanya yang tenang. “Serius? Wah, terima kasih banyak, Rin. Aku suka cokelat, kebetulan sekali.”

Rina ikut tersenyum, melihat ekspresi bahagia itu. Ada sesuatu di dada yang kembali bergetar, sesuatu yang ia takutkan sekaligus diam-diam ia rindukan.

“Kalau begitu aku pulang dulu. Terima kasih lagi … untuk semuanya,” ujar Fahmi, menundukkan kepala singkat lalu melangkah pergi.

Pintu rumah kembali tertutup. Keheningan menyelimuti.

Rina berdiri termenung di dapur, pandangan kosong menatap lantai yang sudah kering. Dadanya masih berdebar. Ia tahu, apa yang dirasakannya barusan berbahaya. Ia tahu batasnya.

Tapi kenyataan bahwa ada seorang pria yang bisa membuatnya tertawa tulus, membuatnya merasa dihargai, sungguh berbeda dengan apa yang ia dapatkan di rumah selama ini.

Sore harinya, Rina baru saja selesai membereskan sisa cucian piring ketika ponselnya berbunyi. Notifikasi pesan masuk. Dari Dea, sahabat lamanya.

“Aku tadi habis periksa ke rumah sakit, dan aku mampir ke restoran yang ada di dekatnya. Nggak sengaja aku ngeliat ini, Rin!”

Kening Rina berkerut. Tangannya masih basah, buru-buru ia mengeringkan dengan handuk kecil sebelum membuka chat.

Beberapa detik kemudian, pesan kedua masuk. Kali ini berupa foto-foto.

Jantung Rina langsung berdegup kencang ketika melihatnya.

Foto pertama: Ervan, suaminya, duduk di sebuah restoran. Senyum lebar terpampang di wajahnya, senyum yang sudah lama tidak pernah ia lihat di rumah. Sorot matanya pun tampak hangat. Dia terlihat sangat bahagia.

Foto kedua: seorang perempuan cantik dengan seragam rumah sakit duduk di hadapannya. Rambutnya rapi terikat, wajahnya segar, tawa renyah tergambar jelas.

Foto ketiga: Ervan dan perempuan itu tertawa bersama. Mereka duduk sangat dekat, terlalu dekat. Tatapan Ervan penuh perhatian, matanya berbinar. Ekspresi yang tidak pernah ia berikan kepada Rina belakangan ini, dan tangan mereka … saling menggenggam erat!

Bahkan kedekatan yang bisa dilihat secara ganjil, untuk apa mereka makan hanya berdua saja? Tangan menggenggam erat seperti sepasang kekasih? Jika hanya kedekatan rekan kerja, harusnya mereka makan bersama-sama dengan teman-teman yang lainnya kan? Juga nggak ada acara pegang-pegangan tangan!

Pikiran negatif langsung membanjiri pikiran Rina. Tangannya bergetar memegang ponsel. Nafasnya mendadak sesak, seolah ada beban berat menindih dadanya.

“Astaga … ini apa?” batinnya kacau.

Seketika hatinya terasa ditusuk sembilu. Perih menjalar ke seluruh tubuh. Air matanya menggenang tanpa bisa ia tahan.

“Bisa-bisanya Ervan tertawa lepas begitu dengan perempuan lain?!” jerit hatinya. “Kenapa wajahnya tampak begitu bahagia bersamanya? Padahal di rumah, di hadapanku, yang kutemui hanya wajah kaku, datar, dingin. Bahkan senyum pun ia pelit memberikannya ….”

Ia menutup mulut dengan tangan, menahan isak. Pandangannya kabur.

Foto-foto itu terus menatapnya balik, seolah menampar kenyataan yang selama ini coba ia bantah. Semua curiga, semua rasa sakit, kini seakan menemukan jawabannya.

Ervan, suaminya ternyata bisa tertawa bahagia. Hanya saja bukan bersamanya.

Air matanya jatuh, membasahi layar ponsel. Ia terduduk di kursi, tubuhnya gemetar.

“Apa aku sudah tidak cukup? Apa aku yang salah? Kenapa bisa begini …?”

Namun di sela tangisnya, ingatan akan tatapan hangat Fahmi siang tadi muncul lagi. Tatapan penuh ketulusan, yang membuatnya merasa berarti.

Kontras yang begitu jelas dengan Ervan, yang kini justru berbagi kebahagiaan dengan wanita lain.

 Lalu suara dering tanda satu pesan chat masuk lagi ke ponsel Rina. Spontan Rina langsung menatap ke arah layar dan menekan bagian pesan baru masuk.

Dea mengirimi satu foto lagi.

Satu foto lagi dengan mode satu kali lihat saja.

Jantung Rina berdebar hebat. Rasa penasarannya semakin membuncah. Emosinya meruah. Dengan telunjuk yang gemetar ia menekan kiriman foto yang belum terlihat itu. Dan netranya langsung terbelalak kaget melihat apa yang dilihatnya!

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Terjebak Hasrat Terlarang Tetanggaku   Ingin mesra-mesraan

    Fahmi tidak bisa merajut alasan. Semua alasan yang sudah tertata di dalam kepalanya mendadak terasa konyol dan tidak penting.“Aku … aku ke mari karena ingin bertemu denganmu, Rin,” jawab Fahmi jujur, mengakui perasaannya tanpa tedeng aling-aling. “Aku tahu kamar Mama kamu sudah kosong, jadi aku menelepon kamu untuk memastikan. Aku panik kamu sudah kembali ke Jakarta.”Rina mendesah. Ia menatap Fahmi dengan tatapan yang mengingatkannya pada janji mereka. “Bukannya kita sudah janji, ya, untuk sementara jangan ketemu dulu? Sampai suasana tenang? Kita nyaris ketahuan Aqila tadi malam, Mi!”“Aku tahu, dan aku minta maaf soal itu,” Fahmi meraih tangan Rina, tetapi Rina menariknya menjauh. “Tapi, Rin, dengerin aku. Aqila sudah pergi. Dia sekarang sudah di jalan menuju Cianjur lalu pasti menyusul ke tempat di mana keluarga besarnya membawa Kekey holiday. Dia akan lama di sana. Ervan juga sudah pulang duluan ke Jakarta. Aku tahu itu.”Rina terkejut. Matanya membola. “Kamu … kamu tahu Ervan su

  • Terjebak Hasrat Terlarang Tetanggaku   Sudah sepi

    Fahmi menginjak pedal gas, mobilnya melaju kencang membelah kepadatan lalu lintas pagi kota Bogor. Pikirannya dipenuhi satu nama: Rina. Percakapan Claudia dengan Ervan tadi, yang ia dengar tanpa sengaja, menjadi informasi vital yang mengubah rencananya. Rina sendirian di Bogor. Ini adalah celah kesempatan yang besar.Ia tidak peduli lagi dengan Aqila untuk sesaat. Fokusnya kini adalah mencari Rina, mengajaknya bicara, dan menghabiskan waktu bersamanya tanpa ada bayangan Ervan yang mengintai.Setibanya di rumah sakit, Fahmi memarkir mobilnya asal-asalan dan langsung bergegas masuk. Ia bergerak cepat menuju area rawat inap VIP. Jantungnya berdebar kencang, bukan karena kelelahan, melainkan karena takut. Takut Rina sudah pergi.“Kamar VIP Bu Ratih,” ucap Fahmi terengah-engah pada perawat yang ditemuinya di lorong.Perawat itu menunjuk ke salah satu kamar di ujung lorong. Fahmi langsung berlari.Sesampainya di depan pintu kamar tersebut, Fahmi menarik napas dalam-dalam, lalu mendorong pin

  • Terjebak Hasrat Terlarang Tetanggaku   Selalu kangen Rina

    “Membantu? Membantu apa? Membuat anak kita lupa siapa orang tuanya yang sebenarnya? Kita yang wajib mendidik dan menemani tumbuh kembang Kekey. Orang tuamu sebagai Nenek Kakek boleh main bareng sama cucunya. Tapi nggak menguasai begini!” Fahmi berjalan mendekat, menatap Aqila dengan mata memerah. “Kamu sudah tahu aku nggak suka dengan campur tangan ini, tapi kamu selalu diam! Kamu selalu membiarkan mereka, seolah-olah kamu nggak percaya aku bisa jadi Ayah yang baik! Aku muak dengan semua ini!”Aqila terdiam. Biasanya, ia akan langsung terpancing dan melawan, berteriak bahwa Fahmi tidak punya hak mengatur ibunya. Namun, entah kenapa, firasat dan kata hatinya malam itu memperingatkannya. Kata-kata Fahmi tadi malam terngiang jelas di benaknya, ‘Sisa satu talak lagi yang aku punya untukmu … Aqila.’Ia tidak boleh mengambil risiko. Ia tidak boleh kehilangan Fahmi sekarang. Apa lagi kata-kata Mina yang memberitahunya kalau ada wanita bersama Fahmi!Aqila memilih mengalah. Ia menarik nafas p

  • Terjebak Hasrat Terlarang Tetanggaku   Kemuakan Fahmi

    “Kamu sudah sarapan, Rin?” tanya Ervan saat mereka bersiap berangkat ke rumah sakit. Ia memegang tangan Rina sejenak, sesuatu yang sudah lama tidak ia lakukan.Rina menarik tangannya perlahan. “Sudah tadi di kamar. Ayo, kita cepat ke rumah sakit. Lebih cepat Mama pulang, lebih cepat kita bisa kembali ke Jakarta.”Ervan mengangguk, menyembunyikan kekecewaannya karena Rina menolak sentuhannya.Sesampainya di rumah sakit, semua berkas kepulangan Bu Ratih sudah selesai disiapkan. Bu Ratih sudah duduk di kursi roda, wajahnya terlihat jauh lebih segar. Rina sudah membayangkan ibunya akan beristirahat di rumah mereka di Jakarta, di bawah pengawasan dokter pribadi.“Mama sudah siap ke Jakarta, kan?” tanya Rina, tangannya memegang bahu sang ibu.Bu Ratih tersenyum dan menggeleng pelan. “Tidak, Sayang. Mama tidak mau ke Jakarta dulu.”Rina dan Ervan saling pandang, terkejut.“Kenapa, Ma?” tanya Rina.“Mama mau di rumah saja. Di sini, di Bogor. Ada Mbak Sumi yang nemenin Mama. Mama belum kuat ka

  • Terjebak Hasrat Terlarang Tetanggaku   Menyesal

    Rina keluar dari lift di lantai tujuh. Koridor itu terasa sangat panjang dan sunyi, kontras dengan ketegangan mencekam yang baru saja ia alami di lantai sembilan. Setiap langkahnya terasa berat. Ia baru saja lolos dari konfrontasi ganda. Konfrontasi dengan Claudia dan konfrontasi dengan Aqila. Kenangan akan pelukan erat Fahmi di sudut gelap tadi masih melekat, memberikan kehangatan palsu di tengah dinginnya kenyataan. Namun, kini ia harus kembali ke kenyataan yang paling pahit. Kamar 708, tempat suaminya, si pengkhianat manipulatif ulung sedang tidur.Dengan kunci kartu di tangan, Rina membuka pintu kamar 708 perlahan. Ia menggeser pintu itu tanpa suara, mencoba menyelinap masuk seperti tikus.Namun, ia gagal.Sesaat setelah Rina menutup pintu di belakangnya, sebuah suara serak dan berat memecah keheningan.“Dari mana saja kamu?”Rina terkesiap. Ervan tidak tidur nyenyak seperti yang ia bayangkan. Suaminya sudah duduk di tepi ranjang, punggungnya bersandar pada sandaran kepala. Air m

  • Terjebak Hasrat Terlarang Tetanggaku   Sisa satu talak

    Aqila langsung menoleh, ponsel masih menempel di telinganya. Netra mereka bertemu tatap. “Apanya yang makin kacau, Qi?” tanya Fahmi dengan suara datar. “Kamu ngobrol sama siapa malam-malam begini?”Jantung Aqila berdebar kencang, nyaris meledak. Ia mengambil nafas dalam-dalam, mengatur ekspresi wajahnya agar terlihat kesal, bukan takut. Ini adalah saatnya ia menggunakan profesi sebagai tameng.“Aku ngobrol sama Sasa, temenku, sesama model juga,” jawab Aqila, menurunkan ponselnya sedikit. “Aku kan izin pulang mendadak, padahal masih ada beberapa sesi pemotretan di Bali. Sesi pemotretan mereka jadi kacau. Biasalah, urusan kerjaan. Aku harus menjelaskan ke dia kalau aku nggak bisa balik secepat itu.”“Oh ….” Fahmi mengangguk pelan. Alasan itu terdengar logis. Ia terlalu lelah untuk menginterogasi panggilan telepon pekerjaan. Ia percaya Aqila karena urusan model memang sering serba mendadak dan kacau.“Sudahlah. Katakan saja besok pagi kamu akan selesaikan urusan itu. Sekarang waktunya t

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status