Mendengar penuturan Lingga, Reva membeku di tempatnya berdiri. Sampai lelaki bermata tajam tersebut, harus menjemput di depan pintu.
Seketika suasana menjadi hening, hingga gadis di sana bertanya dengan nada angkuh."Dia siapa?" ucapnya saat Lingga meletakkan kopi di atas meja. Lelaki itu dengan sigap menggantikan tugas Reva, memancing emosi gadis dengan dress merah tua."Tidak perlu canggung." Lingga berucap dengan datar. Sementara, ruangan ber-AC tersebut terasa menyesakkan bagi Reva, ia diapit dua sorot mata yang sama-sama memuakan."Jadi, dia ...?!" Isyarat mata gadis yang duduk di hadapan kursi kerja Lingga terlihat sombong, meski begitu, ia terlihat cantik dengan gincu berwarna pink alami.Reva yang merasa tak nyaman di tengah keduanya, teringat pada kopi yang ia buat. Sementara tamu Lingga mulai meraih cangkir di hadapan."Eh, jangan diminum?" Reva berusaha mencegah dengan menahan tangan.Namun, siapa sangka cairan hitam tersebut berpindah membasahi seragam Reva. Gadis dengan senyum sinis itu terlihat menakutkan saat tertawa dengan bangga.Wajah cantik Reva seketika berubah menahan amarah. Lingga sama sekali tak memperhitungkan kejadian tersebut."Lia! Apa yang kamu lakukan?!" Lingga seketika berdiri, meraih tangan Reva agar mendekat ke arahnya."Hanya sedikit memberi peringatan," ujar Lia dengan alis bertaut. Terlihat tenang tak ada gejolak rasa bersalah."Maaf," tutur Reva dengan tangan mengepal. Sorot mata gadis tersebut mengundang peperangan.***Usai kejadian memalukan yang tadi siang ia alami, Reva benar-benar tak memiliki semangat untuk bekerja."Rev, kamu belum menjelaskan perihal hutangmu pada Pak Lingga." Adisti saat ini sedang mengunjungi Reva di dalam kamar mess."Penjelasan apa?" Gadis berambut panjang tersebut, benar-benar tidak ingin membahasnya saat ini."Kamu bilang cuma hutang lima ratus ribu, kan. Jangan bilang, kamu bolak-balik ke ruangan Pak Lingga, hendak mencicil bukan membayar?" Mata Adisti membulat.Meski Bu Reswari baik hati, tapi ternyata sang putra tidak menuruni watak yang sama.Reva memijat kening yang terasa pusing, awalnya ia memang berbohong pada Adisti mengenai nominal hutang yang kini menjeratnya."Aku sedang tidak ingin membahas itu," jelasnya terlihat gelisah. Hingga ketukan pintu kamar terdengar lirih."Reva ada yang mencarimu," ucap salah satu teman mereka dari luar kamar.Reva dan Adisti saling berpandangan, keduanya sama-sama penasaran.Terlebih sebelumnya, tak ada yang mengunjungi Reva malam-malam seperti ini. Reva lekas mengambil jaket yang tergantung di balik pintu, meninggalkan Adisti begitu saja.Langkahnya berjalan perlahan, melewati beberapa kamar menuju pintu teras. Jarum dinding yang tergantung di dekat pintu ruang tamu, menunjuk angka tujuh malam. Membuat gadis tersebut kian penasaran pada siapa yang datang.Hingga langkah itu terhenti, tubuhnya seolah mematung, mendapati lelaki dengan kemeja kotak-kotak berdiri di dekat meja teras, terlihat menerawang menatap langit malam. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celana."Aldo." Suara Reva terdengar kaku, seperti sudah asing dengan nama itu. Bagaimanapun dulu, ia begitu sering menyebut namanya dalam doa, hingga waktu tak kunjung membuat bersama.Berbalik dengan senyum canggung, Aldo sesekali mengusap hidung. Seperti kebiasaannya saat SMA, jika ia salah tingkah."Kamu tahu aku di sini?" tanya Reva terlihat begitu penasaran. Melirik ke sekitar, berharap tak ada Lingga yang mengantar. Embusan napas lembut terdengar lega, mendapati hanya ada Aldo di sana."Apa kabar?" Tak menjawab, Aldo malah balik bertanya dengan memaksa sebuah senyuman."Masih begini, belum bisa bahagia." Reva terkekeh, jawaban itu yang sering ia katakan pada Aldo di masa SMA."Kamu masih seperti yang dulu rupanya," tutur Aldo dengan senyum tipis. "Mau keluar bersamaku?"***Pagi ini Reva menuruti nasihat Adisti, memasakkan makanan untuk sarapan Lingga, tidak lupa secangkir kopi dengan takaran sesuai petunjuk Mbak Wati.Berlatih tersenyum semalaman membohongi hati, hingga dapat mengganti uang tiga juta pada Lingga dengan cara menyisihkan setiap bulan.Untuk sementara waktu, jangan sampai kedekatannya dengan Lingga tercium publik.Begitulah solusi yang Adisti berikan pada Reva, tak terlalu membantu karena menyisihkan di kantong sendiri begitu berat, terlebih kebutuhan dadakan akan terus ada.Namun, itu satu-satunya cara dapat membayar Lingga secara cash."Selamat pagi, ini kopinya, Pak," ucap Reva seraya meletakkan secangkir kopi di hadapan."Ini sarapannya," lanjutnya."Terima kasih," jawab Lingga dengan senyum hambar.Merasa tak ada yang perlu diucapkan lagi, Reva memilih melangkah pergi, hingga suara berat Lingga menahan langkah."Siapa yang menyuruhmu pergi?" tanya Lingga dingin. Reva memutar bola matanya malas, sungguh tak ingin membuat mood paginya menjadi buruk."Mengenai hutang, aku akan berusaha melunasi." Setidaknya jangan membuatku tertekan di tempat kerja, begitulah isi hati Reva. Meski tak benar-benar ia ucapkan di depan Lingga."Lewat dari perjanjian waktu itu, pembayaran hutangmu aku tolak!""Tolong beri aku tambahan waktu!" Reva berucap tegas.Segaris senyum sinis terbit, Lingga berdiri mendekat, mau tak mau membuat Reva mundur perlahan. Sepasang mata tajam menyorot wajah Reva tanpa memberi jeda."Siapa yang menyuruhmu pergi?" tanya Lingga dengan senyuman mengejek.Reva berdecih menatap Lingga sinis. "Maksudmu apa?""Tak usah berlagak polos, gadis murahan!" Lingga menghentikan langkah, tangannya menjalar menyibak rambut yang menutup dahi.Mata Reva membulat lebar demi mendengar penuturan Lingga, lelaki itu terkesan merendahkan tanpa Reva tahu maksudnya.Tak kuat menahan gejolak amarah, Reva melayangkan tangannya dengan kuat, tapi Lingga lebih sigap. Mata itu memandang Reva dingin, ada sejuta kata umpatan yang sepertinya ditahan."Keluar!" teriak Lingga memekakkan telinga. Air mata Reva nyaris lolos, gadis itu lekas menerobos dari kungkungan tubuh Lingga, berlari keluar dengan terisak.Sementara Lingga, berusaha menahan gejolak emosi yang sulit untuk diluapkan di depan Reva. Sejak kapan ia takut melukai perasaan seorang gadis?"Sialan!" Lingga memukul tembok, hingga buku-buku jarinya terluka.Reva menatap wajahnya di balik pantulan cermin kamar mandi. Tak bisa ia tahan lagi, rasa sakit akibat ucapan Lingga membuat Reva menekan dada."Atas dasar apa dia mengataiku gadis murahan?" Reva seolah bertanya pada pantulan dirinya sendiri. Mengusap air mata yang terus berdesakan keluar tanpa bisa di tahan. Meski berusaha tetap tersenyum, air matanya enggan berhenti.Menghapus air mata, Reva membuka pintu kamar mandi. Matanya membulat menatap lelaki yang paling ia benci membelakangi."Ikut aku!" Lingga menekan lengan Reva dengan kasar, membuat gadis tersebut terseret hingga pintu keluar yang dikhususkan untuk karyawan."Lepas!" Reva memekik hingga tangan Lingga terpaksa menutup mulutnya."Diam dan ikuti aku! Jangan mengundang banyak perhatian."Secara kebetulan, lorong menuju pintu keluar khusus karyawan terlihat sepi, Reva terseok-seok mengikuti langkah lebar lelaki di depannya saat ini.Seolah tak memberi ruang untuk melarikan diri, Lingga mencengkeram lengan Reva tanpa jeda hingga gadis itu benar-benar masuk ke dalam mobil.Reva pulang ke rumahnya dengan perasaan bingung dan terluka. Dia tidak tahu harus berpikir apa tentang Lingga dan Tyas.Dia merasa bahwa Lingga telah menyembunyikan sesuatu yang penting dari dirinya.Dia melempar tasnya ke sofa dan jatuh terduduk di sana, membiarkan kepala tertunduk di antara kedua lutut. Air mata mulai mengalir dari mata, membasahi wajah yang pucat akibat berita tak terduga.Bagaimana bisa Lingga menyembunyikan sesuatu yang sebegitu penting dari dirinya? Apa Lingga mempermainkannya? Apakah dia masih mencintai Tyas?Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepala Reva, membuatnya merasa semakin bingung dan terluka.Keesokan harinya, Reva masih belum bisa menghilangkan perasaan sedih dan kecewa dari hatinya.Dia mencoba untuk fokus pada pekerjaannya di toko roti, tapi pikirannya terus kembali ke Lingga dan Tyas.Tiba-tiba, pintu ruang produksi terbuka dan Lingga masuk ke dalam. Dia terlihat serius dan khawatir, membuat Reva merasa bahwa dia pasti datang untuk menjel
Reva dan Lingga memasuki butik mewah yang terletak di pusat kota, bangunan itu dikelilingi jendela besar yang membiaskan cahaya matahari. Interiornya terlihat elegan dengan dekorasi klasik modern.Reva terpikat dengan jajaran baju pengantin yang terpampang nyata. Sentuhan jemarinya merasakan kelembutan kain itu.Lingga mengamati wajah cantik Reva dengan senyum tipis, matanya menyipit terlihat tampan.Seorang pegawai toko, dengan name tag Rina menyambut."Selamat datang Tuan dan Nyonya, ada yang bisa dibantu?" tanya pegawai itu sopan.Pria itu tersenyum dan mengambil tangan Reva. "Kami sedang mencari baju pengantin untuknya," kata Lingga."Kebetulan, kami memiliki koleksi baju pengantin terbaru dari desainer terkenal. Mari saya tunjukkan."Dengan gerakan anggun, Rina memperlihatkan deretan gaun yang dimaksud. Lampu kristal di atas mereka, tergantung memancarkan cahaya lembut, membuat gaun-gaun tersebut berkilau seperti permata."Apakah Anda memiliki preferensi tertentu?" tanya Rina mem
Setelah pertemuan empat mata kemarin, malam ini Reva menjadi semakin pendiam. Ia duduk seorang diri di sebuah kafe yang disinari cahaya lampu, berbentuk lampion kecil di beberapa sudut.Ia termenung menatap spageti dengan saus kesukaannya yang belum tersentuh.Reva sangat mengerti dengan alasan Bu Ratri, beliau hanya ingin melindungi Lingga dari keluarga bermasalah sepertinya.Ia kembali marah pada dirinya. Mengapa tidak dapat melunasi hutang selain dengan cara pernikahan.Dia benar-benar terjebak pada dua sisi."Mengapa aku harus terluka sejauh ini untukmu ayah? Kenapa aku dilahirkan hanya untuk menjadi mesin uangmu?" Air mata Reva meleleh, meski tak ada isakan keluar dari bibir merahnya.Seorang lelaki tiba-tiba duduk di hadapannya, rambut hitam itu tampak berantakan, meski begitu, menambah kesan maskulin."Kenapa di sini?" tanyanya penuh empati. Ia membawa secangkir kopi yang entah ia dapat dari mana."Aldo?" Mata Reva membulat. "Bagaimana kamu tahu aku di sini?"Lelaki yang bernam
Mentari bersinar melalui sela-sela jendela kaca, memancarkan cahaya emas yang menghangatkan kulit.Aroma manis kue dari pemanggang menguar di udara, sementara suara pengaduk adonan terdengar bising, menjelaskan betapa sibuknya ruangan itu."Jangan melamun, Rev." Adisti mengetuk meja kerja Reva. Membuyarkan lamunan gadis berkulit bersih itu.Reva tersenyum lelah, menggosok pundak yang terasa pegal. "Hai, Dis. Aku capek banget. Adonan donat ini bikin aku pegal."Adisti tertawa renyah."Udah, aku bantuin aja. Kamu istirahat dulu," ucap gadis berlesung pipi.Lingga tiba-tiba saja muncul dari balik pintu ruang produksi, tubuh tinggi dengan wajah tegasnya sedikit menggetarkan hati Reva."Reva, aku butuh bicara denganmu." Tatapan itu terlihat mengintimidasi.Wajah Reva seketika berubah, dengan terpaksa ia mengekor pada langkah kaki Lingga. Meninggalkan tatapan penuh tanya pada rekan kerjanya.Gadis berusia dua puluh lima tahun itu melihat punggung kokoh yang tertutup kemeja putih tulang, kedu
Reva mencengkram lengan Lingga kuat, keraguan masih terukir di wajahanya saat Lingga mengarahkan langkah ke rumah mungil itu."Kenapa kamu tidak antusias?" Lingga bertanya, heran.Reva terdiam sejenak, tidak merasakan rindu pada bangunan masa kecilnya.Seorang gadis belia keluar dari rumah, tersenyum ceria. "Kakak, apa kabar?" Ia memeluk Reva hangat.Gadis itu mundur selangkah, melihat dengan rasa ingin tahu. "Pacar Kakak?" Matanya melirik sekilas ke arah Lingga.Lingga menatap sekeliling ruangan, bangunan tua dengan dominasi warna putih dan coklat terlihat terawat dengan baik.Dua cangkir teh hangat disajikan, masih terlihat mengepulkan uap panas. Aroma teh yang harum menguar memenuhi indra penciuman."Silakan diminum, Nak," kata lelaki tua itu dengan senyum hangat."Terima kasih," jawab Lingga, ia meraih cangkir perlahan. Matanya menatap lurus, seolah menelisik jiwa ayah Reva di depannya saat ini."Saya hendak melamar Reva." Lingga menyatakan maksudnya dengan tenang, tangannya melet
Reva yang sedang bersusah payah mencerna jawaban Lingga, lekas mendapat sentilan di dahi."Aku tidak mengerti," ucap Reva mengalihkan pandangan ke arah alas kaki."Apa yang bisa aku bantu?" Lingga berjalan di lorong apartemen lalu menekan sandi yang masih sama dengan kode ponsel Reva."Hutang Ayahku." Suara Reva tercekat. "Rumah kami disegel, jika dalam seminggu tidak melunasi hutang.""Disegel?" Lingga mengerutkan kening. Reva mengangguk lemah, ia merasa malu jika harus menceritakan lebih lanjut."Datanglah besok dan berhenti berpura-pura tidak tahu maksudku," ucap Lingga datar.Reva menunduk, menggigit bibir merasa harapannya akan sia-sia. Memberi hati pada Lingga, bukan sesuatu yang sulit, pria itu tampan, mapan dan terkadang baik. Hanya saja, perbedaan kasta mereka sulit ditembus terlebih Bu Reswari, tidak akan memudahkan hubungan mereka."Aku permisi, Lingga." Reva berbalik lantas berjalan meninggalkan Lingga.Pagi ini suasana begitu hangat, langit pun terlihat cerah biru. Tak ad