Share

Bab 3. Awal mula petaka

Mendengar penuturan Lingga, Reva membeku di tempatnya berdiri. Sampai lelaki bermata tajam tersebut, harus menjemput di depan pintu.

Seketika suasana menjadi hening, hingga gadis di sana bertanya dengan nada angkuh.

"Dia siapa?" ucapnya saat Lingga meletakkan kopi di atas meja. Lelaki itu dengan sigap menggantikan tugas Reva, memancing emosi gadis dengan dress merah tua.

"Tidak perlu canggung." Lingga berucap dengan datar. Sementara, ruangan ber-AC tersebut terasa menyesakkan bagi Reva, ia diapit dua sorot mata yang sama-sama memuakan.

"Jadi, dia ...?!" Isyarat mata gadis yang duduk di hadapan kursi kerja Lingga terlihat sombong, meski begitu, ia terlihat cantik dengan gincu berwarna pink alami.

Reva yang merasa tak nyaman di tengah keduanya, teringat pada kopi yang ia buat. Sementara tamu Lingga mulai meraih cangkir di hadapan.

"Eh, jangan diminum?" Reva berusaha mencegah dengan menahan tangan.

Namun, siapa sangka cairan hitam tersebut berpindah membasahi seragam Reva. Gadis dengan senyum sinis itu terlihat menakutkan saat tertawa dengan bangga.

Wajah cantik Reva seketika berubah menahan amarah. Lingga sama sekali tak memperhitungkan kejadian tersebut.

"Lia! Apa yang kamu lakukan?!" Lingga seketika berdiri, meraih tangan Reva agar mendekat ke arahnya.

"Hanya sedikit memberi peringatan," ujar Lia dengan alis bertaut. Terlihat tenang tak ada gejolak rasa bersalah.

"Maaf," tutur Reva dengan tangan mengepal. Sorot mata gadis tersebut mengundang peperangan.

***

Usai kejadian memalukan yang tadi siang ia alami, Reva benar-benar tak memiliki semangat untuk bekerja.

"Rev, kamu belum menjelaskan perihal hutangmu pada Pak Lingga." Adisti saat ini sedang mengunjungi Reva di dalam kamar mess.

"Penjelasan apa?" Gadis berambut panjang tersebut, benar-benar tidak ingin membahasnya saat ini.

"Kamu bilang cuma hutang lima ratus ribu, kan. Jangan bilang, kamu bolak-balik ke ruangan Pak Lingga, hendak mencicil bukan membayar?" Mata Adisti membulat.

Meski Bu Reswari baik hati, tapi ternyata sang putra tidak menuruni watak yang sama.

Reva memijat kening yang terasa pusing, awalnya ia memang berbohong pada Adisti mengenai nominal hutang yang kini menjeratnya.

"Aku sedang tidak ingin membahas itu," jelasnya terlihat gelisah. Hingga ketukan pintu kamar terdengar lirih.

"Reva ada yang mencarimu," ucap salah satu teman mereka dari luar kamar.

Reva dan Adisti saling berpandangan, keduanya sama-sama penasaran.

Terlebih sebelumnya, tak ada yang mengunjungi Reva malam-malam seperti ini. Reva lekas mengambil jaket yang tergantung di balik pintu, meninggalkan Adisti begitu saja.

Langkahnya berjalan perlahan, melewati beberapa kamar menuju pintu teras. Jarum dinding yang tergantung di dekat pintu ruang tamu, menunjuk angka tujuh malam. Membuat gadis tersebut kian penasaran pada siapa yang datang.

Hingga langkah itu terhenti, tubuhnya seolah mematung, mendapati lelaki dengan kemeja kotak-kotak berdiri di dekat meja teras, terlihat menerawang menatap langit malam. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celana.

"Aldo." Suara Reva terdengar kaku, seperti sudah asing dengan nama itu. Bagaimanapun dulu, ia begitu sering menyebut namanya dalam doa, hingga waktu tak kunjung membuat bersama.

Berbalik dengan senyum canggung, Aldo sesekali mengusap hidung. Seperti kebiasaannya saat SMA, jika ia salah tingkah.

"Kamu tahu aku di sini?" tanya Reva terlihat begitu penasaran. Melirik ke sekitar, berharap tak ada Lingga yang mengantar. Embusan napas lembut terdengar lega, mendapati hanya ada Aldo di sana.

"Apa kabar?" Tak menjawab, Aldo malah balik bertanya dengan memaksa sebuah senyuman.

"Masih begini, belum bisa bahagia." Reva terkekeh, jawaban itu yang sering ia katakan pada Aldo di masa SMA.

"Kamu masih seperti yang dulu rupanya," tutur Aldo dengan senyum tipis. "Mau keluar bersamaku?"

***

Pagi ini Reva menuruti nasihat Adisti, memasakkan makanan untuk sarapan Lingga, tidak lupa secangkir kopi dengan takaran sesuai petunjuk Mbak Wati.

Berlatih tersenyum semalaman membohongi hati, hingga dapat mengganti uang tiga juta pada Lingga dengan cara menyisihkan setiap bulan.

Untuk sementara waktu, jangan sampai kedekatannya dengan Lingga tercium publik.

Begitulah solusi yang Adisti berikan pada Reva, tak terlalu membantu karena menyisihkan di kantong sendiri begitu berat, terlebih kebutuhan dadakan akan terus ada.

Namun, itu satu-satunya cara dapat membayar Lingga secara cash.

"Selamat pagi, ini kopinya, Pak," ucap Reva seraya meletakkan secangkir kopi di hadapan.

"Ini sarapannya," lanjutnya.

"Terima kasih," jawab Lingga dengan senyum hambar.

Merasa tak ada yang perlu diucapkan lagi, Reva memilih melangkah pergi, hingga suara berat Lingga menahan langkah.

"Siapa yang menyuruhmu pergi?" tanya Lingga dingin. Reva memutar bola matanya malas, sungguh tak ingin membuat mood paginya menjadi buruk.

"Mengenai hutang, aku akan berusaha melunasi." Setidaknya jangan membuatku tertekan di tempat kerja, begitulah isi hati Reva. Meski tak benar-benar ia ucapkan di depan Lingga.

"Lewat dari perjanjian waktu itu, pembayaran hutangmu aku tolak!"

"Tolong beri aku tambahan waktu!" Reva berucap tegas.

Segaris senyum sinis terbit, Lingga berdiri mendekat, mau tak mau membuat Reva mundur perlahan. Sepasang mata tajam menyorot wajah Reva tanpa memberi jeda.

"Siapa yang menyuruhmu pergi?" tanya Lingga dengan senyuman mengejek.

Reva berdecih menatap Lingga sinis. "Maksudmu apa?"

"Tak usah berlagak polos, gadis murahan!" Lingga menghentikan langkah, tangannya menjalar menyibak rambut yang menutup dahi.

Mata Reva membulat lebar demi mendengar penuturan Lingga, lelaki itu terkesan merendahkan tanpa Reva tahu maksudnya.

Tak kuat menahan gejolak amarah, Reva melayangkan tangannya dengan kuat, tapi Lingga lebih sigap. Mata itu memandang Reva dingin, ada sejuta kata umpatan yang sepertinya ditahan.

"Keluar!" teriak Lingga memekakkan telinga. Air mata Reva nyaris lolos, gadis itu lekas menerobos dari kungkungan tubuh Lingga, berlari keluar dengan terisak.

Sementara Lingga, berusaha menahan gejolak emosi yang sulit untuk diluapkan di depan Reva. Sejak kapan ia takut melukai perasaan seorang gadis?

"Sialan!" Lingga memukul tembok, hingga buku-buku jarinya terluka.

Reva menatap wajahnya di balik pantulan cermin kamar mandi. Tak bisa ia tahan lagi, rasa sakit akibat ucapan Lingga membuat Reva menekan dada.

"Atas dasar apa dia mengataiku gadis murahan?" Reva seolah bertanya pada pantulan dirinya sendiri. Mengusap air mata yang terus berdesakan keluar tanpa bisa di tahan. Meski berusaha tetap tersenyum, air matanya enggan berhenti.

Menghapus air mata, Reva membuka pintu kamar mandi. Matanya membulat menatap lelaki yang paling ia benci membelakangi.

"Ikut aku!" Lingga menekan lengan Reva dengan kasar, membuat gadis tersebut terseret hingga pintu keluar yang dikhususkan untuk karyawan.

"Lepas!" Reva memekik hingga tangan Lingga terpaksa menutup mulutnya.

"Diam dan ikuti aku! Jangan mengundang banyak perhatian."

Secara kebetulan, lorong menuju pintu keluar khusus karyawan terlihat sepi, Reva terseok-seok mengikuti langkah lebar lelaki di depannya saat ini.

Seolah tak memberi ruang untuk melarikan diri, Lingga mencengkeram lengan Reva tanpa jeda hingga gadis itu benar-benar masuk ke dalam mobil.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status