Share

Bab 4. Hukuman dari Lingga

Sebuah kamar bernuansa abu-abu terpampang saat Lingga membuka pintu, tubuh kecil Reva diseret lantas dijatuhkan dengan kasar hingga rambutnya menutup sebagian wajah.

"Jangan mendekat!" Sorot mata Reva terlihat menahan amarah, melirik sekitar ia mencoba mencari sesuatu sebagai senjata. Tangannya meraih-raih apa saja yang bisa ditemukan, sayangnya nihil ia tak mendapati apa pun.

Sementara ucapannya hanya sebuah angin lalu di telinga Lingga. Lelaki tersebut terus mendekat meski Reva kian menghindar.

Hingga akhirnya, Lingga berhasil menindih tubuh kecil Reva dengan kasar, membuka satu persatu kancingnya secara perlahan, memperlihatkan warna dalaman yang dikenakan gadis tersebut.

Reva menjerit histeris, berusaha memberontak, tapi tenaganya terlalu lemah. Terlebih satu tangan Lingga menekan kedua tangannya yang di tarik ke atas kepala.

"Laki-laki sialan!" Merasa terpojok, Reva meludah tepat mengenai wajah Lingga. Mendapat perlakuan demikian, pergerakan lelaki tersebut semakin beringas bagai tak memiliki akal sehat.

Berusaha mencium bibir Reva hingga sebagian lipstik merah itu berpindah ke bibirnya.

"Aku akan membuatmu menjadi milikku, Revalina Arestya!" Sorot mata Lingga terlihat penuh kilat emosi.

"Jangan mimpi! Meskipun hanya ada kamu laki-laki di dunia ini!" Reva menggerakkan lutut dengan kuat, hingga Lingga meringis kesakitan.

"Gadis brengsek! Tak tahu diri!" Lingga memukul keras pipi Reva, hingga gadis itu tak sadarkan diri. Mengusap rambut dengan frustrasi, Lingga menggoyangkan kaki Reva perlahan, berharap jika Reva tak benar-benar pingsan.

***

Mendengar suara detik jarum jam, Reva membuka mata melihat sekeliling. Gadis itu nyaris saja berteriak saat sekelebat bayangan Lingga melecehkan tubuhnya. Memeriksa baju yang masih terkancing rapat, ia lekas beranjak hingga suara derit pintu membuat tubuhnya gemetar.

"Sudah siuman?" Lingga menatap wajah Reva datar.

Dengan tangan mengepal, Reva berpura-pura tak melihat lelaki di depan sana. Melangkah melewati Lingga, Reva terus menyusuri ruang tamu dengan sofa berbahan kulit serta lampu gantung yang sudah menyala.

Gadis tersebut berdecak menyadari ini sudah tengah malam. Mendekat ke arah pintu keluar, ia merosot bersimpuh mendapati kunci pintu apartemen Lingga menggunakan sandi. Duduk meringkuk air matanya lolos tak terkendali.

"Jangan mendekat!" Reva berteriak nyaring kala langkah Lingga terdengar.

"Kalau lapar tidak perlu menangis seperti itu," ujar Lingga remeh.

"Bahkan aku sudah kenyang sejak melihatmu, Lingga!" Reva berucap ketus, berdiri dengan tangan menyilang di depan dada.

"Aku tak berminat dengan ukuran sekecil itu," ucap Lingga lantas meninggalkan Reva yang kehabisan kata-kata.

Melirik sekitar, Reva teringat belum makan sedari siang. "Semua ini karena Lingga sialan!" Reva mengusap perutnya yang sedari tadi keroncongan.

Aroma wajan terkena panas, tercium kala ia melangkah mencari dapur yang ternyata ada di dekat ruang tengah. Lelaki yang tadi terlihat seperti monster berdiri di sana, di depan kitchen set yang terlihat mewah. Sibuk membuat spageti dengan saus bolognese.

"Duduk saja dulu, aku sedang membuatkan makanan untukmu," ujar Lingga lembut, tak seperti tadi atau kemarin.

"Aku ingin pulang! Kenapa kamu mengurungku di sini?"

Lingga tertawa, melirik ke arah Reva berdiri lantas kembali mengaduk spageti yang ia rebus.

"Aku tidak mengurungmu, lihat kau bisa berjalan ke sekeliling, itu pun jika kamu mau."

Reva memutar bola mata malas, melihat kulkas yang berada di samping kitchen set, Reva mendekat. Sedikit ragu, tapi tenggorokannya perlu air agar kuat berdebat seharian ini.

"Buka saja! Apa kamu haus?" Lingga berjalan membuka pintu kulkas, memperlihatkan pada Reva yang masih terpaku. "Ambil yang kamu perlukan," ujar Lingga kembali mendekat ke arah kompor.

Dengan mata terpana, Reva mematung mendapati banyak minuman kaleng bersoda bahkan beralkohol. Bibir Reva mengatup, takut pada sosok Lingga yang berdiri di sana.

Tidak boleh lemah, Reva mengambil air mineral setelah bingung memilih. Menatap Lingga dengan tangan bersedekap, saat lelaki tersebut membawa dua piring melewatinya.

"Sudah matang, makanlah," ucap Lingga meletakkan dua piring spageti di atas meja.

"Aku harus makan bersamamu?" Kening Reva mengerut, meletakkan air mineral di atas meja dapur.

"Ini apartemenku, Nona! Haruskah kamu bersikap seperti itu?"

Gadis tersebut berjalan mendekat, akibat aroma masakan yang tercium menggoda, terlebih rasa lapar sudah mendominasi.

"Makan bagianmu dengan baik, jika ingin malam ini berakhir aman!" Satu lagi ancaman yang membuat Reva bergidik. Di sini tentu ia tak lagi bisa berontak, di tempat kerja saja ia tak memiliki kuasa.

Tanpa kata, Reva duduk di depan Lingga, menikmati spageti dengan saus merah yang menggoda, rasa asam dan manis menyatu di lidah. Terlebih daging giling yang melimpah membuat rasa gurih mendominasi, tingkat kematangan mie-nya pun bisa dikatakan seperti seleranya.

Setelah selesai makan dalam diam, Lingga menatap Reva dengan angkuh.

"Ingat Reva! Kamu adalah kekasihku, apa pun yang kamu lakukan di luar sana, aku tahu!" Lingga menuang air putih dalam gelas kosong lantas mendekatkan pada Reva.

"Maksud kamu apa? Biar kuingatkan! Bukankah aku sudah mengakuimu di depan Aldo, ini hanya perihal masa lalu kita, bukan?" Reva menggigit bibir, masih merasa bodoh dengan ucapan Lingga.

Lingga mengeraskan rahang, tangannya nyaris menggebrak meja. Namun, melihat wajah Reva yang sudah pucat karena merasa takut, lelaki itu mengurungkan niatnya.

"Sudah malam, tidurlah di kamar! Aku akan tidur di ruang tamu." Lingga beranjak meninggalkan Reva dengan seribu tanda tanya di kepala.

***

Katakanlah ini hanya sebuah mimpi. Tepatnya pukul dua dini hari, Reva berguling-guling di atas kasur besar yang terasa empuk. Menatap sekitar berharap esok hari ia bisa menghirup udara luar, terbebas dari belenggu Lingga, laki-laki yang semakin tua semakin gila.

Begitulah isi hati Reva, hingga matanya tak sengaja melihat sebuah foto yang menggantung di dinding. "Kenapa aku baru menyadari, ada foto teman-teman saat SMA," gumamnya lirih.

Waktu itu diambil dengan salah satu ponsel milik kawan Lingga.

Ia menelusuri beberapa wajah lalu mendapati dirinya berada tepat di belakang Lingga.

"Sepertinya, Lingga memang selalu berada di sekitarku. Apa lelaki itu menyukaiku?" Reva menggelengkan kepala. "Mana mungkin," lanjutnya dengan ekspresi bodoh.

Memilih tak peduli, Reva kembali merebahkan tubuh setelah benar-benar memperhatikan pintu yang terkunci. Jangan sampai, Lingga masuk dan berbuat onar seperti tadi.

Mata itu mulai terpejam, beberapa jam kemudian sorot cahaya mentari dari luar jendela terlihat menyilaukan, Reva menggeliat lantas membuka mata. Masih dengan wajah bantalnya, melihat sekitar ia kembali merebah.

Bagai tersadar dari mimpi buruk, Reva beranjak dengan tergesa, membuka kunci pintu kamar berharap Lingga masih di sana, tapi sofa yang di tempati Lingga sudah kosong.

Sebuah kertas tertulis di atas meja, Reva mengeja huruf kemudian meremasnya menjadi bola sebelum ia buang dengan asal.

"Lingga sialan!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status