Sebuah kamar bernuansa abu-abu terpampang saat Lingga membuka pintu, tubuh kecil Reva diseret lantas dijatuhkan dengan kasar hingga rambutnya menutup sebagian wajah.
"Jangan mendekat!" Sorot mata Reva terlihat menahan amarah, melirik sekitar ia mencoba mencari sesuatu sebagai senjata. Tangannya meraih-raih apa saja yang bisa ditemukan, sayangnya nihil ia tak mendapati apa pun.Sementara ucapannya hanya sebuah angin lalu di telinga Lingga. Lelaki tersebut terus mendekat meski Reva kian menghindar.Hingga akhirnya, Lingga berhasil menindih tubuh kecil Reva dengan kasar, membuka satu persatu kancingnya secara perlahan, memperlihatkan warna dalaman yang dikenakan gadis tersebut.Reva menjerit histeris, berusaha memberontak, tapi tenaganya terlalu lemah. Terlebih satu tangan Lingga menekan kedua tangannya yang di tarik ke atas kepala."Laki-laki sialan!" Merasa terpojok, Reva meludah tepat mengenai wajah Lingga. Mendapat perlakuan demikian, pergerakan lelaki tersebut semakin beringas bagai tak memiliki akal sehat.Berusaha mencium bibir Reva hingga sebagian lipstik merah itu berpindah ke bibirnya."Aku akan membuatmu menjadi milikku, Revalina Arestya!" Sorot mata Lingga terlihat penuh kilat emosi."Jangan mimpi! Meskipun hanya ada kamu laki-laki di dunia ini!" Reva menggerakkan lutut dengan kuat, hingga Lingga meringis kesakitan."Gadis brengsek! Tak tahu diri!" Lingga memukul keras pipi Reva, hingga gadis itu tak sadarkan diri. Mengusap rambut dengan frustrasi, Lingga menggoyangkan kaki Reva perlahan, berharap jika Reva tak benar-benar pingsan.***Mendengar suara detik jarum jam, Reva membuka mata melihat sekeliling. Gadis itu nyaris saja berteriak saat sekelebat bayangan Lingga melecehkan tubuhnya. Memeriksa baju yang masih terkancing rapat, ia lekas beranjak hingga suara derit pintu membuat tubuhnya gemetar."Sudah siuman?" Lingga menatap wajah Reva datar.Dengan tangan mengepal, Reva berpura-pura tak melihat lelaki di depan sana. Melangkah melewati Lingga, Reva terus menyusuri ruang tamu dengan sofa berbahan kulit serta lampu gantung yang sudah menyala.Gadis tersebut berdecak menyadari ini sudah tengah malam. Mendekat ke arah pintu keluar, ia merosot bersimpuh mendapati kunci pintu apartemen Lingga menggunakan sandi. Duduk meringkuk air matanya lolos tak terkendali."Jangan mendekat!" Reva berteriak nyaring kala langkah Lingga terdengar."Kalau lapar tidak perlu menangis seperti itu," ujar Lingga remeh."Bahkan aku sudah kenyang sejak melihatmu, Lingga!" Reva berucap ketus, berdiri dengan tangan menyilang di depan dada."Aku tak berminat dengan ukuran sekecil itu," ucap Lingga lantas meninggalkan Reva yang kehabisan kata-kata.Melirik sekitar, Reva teringat belum makan sedari siang. "Semua ini karena Lingga sialan!" Reva mengusap perutnya yang sedari tadi keroncongan.Aroma wajan terkena panas, tercium kala ia melangkah mencari dapur yang ternyata ada di dekat ruang tengah. Lelaki yang tadi terlihat seperti monster berdiri di sana, di depan kitchen set yang terlihat mewah. Sibuk membuat spageti dengan saus bolognese."Duduk saja dulu, aku sedang membuatkan makanan untukmu," ujar Lingga lembut, tak seperti tadi atau kemarin."Aku ingin pulang! Kenapa kamu mengurungku di sini?"Lingga tertawa, melirik ke arah Reva berdiri lantas kembali mengaduk spageti yang ia rebus."Aku tidak mengurungmu, lihat kau bisa berjalan ke sekeliling, itu pun jika kamu mau."Reva memutar bola mata malas, melihat kulkas yang berada di samping kitchen set, Reva mendekat. Sedikit ragu, tapi tenggorokannya perlu air agar kuat berdebat seharian ini."Buka saja! Apa kamu haus?" Lingga berjalan membuka pintu kulkas, memperlihatkan pada Reva yang masih terpaku. "Ambil yang kamu perlukan," ujar Lingga kembali mendekat ke arah kompor.Dengan mata terpana, Reva mematung mendapati banyak minuman kaleng bersoda bahkan beralkohol. Bibir Reva mengatup, takut pada sosok Lingga yang berdiri di sana.Tidak boleh lemah, Reva mengambil air mineral setelah bingung memilih. Menatap Lingga dengan tangan bersedekap, saat lelaki tersebut membawa dua piring melewatinya."Sudah matang, makanlah," ucap Lingga meletakkan dua piring spageti di atas meja."Aku harus makan bersamamu?" Kening Reva mengerut, meletakkan air mineral di atas meja dapur."Ini apartemenku, Nona! Haruskah kamu bersikap seperti itu?"Gadis tersebut berjalan mendekat, akibat aroma masakan yang tercium menggoda, terlebih rasa lapar sudah mendominasi."Makan bagianmu dengan baik, jika ingin malam ini berakhir aman!" Satu lagi ancaman yang membuat Reva bergidik. Di sini tentu ia tak lagi bisa berontak, di tempat kerja saja ia tak memiliki kuasa.Tanpa kata, Reva duduk di depan Lingga, menikmati spageti dengan saus merah yang menggoda, rasa asam dan manis menyatu di lidah. Terlebih daging giling yang melimpah membuat rasa gurih mendominasi, tingkat kematangan mie-nya pun bisa dikatakan seperti seleranya.Setelah selesai makan dalam diam, Lingga menatap Reva dengan angkuh."Ingat Reva! Kamu adalah kekasihku, apa pun yang kamu lakukan di luar sana, aku tahu!" Lingga menuang air putih dalam gelas kosong lantas mendekatkan pada Reva."Maksud kamu apa? Biar kuingatkan! Bukankah aku sudah mengakuimu di depan Aldo, ini hanya perihal masa lalu kita, bukan?" Reva menggigit bibir, masih merasa bodoh dengan ucapan Lingga.Lingga mengeraskan rahang, tangannya nyaris menggebrak meja. Namun, melihat wajah Reva yang sudah pucat karena merasa takut, lelaki itu mengurungkan niatnya."Sudah malam, tidurlah di kamar! Aku akan tidur di ruang tamu." Lingga beranjak meninggalkan Reva dengan seribu tanda tanya di kepala.***Katakanlah ini hanya sebuah mimpi. Tepatnya pukul dua dini hari, Reva berguling-guling di atas kasur besar yang terasa empuk. Menatap sekitar berharap esok hari ia bisa menghirup udara luar, terbebas dari belenggu Lingga, laki-laki yang semakin tua semakin gila.Begitulah isi hati Reva, hingga matanya tak sengaja melihat sebuah foto yang menggantung di dinding. "Kenapa aku baru menyadari, ada foto teman-teman saat SMA," gumamnya lirih.Waktu itu diambil dengan salah satu ponsel milik kawan Lingga.Ia menelusuri beberapa wajah lalu mendapati dirinya berada tepat di belakang Lingga."Sepertinya, Lingga memang selalu berada di sekitarku. Apa lelaki itu menyukaiku?" Reva menggelengkan kepala. "Mana mungkin," lanjutnya dengan ekspresi bodoh.Memilih tak peduli, Reva kembali merebahkan tubuh setelah benar-benar memperhatikan pintu yang terkunci. Jangan sampai, Lingga masuk dan berbuat onar seperti tadi.Mata itu mulai terpejam, beberapa jam kemudian sorot cahaya mentari dari luar jendela terlihat menyilaukan, Reva menggeliat lantas membuka mata. Masih dengan wajah bantalnya, melihat sekitar ia kembali merebah.Bagai tersadar dari mimpi buruk, Reva beranjak dengan tergesa, membuka kunci pintu kamar berharap Lingga masih di sana, tapi sofa yang di tempati Lingga sudah kosong.Sebuah kertas tertulis di atas meja, Reva mengeja huruf kemudian meremasnya menjadi bola sebelum ia buang dengan asal."Lingga sialan!"Di tempat kerja, seorang gadis tiba-tiba menerobos masuk. Sepasang mata terlihat penuh kilatan emosi menatap wajah datar Lingga."Apa karena gadis kampungan itu!" teriak gadis berambut sebahu dengan wajah cantik meski tanpa riasan."Apa maksudmu?" Lingga masih tetap tenang, menatap layar laptop yang menyala, tak terusik meski wanita di depannya saat ini sudah maju mendekat."Karena dia, kamu mengakhiri hubungan kita?""Jangan membawa orang lain, Tyas! Hubungan kita sudah berakhir ada ataupun tidak ada dia!"Senyum kesal tersungging, hatinya kian tercabik-cabik, serasa dibuang dan dicampakkan dengan kejam. Mendengar penjelasan mantan kekasih yang masih sangat ia cintai, jelas memang ada orang lain di antara keduanya."Tidak! Kamu tidak akan bisa bersama siapa pun!" Tyas menggebrak meja, menatap nyalang ke arah laptop yang masih setia menjadi perhatian Lingga."Aku di sini brengsek!" Tyas meraih benda kotak persegi tersebut, nyaris melayangkan ke lantai.Namun, Lingga berhasil menghentik
"Tyas?" Kening Reva mengerut, lantas mengingat senyum manis yang terlihat sempurna."Tyas Rosalina," ujar Reva kaku. Senyum itu memang khas, membuatnya tak terlalu lama mengingat."Iya, kamu masih ingat?" tanya gadis berambut sebahu di depannya, terlihat cantik menggunakan dress bermotif polkadot di atas lutut."Mana mungkin aku lupa dengan siswi populer di masanya." Reva terkekeh, meski tidak begitu dekat, beberapa kali Tyas pernah menegur saat berpapasan di sekolah. Apalagi keduanya sempat satu kelas."Boleh minta nomor ponselmu?" tutur Tyas secara mendadak."Dia tidak punya nomor untuk dibagikan denganmu." Tiba-tiba Lingga menarik Reva ke belakang punggung, menatap datar Tyas yang masih tersenyum ramah."Oh, sayang sekali," jawab Tyas kecewa, lalu kembali tersenyum. "Kalian dekat?" terlihat wajah Tyas begitu penasaran. Menggigit bibir, gadis tersebut melihat tangan Lingga yang menggenggam."Tidak," ujar Reva singkat, ia masih ingat bagaimana Tyas begitu memuja Lingga saat di sekolah
"Sebagai hukuman, jam pulang kerja silakan ke bagian gudang!" Sorot mata itu begitu tajam menghunus jantung, tak bisa dibantah meski Reva berusaha menjelaskan.Ratusan adonan yang sudah di profing, gagal karena ia memasukkan ragi yang sudah kadaluwarsa. Padahal, ia sudah mengecek tanggal sebelum mencampur bahan.Anehnya lagi, ragi yang ditemukan di meja kerjanya memang sudah kadaluwarsa.Beberapa pasang mata menatap tajam ke arahnya, bisik-bisik bernada sumbang terdengar. Namun, Reva tak begitu peduli."Dis, ini ragi aman kan?" Reva menyerahkan botol kecil dengan tutup berwarna kuning."Aman kok, cek aja," saran gadis dengan lesung di pipinya.Reva mengaktifkan ragi dengan air hangat yang dicampur sedikit gula, ia benar-benar tak enak hati pada Lingga. Sudah pasti kejadian tadi membuat kerugian pada usahanya."Duluan ya Rev," ucap Adisti saat jam pulang kerja mereka berakhir.Reva mengangguk sambil tersenyum, membersihkan peralatan yang telah digunakan.Suara detik jarum jam terdengar
Di sebuah kafe yang tak begitu jauh dari toko roti milik Lingga, lelaki tersebut mengeraskan rahang saat seorang gadis duduk di hadapan."Jangan mendekati masalah," ujarnya menahan amarah."Apakah salah, berteman dengan kawan lama?"Lingga berdecak dengan senyum sinis, menatap Tyas yang berpura-pura terlihat polos."Jangan salahkan aku jika nanti, kamu yang terbakar sendiri," ucap Lingga datar.Tyas nyaris saja tertawa kencang, tapi berusaha ia tahan."Terbakar sendiri? Semua ini karena kamu Lingga! Jika akhirnya aku terbakar maka kupastikan kamu menjadi abunya!" Melihat kedatangan Reva di kejauhan, suara Tyas terkesan berbisik."Apakah kalian sudah menunggu lama?" Tiba-tiba saja Reva duduk di antara Lingga dan Tyas. Melihat buku menu, gadis tersebut seolah tak menyadari ada kilat amarah yang terpancar dari sorot mata Lingga."Pesan apa saja yang kamu mau, aku yang traktir." Tyas tersenyum lembut, mengusap bahu Reva sedikit melirik ke arah Lingga. Seolah ia memperlihatkan kelebihannya
"Seperti apa?" tanya Lingga datar, ia masih sibuk mengunyah sarapan. Beberapa kali melihat ponsel yang ia letakkan di atas meja."Jangan mengirim uang keluargaku," ucap Reva tegas."Sebenarnya apa tujuanmu, mengambil ponselku." Reva terlihat kesal, ia tak ingin urusan keluarganya dicampuri."Aku hanya mencoba mendekatkan diri pada calon mertua," ucap Lingga tanpa beban. Namun, hal itu membuat Reva terbatuk. Ia mencoba menenangkan diri, setelah meneguk air putih di samping mangkuk.Apa yang Lingga bilang bukankah sangat keterlaluan? Bagaimana ia menyebut calon mertua, sementara hidup mereka bagai langit dan bumi."Hidupku sudah sulit Lingga," ucap Reva frustrasi. "Aku tidak ingin menambah masalah dengan menikah denganmu, cukup bertingkah konyol." Reva kehilangan napsu makan."Lantas apa tujuanku menjadikanmu kekasih?" Lingga malah membalikan pertanyaan yang seharusnya Reva tanyakan."Mengambil keuntungan dengan pengakuan status," tutur Reva menerka, ia juga tidak tahu mengapa pengakuan
Akibat ucapan Lingga yang terasa amat tidak adil terhadapnya, membuat Reva kehilangan akal sehat. Ia benar-benar ingin terlepas dengan perjanjian konyol ini."Apakah status menjadi kekasihku begitu melukai harga dirimu?!" Lingga kini menatap Reva dengan nyalang, kilat amarah begitu terpancar. Tangannya mengepal berusaha tak mencengkeram."Aku sudah kehilangan harga diriku sejak menyetujui tawaranmu," ujar Reva menahan rasa sesak, ia mulai membuka satu persatu kancing seragam kerjanya.Lingga terpaku sesaat, ada rasa sakit yang tergores di dalam sana. Dia berusaha menahan pergerakan tangan Reva yang kini terhenti di kancing ketiga.Bukankah ini adalah ancaman yang selalu Lingga lakukan saat ia membuat kesalahan? Maka, hari ini ia akan melakukannya."Hentikan, bodoh!" Lingga berteriak di depan wajah Reva. Matanya memerah, sebagai seorang lelaki ia tak pernah berpikir akan melukai harga diri Reva sampai sejauh ini."Lalu harus apa agar kamu melepaskanku?" Reva mendongak, jarak wajah kedu
"Apa ada masalah?" Di sepanjang perjalanan, Reva terlihat murung. Hal itu memancing rasa penasaran di hati Aldo.Tanpa menjawab Reva menggeleng. "Maaf harus merepotkanmu." Lebih tepatnya, ia memancing Aldo untuk masuk ke dalam masalah."Tidak apa-apa, kapan pun aku selalu ada." Aldo tersenyum, mematikan mesin motornya tepat di depan toko Lingga."kapan pun," ucap Reva menirukan ucapan Aldo dengan senyum lembut."Tentu saja," tutur Aldo. Memandang Reva dengan jarak seperti ini membuatnya merasakan saat bersekolah dulu. Wajah itu tak banyak berubah, masih sama membuatnya jatuh hati."Aku masuk dulu," ujar Reva dengan senyum canggung.Aldo memgangguk, lantas menyalakan mesin motor sebelum melaju.Reva masih berdiri, memperhatikan Aldo hingga punggungnya menjauh di antara lalu lalang pengendara yang lain. Menghela napas, gadis tersebut berjalan memasuki pintu belakang.Bisik-bisik kecil terdengar di antara karyawan yang berpapasan dengannya. Di loker, seorang gadis dengan seragam kasir ti
Seorang wanita paruh baya, tapi masih terlihat muda berdiri menyambut kedatangan Reva. Sementara Lingga, lelaki tersebut tidak terlihat di ruangan.Meneguk ludah, Reva terpaku di tempatnya berdiri."Kamu tinggal di sini?" tanya beliau masih terlihat ramah.Jantung Reva sudah berdetak tak karuan, sejujurnya ia kebingungan harus menjawab apa."Duduk sini, Reva." Beliau mengarahkan pandangan ke arah sofa. Dengan langkah pelan, Reva menggenggam erat plastik putih transparan di tangan kanan.Suara ruangan begitu hening, hanya detik jarum jam yang memecah sunyi."Apakah kamu berhubungan dengan Lingga?" tanya beliau, tepat saat Reva duduk berhadapan dengannya.Reva menggigit bibir, menunduk seolah tak lagi memiliki harga diri. Bagaimana bisa, Bu Ratri memergokinya tinggal satu atap dengan sang putra."Saya bisa jelaskan, Bu.""Menjelaskan dengan apa? Baju-bajumu bahkan berada di sini," ucap beliau lembut, tapi sorot matanya terlihat mengintimidasi. Baru saja Reva memberanikan diri membuka mu