"Sayang, kenapa berdiri di situ?" Lingga sudah berdiri, menyambut kedatangan Reva yang masuk tanpa mengikuti aturan.
Sementara gadis yang disambut malah menengok sekeliling, mencari tahu siapa yang dipanggil dengan sebutan sayang.Lingga lekas menutup pintu ruang kerja, menarik Reva ke dalam rengkuhan. Hanya bisa pasrah, ia menatap lengan kokoh itu dengan wajah cemberut."Dia yang aku ceritakan padamu," ucap Lingga bangga. Lelaki dengan jas rapi di depan sana terkejut mendapati Reva, ia hanya tersenyum canggung."Jadi, benar kalian cinta lama bersemi kembali?""Hah?" Dengan tampang bingung, Reva menatap Lingga penuh tanya."Aku tidak pernah bohong, Do," ucap Lingga dengan senyum kemenangan."Kenapa waktu itu, kamu tidak jujur saja, Rev?" Aldo masih tersenyum, meski terlihat ada kekecewaan dari sorot matanya.Reva yang mulai mengerti arah pembicaraan mereka, hanya mengikuti alur permainan Lingga."Dulu aku malu mengakuinya," ucap Reva disertai tawa yang terdengar dibuat-buat.Seingatnya, saat mereka masih SMA, Lingga tidak setampan sekarang, hanya siswa biasa yang kebetulan disukai siswi tercantik di sekolah. Hingga terdengar kabar, ia dan Lingga pernah menjalin kasih. Ya, rumor itu tak lain Lingga yang membuatnya.Mendengar jawaban tersebut, Lingga dan Aldo saling pandang.Dalam hitungan detik, keduanya tertawa, tawa yang terdengar sumbang di telinga."Kenapa malu. Apakah aku seburuk itu?" Lingga melirik ke arah gadis yang tingginya hanya sebatas pundak."Seingatku begitu," jawab Reva malas."Sekarang kamu percaya kan, Do? Aku dan Reva, memang saling mencintai dari dulu sampai saat ini."Mendengar penuturan Lingga, Reva nyaris saja tersedak ludahnya sendiri. Dia menatap Lingga dengan wajah yang luar biasa kesal."Jangan menatapku seperti itu, sayang." Lingga tersenyum, tiba-tiba melirik Reva. Terlihat tampan, tapi seperti sebuah ancaman."Jadi, ini semua masih dengan drama masa lalu?" tanya Reva yang lebih ditujukan untuk Lingga."Drama apa?" Aldo mengernyit."Masih tentang rumor aku dan Lingga di masa lalu?""Hey! Ini bukan rumor sayang." Lingga terlihat tak terima. Lelaki itu meremas bahu Reva hingga gadis itu nyaris kesakitan.Aldo terkekeh melihat adegan di depan mata. Seingatnya, Lingga dan Reva tak pernah sedekat itu, hanya pengakuan Lingga tanpa pembenaran dari Reva."Oke, aku masih ada pekerjaan lain. Lingga, jaga Reva baik-baik." Aldo berjalan mendekat ke arah keduanya. "Rev, boleh aku minta nomor ponselmu?" Terlihat tak ada gurat bercanda di sana. Meski di samping gadis itu, Lingga menatap dengan sorot mata kepemilikan.Reva yang memang berteman baik dengan Aldo saat SMA, hendak menerima ponsel lelaki itu. Hingga remasan kecil terasa di bahu, lengan Lingga berpindah menggenggam tangannya dengan lembut. Seolah memberi sinyal agar ia menolak menerima ponsel yang diulurkan Aldo."Maaf, aku lupa kalau ...." Reva bingung hendak mencari alasan."Tidak apa-apa, sayang." Senyum manis tersungging di bibir Lingga, hanya sebagai alibi semata karena kenyataannya, lelaki itu malah mencengkeram tangan Reva dengan kuat."Aku tidak bisa, karena menghargai Lingga sebagai kekasihku saat ini, maaf.""Meski hanya sebatas teman lama yang ingin berkomunikasi? Wah, komitmen kalian sungguh kuat." Aldo tersenyum, kentara menyembunyikan rasa kecewa.Tanpa sepatah kata, punggung Aldo menghilang di balik pintu, meninggalkan sejuta tanya yang tak mungkin bisa tersentuh lagi.Lingga melepas genggaman tangannya dengan kasar, menatap Reva dengan sorot mata datar."Kamu kekasihku, Nona. Haruskah kuingatkan berulang kali?!" Lingga menatap lekat, wajahnya nyaris mendekat."Dasar laki-laki tidak waras!" Reva melangkah mundur memberi jarak."Sepertinya, aku harus mengulangi kejadian semalam," ucap Lingga dengan wajah dingin. Reva yang masih terlihat berani, terus melangkah mundur hingga punggungnya menyentuh permukaan dinding."Berhenti Lingga atau aku teriak!""Silakan, ruangan ini kedap suara. Teriak saja sesukamu." Wajah Lingga kian mendekat, bahkan embusan napasnya terdengar memburu."Berhenti Lingga!" Reva menahan bahu kokoh itu dengan mata setengah terpejam, antara takut dan mencoba melawan.Sementara Lingga yang melihat ekspresi ketakutan Reva, terlihat senang. Hingga tanpa sadar, ia sedikit memberi jarak.Dalam diam, Reva memperhitungkan peluang untuk kabur, gadis tersebut lekas mendorong Lingga hingga memberi ruang gerak yang lebih leluasa, sedikit berlari hingga menyentuh pintu keluar dengan tergesa."Sungguh sial sekali," gumam Reva dengan bibir mengerucut. Bagaimana bisa, ia bertemu Lingga setelah enam tahun tak berjumpa. Di sepanjang lorong, gadis itu terus saja mengumpat.Dulu saat pertama kali bekerja di sini, bukan Lingga yang mengelola, melainkan Ibu Reswari dan beberapa bulan ini berpindah kepemilikan. Siapa sangka kalau Lingga adalah putra dari Ibu Reswari?Memikirkan hal itu, membuat Reva jadi kesal sendiri.***"Disuruh apa lagi?" tanya Adisti iba. Saat ini, keduanya menghabiskan jam makan siang di sebuah warung makan dekat pasar."Hanya disuruh menemani Pak Lingga, bertemu teman lama," ucap Reva lesu."Hah! Teman lama?" Adisti terlihat heran.Reva mengangguk, melihat kuah soto yang tinggal separuh."Dis, kamu ada simpanan tiga juta?" tanya Reva tak enak hati. Ia juga tahu kondisi keuangan Adisti, tapi tak tahu ke mana lagi mencari solusi."Kenapa?" Gadis dengan lesung di pipinya terlihat curiga. "Jangan bilang, kamu terjerat hutang?"Reva menghela napas lalu mengangguk."Pak Lingga, aku berhutang padanya.""Apa tidak bisa dengan sistem potong gaji?" tanya Adisti mencari solusi."Harus cash," jawab Reva lesu."Kenapa seperti itu? Bukannya Bu Reswari dulu ...."Ponsel Reva berbunyi, sederet huruf terpampang di layar. Seketika ia mengisyaratkan Adisti untuk diam."Halo, Pak!" Reva sudah menempelkan ponsel di telinga."Iya, Pak. Baik," ucap gadis itu menggeser layar dan kembali memasang wajah lemas tak bertenaga."Kenapa lagi?" Adisti mengernyit, kalau dipikir-pikir Reva terlihat sibuk sekali."Ada urusan, aku duluan ya."Tergesa memasuki pintu belakang, Reva segera menuju ke ruang pantry yang dibuat untuk fasilitas karyawan.Selain itu, ada mess karyawan di belakang toko, meski tidak di belakang persis. Itulah alasan mengapa ia enggan diantar oleh Lingga, takut menjadi rumor tak sedap di lingkungannya ."Loh, Mbak Reva. Tumben buat kopi?" tanya Bu Wati, beliau terlihat menenteng bungkusan makanan."Baru istirahat ya, Bu." Reva lebih memilih mengalihkan pembicaraan."Iya, Mbak."Aroma kopi tercium harum, air panas yang masih mengepul itu sudah berpindah pada cangkir keramik warna coklat muda. Senyum jail terbit di sudut bibir."Duluan ya, Bu," ucap gadis tersebut dengan senyum ramah. Wajahnya terlihat gembira, meski debaran dada tak bisa dipungkiri."Selamat siang, sayang," ujar Reva tanpa mengetuk pintu. Sedikit kesulitan saat membawa nampan."Dia siapa?" tanya seorang gadis yang duduk di hadapan Lingga. Wajah itu terlihat asing di ingatan, tapi saat pertama kali memandang, terkesan cantik dengan polesan bedak tipis."Ma--af, mau mengantar kopinya Pak Lingga," ucap Reva terbata. Tiba-tiba saja perasaannya menjadi tak enak."Kopinya buat dia," tutur Lingga dengan isyarat mata.Mendengar penuturan Lingga, Reva membeku di tempatnya berdiri. Sampai lelaki bermata tajam tersebut, harus menjemput di depan pintu.Seketika suasana menjadi hening, hingga gadis di sana bertanya dengan nada angkuh."Dia siapa?" ucapnya saat Lingga meletakkan kopi di atas meja. Lelaki itu dengan sigap menggantikan tugas Reva, memancing emosi gadis dengan dress merah tua."Tidak perlu canggung." Lingga berucap dengan datar. Sementara, ruangan ber-AC tersebut terasa menyesakkan bagi Reva, ia diapit dua sorot mata yang sama-sama memuakan."Jadi, dia ...?!" Isyarat mata gadis yang duduk di hadapan kursi kerja Lingga terlihat sombong, meski begitu, ia terlihat cantik dengan gincu berwarna pink alami.Reva yang merasa tak nyaman di tengah keduanya, teringat pada kopi yang ia buat. Sementara tamu Lingga mulai meraih cangkir di hadapan."Eh, jangan diminum?" Reva berusaha mencegah dengan menahan tangan.Namun, siapa sangka cairan hitam tersebut berpindah membasahi seragam Reva. Gadis dengan s
Sebuah kamar bernuansa abu-abu terpampang saat Lingga membuka pintu, tubuh kecil Reva diseret lantas dijatuhkan dengan kasar hingga rambutnya menutup sebagian wajah."Jangan mendekat!" Sorot mata Reva terlihat menahan amarah, melirik sekitar ia mencoba mencari sesuatu sebagai senjata. Tangannya meraih-raih apa saja yang bisa ditemukan, sayangnya nihil ia tak mendapati apa pun.Sementara ucapannya hanya sebuah angin lalu di telinga Lingga. Lelaki tersebut terus mendekat meski Reva kian menghindar.Hingga akhirnya, Lingga berhasil menindih tubuh kecil Reva dengan kasar, membuka satu persatu kancingnya secara perlahan, memperlihatkan warna dalaman yang dikenakan gadis tersebut.Reva menjerit histeris, berusaha memberontak, tapi tenaganya terlalu lemah. Terlebih satu tangan Lingga menekan kedua tangannya yang di tarik ke atas kepala."Laki-laki sialan!" Merasa terpojok, Reva meludah tepat mengenai wajah Lingga. Mendapat perlakuan demikian, pergerakan lelaki tersebut semakin beringas bagai
Di tempat kerja, seorang gadis tiba-tiba menerobos masuk. Sepasang mata terlihat penuh kilatan emosi menatap wajah datar Lingga."Apa karena gadis kampungan itu!" teriak gadis berambut sebahu dengan wajah cantik meski tanpa riasan."Apa maksudmu?" Lingga masih tetap tenang, menatap layar laptop yang menyala, tak terusik meski wanita di depannya saat ini sudah maju mendekat."Karena dia, kamu mengakhiri hubungan kita?""Jangan membawa orang lain, Tyas! Hubungan kita sudah berakhir ada ataupun tidak ada dia!"Senyum kesal tersungging, hatinya kian tercabik-cabik, serasa dibuang dan dicampakkan dengan kejam. Mendengar penjelasan mantan kekasih yang masih sangat ia cintai, jelas memang ada orang lain di antara keduanya."Tidak! Kamu tidak akan bisa bersama siapa pun!" Tyas menggebrak meja, menatap nyalang ke arah laptop yang masih setia menjadi perhatian Lingga."Aku di sini brengsek!" Tyas meraih benda kotak persegi tersebut, nyaris melayangkan ke lantai.Namun, Lingga berhasil menghentik
"Tyas?" Kening Reva mengerut, lantas mengingat senyum manis yang terlihat sempurna."Tyas Rosalina," ujar Reva kaku. Senyum itu memang khas, membuatnya tak terlalu lama mengingat."Iya, kamu masih ingat?" tanya gadis berambut sebahu di depannya, terlihat cantik menggunakan dress bermotif polkadot di atas lutut."Mana mungkin aku lupa dengan siswi populer di masanya." Reva terkekeh, meski tidak begitu dekat, beberapa kali Tyas pernah menegur saat berpapasan di sekolah. Apalagi keduanya sempat satu kelas."Boleh minta nomor ponselmu?" tutur Tyas secara mendadak."Dia tidak punya nomor untuk dibagikan denganmu." Tiba-tiba Lingga menarik Reva ke belakang punggung, menatap datar Tyas yang masih tersenyum ramah."Oh, sayang sekali," jawab Tyas kecewa, lalu kembali tersenyum. "Kalian dekat?" terlihat wajah Tyas begitu penasaran. Menggigit bibir, gadis tersebut melihat tangan Lingga yang menggenggam."Tidak," ujar Reva singkat, ia masih ingat bagaimana Tyas begitu memuja Lingga saat di sekolah
"Sebagai hukuman, jam pulang kerja silakan ke bagian gudang!" Sorot mata itu begitu tajam menghunus jantung, tak bisa dibantah meski Reva berusaha menjelaskan.Ratusan adonan yang sudah di profing, gagal karena ia memasukkan ragi yang sudah kadaluwarsa. Padahal, ia sudah mengecek tanggal sebelum mencampur bahan.Anehnya lagi, ragi yang ditemukan di meja kerjanya memang sudah kadaluwarsa.Beberapa pasang mata menatap tajam ke arahnya, bisik-bisik bernada sumbang terdengar. Namun, Reva tak begitu peduli."Dis, ini ragi aman kan?" Reva menyerahkan botol kecil dengan tutup berwarna kuning."Aman kok, cek aja," saran gadis dengan lesung di pipinya.Reva mengaktifkan ragi dengan air hangat yang dicampur sedikit gula, ia benar-benar tak enak hati pada Lingga. Sudah pasti kejadian tadi membuat kerugian pada usahanya."Duluan ya Rev," ucap Adisti saat jam pulang kerja mereka berakhir.Reva mengangguk sambil tersenyum, membersihkan peralatan yang telah digunakan.Suara detik jarum jam terdengar
Di sebuah kafe yang tak begitu jauh dari toko roti milik Lingga, lelaki tersebut mengeraskan rahang saat seorang gadis duduk di hadapan."Jangan mendekati masalah," ujarnya menahan amarah."Apakah salah, berteman dengan kawan lama?"Lingga berdecak dengan senyum sinis, menatap Tyas yang berpura-pura terlihat polos."Jangan salahkan aku jika nanti, kamu yang terbakar sendiri," ucap Lingga datar.Tyas nyaris saja tertawa kencang, tapi berusaha ia tahan."Terbakar sendiri? Semua ini karena kamu Lingga! Jika akhirnya aku terbakar maka kupastikan kamu menjadi abunya!" Melihat kedatangan Reva di kejauhan, suara Tyas terkesan berbisik."Apakah kalian sudah menunggu lama?" Tiba-tiba saja Reva duduk di antara Lingga dan Tyas. Melihat buku menu, gadis tersebut seolah tak menyadari ada kilat amarah yang terpancar dari sorot mata Lingga."Pesan apa saja yang kamu mau, aku yang traktir." Tyas tersenyum lembut, mengusap bahu Reva sedikit melirik ke arah Lingga. Seolah ia memperlihatkan kelebihannya
"Seperti apa?" tanya Lingga datar, ia masih sibuk mengunyah sarapan. Beberapa kali melihat ponsel yang ia letakkan di atas meja."Jangan mengirim uang keluargaku," ucap Reva tegas."Sebenarnya apa tujuanmu, mengambil ponselku." Reva terlihat kesal, ia tak ingin urusan keluarganya dicampuri."Aku hanya mencoba mendekatkan diri pada calon mertua," ucap Lingga tanpa beban. Namun, hal itu membuat Reva terbatuk. Ia mencoba menenangkan diri, setelah meneguk air putih di samping mangkuk.Apa yang Lingga bilang bukankah sangat keterlaluan? Bagaimana ia menyebut calon mertua, sementara hidup mereka bagai langit dan bumi."Hidupku sudah sulit Lingga," ucap Reva frustrasi. "Aku tidak ingin menambah masalah dengan menikah denganmu, cukup bertingkah konyol." Reva kehilangan napsu makan."Lantas apa tujuanku menjadikanmu kekasih?" Lingga malah membalikan pertanyaan yang seharusnya Reva tanyakan."Mengambil keuntungan dengan pengakuan status," tutur Reva menerka, ia juga tidak tahu mengapa pengakuan
Akibat ucapan Lingga yang terasa amat tidak adil terhadapnya, membuat Reva kehilangan akal sehat. Ia benar-benar ingin terlepas dengan perjanjian konyol ini."Apakah status menjadi kekasihku begitu melukai harga dirimu?!" Lingga kini menatap Reva dengan nyalang, kilat amarah begitu terpancar. Tangannya mengepal berusaha tak mencengkeram."Aku sudah kehilangan harga diriku sejak menyetujui tawaranmu," ujar Reva menahan rasa sesak, ia mulai membuka satu persatu kancing seragam kerjanya.Lingga terpaku sesaat, ada rasa sakit yang tergores di dalam sana. Dia berusaha menahan pergerakan tangan Reva yang kini terhenti di kancing ketiga.Bukankah ini adalah ancaman yang selalu Lingga lakukan saat ia membuat kesalahan? Maka, hari ini ia akan melakukannya."Hentikan, bodoh!" Lingga berteriak di depan wajah Reva. Matanya memerah, sebagai seorang lelaki ia tak pernah berpikir akan melukai harga diri Reva sampai sejauh ini."Lalu harus apa agar kamu melepaskanku?" Reva mendongak, jarak wajah kedu