Share

Bab 2. Tamu dari masa lalu

"Sayang, kenapa berdiri di situ?" Lingga sudah berdiri, menyambut kedatangan Reva yang masuk tanpa mengikuti aturan.

Sementara gadis yang disambut malah menengok sekeliling, mencari tahu siapa yang dipanggil dengan sebutan sayang.

Lingga lekas menutup pintu ruang kerja, menarik Reva ke dalam rengkuhan. Hanya bisa pasrah, ia menatap lengan kokoh itu dengan wajah cemberut.

"Dia yang aku ceritakan padamu," ucap Lingga bangga. Lelaki dengan jas rapi di depan sana terkejut mendapati Reva, ia hanya tersenyum canggung.

"Jadi, benar kalian cinta lama bersemi kembali?"

"Hah?" Dengan tampang bingung, Reva menatap Lingga penuh tanya.

"Aku tidak pernah bohong, Do," ucap Lingga dengan senyum kemenangan.

"Kenapa waktu itu, kamu tidak jujur saja, Rev?" Aldo masih tersenyum, meski terlihat ada kekecewaan dari sorot matanya.

Reva yang mulai mengerti arah pembicaraan mereka, hanya mengikuti alur permainan Lingga.

"Dulu aku malu mengakuinya," ucap Reva disertai tawa yang terdengar dibuat-buat.

Seingatnya, saat mereka masih SMA, Lingga tidak setampan sekarang, hanya siswa biasa yang kebetulan disukai siswi tercantik di sekolah. Hingga terdengar kabar, ia dan Lingga pernah menjalin kasih. Ya, rumor itu tak lain Lingga yang membuatnya.

Mendengar jawaban tersebut, Lingga dan Aldo saling pandang.

Dalam hitungan detik, keduanya tertawa, tawa yang terdengar sumbang di telinga.

"Kenapa malu. Apakah aku seburuk itu?" Lingga melirik ke arah gadis yang tingginya hanya sebatas pundak.

"Seingatku begitu," jawab Reva malas.

"Sekarang kamu percaya kan, Do? Aku dan Reva, memang saling mencintai dari dulu sampai saat ini."

Mendengar penuturan Lingga, Reva nyaris saja tersedak ludahnya sendiri. Dia menatap Lingga dengan wajah yang luar biasa kesal.

"Jangan menatapku seperti itu, sayang." Lingga tersenyum, tiba-tiba melirik Reva. Terlihat tampan, tapi seperti sebuah ancaman.

"Jadi, ini semua masih dengan drama masa lalu?" tanya Reva yang lebih ditujukan untuk Lingga.

"Drama apa?" Aldo mengernyit.

"Masih tentang rumor aku dan Lingga di masa lalu?"

"Hey! Ini bukan rumor sayang." Lingga terlihat tak terima. Lelaki itu meremas bahu Reva hingga gadis itu nyaris kesakitan.

Aldo terkekeh melihat adegan di depan mata. Seingatnya, Lingga dan Reva tak pernah sedekat itu, hanya pengakuan Lingga tanpa pembenaran dari Reva.

"Oke, aku masih ada pekerjaan lain. Lingga, jaga Reva baik-baik." Aldo berjalan mendekat ke arah keduanya. "Rev, boleh aku minta nomor ponselmu?" Terlihat tak ada gurat bercanda di sana. Meski di samping gadis itu, Lingga menatap dengan sorot mata kepemilikan.

Reva yang memang berteman baik dengan Aldo saat SMA, hendak menerima ponsel lelaki itu. Hingga remasan kecil terasa di bahu, lengan Lingga berpindah menggenggam tangannya dengan lembut. Seolah memberi sinyal agar ia menolak menerima ponsel yang diulurkan Aldo.

"Maaf, aku lupa kalau ...." Reva bingung hendak mencari alasan.

"Tidak apa-apa, sayang." Senyum manis tersungging di bibir Lingga, hanya sebagai alibi semata karena kenyataannya, lelaki itu malah mencengkeram tangan Reva dengan kuat.

"Aku tidak bisa, karena menghargai Lingga sebagai kekasihku saat ini, maaf."

"Meski hanya sebatas teman lama yang ingin berkomunikasi? Wah, komitmen kalian sungguh kuat." Aldo tersenyum, kentara menyembunyikan rasa kecewa.

Tanpa sepatah kata, punggung Aldo menghilang di balik pintu, meninggalkan sejuta tanya yang tak mungkin bisa tersentuh lagi.

Lingga melepas genggaman tangannya dengan kasar, menatap Reva dengan sorot mata datar.

"Kamu kekasihku, Nona. Haruskah kuingatkan berulang kali?!" Lingga menatap lekat, wajahnya nyaris mendekat.

"Dasar laki-laki tidak waras!" Reva melangkah mundur memberi jarak.

"Sepertinya, aku harus mengulangi kejadian semalam," ucap Lingga dengan wajah dingin. Reva yang masih terlihat berani, terus melangkah mundur hingga punggungnya menyentuh permukaan dinding.

"Berhenti Lingga atau aku teriak!"

"Silakan, ruangan ini kedap suara. Teriak saja sesukamu." Wajah Lingga kian mendekat, bahkan embusan napasnya terdengar memburu.

"Berhenti Lingga!" Reva menahan bahu kokoh itu dengan mata setengah terpejam, antara takut dan mencoba melawan.

Sementara Lingga yang melihat ekspresi ketakutan Reva, terlihat senang. Hingga tanpa sadar, ia sedikit memberi jarak.

Dalam diam, Reva memperhitungkan peluang untuk kabur, gadis tersebut lekas mendorong Lingga hingga memberi ruang gerak yang lebih leluasa, sedikit berlari hingga menyentuh pintu keluar dengan tergesa.

"Sungguh sial sekali," gumam Reva dengan bibir mengerucut. Bagaimana bisa, ia bertemu Lingga setelah enam tahun tak berjumpa. Di sepanjang lorong, gadis itu terus saja mengumpat.

Dulu saat pertama kali bekerja di sini, bukan Lingga yang mengelola, melainkan Ibu Reswari dan beberapa bulan ini berpindah kepemilikan. Siapa sangka kalau Lingga adalah putra dari Ibu Reswari?

Memikirkan hal itu, membuat Reva jadi kesal sendiri.

***

"Disuruh apa lagi?" tanya Adisti iba. Saat ini, keduanya menghabiskan jam makan siang di sebuah warung makan dekat pasar.

"Hanya disuruh menemani Pak Lingga, bertemu teman lama," ucap Reva lesu.

"Hah! Teman lama?" Adisti terlihat heran.

Reva mengangguk, melihat kuah soto yang tinggal separuh.

"Dis, kamu ada simpanan tiga juta?" tanya Reva tak enak hati. Ia juga tahu kondisi keuangan Adisti, tapi tak tahu ke mana lagi mencari solusi.

"Kenapa?" Gadis dengan lesung di pipinya terlihat curiga. "Jangan bilang, kamu terjerat hutang?"

Reva menghela napas lalu mengangguk.

"Pak Lingga, aku berhutang padanya."

"Apa tidak bisa dengan sistem potong gaji?" tanya Adisti mencari solusi.

"Harus cash," jawab Reva lesu.

"Kenapa seperti itu? Bukannya Bu Reswari dulu ...."

Ponsel Reva berbunyi, sederet huruf terpampang di layar. Seketika ia mengisyaratkan Adisti untuk diam.

"Halo, Pak!" Reva sudah menempelkan ponsel di telinga.

"Iya, Pak. Baik," ucap gadis itu menggeser layar dan kembali memasang wajah lemas tak bertenaga.

"Kenapa lagi?" Adisti mengernyit, kalau dipikir-pikir Reva terlihat sibuk sekali.

"Ada urusan, aku duluan ya."

Tergesa memasuki pintu belakang, Reva segera menuju ke ruang pantry yang dibuat untuk fasilitas karyawan.

Selain itu, ada mess karyawan di belakang toko, meski tidak di belakang persis. Itulah alasan mengapa ia enggan diantar oleh Lingga, takut menjadi rumor tak sedap di lingkungannya .

"Loh, Mbak Reva. Tumben buat kopi?" tanya Bu Wati, beliau terlihat menenteng bungkusan makanan.

"Baru istirahat ya, Bu." Reva lebih memilih mengalihkan pembicaraan.

"Iya, Mbak."

Aroma kopi tercium harum, air panas yang masih mengepul itu sudah berpindah pada cangkir keramik warna coklat muda. Senyum jail terbit di sudut bibir.

"Duluan ya, Bu," ucap gadis tersebut dengan senyum ramah. Wajahnya terlihat gembira, meski debaran dada tak bisa dipungkiri.

"Selamat siang, sayang," ujar Reva tanpa mengetuk pintu. Sedikit kesulitan saat membawa nampan.

"Dia siapa?" tanya seorang gadis yang duduk di hadapan Lingga. Wajah itu terlihat asing di ingatan, tapi saat pertama kali memandang, terkesan cantik dengan polesan bedak tipis.

"Ma--af, mau mengantar kopinya Pak Lingga," ucap Reva terbata. Tiba-tiba saja perasaannya menjadi tak enak.

"Kopinya buat dia," tutur Lingga dengan isyarat mata.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status