Di tempat kerja, seorang gadis tiba-tiba menerobos masuk. Sepasang mata terlihat penuh kilatan emosi menatap wajah datar Lingga.
"Apa karena gadis kampungan itu!" teriak gadis berambut sebahu dengan wajah cantik meski tanpa riasan."Apa maksudmu?" Lingga masih tetap tenang, menatap layar laptop yang menyala, tak terusik meski wanita di depannya saat ini sudah maju mendekat."Karena dia, kamu mengakhiri hubungan kita?""Jangan membawa orang lain, Tyas! Hubungan kita sudah berakhir ada ataupun tidak ada dia!"Senyum kesal tersungging, hatinya kian tercabik-cabik, serasa dibuang dan dicampakkan dengan kejam. Mendengar penjelasan mantan kekasih yang masih sangat ia cintai, jelas memang ada orang lain di antara keduanya."Tidak! Kamu tidak akan bisa bersama siapa pun!" Tyas menggebrak meja, menatap nyalang ke arah laptop yang masih setia menjadi perhatian Lingga."Aku di sini brengsek!" Tyas meraih benda kotak persegi tersebut, nyaris melayangkan ke lantai.Namun, Lingga berhasil menghentikan kelakuan bar-bar Tyas."Cukup, Tyas! Aku tidak lagi mencintaimu. " Sorot mata itu terlihat marah, menahan untuk tak memperlakukan gadis di depannya kasar ."Atas dasar apa kamu memperlakukanku seperti ini?" Tyas tak terima, sebagai primadona di sekolah dan kampus. Ia selalu menolak pria mana pun dan memilih mengejar Lingga meski susah payah. Setelah menjalin hubungan lebih dari tiga tahun, Lingga malah memilih mengakhiri secara sepihak."Aku kira tidak ada lagi yang perlu kujelaskan padamu, hubungan kita sudah berakhir." Lingga menghela napas, menarik tangan Tyas dengan lembut. Bagaimanapun, gadis tersebut pernah singgah di hatinya dan ada banyak kenangan yang mereka ukir bersama."Ganti sandi apartemenmu seperti dulu, kumohon Lingga!" Kini dia bersimpuh, tangisan menyayat hati tak membuat Lingga iba."Cukup Tyas, aku sibuk!"***Reva melihat jam dinding yang terus berputar tanpa henti, rasa bosan kian mendominasi. Bolak-balik melihat pemandangan di bawah balkon, tapi tak ada yang menarik.Hingga perutnya berbunyi, bau tubuhnya pun sudah tercium tak sedap, sejak kemarin ia belum mandi.Memilih membuka lemari, ia mencari baju yang sekiranya masih bisa ia pakai. Haruskah ia menggunakan baju Lingga? Gadis tersebut memejamkan mata memilih mengurungkan niatnya."Ponsel, ke mana ponselku." Reva terus mencari-cari ke sekeliling hingga bunyi pintu terdengar.Reva berjalan mengendap-endap ke dekat pintu kamar, penasaran akan siapa yang datang."Reva!" Suara berat Lingga menyapa. Demi apa pun, Reva ingin pergi dari tempat ini, tapi bagaimana caranya.Dengan hati-hati, Reva membuka pintu kamar. Melihat Lingga membawa koper biru laut yang sama persis dengan miliknya, gadis tersebut membelalakkan mata."Kenapa kamu membawanya kemari?" Reva terlihat kebingungan, perasaannya makin tidak tenang."Mulai sekarang, tinggal bersamaku di sini! Satu kesalahan satu hukuman!" ucap Lingga tanpa bisa ditolak."Aku tidak mau!""Ucapkan sekali lagi, maka kupastikan kamu menjadi milikku, Reva!" Lingga berjalan mendekat, memeluk pinggang rampingnya kuat.Tatapan keduanya terkunci, hingga debaran yang tidak seharusnya Reva rasakan membuat gadis tersebut mendorong tubuh Lingga."Baiklah, asal aku tetap bisa bekerja!" Reva tahu, keadaannya teramat sulit jika tak menuruti apa yang Lingga mau. Daripada terkurung di sini sepanjang hari, ia lebih baik membuat kesepakatan bersama."Apa kamu bisa dipercaya untuk tidak kabur dariku?" Lingga bersedekap, terlihat mencari kejujuran dari mata Reva."Aku akan menikah denganmu, jika aku berbohong." Reva terlihat yakin saat mengatakannya, meski hatinya begitu ketar-ketir juga."Oke! Sepakat," ucap Lingga mengulurkan tangan.Reva mengangguk, tidak menatap Lingga juga enggan menyambut uluran tangan lelaki tersebut, dia lebih memilih menatap lantai kamar."Keluar dan makanlah, setelah itu mandi, bau tubuhmu membuatku mual." Lingga mengatakannya dengan datar lantas berlalu.Reva duduk di tepi ranjang, sungguh kenyataan siang ini membuatnya kehilangan tenaga.Di ruang makan, Lingga terlihat sibuk memainkan ponsel saat Reva datang. Gadis tersebut mengenakan atasan kaos oversized dengan celana jeans pendek di bawah lutut.Lingga menghentikan kesibukannya, menatap Reva yang sudah terlihat segar setelah mandi."Makanlah, setelah ini aku akan mengajakmu jalan-jalan .""Aku tidak ingin keluar," ucap Reva enggan, ia menurut untuk duduk di hadapan Lingga saat melihat sebungkus nasi padang kesukaannya tersaji.Sepertinya, Lingga mengetahu cara membuat mood-nya membaik."Dari mana kamu tahu aku suka makanan ini?"Lingga terkekeh. "Sepertinya makanan apa pun kamu menyukainya," tutur Lingga dengan nada mengejek.Memilih tidak meladeni ucapan laki-laki di depannya, Reva menyuapkan nasi yang sudah tercampur kuah pedas.Usai menyantap hidangan pedas gurih dengan ayam yang terasa renyah, Reva terlihat serius bertanya."Tadi, ada seorang gadis datang, sepertinya dia mencarimu. Namun, aku tidak bisa membuka pintu.""Apa kamu melihatnya?"Reva menggeleng, dia bahkan tidak bersuara saat gadis tersebut berteriak memanggil nama Lingga dan menggedor pintu seperti kesetanan."Tidak perlu tahu, lagipula itu bukan urusanmu," jawab Lingga datar tanpa ekspresi. Reva mengerucutkan bibir, sebenarnya sangat penasaran."Aku hanya memberitahu, untuk apa ingin tahu urusanmu!" Reva beranjak pergi, meninggalkan Lingga dengan wajah dinginnya.Reva mulai terbiasa tinggal di sana, tidur di kasur milik Lingga. Sepertinya, untuk mengurangi rasa bosan gadis tersebut akan merapikan apartemen atau membuat kue panggang.Apa saja yang sekiranya dapat mengatasi kebosanan."Apa kamu belum berganti pakaian?" tanya Lingga saat mendapati Reva keluar dari kamar."Memangnya mau ke mana?" Kening gadis tersebut mengernyit."Satu kesalahan satu hukuman," ujar Lingga dengan santai.Mendengar ucapan Lingga, Reva lekas berlari menutup pintu. Seharusnya ia tidak menyepelekan setiap ucapannya.Mencari baju yang masih berada di dalam koper, Reva memilih dress polos di bawah lutut. Satu-satunya baju terbaik yang baru dia beli lima bulan lalu.Siapa sangka akan dipakai untuk berkencan dengan Lingga. Kepala Reva menggeleng, membayangkannya saja sudah sangat membuat muak."Jangan terlalu lama, aku hanya mengajakmu belanja bulanan bukan berkencan!" Lingga sudah berteriak tak sabar.Memilih membiarkan rambutnya tergerai, Reva lekas membuka pintu."Kenapa aku harus ikut belanja bulanan?" Gadis tersebut tidak mengerti dengan jalan pikiran Lingga."Mulai sekarang, kamu yang akan memasak dan menyiapkan keperluanku. Jadi, belilah apa yang sekiranya kamu butuh." Lingga berucap dengan tenang, mengambil kunci mobil sebelum akhirnya melangkah masuk ke sebuah ruangan yang berada di sebelah kamar.Mendengar penuturan tersebut, Reva hanya bisa menghela napas kasar. Sepertinya, Lingga tipe manusia yang tidak ingin dibantah, mendominasi dan keras. Reva terus berpikir bagaimana bisa lepas dari Lingga.Hingga lelaki yang sedari tadi mengganggu pikirannya berdiri di hadapan, mengenakan pakaian yang terlihat santai dengan kaos putih serta jaket berwarna hitam. Terlihat jauh lebih tampan dari yang biasa ia lihat."Berapa sandi ponselmu?" tanya Lingga tanpa menoleh."Dua puluh dua, lima, empat, tiga belas," ucap Reva terlihat ragu, meski ia tahu jelas kalau Lingga tidak bermaksud buruk. Lingga terlihat sibuk menekan tombol di dekat pintu. Mengubah pengaturan sandi kemudian menjelaskan."Mulai sekarang, sandi apartemen ini adalah sandi ponselmu. Kamu bisa keluar masuk sesukamu, tapi ingat, jangan berusaha kabur dariku!" Lingga menggenggam tangannya dengan hangat lantas menuntun keluar.***Di sebuah pusat perbelanjaan yang begitu ramai, Reva terlihat memilih barang apa saja yang hendak dibeli. Kali ini tanpa peduli dengan nominal ataupun takut jika uangnya kurang, dia tidak lagi mengalami hal mendebarkan tersebut."Reva!" ucap gadis cantik dengan gincu berwarna nude. Rambut sebahunya tampak lurus alami, terlihat begitu memesona.Kening Reva mengerut, berusaha mengingat siapa gadis yang menyapa."Ini aku, kamu lupa?""Tyas?" Kening Reva mengerut, lantas mengingat senyum manis yang terlihat sempurna."Tyas Rosalina," ujar Reva kaku. Senyum itu memang khas, membuatnya tak terlalu lama mengingat."Iya, kamu masih ingat?" tanya gadis berambut sebahu di depannya, terlihat cantik menggunakan dress bermotif polkadot di atas lutut."Mana mungkin aku lupa dengan siswi populer di masanya." Reva terkekeh, meski tidak begitu dekat, beberapa kali Tyas pernah menegur saat berpapasan di sekolah. Apalagi keduanya sempat satu kelas."Boleh minta nomor ponselmu?" tutur Tyas secara mendadak."Dia tidak punya nomor untuk dibagikan denganmu." Tiba-tiba Lingga menarik Reva ke belakang punggung, menatap datar Tyas yang masih tersenyum ramah."Oh, sayang sekali," jawab Tyas kecewa, lalu kembali tersenyum. "Kalian dekat?" terlihat wajah Tyas begitu penasaran. Menggigit bibir, gadis tersebut melihat tangan Lingga yang menggenggam."Tidak," ujar Reva singkat, ia masih ingat bagaimana Tyas begitu memuja Lingga saat di sekolah
"Sebagai hukuman, jam pulang kerja silakan ke bagian gudang!" Sorot mata itu begitu tajam menghunus jantung, tak bisa dibantah meski Reva berusaha menjelaskan.Ratusan adonan yang sudah di profing, gagal karena ia memasukkan ragi yang sudah kadaluwarsa. Padahal, ia sudah mengecek tanggal sebelum mencampur bahan.Anehnya lagi, ragi yang ditemukan di meja kerjanya memang sudah kadaluwarsa.Beberapa pasang mata menatap tajam ke arahnya, bisik-bisik bernada sumbang terdengar. Namun, Reva tak begitu peduli."Dis, ini ragi aman kan?" Reva menyerahkan botol kecil dengan tutup berwarna kuning."Aman kok, cek aja," saran gadis dengan lesung di pipinya.Reva mengaktifkan ragi dengan air hangat yang dicampur sedikit gula, ia benar-benar tak enak hati pada Lingga. Sudah pasti kejadian tadi membuat kerugian pada usahanya."Duluan ya Rev," ucap Adisti saat jam pulang kerja mereka berakhir.Reva mengangguk sambil tersenyum, membersihkan peralatan yang telah digunakan.Suara detik jarum jam terdengar
Di sebuah kafe yang tak begitu jauh dari toko roti milik Lingga, lelaki tersebut mengeraskan rahang saat seorang gadis duduk di hadapan."Jangan mendekati masalah," ujarnya menahan amarah."Apakah salah, berteman dengan kawan lama?"Lingga berdecak dengan senyum sinis, menatap Tyas yang berpura-pura terlihat polos."Jangan salahkan aku jika nanti, kamu yang terbakar sendiri," ucap Lingga datar.Tyas nyaris saja tertawa kencang, tapi berusaha ia tahan."Terbakar sendiri? Semua ini karena kamu Lingga! Jika akhirnya aku terbakar maka kupastikan kamu menjadi abunya!" Melihat kedatangan Reva di kejauhan, suara Tyas terkesan berbisik."Apakah kalian sudah menunggu lama?" Tiba-tiba saja Reva duduk di antara Lingga dan Tyas. Melihat buku menu, gadis tersebut seolah tak menyadari ada kilat amarah yang terpancar dari sorot mata Lingga."Pesan apa saja yang kamu mau, aku yang traktir." Tyas tersenyum lembut, mengusap bahu Reva sedikit melirik ke arah Lingga. Seolah ia memperlihatkan kelebihannya
"Seperti apa?" tanya Lingga datar, ia masih sibuk mengunyah sarapan. Beberapa kali melihat ponsel yang ia letakkan di atas meja."Jangan mengirim uang keluargaku," ucap Reva tegas."Sebenarnya apa tujuanmu, mengambil ponselku." Reva terlihat kesal, ia tak ingin urusan keluarganya dicampuri."Aku hanya mencoba mendekatkan diri pada calon mertua," ucap Lingga tanpa beban. Namun, hal itu membuat Reva terbatuk. Ia mencoba menenangkan diri, setelah meneguk air putih di samping mangkuk.Apa yang Lingga bilang bukankah sangat keterlaluan? Bagaimana ia menyebut calon mertua, sementara hidup mereka bagai langit dan bumi."Hidupku sudah sulit Lingga," ucap Reva frustrasi. "Aku tidak ingin menambah masalah dengan menikah denganmu, cukup bertingkah konyol." Reva kehilangan napsu makan."Lantas apa tujuanku menjadikanmu kekasih?" Lingga malah membalikan pertanyaan yang seharusnya Reva tanyakan."Mengambil keuntungan dengan pengakuan status," tutur Reva menerka, ia juga tidak tahu mengapa pengakuan
Akibat ucapan Lingga yang terasa amat tidak adil terhadapnya, membuat Reva kehilangan akal sehat. Ia benar-benar ingin terlepas dengan perjanjian konyol ini."Apakah status menjadi kekasihku begitu melukai harga dirimu?!" Lingga kini menatap Reva dengan nyalang, kilat amarah begitu terpancar. Tangannya mengepal berusaha tak mencengkeram."Aku sudah kehilangan harga diriku sejak menyetujui tawaranmu," ujar Reva menahan rasa sesak, ia mulai membuka satu persatu kancing seragam kerjanya.Lingga terpaku sesaat, ada rasa sakit yang tergores di dalam sana. Dia berusaha menahan pergerakan tangan Reva yang kini terhenti di kancing ketiga.Bukankah ini adalah ancaman yang selalu Lingga lakukan saat ia membuat kesalahan? Maka, hari ini ia akan melakukannya."Hentikan, bodoh!" Lingga berteriak di depan wajah Reva. Matanya memerah, sebagai seorang lelaki ia tak pernah berpikir akan melukai harga diri Reva sampai sejauh ini."Lalu harus apa agar kamu melepaskanku?" Reva mendongak, jarak wajah kedu
"Apa ada masalah?" Di sepanjang perjalanan, Reva terlihat murung. Hal itu memancing rasa penasaran di hati Aldo.Tanpa menjawab Reva menggeleng. "Maaf harus merepotkanmu." Lebih tepatnya, ia memancing Aldo untuk masuk ke dalam masalah."Tidak apa-apa, kapan pun aku selalu ada." Aldo tersenyum, mematikan mesin motornya tepat di depan toko Lingga."kapan pun," ucap Reva menirukan ucapan Aldo dengan senyum lembut."Tentu saja," tutur Aldo. Memandang Reva dengan jarak seperti ini membuatnya merasakan saat bersekolah dulu. Wajah itu tak banyak berubah, masih sama membuatnya jatuh hati."Aku masuk dulu," ujar Reva dengan senyum canggung.Aldo memgangguk, lantas menyalakan mesin motor sebelum melaju.Reva masih berdiri, memperhatikan Aldo hingga punggungnya menjauh di antara lalu lalang pengendara yang lain. Menghela napas, gadis tersebut berjalan memasuki pintu belakang.Bisik-bisik kecil terdengar di antara karyawan yang berpapasan dengannya. Di loker, seorang gadis dengan seragam kasir ti
Seorang wanita paruh baya, tapi masih terlihat muda berdiri menyambut kedatangan Reva. Sementara Lingga, lelaki tersebut tidak terlihat di ruangan.Meneguk ludah, Reva terpaku di tempatnya berdiri."Kamu tinggal di sini?" tanya beliau masih terlihat ramah.Jantung Reva sudah berdetak tak karuan, sejujurnya ia kebingungan harus menjawab apa."Duduk sini, Reva." Beliau mengarahkan pandangan ke arah sofa. Dengan langkah pelan, Reva menggenggam erat plastik putih transparan di tangan kanan.Suara ruangan begitu hening, hanya detik jarum jam yang memecah sunyi."Apakah kamu berhubungan dengan Lingga?" tanya beliau, tepat saat Reva duduk berhadapan dengannya.Reva menggigit bibir, menunduk seolah tak lagi memiliki harga diri. Bagaimana bisa, Bu Ratri memergokinya tinggal satu atap dengan sang putra."Saya bisa jelaskan, Bu.""Menjelaskan dengan apa? Baju-bajumu bahkan berada di sini," ucap beliau lembut, tapi sorot matanya terlihat mengintimidasi. Baru saja Reva memberanikan diri membuka mu
Lingga mengeraskan rahang saat melihat kamar yang di tempati Reva sudah kosong. Gadis tersebut benar-benar membuktikan ucapannya dengan menentang apa yang ia perintahkan.Ini kali pertama Lingga dibantah dan merasa ditolak tanpa basa-basi. Baru saja ia hendak keluar mencari Reva, seseorang sudah menghalangi langkah tepat saat pintu terbuka."Apa kabar Lingga?" Senyum sinis terukir. "Mencari gadis murahan itu?"Tangan Lingga mengepal menahan emosi yang nyatanya tak bisa ia tahan, buku-buku tangan menyentuh permukaan pintu dengan kasar. Meninggalkan suara keras yang lumayan membuat Tyas terkejut."Apa kamu benar-benar gila karena gadis itu? Bagaimana ... sudahkah kamu hancur?" Tyas bersedekap, lantas terkekeh mendapati kemeja Lingga yang terlihat lusuh."Apa urusanmu terhadapku?" tanya Lingga muak."Tentu saja kehancuranku menjadi kehancuranmu, bukan begitu?""Aku tidak punya waktu," ujar Lingga datar. Lelaki dengan mata tajam tersebut memilih tak peduli. Menutup pintu apartemen, lantas