Share

Bab 6 Masalah Baru

"Tyas?" Kening Reva mengerut, lantas mengingat senyum manis yang terlihat sempurna.

"Tyas Rosalina," ujar Reva kaku. Senyum itu memang khas, membuatnya tak terlalu lama mengingat.

"Iya, kamu masih ingat?" tanya gadis berambut sebahu di depannya, terlihat cantik menggunakan dress bermotif polkadot di atas lutut.

"Mana mungkin aku lupa dengan siswi populer di masanya." Reva terkekeh, meski tidak begitu dekat, beberapa kali Tyas pernah menegur saat berpapasan di sekolah. Apalagi keduanya sempat satu kelas.

"Boleh minta nomor ponselmu?" tutur Tyas secara mendadak.

"Dia tidak punya nomor untuk dibagikan denganmu." Tiba-tiba Lingga menarik Reva ke belakang punggung, menatap datar Tyas yang masih tersenyum ramah.

"Oh, sayang sekali," jawab Tyas kecewa, lalu kembali tersenyum. "Kalian dekat?" terlihat wajah Tyas begitu penasaran. Menggigit bibir, gadis tersebut melihat tangan Lingga yang menggenggam.

"Tidak," ujar Reva singkat, ia masih ingat bagaimana Tyas begitu memuja Lingga saat di sekolah.

Reva Berusaha melepaskan jemari Lingga, tapi genggaman itu malah beralih kepundak, merangkul dengan hangat meski terasa mencengkram. Reva berusaha tersenyum, lebih terlihat meringis menahan sakit.

"Ya, dia kekasihku." Lingga mengalihkan fokus ke arah Reva, meski terkesan dingin terlihat lelaki tersebut begitu tulus.

Reva menggigit bibir bawahnya kuat, merasa telah melukai perasaan Tyas. Meski begitu, kejadian tersebut sudah terlalu lama. Dia yakin, gadis secantik Tyas sudah move on dari Lingga.

"Begitu rupanya ...." Tyas mengangguk mengerti. "Aku duluan ya Rev," ucap gadis cantik tersebut ramah, menepuk bahu Reva dengan lembut lantas berlalu.

Namun, saat Tyas menjauh, Reva tak sengaja melihat tespact menyembul di antara belanjaan lain.

"Apa dia sudah menikah?" gumam Reva.

"Apa?" Lingga yang mendengar dengan jelas ucapan Reva, mengerutkan kening.

"Apa!?" Reva melebarkan mata, kalau bukan di keramaian sudah pasti ia memukul dada bidang Lingga dengan kuat. "Jangan pura-pura bodoh! Dulu Tyas menyukaimu. Mengapa kamu malah mengatakan hubungan kita yang konyol ini?"

"Kau terlihat manis saat cemburu?" Lingga tersenyum setengah, terlihat tampan meski terkesan sinis.

"Huh! Untuk apa? Bahkan aku ingin memukulmu setiap kita berpapasan." Reva terus saja mengumpat, mengambil sayur dan bahan roti untuk mengisi waktu. Namun, Lingga seolah sibuk dengan pemikirannya sendiri, tanpa membantu membawa belanjaan sama sekali.

Setelah usai dengan belanjaan yang cukup banyak. Reva terdiam, merasa aneh dengan sikap Lingga. Dengan penampilan dan pencapaian Lingga saat ini, tentu mudah untuk memiliki kekasih yang lebih dari dirinya.

"Mengapa kamu menjadikanku kekasihmu?" Teringat pengakuan Lingga yang terasa berlebihan di depan Tyas, Reva kembali penasaran dengan alasan Lingga.

Lingga hanya diam, seolah tak mendengar apa yang dikatakan oleh gadis di sampingnya.

"Aku bicara denganmu!"

"Dan aku tak ingin bicara!" Lingga menjawab datar, menatap fokus dengan setir kemudi yang berada di depannya.

Reva menutup mulut rapat, takut membuat lelaki di sampingnya marah. Kenyataan macam apa ini, hidupnya seperti terkekang meski sekedar mengungkap isi hati.

Reva merasa ada sesuatu yang aneh pada Lingga, sejak pertemuannya dengan Tyas. Lingga jadi tak banyak berbicara, bahkan terkesan enggan berdebat meski ia terus mengoceh saat berbelanja.

Di dapur apartemen, Reva sibuk memotong wortel, masih melihat Lingga yang duduk dengan laptop di depannya. Lelaki itu terlihat tenang, meski wajahnya tekesan dingin dan menakutkan. Suara pisau dan talenan beradu di ruang sunyi tersebut, demi apapun Reva tak menyukai keadaan ini.

"Makanlah!" Reva meletakkan semangkuk mie rebus lengkap dengan wortel di atasnya.

Senyum sinis tersungging di wajah tampan Lingga, Reva sudah bersiap dengan hinaan lelaki tersebut.

Namun, lagi-lagi suasana ruang makan terasa hening. Lingga dengan tenang menyuapkan mie instan buatannya. Sementara ia terus menatap tanpa berkedip, mencari tahu mengapa Lingga tak mengomel sama sekali.

"Jangan menatapku seperti itu!" tutur Lingga meski tak melihat ke arah Reva.

"Di mana ponselku!" Reva membernaikan diri membuka percakapan. Bukan sekedar basa-basi, kenyataannya ia butuh berkomunikasi dengan adiknya meski sedikit tenang karena tak mendengar ocehan sang Ayah.

"Aku sudah menyiapkan untukmu, selesaikan saja makanmu," ucap Lingga dengan rahang mengeras.

Reva melempar ponsel baru pemberian Lingga ke atas kasur, diiringi menjatuhkan tubuh. Hari ini terasa sangat melelahkan. Esok ia akan mulai bekerja seperti biasa. Menatap ke arah langit-langit kamar, matanya mulai terpejam merasa nyaman dengan aroma parfum kamar Lingga.

***

"Turunkan aku di depan sana!" Reva menunjuk perempatan jalan. Tak menjawab, Lingga menatap datar ke depan.

"Turun," ucap lelaki tersebut setelah menepikan kendaraan roda empatnya.

Tak banyak drama, tapi entah mengapa Reva jadi merasa aneh dengan sikap Lingga. Gadis tersebut masih duduk dengan wajah kebingungan. Hingga sedetik kemudian, ia membuka pintu mobil, berjalan dengan tenang tanpa menoleh kebelakang.

Berharap tak bertemu Lingga di toko, ia malah berpapasan dengan lelaki tersebut di lorong. Meski Reva menelisik wajahnya dengan terang-terangan. Lingga sama sekali tak terusik, malah berjalan angkuh seolah tak melihat Reva di sana.

"Ada apa dengan lelaki itu," gumamnya pada diri sendiri.

Sementara di lorong ruang ganti, Reva dikejutkan oleh Adisti yang bersedekap.

"Kamu pindah, apa yang terjadi?" Sederet tanya yang jawabannya sama sekali belum terpikirkan di benak Reva.

Reva menggigit bibir, merasa bersalah tidak bisa bercerita perihal apa yang ia alami. Selain takut pandangan buruk Adisti, ia juga takut ayahnya mengetahui ia tinggal dengan pria di sebuah apartemen.

"Ceritanya panjang, aku harus segera berganti seragam," ucap Reva menunjuk jam di pergelangan tangan.

Seperti biasa, Reva melihat kode produksi dari ragi yang akan digunakan, memastikan semua aman untuk diolah.

Hingga tiba jam makan siang, cuaca cukup terik saat Reva dan Adisti berada di warung makan langganan mereka.

"Rev, disuruh ke ruangan Pak Lingga." Adisti memperlihatkan layar ponsel yang masih menyala.

Menghela napas kesal, Reva terlihat enggan. Telapak kakinya seperti sudah menyatu dan tidak bisa diangkat lagi. Percuma saja ia meninggalkan ponsel di loker, agar tak mendapat pesan dari Lingga. Lelaki tersebut tetap menghubunginya lewat Adisti.

"Buruan, nanti Pak Lingga marah." Adisti lekas membantu Reva berdiri.

"Aku belum makan, Dis." Reva menepis tangan sahabatnya lembut, lantas memberatkan diri di atas kursi.

"Nanti, kamu bisa makan di pantry." Adisti melihat detik jam yang terus berputar. Terlihat takut jika, pesan dari bosnya tak segera dilaksanakan.

Dengan malas, Reva menuruti apa yang diperintahkan Adisti. Berjalan perlahan menguatkan diri. Pertemuan dua puluh empat jam sangat melelahkan untuknya dan kini ia harus kembali menyiapkan mental.

"Bapak panggil saya?" tanya Reva setelah ia mendapat ijin masuk ruangan.

Lingga mengangguk, matanya terlihat fokus pada layar laptop yang menyala meski jelas sedang menahan amarah. Di depannya, Bu Rahma selaku kepala di ruang produksi menatap sinis.

"Ada apa Pak?" Reva berdiri dengan sopan, terlihat profesional mengingat saat ini keduanya berada di tempat kerja.

"Sebenarnya, kamu niat kerja tidak!" Lingga mengalihkan tatapannya pada Reva. Sementara yang ditatap, terlihat kebingungan.

"Wajah polos, tapi hatinya busuk," lirih Bu Rahma, saat Reva berada tepat di sampingnya.

"Anda tidak usah memperkeruh keadaan, silakan keluar!" Lingga menunjuk pintu, kali ini matanya tertuju pada wanita paruh baya yang berdiri di dekat Reva.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status