Share

Bab 7 Ajakan makan siang.

"Sebagai hukuman, jam pulang kerja silakan ke bagian gudang!" Sorot mata itu begitu tajam menghunus jantung, tak bisa dibantah meski Reva berusaha menjelaskan.

Ratusan adonan yang sudah di profing, gagal karena ia memasukkan ragi yang sudah kadaluwarsa. Padahal, ia sudah mengecek tanggal sebelum mencampur bahan.

Anehnya lagi, ragi yang ditemukan di meja kerjanya memang sudah kadaluwarsa.

Beberapa pasang mata menatap tajam ke arahnya, bisik-bisik bernada sumbang terdengar. Namun, Reva tak begitu peduli.

"Dis, ini ragi aman kan?" Reva menyerahkan botol kecil dengan tutup berwarna kuning.

"Aman kok, cek aja," saran gadis dengan lesung di pipinya.

Reva mengaktifkan ragi dengan air hangat yang dicampur sedikit gula, ia benar-benar tak enak hati pada Lingga. Sudah pasti kejadian tadi membuat kerugian pada usahanya.

"Duluan ya Rev," ucap Adisti saat jam pulang kerja mereka berakhir.

Reva mengangguk sambil tersenyum, membersihkan peralatan yang telah digunakan.

Suara detik jarum jam terdengar, tepat pukul delapan ia meletakkan apron dan topi di ruang ganti.

Melewati lorong, lampu ruang kerja Lingga masih terlihat menyala. Langkah kakinya berbelok ke bagian bahan baku. Terlihat dua orang lelaki sibuk menurunkan terigu dan gula.

"Kamu yang disuruh bantu-bantu di sini?" Tanya lelaki yang memang jarang ditemui Reva.

Gadis itu mengangguk, lantas menerima kertas dan bolpoin dari lelaki yang bernama Reno.

Reva terlihat sibuk mencatat bahan apa saja yang datang dan mencatat stok bahan baku yang habis. Sekitar pukul sembilan malam, akhirnya ia dapat menyelesaikan semuanya.

"Kerja bagus!" Reno menepuk pundak Reva dengan lembut.

"Sudah boleh pulang?" Matanya hampir terpejam karena begitu mengantuk.

"Kamu ditunggu Pak Lingga di ruangannya," ujar Reno sebelum lelaki tersebut mengunci gudang bahan baku.

Reva mengetuk pintu dengan perlahan, hingga suara berat Lingga terdengar.

"Masuk!"

Perlahan gadis tersebut melangkah ke dalam ruangan, menunduk menatap lantai keramik berwarna putih, masih merasa canggung akibat kejadian siang tadi.

Lingga terlihat membereskan pekerjaan, menutup layar laptop lantas berjalan mendekati Reva.

"Kamu mau tidur di sini?" tanya Lingga datar. Reva menghela napas, mengekor ke arah langkah kaki Lingga keluar.

Di dalam mobil, Reva menghitung berapa banyak kendaraan yang berlalu lalang hingga matanya mulai terpejam.

Tanpa sadar, sudut bibir Lingga tertarik membentuk segaris senyum.

Sesekali ia memperhatikan posisi kepala Reva, agar tak membentur kaca mobil.

"Bangun, sudah sampai!" Lingga menyentuh lengan Reva perlahan, tapi gadis tersebut tak kunjung membuka mata.

"Bangun dasar kebo!" Lingga menaikkan nada suara, kali ini sorot matanya tertuju pada wajah polos Reva. Terlihat begitu kelelahan, sepertinya gadis itu tak akan membuka mata dalam jangka waktu singkat.

Terbius akan pesona Reva yang terlihat menarik sejak awal pertemuan mereka, Lingga mendaratkan satu kecupan pada dahi gadis itu.

Kejadian itu begitu cepat, hingga tiba-tiba rasa panas menjalar di pipi kanan, Lingga masih mencerna apa yang sedang ia alami. Namun, dorongan kuat membuatnya nyaris oleng tak dapat menahan bobot tubuh.

"Jangan pernah melewati batas atau asetmu berakhir mengenaskan!" Reva yang tadi memejamkan mata begitu erat, seolah tak akan bangun. Kini berkacak pinggang seperti tak pernah tertidur.

Lingga menghela napas berulang kali menetralkan emosi.

"Dasar gadis bodoh! Aku hanya membangunkanmu!" Lingga berjalan mendekat, menyentil dahi Reva dengan kesal. Sementara Reva, terlihat waspada menyilangkan tangan di depan dada.

"Menyingkirlah!" Lingga mendorong tubuh Reva ke samping, menutup pintu mobil dan memastikan benar-benar terkunci.

Tanpa sepatah kata, dia meninggalkan Reva yang masih berdiri mematung.

Reva benar-benar kehilangan jejak Lingga, lelaki itu berjalan seperti terbang saja.

Melewati lorong apartemen, Reva sempat terkejut saat bahunya disentuh seseorang dari belakang. Bersiap berlari, tapi suara gadis membuatnya urung.

"Ini aku," ucapnya lembut. Reva seketika menoleh, pipinya memerah karena sempat salah sangka.

"Kita ketemu lagi," ucap Tyas saat Reva duduk di hadapan.

Mereka berada di kafe yang tak jauh dari gedung apartemen.

Dengan anggukan, Reva tersenyum menyetujui. Mungkin ini yang dinamakan kebetulan.

Beberapa kali Reva merasa ponselnya bergetar, melirik sekilas lantas memilih tak peduli.

"Kamu tinggal di apartemen itu?" tanya Tyas saat dua gelas kopi pesanannya tersaji. Sepiring kentang goreng dan roti panggang diletakkan pada masing-masingnya.

"Tidak, aku sekedar mengunjungi teman." Sedikit gugup, Reva mengalihkan pembicaraan. "Kamu habis dari mana?"

"Dari tempat mantan, tapi sepertinya dia belum pulang." Tyas mengambil potongan kentang yang masih terlihat panas. Mencolekkan pada saus sambal sebelum berakhir dalam mulut.

"Mantan?" Reva teringat pada tespact yang sempat menyembul di antara belanjaan gadis itu.

"Iya, mantan pacar." Tyas menghela napas, meminum kopinya perlahan. "Dia lebih memilih gadis lain," lanjutnya.

"Bahkan gadis secantik dirimu masih disakiti?" Kening Reva mengerut tak percaya.

"Itu kenyataannya," ucap Tyas dengan santai, seperti tak merasa sakit hati atas kejadian tersebut.

***

Tepat saat Reva membuka pintu apartemen, Lingga sudah bersedekap menatap Reva dengan lekat.

"Dari mana saja?" Lelaki itu menoleh ke arah jam dinding di atas pintu.

"Bukan urusanmu!" Reva mendorong Lingga menyingkir, masih kesal karena dia meninggalkannya di basement.

Lingga menarik lengan Reva sebelum gadis itu melangkah ke dalam kamar. "Haruskah aku memperjelasnya ...." Lingga mengusap pipi Reva perlahan lantas terhenti pada bibir.

Degup jantung Reva berpacu dengan cepat, tubuhnya terpaku seolah tak dapat digerakkan. Hingga satu kecupan hangat mendarat, Reva membelalakkan mata mendorong pundak Lingga sekuat tenaga. Namun, tubuh kecilnya terkurung lemah.

***

"Bangun gadis bodoh!" Ketukan pintu terdengar kala cahaya mentari menerobos sela gorden tapi, bukan itu yang membuatnya terbangun. Melainkan ingatan semalam saat Lingga mencium tepat di bibir, parahnya ia ikut terhanyut dalam pusarannya.

Memegang dada, Reva merasakan degup jantung yang tak biasa.

"Iya aku sudah bangun!" Reva menyibak selimut yang menutup tubuh, sungguh mengesalkan mendengar suara Lingga mengatainya gadis bodoh. Ia yang semula tersipu, seketika berubah kesal.

Menatap weker di atas meja nakas membuat debaran jantungnya semakin meningkat. Pagi ini dia benar-benar kesiangan.

Bersedekap, Lingga terlihat menunggu dengan tak sabar di sisi mobil.

"Kamu sudah membuatku menunggu sepuluh detik," ucap Lingga dengan suara datar. Reva tersenyum tipis, membuka pintu mobil dan tergesa masuk ke dalam sengaja memilih tak menjawab, cukup jantungnya yang berantakan tidak perlu harinya juga.

"Nanti makan siang denganku, aku tidak suka penolakan!" Lingga mengatakannya sambil menyalakan mesin mobil. Reva mengangguk ia akan menjadi gadis manis, kalau tidak salah menghindari pertengkaran di pagi hari akan mengurangi kesialan di siang harinya.

"Aku tidak ingin karyawan lain berpikir tentang kedekatan kita, jadi lebih baik kita berangkat ke lokasi bergantian." Reva menggigit bibir, tiba-tiba teringat dengan apa yang terjadi semalam. Seharusnya Lingga malu, tapi sikap lelaki itu seperti tak terjadi sesuatu.

Ponsel Reva berdering kala roda mobil Lingga berputar di atas aspal jalan, melirik sekilas ke bangku kemudi, Reva lekas mengangkat ponsel.

Hening sesaat, Reva mendengarkan ucapan seseorang di seberang sana.

"Boleh mengajak Lingga?" tanya Reva dengan polosnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status