"Sebagai hukuman, jam pulang kerja silakan ke bagian gudang!" Sorot mata itu begitu tajam menghunus jantung, tak bisa dibantah meski Reva berusaha menjelaskan.
Ratusan adonan yang sudah di profing, gagal karena ia memasukkan ragi yang sudah kadaluwarsa. Padahal, ia sudah mengecek tanggal sebelum mencampur bahan.Anehnya lagi, ragi yang ditemukan di meja kerjanya memang sudah kadaluwarsa.Beberapa pasang mata menatap tajam ke arahnya, bisik-bisik bernada sumbang terdengar. Namun, Reva tak begitu peduli."Dis, ini ragi aman kan?" Reva menyerahkan botol kecil dengan tutup berwarna kuning."Aman kok, cek aja," saran gadis dengan lesung di pipinya.Reva mengaktifkan ragi dengan air hangat yang dicampur sedikit gula, ia benar-benar tak enak hati pada Lingga. Sudah pasti kejadian tadi membuat kerugian pada usahanya."Duluan ya Rev," ucap Adisti saat jam pulang kerja mereka berakhir.Reva mengangguk sambil tersenyum, membersihkan peralatan yang telah digunakan.Suara detik jarum jam terdengar, tepat pukul delapan ia meletakkan apron dan topi di ruang ganti.Melewati lorong, lampu ruang kerja Lingga masih terlihat menyala. Langkah kakinya berbelok ke bagian bahan baku. Terlihat dua orang lelaki sibuk menurunkan terigu dan gula."Kamu yang disuruh bantu-bantu di sini?" Tanya lelaki yang memang jarang ditemui Reva.Gadis itu mengangguk, lantas menerima kertas dan bolpoin dari lelaki yang bernama Reno.Reva terlihat sibuk mencatat bahan apa saja yang datang dan mencatat stok bahan baku yang habis. Sekitar pukul sembilan malam, akhirnya ia dapat menyelesaikan semuanya."Kerja bagus!" Reno menepuk pundak Reva dengan lembut."Sudah boleh pulang?" Matanya hampir terpejam karena begitu mengantuk."Kamu ditunggu Pak Lingga di ruangannya," ujar Reno sebelum lelaki tersebut mengunci gudang bahan baku.Reva mengetuk pintu dengan perlahan, hingga suara berat Lingga terdengar."Masuk!"Perlahan gadis tersebut melangkah ke dalam ruangan, menunduk menatap lantai keramik berwarna putih, masih merasa canggung akibat kejadian siang tadi.Lingga terlihat membereskan pekerjaan, menutup layar laptop lantas berjalan mendekati Reva."Kamu mau tidur di sini?" tanya Lingga datar. Reva menghela napas, mengekor ke arah langkah kaki Lingga keluar.Di dalam mobil, Reva menghitung berapa banyak kendaraan yang berlalu lalang hingga matanya mulai terpejam.Tanpa sadar, sudut bibir Lingga tertarik membentuk segaris senyum.Sesekali ia memperhatikan posisi kepala Reva, agar tak membentur kaca mobil."Bangun, sudah sampai!" Lingga menyentuh lengan Reva perlahan, tapi gadis tersebut tak kunjung membuka mata."Bangun dasar kebo!" Lingga menaikkan nada suara, kali ini sorot matanya tertuju pada wajah polos Reva. Terlihat begitu kelelahan, sepertinya gadis itu tak akan membuka mata dalam jangka waktu singkat.Terbius akan pesona Reva yang terlihat menarik sejak awal pertemuan mereka, Lingga mendaratkan satu kecupan pada dahi gadis itu.Kejadian itu begitu cepat, hingga tiba-tiba rasa panas menjalar di pipi kanan, Lingga masih mencerna apa yang sedang ia alami. Namun, dorongan kuat membuatnya nyaris oleng tak dapat menahan bobot tubuh."Jangan pernah melewati batas atau asetmu berakhir mengenaskan!" Reva yang tadi memejamkan mata begitu erat, seolah tak akan bangun. Kini berkacak pinggang seperti tak pernah tertidur.Lingga menghela napas berulang kali menetralkan emosi."Dasar gadis bodoh! Aku hanya membangunkanmu!" Lingga berjalan mendekat, menyentil dahi Reva dengan kesal. Sementara Reva, terlihat waspada menyilangkan tangan di depan dada."Menyingkirlah!" Lingga mendorong tubuh Reva ke samping, menutup pintu mobil dan memastikan benar-benar terkunci.Tanpa sepatah kata, dia meninggalkan Reva yang masih berdiri mematung.Reva benar-benar kehilangan jejak Lingga, lelaki itu berjalan seperti terbang saja.Melewati lorong apartemen, Reva sempat terkejut saat bahunya disentuh seseorang dari belakang. Bersiap berlari, tapi suara gadis membuatnya urung."Ini aku," ucapnya lembut. Reva seketika menoleh, pipinya memerah karena sempat salah sangka."Kita ketemu lagi," ucap Tyas saat Reva duduk di hadapan.Mereka berada di kafe yang tak jauh dari gedung apartemen.Dengan anggukan, Reva tersenyum menyetujui. Mungkin ini yang dinamakan kebetulan.Beberapa kali Reva merasa ponselnya bergetar, melirik sekilas lantas memilih tak peduli."Kamu tinggal di apartemen itu?" tanya Tyas saat dua gelas kopi pesanannya tersaji. Sepiring kentang goreng dan roti panggang diletakkan pada masing-masingnya."Tidak, aku sekedar mengunjungi teman." Sedikit gugup, Reva mengalihkan pembicaraan. "Kamu habis dari mana?""Dari tempat mantan, tapi sepertinya dia belum pulang." Tyas mengambil potongan kentang yang masih terlihat panas. Mencolekkan pada saus sambal sebelum berakhir dalam mulut."Mantan?" Reva teringat pada tespact yang sempat menyembul di antara belanjaan gadis itu."Iya, mantan pacar." Tyas menghela napas, meminum kopinya perlahan. "Dia lebih memilih gadis lain," lanjutnya."Bahkan gadis secantik dirimu masih disakiti?" Kening Reva mengerut tak percaya."Itu kenyataannya," ucap Tyas dengan santai, seperti tak merasa sakit hati atas kejadian tersebut.***Tepat saat Reva membuka pintu apartemen, Lingga sudah bersedekap menatap Reva dengan lekat."Dari mana saja?" Lelaki itu menoleh ke arah jam dinding di atas pintu."Bukan urusanmu!" Reva mendorong Lingga menyingkir, masih kesal karena dia meninggalkannya di basement.Lingga menarik lengan Reva sebelum gadis itu melangkah ke dalam kamar. "Haruskah aku memperjelasnya ...." Lingga mengusap pipi Reva perlahan lantas terhenti pada bibir.Degup jantung Reva berpacu dengan cepat, tubuhnya terpaku seolah tak dapat digerakkan. Hingga satu kecupan hangat mendarat, Reva membelalakkan mata mendorong pundak Lingga sekuat tenaga. Namun, tubuh kecilnya terkurung lemah.***"Bangun gadis bodoh!" Ketukan pintu terdengar kala cahaya mentari menerobos sela gorden tapi, bukan itu yang membuatnya terbangun. Melainkan ingatan semalam saat Lingga mencium tepat di bibir, parahnya ia ikut terhanyut dalam pusarannya.Memegang dada, Reva merasakan degup jantung yang tak biasa."Iya aku sudah bangun!" Reva menyibak selimut yang menutup tubuh, sungguh mengesalkan mendengar suara Lingga mengatainya gadis bodoh. Ia yang semula tersipu, seketika berubah kesal.Menatap weker di atas meja nakas membuat debaran jantungnya semakin meningkat. Pagi ini dia benar-benar kesiangan.Bersedekap, Lingga terlihat menunggu dengan tak sabar di sisi mobil."Kamu sudah membuatku menunggu sepuluh detik," ucap Lingga dengan suara datar. Reva tersenyum tipis, membuka pintu mobil dan tergesa masuk ke dalam sengaja memilih tak menjawab, cukup jantungnya yang berantakan tidak perlu harinya juga."Nanti makan siang denganku, aku tidak suka penolakan!" Lingga mengatakannya sambil menyalakan mesin mobil. Reva mengangguk ia akan menjadi gadis manis, kalau tidak salah menghindari pertengkaran di pagi hari akan mengurangi kesialan di siang harinya."Aku tidak ingin karyawan lain berpikir tentang kedekatan kita, jadi lebih baik kita berangkat ke lokasi bergantian." Reva menggigit bibir, tiba-tiba teringat dengan apa yang terjadi semalam. Seharusnya Lingga malu, tapi sikap lelaki itu seperti tak terjadi sesuatu.Ponsel Reva berdering kala roda mobil Lingga berputar di atas aspal jalan, melirik sekilas ke bangku kemudi, Reva lekas mengangkat ponsel.Hening sesaat, Reva mendengarkan ucapan seseorang di seberang sana."Boleh mengajak Lingga?" tanya Reva dengan polosnya.Di sebuah kafe yang tak begitu jauh dari toko roti milik Lingga, lelaki tersebut mengeraskan rahang saat seorang gadis duduk di hadapan."Jangan mendekati masalah," ujarnya menahan amarah."Apakah salah, berteman dengan kawan lama?"Lingga berdecak dengan senyum sinis, menatap Tyas yang berpura-pura terlihat polos."Jangan salahkan aku jika nanti, kamu yang terbakar sendiri," ucap Lingga datar.Tyas nyaris saja tertawa kencang, tapi berusaha ia tahan."Terbakar sendiri? Semua ini karena kamu Lingga! Jika akhirnya aku terbakar maka kupastikan kamu menjadi abunya!" Melihat kedatangan Reva di kejauhan, suara Tyas terkesan berbisik."Apakah kalian sudah menunggu lama?" Tiba-tiba saja Reva duduk di antara Lingga dan Tyas. Melihat buku menu, gadis tersebut seolah tak menyadari ada kilat amarah yang terpancar dari sorot mata Lingga."Pesan apa saja yang kamu mau, aku yang traktir." Tyas tersenyum lembut, mengusap bahu Reva sedikit melirik ke arah Lingga. Seolah ia memperlihatkan kelebihannya
"Seperti apa?" tanya Lingga datar, ia masih sibuk mengunyah sarapan. Beberapa kali melihat ponsel yang ia letakkan di atas meja."Jangan mengirim uang keluargaku," ucap Reva tegas."Sebenarnya apa tujuanmu, mengambil ponselku." Reva terlihat kesal, ia tak ingin urusan keluarganya dicampuri."Aku hanya mencoba mendekatkan diri pada calon mertua," ucap Lingga tanpa beban. Namun, hal itu membuat Reva terbatuk. Ia mencoba menenangkan diri, setelah meneguk air putih di samping mangkuk.Apa yang Lingga bilang bukankah sangat keterlaluan? Bagaimana ia menyebut calon mertua, sementara hidup mereka bagai langit dan bumi."Hidupku sudah sulit Lingga," ucap Reva frustrasi. "Aku tidak ingin menambah masalah dengan menikah denganmu, cukup bertingkah konyol." Reva kehilangan napsu makan."Lantas apa tujuanku menjadikanmu kekasih?" Lingga malah membalikan pertanyaan yang seharusnya Reva tanyakan."Mengambil keuntungan dengan pengakuan status," tutur Reva menerka, ia juga tidak tahu mengapa pengakuan
Akibat ucapan Lingga yang terasa amat tidak adil terhadapnya, membuat Reva kehilangan akal sehat. Ia benar-benar ingin terlepas dengan perjanjian konyol ini."Apakah status menjadi kekasihku begitu melukai harga dirimu?!" Lingga kini menatap Reva dengan nyalang, kilat amarah begitu terpancar. Tangannya mengepal berusaha tak mencengkeram."Aku sudah kehilangan harga diriku sejak menyetujui tawaranmu," ujar Reva menahan rasa sesak, ia mulai membuka satu persatu kancing seragam kerjanya.Lingga terpaku sesaat, ada rasa sakit yang tergores di dalam sana. Dia berusaha menahan pergerakan tangan Reva yang kini terhenti di kancing ketiga.Bukankah ini adalah ancaman yang selalu Lingga lakukan saat ia membuat kesalahan? Maka, hari ini ia akan melakukannya."Hentikan, bodoh!" Lingga berteriak di depan wajah Reva. Matanya memerah, sebagai seorang lelaki ia tak pernah berpikir akan melukai harga diri Reva sampai sejauh ini."Lalu harus apa agar kamu melepaskanku?" Reva mendongak, jarak wajah kedu
"Apa ada masalah?" Di sepanjang perjalanan, Reva terlihat murung. Hal itu memancing rasa penasaran di hati Aldo.Tanpa menjawab Reva menggeleng. "Maaf harus merepotkanmu." Lebih tepatnya, ia memancing Aldo untuk masuk ke dalam masalah."Tidak apa-apa, kapan pun aku selalu ada." Aldo tersenyum, mematikan mesin motornya tepat di depan toko Lingga."kapan pun," ucap Reva menirukan ucapan Aldo dengan senyum lembut."Tentu saja," tutur Aldo. Memandang Reva dengan jarak seperti ini membuatnya merasakan saat bersekolah dulu. Wajah itu tak banyak berubah, masih sama membuatnya jatuh hati."Aku masuk dulu," ujar Reva dengan senyum canggung.Aldo memgangguk, lantas menyalakan mesin motor sebelum melaju.Reva masih berdiri, memperhatikan Aldo hingga punggungnya menjauh di antara lalu lalang pengendara yang lain. Menghela napas, gadis tersebut berjalan memasuki pintu belakang.Bisik-bisik kecil terdengar di antara karyawan yang berpapasan dengannya. Di loker, seorang gadis dengan seragam kasir ti
Seorang wanita paruh baya, tapi masih terlihat muda berdiri menyambut kedatangan Reva. Sementara Lingga, lelaki tersebut tidak terlihat di ruangan.Meneguk ludah, Reva terpaku di tempatnya berdiri."Kamu tinggal di sini?" tanya beliau masih terlihat ramah.Jantung Reva sudah berdetak tak karuan, sejujurnya ia kebingungan harus menjawab apa."Duduk sini, Reva." Beliau mengarahkan pandangan ke arah sofa. Dengan langkah pelan, Reva menggenggam erat plastik putih transparan di tangan kanan.Suara ruangan begitu hening, hanya detik jarum jam yang memecah sunyi."Apakah kamu berhubungan dengan Lingga?" tanya beliau, tepat saat Reva duduk berhadapan dengannya.Reva menggigit bibir, menunduk seolah tak lagi memiliki harga diri. Bagaimana bisa, Bu Ratri memergokinya tinggal satu atap dengan sang putra."Saya bisa jelaskan, Bu.""Menjelaskan dengan apa? Baju-bajumu bahkan berada di sini," ucap beliau lembut, tapi sorot matanya terlihat mengintimidasi. Baru saja Reva memberanikan diri membuka mu
Lingga mengeraskan rahang saat melihat kamar yang di tempati Reva sudah kosong. Gadis tersebut benar-benar membuktikan ucapannya dengan menentang apa yang ia perintahkan.Ini kali pertama Lingga dibantah dan merasa ditolak tanpa basa-basi. Baru saja ia hendak keluar mencari Reva, seseorang sudah menghalangi langkah tepat saat pintu terbuka."Apa kabar Lingga?" Senyum sinis terukir. "Mencari gadis murahan itu?"Tangan Lingga mengepal menahan emosi yang nyatanya tak bisa ia tahan, buku-buku tangan menyentuh permukaan pintu dengan kasar. Meninggalkan suara keras yang lumayan membuat Tyas terkejut."Apa kamu benar-benar gila karena gadis itu? Bagaimana ... sudahkah kamu hancur?" Tyas bersedekap, lantas terkekeh mendapati kemeja Lingga yang terlihat lusuh."Apa urusanmu terhadapku?" tanya Lingga muak."Tentu saja kehancuranku menjadi kehancuranmu, bukan begitu?""Aku tidak punya waktu," ujar Lingga datar. Lelaki dengan mata tajam tersebut memilih tak peduli. Menutup pintu apartemen, lantas
Hujan malam ini melengkapi dinginnya hati Aldo. Reva duduk di hadapan, meneliti sorot mata Aldo serta alasan lelaki tersebut mengajaknya bertemu."Kenapa? Apa Lingga melakukan sesuatu yang buruk," ucap Reva cemas. Ia meneliti setiap inci wajah lelaki di depannya."Aku tidak apa-apa, justru aku khawatir denganmu.""Kenapa?" tanya Reva setelah duduk di hadapan Aldo."Lingga tahu kalau kamu tinggal di kos milik Tante Rani?"Dengan berat hati, Reva mengangguk."Apa kalian bertengkar?""Ti--dak," ucap Reva dengan suara terbata. Sesuai syarat dari Lingga. Ia harus tetap berpura-pura menjadi kekasihnya dengan hubungan yang baik-baik saja. Tersenyum muak, Reva kembali berucap. "Hubungan kami sudah baik-baik saja."Aldo menghela napas, lagi-lagi kenyataan tak berpihak padanya. Apa ini? Apakah ia berharap Lingga dan Reva bertengkar?"Syukurlah, aku takut kalian bertengkar karena aku."Reva menunduk merasa bersalah saat mendapati luka memar di pipi kiri Aldo."Maaf ... apa Lingga yang melakuka
"Dasar anak sialan! Percuma saja kamu aku besarkan, nyatanya hanya jadi beban! Mati saja kamu!"Seorang anak kecil berdiri dipojok pintu, menatap sang Kakak yang terus mendapat pukulan. Rasa takutnya kian memuncak, kala ujaran kebencian terus diutarakan."Ampun, Ayah sakit!" Suara lemah terdengar pilu, meringis pertanda tubuhnya tidak bisa menoleransi rasa sakit di tubuh kecilnya.Seperti tidak mendengar, sang Ayah terus memukul bertubi-tubi. Rambutnya di tarik ke atas, hingga kaki bocah berusia delapan tahun tersebut tak menapak lantai.Tangisan seperti tak lagi berguna, hanya menahan sesak yang kian memuncak."Kakak baik-baik saja?" Suara gadis kecil terdengar gemetar, ketakutan dan kecemasan kian kentara. Mata polosnya tak dapat menyembunyikan beban yang tidak harus dipikul bocah seusianya."Tidak apa-apa," tutur sang Kakak lembut. Dia berucap dengan tegar, meski ada kebencian di dalam sorot matanya.Reva tiba-tiba teringat masa lalunya yang begitu kelam. Hingga suara Adisti menar