Sanjaya sangat marah saat mengingat niat Davinka yang hendak membebaskan diri dengan cara menukarnya dengan tubuh wanita lain.
Jelas Sanjaya tidak akan melakukan hal itu, tidak ada satu tubuh pun yang dia inginkan selain tubuh yang sedang dia jamah saat ini.
Davinka harus menerima hukumannya agar tidak melakukan kesalahan ini di lain waktu.
"Sakit, Tuan, lepas." Tubuh Davinka menggeliat, berusaha membebaskan diri.
Sanjaya sudah banyak membuat gigitan di dadanya yang sangat dalam. Tubuh Davinka terkurung dalam pangkuan Sanjaya layaknya seorang anak kecil yang berada dalam dekapan ibunya.
Tapi, bukan kasih sayang diberikan. Ini jelas siksaan. Gigitnya hampir memenuhi bagian atas tubuh wanita itu. Bukan hanya merah, tapi hampir membiru dan mengeluarkan darah.
"Ahh! A-ampun—tolong, lepaskan saya Tuan, lepas!" Davinka terus meraung. Meminta pengampunan pria itu.
Sanjaya tidak bergeming, dia terus melakukan hal mengerikan itu. M
Semoga suka, happy reading 😘😘 Ikuti terus kisah Buenda Vania ya guys ... Ikuti aku di F/g Bunda Vania Story
Ruangan itu tidak begitu luas, tapi cukup nyaman untuk ditiduri oleh seorang wanita yang lelah setelah puas bercinta selama kurang lebih 2 jam. Davinka Rusnadi membuka matanya dengan sangat perlahan. Ada rasa perih dan sakit yang luar biasa ketika kelopak matanya berusaha dia buka dengan paksa. Mata Davinka sangat bengkak setelah banyak mengeluarkan cairan bening yang mengutarakan kehancuran dan rasa sakit di hatinya. Devinka menggerakan kepala dengan sangat perlahan, mengamati sekitarnya dengan sangat hati-hati, ruangan itu begitu temaram dengan gorden tertutup rapat. "Dimana dia?" gumamnya lirih. Davinka mengingat kejadian beberapa saat yang lalu, hatinya terasa tercabik cabik ketika sekilas percintaannya dengan Sanjaya tergambar nyata. "Kenapa gue gak mati aja, sih? Buat apa coba gue hidup hanya untuk direndahkan seperti ini!" Tubuh Davinka gemetar, isakan kecil kembali lolos dari bibir tebalnya. "Bodoh, buat apa coba gue bertahan? lebih baik gue pergi dari sini!" Dengan ka
Terdengar banyak benda jatuh di dalam ruangan yang belum pernah dimasuki oleh Rani. Rani sangat ketakutan mendengar teriakan kemarahan Sanjaya saat memanggil nama Davinka yang seperti guntur di tengah hari bolong. "Dimana Davinka?!" Suara Sanjaya terdengar sangat marah. Rani, "...." 'Kenapa Pak Sanjaya marah benget sama Davinka? Dia buat ulah apa sih?' Sandy, "...." 'Kemana perginya Nona Davinka? Bahaya kalau sampai nona Davinka menghilang!' Kedua orang itu saling pandang dengan pikiran masing-masing. Pintu terbuka, memperlihatkan tumbuh menjulang tinggi Sanjaya dengan bayang-bayang gelap di belakang. Tangan pria itu terkepal dengan sorot mata yang sangat tajam, napasnya memburu kasar layaknya banteng yang hendak menghancurkan apapun. Rani melihat cairan merah menetes dari kepalan tangan kanan Sanjaya. Tapi, sepertinya Sanjaya tidak merasakan sakit sama sekali. Kemarahan sudah sepenuhnya menguasai pria itu. "Apa yang dilakuin Davinka sampe bikin Pak Sanjaya marah?" gumam Rani
Ponsel Sondy berbunyi saat ia baru saja meninggalkan rumah sakit. "Apa kalian sudah menemukannya?" tanya Sandy pada seseorang di seberang sana. "Kirimkan alamat lengkapnya," ucapnya lagi. Saat notifikasi pesan masuk Sandy langsung membaca dan mengirim kembali alamat itu pada Sanjaya. Sanjaya yang tengah menyetir dengan gila, merasakan ponselnya bergetar disusul dengan dering ponsel yang memekakan telinga. Pria itu sengaja mengencangkan volume ponselnya, dia tidak ingin melewatkan sedikitpun informasi yang mungkin saja kan dia dapatkan mengenai Davinka. "Kamu menemukannya?" tanya Sanjaya saat sambungan telepon terhubung. Tangannya tidak lepas dari kemudi dengan tatapannya yang liar. Pria itu terlihat waspada. "Dia ada di perumahan grand city, tidak jauh dari kantor," jelas Sandy dengan sangat hati-hati, "alamat lengkapnya sudah saya kirimkan. Saya akan segera kesana," ujarnya lagi. Sanjaya menancapkan gas lebih tinggi, mencari pintu tol dan berputar arah. Dalam hatinya dia membua
Pria itu membalik tubuh, "Pindahkan akuarium ini ke rumah, bawa semua barang yang ada disini dan sembunyikan dalam gudang, kecuali akuarium itu." Sanjaya tidak harus memusuhi ikan-ikan lucu ini, kan? Dulu Diandra juga ingin memelihara ikan, tapi dengan tegas Sanjaya menolaknya. Dia cemburu pada ikan-ikan itu yang selalu mendapat perhatian Diandra lebih dulu saat mereka bangun pagi. Kali ini entah mengapa terasa berbeda , suara Davinka yang mengatakan alasan dirinya tidak suka makan ikan kembali terngiang. 'Saya tidak suka ikan, apa lagi ikan mentah?' jawabnya putus asa. 'Kenapa?' tanya Sanjaya. 'Mereka terlalu manis, Pak … kasihan,' jawabnya cepat. "Apa kamu Diandraku, Davinka?" gumam Sanjaya. Sandy dapat mendengar dengan jelas. Mendengar itu, hatinya merasa iba. Dalam waktu tiga hari, Sandy sudah berulang kali mendengar Tuannya bertanya dengan pertanyaan yang sama. "Apa kamu sudah mencari tahu Davinka sampai ke akarnya, Sandy?" tanya Sanjaya tanpa ekspresi. Nada suaranya t
Sanjaya berbalik, menatap monitor tanpa melangkah sedikitpun dari tempat ia berhenti. Melihat keengganan Sanjaya untuk mendekat, Dokter Nabila mulai menggerakkan transducer, memperlihatkan sesuatu di dalam lapisan perut. "Nona Davinka tidak bisa melakukan hubungan badan selama 3 Minggu. Rahimnya bermasalah, hubungan intim dengan gerakan ekstrim setelah masa haid sangat berbahaya. Jika dipaksakan kemungkinan besar Nona Davinka tidak bisa mengandung. Apa lagi sebelumnya nona Davinka melahirkan bayi dengan paksa dan tidak di rumah sakit besar. Ada beberapa luka diatas luka. Di sini—" dokter Nabila mengarahkan transducer pada bagian sayatan diperut. Terlihat jelas bekas jahitan sesar terlihat Sudah berapa kali diperbaiki jika melihat dari bekas luka. Bekas jahitan itu terlihat pernah mengalami infeksi sehingga harus melakukan tindakan berulang kali. Pandangan Sanjaya tidak pernah berkedip sedikitpun dari layar monitor. Setiap ucapan yang diutarakan oleh dokter Nabila begitu mengerikan
Setelah dua hari dirawat, Davinka dibawa pulang ke sebuah rumah yang sangat megah. Tiang-tiang tinggi yang kokoh mendominasi teras rumah, tiang itu dilapisi marmer yang sangat cantik. Dua pintu ganda tidak kalah cantik dan megahnya. Davinka menatap sekeliling, suasana temaram semakin menambah kecantikan berada depan dengan lampu gantung dan tanam. Mungkin akan sangat romantis jika di sana ditaruh meja dan lilin untuk makan malam. "Apa kamu lebih suka tinggal di luar sini, Davinka?" suara bariton pria itu mengagetkan Davinka. Davinka menggeleng, "Dimana kamar saya, Tuan Sanjaya? Boleh saya istirahat sekarang?" Sanjaya hanya mengangguk, tangannya dilingkarkan di pinggang ramping Davinka. "Akan saya tunjukkan." Sanjaya mulai menggiring tubuh Davinka masuk. Wanita itu mengusap tengkuk dan lengannya beberapa kali saat hawa dingin menerpa tubuhnya, padahal mereka jauh dari ruang AC. Entah mengapa Davinka merasa tidak nyaman saat memasuki rumah megah itu. Aura permusuhan begitu kenta
Pelayanan itu membungkuk di hadapan Davinka, berkata dengan nada rendah. "Maaf, Nyonya, Anda di panggil Tuan." Davinka menatap wanita yang tidak terlalu tua, juga tidak semuda dirinya yang bicara dengan sangat hati-hati. Kata-katanya sebenarnya sangat bisa saja, akan tetapi sangat tidak nyaman di telinganya. "Cukup panggil saya, Davinka. Saya gak suka dipanggil Nyonya atau Nona, jadi panggil aja Davinka, oke!" Pelayan itu dengan cepat menggeleng, dia tidak ingin membuat marah Tuannya. Apalagi, CCTV terpasang di setiap sudut rumah "Maaf, Nyonya, saya tidak bisa. Anda Nyonya baru kami disini …," Terlihat kesedihan dalam wajah pelayan itu. Davinka bangun dan meletakkan baskom ikannya di bufet. "Saya bukan Nyonya kalian, dan saya tidak mau jadi Nyonya kalian. Saya bukan Istrinya, hanya simpanan pria itu," jelasnya lirih. Dari layar, Sanjaya merasa puas dengan pernyataan Davinka, wanita ini sangat terang-terangan
Sanjaya baru saja keluar dari kamar mandi saat melihat Davinka mulai mendekati tralis dan menaikkan satu kakinya. "Apa yang dilakukan oleh wanita itu!" Sanjaya membuang handuknya, bergegas keluar dengan tubuhnya yang setengah telanjang. Wajah pria itu sudah sangat pucat seperti tidak dialiri darah, otot di sekujur tubuhnya menegang hanya karena Davinka mendekati balkon. Sanjaya takut Davinka akan berbuat nekat dan melompat dari sana. "Tidak, Devinka, kamu tidak bisa melakukan ini!" Sanjaya berlari kencang menyusuri lorong dari kamarnya menuju kamar Davinka berada. Gerakannya melebihi angin, pria itu mengabaikan setiap tatapan penasaran para pelayan yang berpapasan dengannya. "Hentikan wanita itu!" teriak Sanjaya sekuat tenaga. Rahangnya kini sudah mengeras dengan sorot matanya yang tajam. Dia tidak ingin terlambat untuk menyelamatkan wanitanya dari maut. Para pelayan bingung, mereka saling pandang, tid