Semoga suka 😘😘
Pelayanan itu membungkuk di hadapan Davinka, berkata dengan nada rendah. "Maaf, Nyonya, Anda di panggil Tuan." Davinka menatap wanita yang tidak terlalu tua, juga tidak semuda dirinya yang bicara dengan sangat hati-hati. Kata-katanya sebenarnya sangat bisa saja, akan tetapi sangat tidak nyaman di telinganya. "Cukup panggil saya, Davinka. Saya gak suka dipanggil Nyonya atau Nona, jadi panggil aja Davinka, oke!" Pelayan itu dengan cepat menggeleng, dia tidak ingin membuat marah Tuannya. Apalagi, CCTV terpasang di setiap sudut rumah "Maaf, Nyonya, saya tidak bisa. Anda Nyonya baru kami disini …," Terlihat kesedihan dalam wajah pelayan itu. Davinka bangun dan meletakkan baskom ikannya di bufet. "Saya bukan Nyonya kalian, dan saya tidak mau jadi Nyonya kalian. Saya bukan Istrinya, hanya simpanan pria itu," jelasnya lirih. Dari layar, Sanjaya merasa puas dengan pernyataan Davinka, wanita ini sangat terang-terangan
Sanjaya baru saja keluar dari kamar mandi saat melihat Davinka mulai mendekati tralis dan menaikkan satu kakinya. "Apa yang dilakukan oleh wanita itu!" Sanjaya membuang handuknya, bergegas keluar dengan tubuhnya yang setengah telanjang. Wajah pria itu sudah sangat pucat seperti tidak dialiri darah, otot di sekujur tubuhnya menegang hanya karena Davinka mendekati balkon. Sanjaya takut Davinka akan berbuat nekat dan melompat dari sana. "Tidak, Devinka, kamu tidak bisa melakukan ini!" Sanjaya berlari kencang menyusuri lorong dari kamarnya menuju kamar Davinka berada. Gerakannya melebihi angin, pria itu mengabaikan setiap tatapan penasaran para pelayan yang berpapasan dengannya. "Hentikan wanita itu!" teriak Sanjaya sekuat tenaga. Rahangnya kini sudah mengeras dengan sorot matanya yang tajam. Dia tidak ingin terlambat untuk menyelamatkan wanitanya dari maut. Para pelayan bingung, mereka saling pandang, tid
Melihat wajah Sanjaya yang semakin mendekat dengan cairan obat dalam mulut pria itu, sudah membuat lidah Davinka merasakan pahit lebih dulu, bahkan cairan dalam perut serasa mau keluar. Davinka memalingkan wajah, menghindari bibir Sanjaya yang sudah berada tepat di depan bibirnya. Akan tetapi, dengan cepat Sanjaya mencengkram rahangnya dengan dua jari menahan bibir tebal wanita itu agar sedikit terbuka. "Emm-emmm …," teriakan Davinka tertan. Wanita itu terus menggerakkan kepalanya menghindari serangan Sanjaya. Kegigihan Sanjaya agar Davinka sembuh dan dapat melayaninya lagi, membuat pria itu bersikukuh agar obat yang dikunyah dapat masuk kedalam mulut Davinka. Saat Sanjaya mendapat bibir sensual Davinka, dengan cepat dia mentransfer cairan dalam mulutnya setelah menambah sedikit air. Tangan satu mulai menekan hidung Davinka. Bunyi tegukan didengar oleh pria itu setelah Sanjaya dua kali membagi cairan pahit dalam mulutnya. "Ahhh …
Kehangatan pagi itu membuat Davinka enggan untuk membuka mata, padahal tubuhnya sudah terjaga sepenuhnya. 'Kapan dia datang kesini? Gak tahu kenapa setiap dia meluk gue gini, ada ketenangan. Gue ngerasa nyaman,' bibir Davinka tersenyum dalam dekapan dada bidang Sanjaya yang mememluknya erat. Pria itu masih tetap bertelanjang dada seperti tadi malam. Davinka semakin menyusupkan dirinya dalam kehangatan Sanjaya dengan pikiran yang menerawang jauh. Sikap pria ini sangat berubah-ubah, kadang baik, kadang kasar, kadang lembut. Tapi, terkadang juga ucapnya seperti angin topan yang memporak-porandakan hatinya. 'Apa gue gila kalo ngerasa nyaman dalam tawanan dia," Davinka hampir saja tertawa merasakan kekonyolannya. "Apa kamu tidak bisa diam, Davinka? Mau saya buat kamu masuk rumah sakit lagi?" Gertank Sanjaya merasa terganggu. Gerakan bibir Davinka yang menyapu dadanya membuat tidur pulas Sanjaya terganggu. Padahal, pria itu baru tertidur beberapa jam yang lalu setelah menahan diri unt
Jiwa Davinka seakan melayang saat mendengar teriakan para pelayan yang memanggil dirinya dengan teriakan keras. 'Jadi gue beneran mati sekarang?' "Aaaaa…!" Bruk! Davinka merasakan tubuhnya melayang di udara. Napas wanita itu sempat berhenti, wajahnya seperti tidak di dialiri darah. Putih melebihi kapas. Davinka tidak berani membuka mata, mungkin saja dirinya sudah mengantri untuk penebusan dosa di akhirat. "Kamu memang lebih suka mati daripada hidup tentang, hah!" Suara pria itu lebih mengerikan daripada malaikat pencabut nyawa. Davinka masih tidak berani membuka matanya. Detak jantungnya kembali bekerja dengan keras, sama kerasnya dengan sosok yang tengah menggendongnya saat ini. 'Hah, gue belom mati?' Saat Davinka hendak membuka mata untuk memastikan dirinya masih hidup, tubuhnya kembali melayang dan naik ke udara. "Aaaaa…!" Sekali lagi, nyawa seakan lepas dari raganya ketika tubuhnya kembali terjun ke bawah dengan cepat. "Mati, gue mati …," Davinka memejamkan matanya e
'Cara semalem!' Davinka tercengang, dia tahu pasti apa artinya, mentransfer Oba dari mulut ke mulut. Dengan cepat Davinka menolaknya, "Gak mau, Tuan, sa-saya ambil pisau dulu." Davinka hendak berlari mencari dapur, tapi dengan cepat Sanjaya menghentikanya. "Duduk!" titah Sanjaya. Pria itu bangun dari duduknya dan mengambil obat Davinka. "Obatnya mau di potong jadi berapa?" tanya Sanjaya saat tangannya sudah memegang obat. Davinka mendekat, melihat besarnya ukuran obat, menunjuk untuk memberitahu Sanjaya dibagi berapa obat itu. "Ini bagi tiga saja, Tuan ... dan ini dibagi dua bagian. Tapi, apa ini tidak merepotkan, Tuan?" tanya Davinka polos Ini jelas sangat merepotkan Sanjaya. Akan tetapi, dia bisa kembali mengenang kebiasaan mendiang istrinya. "Apa ini perlu ditanyakan? Jelas ini merepotkan saya! Mulai hari ini kamu berhenti jadi marketing!" Ini jelas bukan permintaan, tapi paksaan. Davinka merengut, apa dia dipecat?
Sepanjang hari Davinka dibuat susah oleh Sanjaya. Pria itu banyak meminta hal, mulai dari menyuruhnya membuatkan kopi, sampai menyalin berkas yang sudah tidak dipakai.Pikiran Davinka hanya satu, dia tidak akan mendapatkan bonus bulanannya selama menjadi asisten pria itu. Semakin berusaha, semakin banyak waktu yang dibutuhkan oleh Davinka."Bersiaplah, kita akan keluar kota sore ini," ujar Sanjaya sambil berjalan ke arah Davinka dan mendudukan wanita itu di pangkuannya.Sambil menahan debaran jantungnya, Davinka menyuarakan keberatannya akan aksi pria itu."Tu-tuan …," Davinka bahkan tidak bisa mengucapkan dengan betul saat memanggil Sanjaya. "I-ini di kantor, Tuan…."Bagaimana Davinka bisa bersiap, pria ini mulai menggerayangi tubuhnya. Meremas dadanya tanpa permisi.Sanjaya mengerahkan lidahnya ke daun telinga Davinka hingga membuat wanita itu tersentak. Suaranya yang serak membuat Davinka merinding disko
Sanjaya melakukannya dengan sangat kasar. Merobek pakaian Davinka layaknya mencabik-cabik sarung bantal dan menghamburkan seluruh isinya. Seperti itulah hati Davinka saat ini, hancur dengan serpihan yang tidak bisa disatukan. Punggungnya sakit akibat menghantam meja. Tapi setan! Intinya berkedut tanpa henti, karena Sanjaya kini tengah menyesap puncak dadanya dengan sangat kuat. Devinka harus mengatakannya agar menghentikan kebrutalan pria ini dan mengendalikan tubuh ini yang mulai terbuai oleh sentuhan Sanjaya. Dengan terbata-bata dia mulai mengucapkan kata yang sangat ingin didengar oleh pria itu. "Sa … sanj-ja .. Sanja," panggil Davinka dengan suara yang nyaris seperti bisikin. Tanpa sadar, Davinka cemburu pada wanita itu. Wanita yang selalu disebut namanya oleh Sanjaya. Suara lirih dan pilu Davinka menampar pipi Sanjaya dengan sangat keras. Matanya terbelalak lebar, mahakaryanya yang kemarin saja belum sembuh di dada wanita itu, dan kini Sanjaya telah menambahkan satu lagi t