Ella menggaruk pelipisnya, memutar bola mata jengah. “Apa yang dia inginkan dari kehidupan seseorang yang sebentar lagi akan mati?” batinnya membalas. Ia menarik napasnya lelah. Perubahan emosi yang drastis ini membuatnya pusing. Terlalu banyak hal menyebalkan dalam satu hari. Kesabaran Ella telah mencapai batasnya. Rahangnya mengetat. “Hubunganku dengan Lorenzo itu bukan urusanmu. Tutup mulutmu itu dan keluar dari kamarku,” perintah Ella ketus kemudian menutup pintu tepat di depan wajah Jessica. Ella bersandar pada pintu kayu itu, sembari menarik napas dalam-dalam. Ruangan terasa sunyi, tapi menenangkan. Ia bergerak menjauhi pintu. Mengamati kamar yang sudah ia tinggalkan berhari-hari. Tidak ada yang berubah, masih terasa hampa, dingin. Matanya menangkap bingkai foto di atas nakas. Foto itu, kencan pertamanya dengan Lorenzo, Senyum mereka begitu murni tanpa beban. saat di mana ia merasa bersama Lorenzo itu indah. Gadis itu mematikan lampu kemudian membaringkan tubuhnya. Cah
Rahang Lorenzo mengetat, matannya menggelap. Tangannya kini mencengkram paha Ella seolah memberi Ella peringatan untuk tidak menguji batas kesabarannya. Ella meringis, kemudian menarik napas dalam, mengumpulkan ketenangannya. Ia meletakkan kedua tangannya mencengkram bahu Lorenzo, menegaskan bahwa ia punya hak untuk bicara. Sambil terus mempertahankan kontak mata dengan Lorenzo. “Kau pria dewasa yang sudah tidak perlu lagi diajarkan tentang batasan, tentang benar dan salah. Jika memang kau menghargaiku, jika memang hubungan ini berarti untukmu maka tunjukan, Lorenzo,” jelasnya tegas. “Teruskan jika kau merasa apa yang kau lakukan itu benar, aku tidak melarangmu. Namun, jangan harap standar yang berbeda untukku. Aku akan melakukan apa yang kau lakukan kepadaku.” Ekpresi keras di wajah Lorenzo berubah. Cengkraman di paha Ella melemah. Mata Lorenzo yang tajam menyipit, sekilas terlihat terkejut. Ella seolah membalikkan situasi, memojokkan Lorenzo. Dominasi Lorenzo mengabur di hadapa
Austin, Texas, Amerika Serikat Mobil SUV hitam itu membelah keramaian kota menuju penthouse Lorenzo setelah mendarat di Texas. Langit sudah gelap saat mereka tiba. Di dalam, Ella duduk membisu, tangannya digenggam erat Lorenzo seolah jika genggaman itu terlepas, Ella akan hilang dalam sekejap. Suara bariton Lorenzo memenuhi ruang mobil. Sibuk berbicara melalui sambungan telepon dengan bahasa Italia yang tidak Ella mengerti. Selama perjalanan, mata gadis itu menatap keluar jendela. Tempat ini, menyimpan banyak kenangan masa lalu mereka. Tempat yang mempertemukannya dengan Lorenzo. Mobil memasuki parkiran basemant VIP. Perjalanan dilanjutkan dengan lift pribadi yang hanya bisa diakses dengan kartu dan sidik jari Lorenzo. Lift meluncur naik ke lantai paling atas. Tangan Lorenzo merengkuh pingang Ella posesif. Merapatkan tubuhnya pada Ella hingga dadanya menpempel pada punggung gadis itu. Panas tubuh Lorenzo membakar punggungnya. “Kau cukup pendiam malam ini,” celetukny
“Berhenti memainkan permainan yang kau tahu kau akan kalah, Sayang,” desis Lorenzo sambil bersandar santai di kursi kulit jet pribadinya. Ia tersenyum puas melihat wajah merajuk Ella di pangkuannya. Pesawat jet itu sudah meluncur di atas awan, ke tujuan yang dihindari Ella. Gadis itu mendengus sembari melirik sinis Lorenzo sebelum membuang wajah menatap jendela. Lorenzo menarik dagunya, memaksa Ella menatapnya. “Kalau kau masih punya pikiran untuk kabur dariku, buang jauh-jauh pikiran itu. Sebelum malam ini aku membuatmu tidak bisa jalan.” Mata Ela membola mendengar ancaman Lorenzo. Tubuhnya merinding. Ia menepis tangan Lorenzo hingga cengkramannya terlepas. Ella memutar tubuhnya, bergerak ke kursi kosong di seberangnya. Namun, tangan Lorenzo mencengkeram kuat pinggangnya. Tidak memberikannya akses ke manapun. “Mau ke mana? Kabur lagi?” tanyanya datar. Ella memutar bola matanya. “Jika bisa aku mau lompat dari jet sialanmu ini,” balasnya ketus. Lorenzo tertawa sinis. “
“Aku harap ini berhasil, kalau ini gagal, hidupku akan seperti di neraka bersama iblis itu,” gumamnya pada dirinya sendiri. Ia menggigit bibirnya saat melihat penampilan Mariah yang memakai barang-barang miliknya dari kepala hingga kaki. Hoodie abu-abunya yang panjang menutupi sebagian besar tubuh Mariah, yang dipadukan dengan rok satin. Ditambah topi baseball hitam menutupi dahinya dan kacamata hitam menutupi sebagain wajahnya. Mariah tampak sangat siap menjalani perannya dalam penyamaran untuk menggelabui anak buah Lorenzo. Ini merupakan rencana yang disusun oleh Thomas. "Terima kasih sudah membantuku, Mariah," kata Ella, suaranya nyaris bergetar penuh rasa syukur. Ia menggenggam tangan Mariah dengan senyum tulusnya. Gadis itu membalas dengan senyum simpul. Wajahnya terlihat tenang, berbanding terbalik dengan kegelisahan Ella. "Ini bukan apa-apa. Hanya bantuan kecil," jawab Mariah. “Sudah siap?” tanya Thomas sembari berjalan mendekat bersama Karen di belakangnya. “Ya,” sah
“Sialan!” Ella membanting pintu mobil sembari mengumpat dan menghentakkan kakinya saat baru saja ia sampai di villa. Gadis itu membuka pintu villa dengan kasar sembari mengacak-acak rambutnya hingga kusut. Ketukan langkah hak sepatunya terasa berat di lantai marmer. Peritah Lorenzo yang seenaknya itu tidak sesuai dengan kesepakatan mereka sepakati. Kebebasan tiga hari. Namun Lorenzo merampas semuanya di saat ia belum merasa bebas sama sekali. Kembali ke Texas berarti masuk ke sarangnya. Ia terkurung dalam kekuasaannya, tempat di mana pengaruhnya kuat di tiap sudut. Langkahnya terhenti ketika medndekati ruang tamu. Tubuhnya menegang ketika melihat Pamela bersama kedua orang tuanya duduk di sana. Tatapan mereka tertuju padanya, Ella merasakan udara mencekam dari ruangan itu. “Ella, kemarilah, ada yang harus kita bicara,” kata Thomas. Pria itu menatapnya dengan ekpresi yang tegas, ia menggerakkan tangannya meminta Ella mendekat. Dengan langkah lambat Ella mendekat, duduk di
Ella tidak bisa menahan senyum mengejek melihat keadaan Lorenzo sekarang. Pria yang kehadirannya mendominasi, bisa menguasai ruangan tanpa bicara itu kini terbaring lemah di atas brankar. Mata gelap yang dapat membuat orang membeku dan terintimidasi itu kini tampak lemah, kehilangan kekuatannya. Pria itu yang biasanya terlihat seperti iblis dengan berbagai ancaman yang keluar dari mulutnya, kini untuk pertama kalinya terlihat seperti manusia biasa yang bisa mati—tepatnya hampir mati. Wajahnya masih pucat, napasnya masih belum stabil meski dokter sudah memberikan penanganan. Hanya saja ruam-ruam kemerahan di kulitnya sudah menghilang. Ia berdiri di samping ranjang untuk meletakkan bungkusan obat di atas meja kecil. Gadis itu melipat tangannya di depan dada. Menatap Lorenzo dengan ekspresi yang dingin. “Lorenzo yang hebat ternyata bisa dikalahan oleh sepotong kue cokelat,” celetuk Ella mengejek. Lorenzo mengernyit heran, matanya menyipit sinis, tapi tidak mengatakan apa pun.
“Satu, dua, tiga—kejut!” perintah dokter menggema, tegas dan penuh urgensi. Tubuh Daren tersentak keras saat arus listrik dari defibrilator mentenyuh kulit dadanya. Namun, garis lurus di layar elektrokardiograf tak bergerak. Tubuh Ella limbung hingga ia nyaris jatuh. Lorenzo merengkuhnya kuat, lengannya melingkar di pinggang gadis itu. “Tolong… selamatkan dia. Aku mohon, Tuhan, biarkan aku lihat dia selamat,” bisiknya, suaranya samar, tenggelam kebisingan keadaan yang mencekam. “Kejut lagi!” perintah dokter. Tubuh Daren tersentak sekali lagi. Air mata Pamela mengalir, matanya penuh ketakutan akan kehilangan anak sulungnya. Ia menahan napas, matanya terpaku pada layar. Ella di luar ruangan menangis histeris. Jantungnya berdegup kencang, seolah ingin menggantikan irama yang hilang dari Daren. Gadis itu menutup mulutnya, menahan jeritan. Tubuhnya yang gemetar dalam rengkuhan Lorenzo. “Tolong, Daren, tolong kembali,” racaunya di sela-sela tangisnya. “Kumohon, Daren,
Hingga siang hari ini tidak ada lagi satu pun panggilan telepon atau pesan dari Lorenzo sejak Ella mengungkap rahasianya—penyakit yang menggerogoti tubuhnya. Ini sangat melegakan, seperti ikatan tali Lorenzo padanya perlahan melonggar. Ia berharap kebenaran tentang penyakitnya akan memutus ikatan dengan Lorenzo. Ini adalah harapan terakhirnya, satu-satunya cara yang tersisa setelah ia kehabisan akal untuk kabur dari Lorenzo. Pandangannya beralih ke kotak cincin biru kecil di atas meja. Ia membukanya perlahan, dan menatap cincin perak sederhana di dalamnya. Logam itu sudah bersih dari noda kemerahan yang pernah menempel. Nama Daren terlintas di benaknya. Dadanya sesak, rasa bersalah menusuknya. Napasnya terasa berat mengingat ia tidak bisa berada di sisi Daren di saat-saat tersulitnya, dan itu menyiksanya lebih dari penyakit yang ia sembunyikan. Ella menarik napas dalam, memasukkan kotak cincin ke dalam tasnya, lalu bangkit. Langkahnya pelan ke lantai dasar, berpapasan dengan