Mata Ella membelalak penuh, pupilnya melebar keterkejutan. Dengan cepat ia menepis tangan Lorenzo lagi. Sentuhannya, walau hanya sekilas, terasa panas di kulitnya.
Tangannya mencengkeram kerah baju Lorenzo dengan kekuatan yang lahir dari campuran amarah dan kekecewaan, hingga jari-jarinya memucat. Ia salah telah percaya pada Lorenzo di awal. Percaya pada pria sepertinya adalah sebuah bencana! “Kau semakin kelewatan. Ini namanya penculikan, Lorenzo! Hentikan mobilnya sekarang! Aku mau turun!” desisnya tegas. Lorenzo menarik napas panjang, tapi terdengar berat. Satu alisnya terangkat, ia mendekatkan wajahnya ke wajah Ella hingga napas panasnya menerpa di kulit wajah gadis itu. Lorenzo menyeringai lebih lebar, ada kilatan kemenangan di matanya. Tangannya di pinggul Ella mencengkramnya kuat, cukup menyakitkan membuat gadis itu meringis. “Siapa kau berani memberiku perintah?” gumamnya dengan nada yang sangat rendah. “Dasar bajingan sialan!” maki Ella, kata-katanya penuh kebencian yang membara. Lorenzo tersenyum geli, terkesan mengejek melihat keberanian Ella tidak goyah meski gadis itu sudah terpojok. “Hati-hati dengan kata-katamu, Sayang,” bisiknya. “Aku sudah cukup sabar menghadapi tingkahmu yang kurang ajar selama ini. Jangan kau pikir kesabaranku tidak punya batas. Haruskah aku memberi hukuman untuk lidah tajammu itu?” peringatnya tegas. Ella melepaskan tangannya dari kerah kemeja Lorenzo untuk menepis tangan Lorenzo dari dagunya, seolah jijik dengan setiap sentuhan Lorenzo. Lalu ia memalingkan wajahnya dari pria itu untuk menatap keluar jendela. Ia menyugar rambutnya hingga berantakan. Dadanya naik turun dengan cepat, frustrasi menggerogoti setiap inci tubuhnya. Matanya mulai menyisir jalanan di luar jendela, mencari sesuatu. Apa saja yang bisa menjadi petunjuk, atau tanda-tanda kecil yang mungkin bisa membantunya untuk kabur tanpa tersesat jika ada kesempatan. Ralat, ia akan menciptakan kesempatan untuk kabur dari Lorenzo apa pun yang terjadi. Selama darah masih mengalir di nadinya, ia tidak akan pernah tunduk pada pria seperti Lorenzo. Mobil akhirnya berhenti di sebuah parkiran villa dua lantai yang berada di daerah pantai, pelabuhan. Mesin mobil mati, dan sopir turun membukakan pintu untuk Lorenzo. Pria itu turun sembari menggendong Ella bridal style. Cengkramannya tidak sedikit pun melonggar di pinggang Ella. Sedangkan Ella kehabisan cara untuk memberontak. Lorenzo melangkah mantap menaiki tangga. Pria itu membuka pintu salah satu ruangan. Membawa Ella masuk ke sebuah kamar sederhana lalu menurunkan gadis itu di atas kasur. “Mau apa kau bawa aku ke sini? Jangan macam-macam denganku, Lorenzo!” geram Ella, tangannya terkepal kuat seolah siap meninju wajah tampan Lorenzo yang arogan itu jika pria itu melakukan tindakan tidak bermoral padanya. Lorenzo menatapnya dengan senyum sinis. “Kalau aku memiliki niat untuk macam-macam denganmu, kau sudah mengandung anakku sejak lama, Ella,” sarkasnya. “Lalu kau mau apa membawaku ke sini? Aku tidak mau, aku ingin pulang, Lorenzo!” bentak Ella, suaranya meninggi, nyaring, bergema di ruangan kamar yang kosong ini, memekakkan telinga Lorenzo. “Teriaklah sesukamu, tidak akan ada yang peduli padamu. Kau akan tinggal di sini, bersamaku, suka atau tidak, mau atau tidak." Suara Lorenzo tegas tidak meninggalkan celah untuk perlawanan. “Dan jangan coba-coba kabur. Villa ini dijaga ketat. Memberontak hanya akan sia-sia.” Saat Lorenzo berbalik untuk keluar, Ella bangun, melangkah dengan gesit. Ia meraih pistol yang terselip di celana belakang pria itu. Tanpa ragu mengacungkan senjata itu kepada Lorenzo. Pria itu berbalik perlahan, keningnya berkerut dalam, matanya menatap Ella dengan tajam. “Setelah semua yang kau lakukan padaku jangan harap aku akan menurut,” ungkap Ella penuh tekad. Ella melangkah maju hingga ujung pistol kini menempel di kening Lorenzo. Pria itu bisa merasakan ujung pistol yang bergetar di keningnya. Tangan Ella tidak stabil menggenggam pistol. Tanda bahwa gadis itu takut sebenarnya. Lorenzo tersenyum mengejek. Tubuh tegapnya tidak gentar sama sekali. “Kau mau menembakku dengan tangan gemetar seperti itu? Baiklah, lakukan, Sayang, sekarang. Tunjukkan padaku sebesar apa kemarahanmu,” tantangnya, suaranya penuh percaya diri seolah Ella tidak akan berani menggunakan pistol itu. Ella menelan ludah, tenggorokannya terasa tercekat. Ketakutannya berubah menjadi kemarahan yang menguasai seluruh tubuhnya karena sikap Lorenzo yang meremehkannya. Ia mengangkat dagunya, jari-jarinya mengencang di pelatuk. “Tantangan diterima,” desisnya. Tanpa peringatan, tanpa jeda untuk berpikir ulang, Ella menarik pelatuk.Lorenzo tertawa. Tawa yang lega, hangat, dan penuh haru, bergema di ruangan ini. Ia mengenali nada suara sarkastik dan ketus itu. Ia mengenali sikap sinis dan menantang itu, ciri khas Ella untuk menyembunyikan kerentanan dan perasaan sesungguhnya. Dan sialnya semua sikap itulah yang membuat Lorenzo jatuh cinta pada Ella sejak awal. Ellanya telah kembali utuh setelah kehancuran perasaannya setahun yang lalu. Ia telah kembali seperti saat pertama kali Lorenzo mengenalnya. Tanpa bisa menahan diri lagi, Lorenzo menerjang Ella dengan pelukan erat yang hampir mengangkat tubuh mungil gadis itu dari lantai. Lengan Lorenzo melingkar posesif di pinggang ramping Ella. Ia menenggelamkan wajahnya di lekuk leher Ella. Merasakan kulit lembut Ella yang membuatnya merasa seperti pulang ke rumah. "Ambil saja, Sayang," bisik Lorenzo. Suaranya serak, berat, penuh hasrat dan kerinduan yang telah dipendam selama setahun. Napasnya yang hangat membuat gadis itu bergidik geli. "Bawa apa pun yang
Satu tahun. Tepat satu tahun sudah berlalu sejak Lorenzo terakhir kali merasakan kehangatan tubuh Ella dalam pelukannya. Satu tahun berlalu sejak gadis itu memutuskan untuk pergi ke Oklahoma, menciptakan jarak ribuan kilometer di antara mereka. Namun, perpisahan itu bukan berarti ketiadaan kontak sama sekali. Sesekali, pesan singkat masih terkirim di antara mereka. Walau hanya kalimat-kalimat pendek yang terasa dingin, sekadar basa-basi. Sesekali telepon masih tersambung, walau hanya sepatah dua patah kata yang terlontar. Lorenzo telah berjanji untuk memberikan kebebasan kepada Ella, memberikan waktu dan ruang untuk menyembuhkan lukanya dan membangun kembali kepercayaannya pada cinta. Walau di sini Lorenzo yang menanggung sakit karena menahan rindu yang menggerogoti jiwanya. Janji itu adalah bentuk penebusan atas rencana liciknya yang menghancurkan perasaan Ella dan sampai sekarang masih menjadi rahasia antara dirinya dan Lessa. Namun, nyatanya, janji itu membuatnya g
Senja di Oklahoma menyambut kepulangan Ella. Gadis itu melangkah turun dari mobil dengan gerakan yang kaku, setiap sendi tubuhnya seolah menahan beban yang tak terlihat. Ia berjalan menuju pintu masuk dengan langkah gontai karena kelelahan emosional. Wajahnya pucat, matanya masih sembab. Lorenzo berdiri di sampingnya dengan postur tubuh yang tegap. Matanya yang gelap memindai setiap sudut rumah dengan kewaspadaan. Tangannya bertumpu lembut di punggung Ella, memberikan dukungan tanpa kata. Suara langkah kaki terdengar samar-samar. Thomas muncul menuruni tangga dengan langkah terburu-buru. Wajah pria baya itu langsung tegang ketika melihat Lorenzo. Dahinya berkerut, rahangnya mengetat, tatapannya dingin. Lorenzo tentu menyadari pandangan menusuk dari Thomas. Ia bisa merasakan bahwa pria itu sedang menimbang-nimbang apakah ia layak untuk berdiri di rumahnya. Di belakang Thomas, Karen muncul dengan wajah yang dipenuhi kekhawatiran dan kebingungan yang mendalam. "Ella?" Karen
Pertanyaan itu bagaikan belati tajam yang menusuk tepat ke jantung Lorenzo. Namun, Lorenzo tidak menunjukkan keputusasaan dan rasa sakitnya di depan Ella. Lorenzo mengangkat dagu Ella dengan lembut. Ia mengecup singkat kening Ella. Berusaha menyikapi pertanyaan Ella dengan tenang, meskipun ia sendiri juga takut hal itu akan terjadi. "Aku akan membuat kenangan baru bersamamu yang lebih indah. Aku akan membuatmu mencintaiku lagi dengan setiap detik kebersamaan yang kita ciptakan. Jika masa lalu tidak bisa kembali, kita akan menciptakan masa depan yang jauh lebih indah dan penuh warna.” Keteguhan dalam suara Lorenzo membuat hati Ella berdebar tidak stabil. Ada sesuatu dalam tatapan mata pria itu yang membuatnya merasa aman meskipun dunianya sedang hancur. Namun, ketukan keras di pintu memecahkan momen haru mereka. Sebelum Lorenzo sempat mengeluarkan sepatah kata, pintu sudah terbuka. Alessio menerobos masuk dengan wajah tegang. "Maaf mengganggu," kata Alessio tegas. "Daren me
"Ella, aku paham kau mungkin telah kehilangan kepercayaan padaku. Apalagi di keadaanmu sekarang, di mana aku tidak ada di dalam ingatanmu," ucap Lorenzo, suaranya sedikit serak. "Aku tahu kau tidak akan percaya saat aku mengatakan bahwa aku tidak akan pernah melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Daren padamu, bahwa aku berbeda darinya." Lorenzo melanjutkan, sembari membelai rambut Ella. "Tapi izinkan aku membuktikan bahwa tidak semua pria seperti Daren. Izinkan aku menunjukkan padamu bagaimana seharusnya seorang wanita dicintai dan dihargai." Lorenzo perlahan melepaskan pelukan mereka, kemudia menangkup pipi Ella tang pucat agar menatapnya. Matanya yang kelam menatap lekat-lekat mata cokelat Ella yang masih bergelimang air mata. Ada sesuatu dalam tatapan Lorenzo yang membuat dada Ella terasa hangat. Tatapannya penuh cinta dan ketulusan yang tidak terhingga. "Berikan aku waktu. Biarkan aku membuktikan dengan tindakan, bukan hanya dengan kata-kata." Lorenzo menar
"Aku tidak tahu bagaimana caranya mempercayai seseorang lagi, bagaimana caranya membuka hati?" Kata-kata itu keluar dengan susah payah, setiap hurufnya terasa seperti bongkahan batu di tenggorokannya. Luka yang mengoyak jiwanya telah menghancurnya kepercayaan gadis itu. Ella menatap wajah Lorenzo dengan pandangan yang lelah. Namun, terselip rasa takut yang mendalam di matanya. Takut untuk membuka hati lagi, takut untuk mempercayai lagi, takut untuk mencintai lagi. Mata cokelatnya yang sembab bertemu dengan mata Lorenzo yang penuh dengan kekhawatiran dan sedikit kepanikan karena baru menyadari bahwa akibat dari tindakannya lebih parah dari yang ia duga. Lorenzo merasa seperti sedang menggali kuburannya sendiri sekarang. Ia ingin berteriak pada Ella, mengatakan bahwa ia bukan Daren. Ia ingin mengatakan bahwa ia bisa menjadi tempat yang aman untuk Ella, bahwa pelukannya bisa menjadi rumah yang paling nyaman di dunia. Ia ingin berteriak mengatakan bahwa ia bisa menjadi obat un