Home / Romansa / Terjebak Obsesi Sang CEO / 5. Ciuman Kepemilikan

Share

5. Ciuman Kepemilikan

Author: feynaa
last update Last Updated: 2025-02-03 16:36:20

Ella mengerjap, ternyata pistol yang ia pegang tidak memiliki peluru.

Pantas saja Lorenzo tetap bergeming. Namun, tindakannya tersebut berhasil memancing kemarahan pria itu.

Rahangnya mengetat, urat di lehernya mencuat. Matanya membelalak, alisnya menukik tajam hampir menyatu. Otot di sekitar matanya berdenyut pelan. Tatapannya penuh kemarahan dan keterkejutan yang membuatnya terpaku. Tidak menyangka Ella berani bertindak sejauh ini.

Jantung Ella berdegup dengan sangat cepat. Tangannya yang gemetar menjatuhkan pistol hingga terdengar suara benturan yang cukup keras. Ia mundur, tapi Lorenzo dengan cepat mencengkram tangannya.

Tanpa kata Lorenzo mengangkat tubuh Ella membuat gadis itu menjerit kaget. Dengan kasar Lorenzo melemparnya ke ranjang. Tidak terlalu kuat untuk menyakitinya, tapi cukup membuat Ella takut.

Lorenzo menindihnya. Ella mengerjap beberapa kali, tubuhnya membeku.

"Lorenzo!" teriaknya, tangannya menahan dada Lorenzo.

Namun, tangan Lorenzo mencengkram pergelangan tangan Ella, menguncinya di atas kepala dengan genggaman yang tegas dan menyakitkan.

Pria itu mencondongkan tubuhnya, hingga tubuh mereka hampir menyatu. Mendekatkan wajahnya pada wajah gadis itu. Dada pria itu naik turun dengan cepat akibat tekanan emosi yang membludak di dadanya.

Napas Lorenzo menderu keras dan panas di wajah Ella, membuat pipi Ella memerah dan jantungnya berdetak sangat cepat. Tatapan mereka bertemu. Ella bisa melihat kilatan emosi yang berkecamuk di mata gelap Lorenzo.

Tubuh Ella gemetar di bawah tatapan Lorenzo, bagaikan predator yang ingin membunuh mangsanya. Sekilas ada kilatan kecewaan dan kesenduan di matanya, tapi Ella tidak yakin dengan itu.

“Bajingan, mau apa kau?!” jerit Ella mencoba meronta-ronta, tubuhnya menggeliat dalam belenggu Lorenzo.

“Lepaskan aku! Menyingkir dari tubuhku dasar bajingan!” makinya.

“GABRIELLA JOVIANNE!” bentak Lorenzo, suaranya menggelegar bagai petir di siang bolong dalam ruangan sunyi ini.

Tubuh Ella tersentak, napasnya terhenti sepersekian detik. Matanya membulat, campuran antara takut dan terkejut. Kepalanya menggeleng spontan, tidak percaya bahwa Lorenzo membentaknya, ini pertama kalinya.

Napas Ella putus-putus. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Air mata mulai memenuhi pelupuk matanya.

"Sialan. Demi Tuhan, Ella! Kau benar-benar membuatku marah. Jangan bilang aku tidak memperingatkanmu sebelumnya. Kesabaranku benar-benar habis untukmu!” desisnya.

"Kau mencoba membunuhku, hah? Kau tahu apa yang terjadi pada mereka yang berani menodongkan pistol padaku?"

Ella diam seribu bahasa. Dari posisinya yang terjebak di bawah tubuh kokoh Lorenzo, Ella merasa begitu kecil begitu mudah dikalahkan. Membuat nyalinya seketika menciut.

Secara fisik, jelas Ella kalah, ia sadar itu.

"Mereka mati, detik itu juga. Tapi untukmu, aku punya cara yang berbeda," lanjut Lorenzo penuh ancaman terselubung.

Dengan cepat ia mendekatkan wajahnya sembari menarik kuat dagu Ella. Menangkap bibirnya dalam sebuah ciuman yang kasar, melumat paksa bibir Ella.

Ella berusaha menolak, namun kekuatan Lorenzo jauh lebih besar. Tangannya yang masih dalam cengkraman Lorenzo membuatnya tidak dapat memberontak.

Ia menarik rambut Ella, membuat kepala gadis itu terangkat. Lidah dan giginya ikut bermain di dalam mulut gadis itu, menggigit bibir bawahnya dengan cukup keras hingga Lorenzo merasakan cairan darah di lidahnya.

Ella menjerit di dalam mulutnya. Air mata Ella mengalir dengan deras. Hingga Lorenzo dapat merasakan asin air mata Ella.

Tepat ketika Ella kehabisan napas, Lorenzo mengakhiri ciumannya. Namun, penderitaan Ella tidak berakhir. Pria itu beralih mencumbui lehernya. Menggigit dengan kasar dan brutal, meninggalkan jejak merah kepemilikan yang menyakitkan.

“Lorenzo, berhenti!” Ella menjerit-jerit dalam tangisnya.

"Bajingan, Lorenzo, aku membencimu!"

Lorenzo tidak sedikit pun peduli.

Jeritan Ella bagaikan angin yang berlalu.

Bibir Lorenzo terhenti ketika menyentuh kalung Ella. Ia mengangkat sedikit kepalanya. Memperhatikan kalung yang melingkar di leher Ella yang basah dan kemerahan.

“Aku tidak ingat pernah memberikanmu kalung ini, Sayang," bisiknya, kemudian dengan paksa menarik kalung itu hingga putus.

“Tidak, Lorenzo, apa yang kau lakukan? Kembalikan padaku! Kumohon, Lorenzo, kembalikan padaku!” Ella berteriak, berusaha mengambil kembali kalung itu.

Namun itu usaha yang tidak mudah.

Pria itu beranjak dari tubuhnya. Berjalan ke balkon dan membuang kalung itu dengan santai.

Ella dengan langkah terseok mendekati pria itu. Ia terperangah, amarah saja tidak cukup untuk mendeskripsikan emosinya sekarang.

Kalung pemberian Daren yang menjadi pengingat masa bahagianya, benda yang sangat berharga karena itu adalah hadiah pertama dan mungkin terakhir yang ia dapatkan dari Daren kini telah sirna.

Ella memukul kuat dada Lorenzo. “Kau tidak berhak melakukan itu, Lorenzo. Kau tidak berhak merenggut apa yang menjadi milikku! Benda itu milikku!” makinya dengan suara serak.

Tenggorokannya sakit karena jeritan yang sebelumnya.

Satu alis Lorenzo terangkat, acuh tak acuh. Bibirnya tersenyum mengejek.

“Begitukah? Perlu aku ingatkan kau milik siapa, Sayang? Kau milikku, tubuhmu milikku. Apa yang ada di tubuhmu harus atas izinku!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjebak Obsesi Sang CEO   154. Bersatu Kembali (Tamat)

    Lorenzo tertawa. Tawa yang lega, hangat, dan penuh haru, bergema di ruangan ini. Ia mengenali nada suara sarkastik dan ketus itu. Ia mengenali sikap sinis dan menantang itu, ciri khas Ella untuk menyembunyikan kerentanan dan perasaan sesungguhnya. Dan sialnya semua sikap itulah yang membuat Lorenzo jatuh cinta pada Ella sejak awal. Ellanya telah kembali utuh setelah kehancuran perasaannya setahun yang lalu. Ia telah kembali seperti saat pertama kali Lorenzo mengenalnya. Tanpa bisa menahan diri lagi, Lorenzo menerjang Ella dengan pelukan erat yang hampir mengangkat tubuh mungil gadis itu dari lantai. Lengan Lorenzo melingkar posesif di pinggang ramping Ella. Ia menenggelamkan wajahnya di lekuk leher Ella. Merasakan kulit lembut Ella yang membuatnya merasa seperti pulang ke rumah. "Ambil saja, Sayang," bisik Lorenzo. Suaranya serak, berat, penuh hasrat dan kerinduan yang telah dipendam selama setahun. Napasnya yang hangat membuat gadis itu bergidik geli. "Bawa apa pun yang

  • Terjebak Obsesi Sang CEO   153. Cincin Berlian

    Satu tahun. Tepat satu tahun sudah berlalu sejak Lorenzo terakhir kali merasakan kehangatan tubuh Ella dalam pelukannya. Satu tahun berlalu sejak gadis itu memutuskan untuk pergi ke Oklahoma, menciptakan jarak ribuan kilometer di antara mereka. Namun, perpisahan itu bukan berarti ketiadaan kontak sama sekali. Sesekali, pesan singkat masih terkirim di antara mereka. Walau hanya kalimat-kalimat pendek yang terasa dingin, sekadar basa-basi. Sesekali telepon masih tersambung, walau hanya sepatah dua patah kata yang terlontar. Lorenzo telah berjanji untuk memberikan kebebasan kepada Ella, memberikan waktu dan ruang untuk menyembuhkan lukanya dan membangun kembali kepercayaannya pada cinta. Walau di sini Lorenzo yang menanggung sakit karena menahan rindu yang menggerogoti jiwanya. Janji itu adalah bentuk penebusan atas rencana liciknya yang menghancurkan perasaan Ella dan sampai sekarang masih menjadi rahasia antara dirinya dan Lessa. Namun, nyatanya, janji itu membuatnya g

  • Terjebak Obsesi Sang CEO   152. Rumah

    Senja di Oklahoma menyambut kepulangan Ella. Gadis itu melangkah turun dari mobil dengan gerakan yang kaku, setiap sendi tubuhnya seolah menahan beban yang tak terlihat. Ia berjalan menuju pintu masuk dengan langkah gontai karena kelelahan emosional. Wajahnya pucat, matanya masih sembab. Lorenzo berdiri di sampingnya dengan postur tubuh yang tegap. Matanya yang gelap memindai setiap sudut rumah dengan kewaspadaan. Tangannya bertumpu lembut di punggung Ella, memberikan dukungan tanpa kata. Suara langkah kaki terdengar samar-samar. Thomas muncul menuruni tangga dengan langkah terburu-buru. Wajah pria baya itu langsung tegang ketika melihat Lorenzo. Dahinya berkerut, rahangnya mengetat, tatapannya dingin. Lorenzo tentu menyadari pandangan menusuk dari Thomas. Ia bisa merasakan bahwa pria itu sedang menimbang-nimbang apakah ia layak untuk berdiri di rumahnya. Di belakang Thomas, Karen muncul dengan wajah yang dipenuhi kekhawatiran dan kebingungan yang mendalam. "Ella?" Karen

  • Terjebak Obsesi Sang CEO   151. Korban dan Pelaku

    Pertanyaan itu bagaikan belati tajam yang menusuk tepat ke jantung Lorenzo. Namun, Lorenzo tidak menunjukkan keputusasaan dan rasa sakitnya di depan Ella. Lorenzo mengangkat dagu Ella dengan lembut. Ia mengecup singkat kening Ella. Berusaha menyikapi pertanyaan Ella dengan tenang, meskipun ia sendiri juga takut hal itu akan terjadi. "Aku akan membuat kenangan baru bersamamu yang lebih indah. Aku akan membuatmu mencintaiku lagi dengan setiap detik kebersamaan yang kita ciptakan. Jika masa lalu tidak bisa kembali, kita akan menciptakan masa depan yang jauh lebih indah dan penuh warna.” Keteguhan dalam suara Lorenzo membuat hati Ella berdebar tidak stabil. Ada sesuatu dalam tatapan mata pria itu yang membuatnya merasa aman meskipun dunianya sedang hancur. Namun, ketukan keras di pintu memecahkan momen haru mereka. Sebelum Lorenzo sempat mengeluarkan sepatah kata, pintu sudah terbuka. Alessio menerobos masuk dengan wajah tegang. "Maaf mengganggu," kata Alessio tegas. "Daren me

  • Terjebak Obsesi Sang CEO   150. Galeri Foto

    "Ella, aku paham kau mungkin telah kehilangan kepercayaan padaku. Apalagi di keadaanmu sekarang, di mana aku tidak ada di dalam ingatanmu," ucap Lorenzo, suaranya sedikit serak. "Aku tahu kau tidak akan percaya saat aku mengatakan bahwa aku tidak akan pernah melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Daren padamu, bahwa aku berbeda darinya." Lorenzo melanjutkan, sembari membelai rambut Ella. "Tapi izinkan aku membuktikan bahwa tidak semua pria seperti Daren. Izinkan aku menunjukkan padamu bagaimana seharusnya seorang wanita dicintai dan dihargai." Lorenzo perlahan melepaskan pelukan mereka, kemudia menangkup pipi Ella tang pucat agar menatapnya. Matanya yang kelam menatap lekat-lekat mata cokelat Ella yang masih bergelimang air mata. Ada sesuatu dalam tatapan Lorenzo yang membuat dada Ella terasa hangat. Tatapannya penuh cinta dan ketulusan yang tidak terhingga. "Berikan aku waktu. Biarkan aku membuktikan dengan tindakan, bukan hanya dengan kata-kata." Lorenzo menar

  • Terjebak Obsesi Sang CEO   149. Melepaskan Luka

    "Aku tidak tahu bagaimana caranya mempercayai seseorang lagi, bagaimana caranya membuka hati?" Kata-kata itu keluar dengan susah payah, setiap hurufnya terasa seperti bongkahan batu di tenggorokannya. Luka yang mengoyak jiwanya telah menghancurnya kepercayaan gadis itu. Ella menatap wajah Lorenzo dengan pandangan yang lelah. Namun, terselip rasa takut yang mendalam di matanya. Takut untuk membuka hati lagi, takut untuk mempercayai lagi, takut untuk mencintai lagi. Mata cokelatnya yang sembab bertemu dengan mata Lorenzo yang penuh dengan kekhawatiran dan sedikit kepanikan karena baru menyadari bahwa akibat dari tindakannya lebih parah dari yang ia duga. Lorenzo merasa seperti sedang menggali kuburannya sendiri sekarang. Ia ingin berteriak pada Ella, mengatakan bahwa ia bukan Daren. Ia ingin mengatakan bahwa ia bisa menjadi tempat yang aman untuk Ella, bahwa pelukannya bisa menjadi rumah yang paling nyaman di dunia. Ia ingin berteriak mengatakan bahwa ia bisa menjadi obat un

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status