Ella mengerjap, ternyata pistol yang ia pegang tidak memiliki peluru.
Pantas saja Lorenzo tetap bergeming. Namun, tindakannya tersebut berhasil memancing kemarahan pria itu. Rahangnya mengetat, urat di lehernya mencuat. Matanya membelalak, alisnya menukik tajam hampir menyatu. Otot di sekitar matanya berdenyut pelan. Tatapannya penuh kemarahan dan keterkejutan yang membuatnya terpaku. Tidak menyangka Ella berani bertindak sejauh ini. Jantung Ella berdegup dengan sangat cepat. Tangannya yang gemetar menjatuhkan pistol hingga terdengar suara benturan yang cukup keras. Ia mundur, tapi Lorenzo dengan cepat mencengkram tangannya. Tanpa kata Lorenzo mengangkat tubuh Ella membuat gadis itu menjerit kaget. Dengan kasar Lorenzo melemparnya ke ranjang. Tidak terlalu kuat untuk menyakitinya, tapi cukup membuat Ella takut. Lorenzo menindihnya. Ella mengerjap beberapa kali, tubuhnya membeku. "Lorenzo!" teriaknya, tangannya menahan dada Lorenzo. Namun, tangan Lorenzo mencengkram pergelangan tangan Ella, menguncinya di atas kepala dengan genggaman yang tegas dan menyakitkan. Pria itu mencondongkan tubuhnya, hingga tubuh mereka hampir menyatu. Mendekatkan wajahnya pada wajah gadis itu. Dada pria itu naik turun dengan cepat akibat tekanan emosi yang membludak di dadanya. Napas Lorenzo menderu keras dan panas di wajah Ella, membuat pipi Ella memerah dan jantungnya berdetak sangat cepat. Tatapan mereka bertemu. Ella bisa melihat kilatan emosi yang berkecamuk di mata gelap Lorenzo. Tubuh Ella gemetar di bawah tatapan Lorenzo, bagaikan predator yang ingin membunuh mangsanya. Sekilas ada kilatan kecewaan dan kesenduan di matanya, tapi Ella tidak yakin dengan itu. “Bajingan, mau apa kau?!” jerit Ella mencoba meronta-ronta, tubuhnya menggeliat dalam belenggu Lorenzo. “Lepaskan aku! Menyingkir dari tubuhku dasar bajingan!” makinya. “GABRIELLA JOVIANNE!” bentak Lorenzo, suaranya menggelegar bagai petir di siang bolong dalam ruangan sunyi ini. Tubuh Ella tersentak, napasnya terhenti sepersekian detik. Matanya membulat, campuran antara takut dan terkejut. Kepalanya menggeleng spontan, tidak percaya bahwa Lorenzo membentaknya, ini pertama kalinya. Napas Ella putus-putus. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Air mata mulai memenuhi pelupuk matanya. "Sialan. Demi Tuhan, Ella! Kau benar-benar membuatku marah. Jangan bilang aku tidak memperingatkanmu sebelumnya. Kesabaranku benar-benar habis untukmu!” desisnya. "Kau mencoba membunuhku, hah? Kau tahu apa yang terjadi pada mereka yang berani menodongkan pistol padaku?" Ella diam seribu bahasa. Dari posisinya yang terjebak di bawah tubuh kokoh Lorenzo, Ella merasa begitu kecil begitu mudah dikalahkan. Membuat nyalinya seketika menciut. Secara fisik, jelas Ella kalah, ia sadar itu. "Mereka mati, detik itu juga. Tapi untukmu, aku punya cara yang berbeda," lanjut Lorenzo penuh ancaman terselubung. Dengan cepat ia mendekatkan wajahnya sembari menarik kuat dagu Ella. Menangkap bibirnya dalam sebuah ciuman yang kasar, melumat paksa bibir Ella. Ella berusaha menolak, namun kekuatan Lorenzo jauh lebih besar. Tangannya yang masih dalam cengkraman Lorenzo membuatnya tidak dapat memberontak. Ia menarik rambut Ella, membuat kepala gadis itu terangkat. Lidah dan giginya ikut bermain di dalam mulut gadis itu, menggigit bibir bawahnya dengan cukup keras hingga Lorenzo merasakan cairan darah di lidahnya. Ella menjerit di dalam mulutnya. Air mata Ella mengalir dengan deras. Hingga Lorenzo dapat merasakan asin air mata Ella. Tepat ketika Ella kehabisan napas, Lorenzo mengakhiri ciumannya. Namun, penderitaan Ella tidak berakhir. Pria itu beralih mencumbui lehernya. Menggigit dengan kasar dan brutal, meninggalkan jejak merah kepemilikan yang menyakitkan. “Lorenzo, berhenti!” Ella menjerit-jerit dalam tangisnya. "Bajingan, Lorenzo, aku membencimu!" Lorenzo tidak sedikit pun peduli. Jeritan Ella bagaikan angin yang berlalu. Bibir Lorenzo terhenti ketika menyentuh kalung Ella. Ia mengangkat sedikit kepalanya. Memperhatikan kalung yang melingkar di leher Ella yang basah dan kemerahan. “Aku tidak ingat pernah memberikanmu kalung ini, Sayang," bisiknya, kemudian dengan paksa menarik kalung itu hingga putus. “Tidak, Lorenzo, apa yang kau lakukan? Kembalikan padaku! Kumohon, Lorenzo, kembalikan padaku!” Ella berteriak, berusaha mengambil kembali kalung itu. Namun itu usaha yang tidak mudah. Pria itu beranjak dari tubuhnya. Berjalan ke balkon dan membuang kalung itu dengan santai. Ella dengan langkah terseok mendekati pria itu. Ia terperangah, amarah saja tidak cukup untuk mendeskripsikan emosinya sekarang. Kalung pemberian Daren yang menjadi pengingat masa bahagianya, benda yang sangat berharga karena itu adalah hadiah pertama dan mungkin terakhir yang ia dapatkan dari Daren kini telah sirna. Ella memukul kuat dada Lorenzo. “Kau tidak berhak melakukan itu, Lorenzo. Kau tidak berhak merenggut apa yang menjadi milikku! Benda itu milikku!” makinya dengan suara serak. Tenggorokannya sakit karena jeritan yang sebelumnya. Satu alis Lorenzo terangkat, acuh tak acuh. Bibirnya tersenyum mengejek. “Begitukah? Perlu aku ingatkan kau milik siapa, Sayang? Kau milikku, tubuhmu milikku. Apa yang ada di tubuhmu harus atas izinku!”Lorenzo menatap adiknya dengan mata yang berkaca-kaca, kilatan dingin yang biasa membuat orang rang gemetar kini sirna, tergantikan kepedihan mendalam. Lorenzo yang selalu menjadi sosok pelindung bagi keluarga mereka, pria yang tidak pernah menunjukkan kelemahan bahkan dalam situasi paling berbahaya, kini, di hadapan Lessa, tembok pertahanan itu runtuh. Kali ini, Lorenzo yang membutuhkan perlindungan, setidaknya dari rasa sakit yang menggerogotinya hatinya. "Dan sekarang ada Daren.” Suaranya kini serak karena tangisan yang ia tahan. Lessa merasakan dadanya sesak mendengar suara memilukan Lorenzo karena ia terbiasa mendengar suara tegas dan otoritas Lorenzo.Ia bisa merasakan rasa sakit yang dialami Lorenzo karena ia pernah menyaksikan bagaimana Lorenzo dan Ella saling mencintai dengan intensitas yang memabukkan. Lorenzo menatap Lessa dengan mata yang mulai berkabut air mata pemandangan yang sangat langka karena dia tidak pernah menangis, bahkan ketika peluru menembus tubuhnya beb
Kesunyian mencekam menyelimuti suite mewah di lantai tertinggi hotel. Lorenzo melangkah limbung menuju bar mini di sudut ruangan. Dengan gerakan kasar, ia melepaskan kancing atas kemejanya satu per satu. Dada bidangnya yang kecoklatan terlihat naik turun dengan irama yang tidak teratur. Rahangnya terkatup rapat, otot-otot di sana menegang karena tekanan emosi yang masih menguasai setiap saraf tubuhnya. Mata kelamnya yang biasanya memancarkan otoritas mutlak dan kepercayaan diri yang mengintimidasi kini tampak penuh keputusasaan. Emosi yang bahkan hampir tidak pernah ditunjukkan oleh seorang Lorenzo De Luca. Tangan besarnya menuangkan whiskey ke dalam gelas kristal. Cairan mengalir dengan gemericik yang memecah kesunyian. Ia berdiri dengan postur tubuh yang sedikit bungkuk. Jemarinya Mencengkeram gelas dengan kekuatan yang berlebihan, buku-buku jarinya memutih karena tekanan. Dalam satu tegukan rakus, ia menghabiskan seluruh isi gelas. Namun, sensasi panas yang mengalir mel
"Apa yang sudah diberikan Daren padamu yang tidak pernah aku berikan? Katakan, Ella, katakan apa yang dimiliki Daren dan tidak ada dalam diriku. Katakan saja apa maumu dan semua itu akan menjadi milikmu!” Suara Lorenzo naik satu oktaf. Tangannya terkepal di sisi tubuhnya. Tubuhnya kaku penuh ketegangan. Rahangnya mengeras, otot-otot di leher mencuat. Aura dominan Lorenzo begitu kuat, membuat Ella merasa tertekan dari berbagai arah, membuat merasa terpojok dan merasa kecil. Ella menarik rambutnya ke belakang, gelagat frutrasinya mulai terasa begitu kuat. "Kau tidak mengerti. Ini bukan soal siapa yang lebih banyak memberikan. Ini soal... soal yang benar dan yang salah," balasnya lirih, suaranya bergetar, kehilangan kepercayaan pada dirinya sendiri. "Benar dan salah?" ulang Lorenzo dengan nada meremehkan. "Lalu kau pikir apa keputusanmu ini benar? Apakah kamu benar-benar menggunakan kata hatimu?” "Jangan," bisik Ella, tangannya meremas ujung kausnya. "Jangan katakan i
Sinar keemasan fajar merayap lembut melalui celah-celah tirai. Pagi ini, suasana terasa berbeda dengan pagi sebelumnya. Hangat, tapi masih menyimpan ketegangan yang tidak terucap. Sejak terbangun dari tidurnya, Daren selalu ingin menempel dengan Ella. Benar-benar tidak melepaskan Ella dari genggamannya. Tangan kekarnya selalu curi-curi kesempatan untuk menyentuh Ella. Entah itu menelusuri punggung mungil gadis, sesekali memeluknya dengan mesra, dan memberikan kecupan singkat di wajahnya. Bahkan saat sarapan, kakinya beberapa kali bersentuhan dengan kaki Ella. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan, tapi Daren enggan pergi kerja, enggan meninggalkan Ellla. Ia mengamati lekat-lekat gadis itu yang sedang mengikat dasinya. Bibir Daren melengkung membentuk senyuman tipis. Dengan gerakan kilat, Daren menangkup wajah Ella dan mencuri ciuman singkat di bibir ranum gadis itu. Ella membeku, terkejut dengan sentuhan tiba-tiba itu. "Aku tidak ingin meninggalkanmu hari ini," bisik Dare
Langit biru cerah perlahan memudah menjadi senja kemerahan ketika Ella melangkah memasuki pelataran rumah yang sunyi setelah suara mesin mobil Lorenzo telah menjauh. Paper bag belanjaan di tangan kirinya, sementara tangan kanannya memeluk kotak mika berisi sebuah mangkuk tanah liat yang masih kasar, belum sempurna, bahkan belum diberi warna apa pun. Begitu ia berada di dalam rumah, matanya langsung tertuju pada sosok yang berdiri tegak di tengah ruang tamu, menghadap ke arahnya seolah tengah menunggunya. Ella dapat merasakan aura Daren yang berbeda dari biasanya. Rambutnya berantakan, seolah berkali-kali dia mengusapnya dalam frustasi. Keningnya berkerut dalam. Mata birunya yang biasanya hangat kini dingin. Tatapannya tajam, tepat di mata Ella. Ruang tamu yang luas itu tiba-tiba terasa sesak, seolah dinding-dindingnya menyempit dan menekan mereka berdua dalam ketegangan yang menyesakkan. "Apa yang kau lakukan dengannya?" Suara Daren merobek keheningan. Nada yang bias
Kata hati Ella menang. Setelah berperang sengit dengan logikanya, akhirnya Ella memilih ikut dengan Lorenzo yang membawanya ke sebuah studio keramik di bagian kota yang belum pernah Ella kunjungi—area yang masih mempertahankan arsitektur lama kuno yang telah direnovasi menjadi ruang seni dan kafe-kafe kecil yang nyaman. Di dalam, aroma tanah liat basah yang bercampur dengan wangi kayu menciptakan atmosfer yang hangat dan menenangkan. Dinding-dinding studio dihiasi dengan hasil karya para pengunjung lain seperti, mangkuk, gelas, vas bunga, dan patung-patung kecil yang masing-masing memiliki ciri khas unik. Instruktur studio—seorang wanita paruh baya dengan rambut abu-abu yang dikepang longgar dan mata yang hangat—menyambut mereka dengan senyuman ramah. Kemudian memberikan mereka masing-masing sepotong tanah liat dingin, serta menjelaskan teknik dasar pembuatan keramik dengan suara yang lembut. "Tanah liat ini akan merespons sentuhan kalian, emosi kalian, bahkan napas kalia