Beranda / Romansa / Terjebak Obsesi Sang CEO / 6. Kebenaran Tersembunyi

Share

6. Kebenaran Tersembunyi

Penulis: feynaa
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-03 16:54:14

Plak!

Suara tamparan itu terdengar nyaring. Ella berdiri dengan napas tersengal, telapak tangannya terasa panas setelah dengan penuh kemarahan menampar wajah Lorenzo.

Rasa geram di dadanya tidak lagi bisa dilampiaskan dengan kata-kata. Matanya yang hijau berkilat penuh dendam.

"Kau jahat, Lorenzo, kau anggap aku apa? Barang? Aku tidak akan pernah menjadi milikmu dengan cara seperti ini!” katanya.

Tubuh tegap Lorenzo tidak berpindah seinci pun bahkan setelah mendapat tamparan kuat Ella yang membekas kemerahan di pipinya. Ia menatap Ella sesaat sebelum tawanya yang sinis memecah keheningan.

Tangannya tiba-tiba terangkat, mencengkeram rahang Ella membuat gadis itu meringis. Jari-jarinya terasa dingin, menekan kulit lembut Ella hingga meninggalkan bekas merah samar.

"Dan aku akan membuatmu menarik kata-katamu, cepat atau lambat," sahut Lorenzo.

“Aku tidak akan memaafkanmu meski kau berlutut sekalipun,” ancam Ella, suaranya tegas, menolak menunjukkan ketakutannya di hadapan pria yang membuatnya tidak tahu apa itu artinya sabar.

Lorenzo mendesis, napasnya menyapu wajah Ella. “Siapa yang akan berlutut padamu? Jangan merasa superior hanya karena aku menginginkanmu. Aku yang akan membuatmu bertekuk lutut padaku.”

Kata-katanya seolah ia sangat percaya diri bisa menaklukkan Ella.

Tatapan mereka bertemu, mata kelam Lorenzo menyelami mata hijau Ella yang kini berkaca-kaca. Air mata yang tidak diundang perlahan mengalir di pipi gadis itu, bukan karena lemah, tetapi karena tubuhnya tidak lagi mampu menahan tekanan emosi yang berputar liar di dalam dirinya.

Sesuatu berubah di wajah Lorenzo—kerutan di dahinya mengendur, dan cengkeraman di dagu Ella perlahan lepas. Tanpa sepatah kata ia melangkah keluar kamar dengan langkah lebar.

Pintu kayu tua itu dikunci, ia memasukkan kunci tersebut ke saku celananya, meninggalkan Ella dalam kesunyian.

Lorenzo yang menuruni tangga dengan langkah berat, ekspresi wajahnya tidak melembut. Rambut hitamnya yang biasanya tersisir rapi kini acak-acakan oleh tangannya sendiri.

Langkahnya terayun menuju pantry. Jaket yang dikenakannya dilepas dengan gerakan kasar, kemudian melempar asal jaket itu ke meja.

Wajahnya yang biasanya hanya memancarkan ketegasan dingin, kini dipenuhi garis-garis kelelahan. Ia menghempaskan dirinya di kursi pantry, gerakan tangannya sedikit kasar saat membuka sebotol wine.

Dentingan pelan terdengar ketika ia menuangkan cairan merah gelap itu ke dalam gelas kristal. Punggungnya yang tegap kini melemas pada sandaran kursi. Ia meneguk wine itu dengan cepat. Helaan napasnya terdengar berat.

Tiba-tiba, suara langkah ringan memecah kesunyian. Seorang pria mendekat padanya—dengan kemeja kusut dan rambut panjang yang diikat asal-asalan, pria itu duduk di sebelah Lorenzo.

Pria itu tersenyum tipis pada Lorenzo, menyapanya. Kehadirannya memberikan kesan santai yang begitu bertolak belakang dengan ketegangan Lorenzo. Namun, kehadiran pria itu belum cukup mencairkan suasana.

“Kau terlihat banyak pikiran. Apa karena gadis itu?” tanya pria itu, Alessio, penuh keingintahuan. Matanya mengamati setiap kerutan di wajah Lorenzo yang mengeras.

Lorenzo tidak menjawab, menggenggam gelasnya lebih erat sebelum menghabiskan isinya dalam satu tegukan. Ia menuang lagi wine itu ke gelas hingga penuh dan meneguknya hingga tandas.

Alessio ikut menuangkan wine untuk dirinya sendiri, sambil mencuri pandang ke arah Lorenzo.

“Orang tuanya sangat hebat menyembunyikan gadis itu selama dua bulan di negara kecil ini tanpa tercium jejaknya. Membuat kita kelabakan mencari keberadaannya. Seharusnya kau senang kerja keras kita berhasil sejauh ini, tapi lihat wajahmu—muram sekali,” lanjut Alessio sebelum menyesap wine.

"Tapi gadis itu... sepertinya dia lebih sulit dihadapi daripada klien-klien bisnismu yang penjilat itu, kan? Jujur, aku terkesan dengan keberaniannya melawanmu."

Lorenzo abai, seolah tidak menganggap keberadaan Alessio. Pria itu mencondongkan tubuhnya.

“Aku mendapat informasi bahwa villa tempat gadis itu tinggal sedang kacau saat ini. Pasti mereka khawatir karena gadis itu belum kembali dan tidak ada kabar. Dengan kekuatan, kekayaan, dan overprotektif kedua orang tuanya, tidak heran jika tiba-tiba ada yang menerobos masuk villa ini,” lanjut Alessio, suaranya kini sedikit lebih serius.

Lorenzo mengangguk pelan, jari-jarinya memainkan kaki gelas wine. “Mereka penghalang sialan yang selalu mencoba memisahkanku dengan Ella. Aku tidak akan biarkan siapa pun mengambilnya, sekalipun itu orang tuanya. Perketat keamanan villa,” katanya, suaranya rendah dan terkesan tenang.

Alessio terdiam, matanya melebar dalam campuran kagum dan keheranan. “Kau merebutnya dari tunangannya dengan cara yang paling ekstrem, dan sekarang kau ingin merebutnya dari orang tuanya. Apa sebenarnya istimewanya dia untukmu?”

Keheningan merayap masuk saat Lorenzo menunduk, matanya terpaku pada permukaan wine yang berkilau tertimpa cahaya. Tangannya menggerakkan gelas dengan gerakan memutar yang lambat, seolah jawaban atas pertanyaan Alesio tersembunyi dalam pusaran cairan merah itu.

“Bukan hanya itu, kau bahkan yang membiarkannya bersikap kurang ajar. Jika posisinya di balik, aku yang bersikap sepertinya, mungkin kau sudah memotong lidahku,” celetuk Alessio setengah mengejek.

“Kau membiarkannya memaki, mengumpat. Mengerahkan orang-orang kita untuk melakukan banyak hal kotor hanya untuk mendapatkannya, meninggalkan bisnismu hingga berantakan, hanya demi dia. Kau sangat menyukainya, ya?”

“Menyukainya? Mungkin lebih dari itu,” jawabnya, nadanya ambigu, sengaja meninggalkan ruang untuk tanya.

Lorenzo mengangkat alis. “Jika kau hanya berniat main-main, tinggalkan dia. Jangan buang-buang waktu, masih banyak yang harus kau urus.”

Lorenzo mengepalkan tangannya hingga buku-buku jarinya memutih. “Ini bukan urusanmu. Tutup mulutmu, Alessio, atau aku akan benar-benar memotong lidahmu,” ancamnya dengan menatap Alession tegas, penuh peringatan.

Alessio terdiam sejenak, matanya menerawang ke gelas kosong di tangannya. “Apa dia pelampiasanmu dari Seline?” lirihnya.

Pertanyaan itu membuat mata Lorenzo menyipit tajam, tangannya mencengkram kuat gelas wine.

Sebelum Lorenzo membalas perkataan Alesio, derap langkah tergesa memecah ketegangan. Dua pria bertubuh kekar dengan kemeja hitam muncul, wajah mereka tegang.

Lorenzo langsung menegakkan tubuh, instingnya menajam, menangkap urgensi dalam sikap mereka.

“Tuan.” Salah satunya berucap, suaranya bergetar. “Nona keluar dari kamarnya.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Terjebak Obsesi Sang CEO   40. Silent Treatment

    Sejak hari itu, Ella mengabaikan kehadiran pria itu, menganggapnya seolah tidak ada, tidak bicara satu kata pun, tidak meliriknya sedikit pun. Seperti pagi ini, Ella membesarkan volume suara televisi ketika Lorenzo memasuki ruangannya. Ia tahu maksud kedatangan pria itu. Lorenzo menentang sebuah paper bag. Ada aroma mas khas yang sangat familier di hidung Ella, aroma kua cokelat yang Ella duga merupakan isi dari paper bag yang dibawa Lorenzo. Pria itu mendekat, menggeser kursi ke sisi ranjangnya. Tatapan Ella terpaku pada televisi. Wajahnya santai, seolah menikmati siaran televisi. Padahal pikirannya sedang waspada terhadap keberadaan Lorenzo. Tindakan pria ini yang terkadang tidak pernah bisa ditebak membuat Ella selalu memasang pertahanannya. “Ella,” panggilnya, suaranya jauh lebih lembut dari kemarin. Tidak lagi tegas seperti biasanya. “Bagaimana keadaanmu?” tanyanya. Tentu saja Ella tidak menjawab. Lorenzo menatap gadis itu yang bersikap seolah tidak mendengarnya. Ia meleta

  • Terjebak Obsesi Sang CEO   39. Hari yang Buruk

    Langit mulai meredup saat Lorenzo kembali ke rumah sakit, tepatnya kini ia berada di taman rumah sakit. Tempat yang cukup segar dan cukup sepi untuk membicarakan hal pribadi. Thomas duduk sendirian di kursi kayu, di bawah pohok oak. Membungkuk dan menunduk menatap bir kaleng di tangannya. Ia melirik Lorenzo yang baru saja duduk di sebelahnya dengan santai. Seketika tubuh Thomas terasa menegang dan kewaspadaan dirinya langsung aktif karena aura menyeramkan yang dibawa Lorenzo.bPria itu sudah berganti pakaian dengan kemeja hitam yang dibalut jaket kulit. Bersih, tidak ada lagi noda darah yang terlihat. Namun, rambutnya berantakan menunjukkan dirinya masih terlihat kacau. Wajahnya masih menunjukkan ketegasan, seolah ia tidak punya emosi lain. Tanpa kata, Lorenzo langsung menyodorkan beberapa lembar foto kepada Thomas dari dalam saku jaketnya. Mata Thomas mendelik, melihat foto Victor Harper dalam keadaan mengenaskan. “Mengenalnya?” tanya Lorenzo basa-basi. Wajah Thomas se

  • Terjebak Obsesi Sang CEO   38. Balas Dendam

    Di ruang remang-remang dalam bangunan kotruksi tua di pinggiran kota yang sudah tidak beroperasi lagi, kini dikuasi oleh Lorenzo dan bawahannya. Suasana terlihat sangat mencekam karena dikelilingi oleh pria berbadan besar dengan wajah yang dingin. Lorenzo berdiri di tengah ruangan, menatap seorang pria dengan wajah lebam tergantung di depannya. Kedua tangannya terangkat diikat kuat. Kakinya yang terikat bahkan tidak menyentuh lantai, membuat posisinya sedikit lebih tinggi dari Lorenzo. Mata pria itu ditutup kain hitam, mulutnya disumpal kain tebal, meredam teriakan dari perlawanannya. Lorenzo menadahkan tangannya pada Alessio, pria itu meletakkan sebuah belati di telapak tangan Lorenzo. “Aku tidak tahu apa masalahmu dengan Thomas,” kata Lorenzo dengan yang sangat rendah, tapi tajam. Jemarinya memainkan gagang belati dengan gerakan memutar yang santai. sedangkan tangannya yang lain terselip di saku celananya. “Namun, menargetkan putrinya adalah kesalahan besar,” desisnya pen

  • Terjebak Obsesi Sang CEO   37. Kebenaran yang Tak Terucap

    Fajar hampir muncul di cakrawala,tapi Ella masih belum sadarkan diri. Lorenzo menunggu, duduk di kursi keras lorong rumah sakit. Tubuhnya masih penuh ketegangan, terjaga semalaman penuh. Tidak berpindah posisinya sejak berjam-jam yag lalu. Menggeggam erat-erat ponselnya. Belum juga ada kabar dari Alfonso mengenai pelaku penikaman itu. Ia menyisir rambutnya yang sudah berantakan Suara langkah memecah keheningan lorong rumah sakit. Lorenzo mengangkat wajahnya dan mendapati Thomas dan Keran berjalan cepat menuju tempatnya duduk. Mata Thomas berkilat penuh amarah. Hal yang sudah Lorenzo duga, tatapan pria baya itu tidak pernuh melembut padanya. “Kau! Lihat apa yang kau lakukan! Ini semua salahmu! Kau membuatnya dalam bahaya!” sembur Thomas dengan suara meninggi. Thomas mencengkeram kerah kemeja Lorenzo hingga pria itu berdiri dari duduknya. Lorenzo bergeming, membeiarkan amarah Thomas meluapkan emosnya. Sebab jauh di lubuk hatinya, ada persan bersalah juga yang membuatnya ti

  • Terjebak Obsesi Sang CEO   36. Prioritas Lorenzo

    “PANGGIL AMBULANCE!” Pengunjung yang berlalu lalng berteriak panik ketika melihat Ella terbaring di atas tanah. Rasa sakitnya mulai samar-samar di ambang kesadarannya yang mulai menipis. Suara-suara di sekitarnya mulai terdengar samar-samar. Matanya setengah terbuka, wajahnya pucat pasi. Teriakan-teriakan itu mengusik fokus Lorenzo. Ia langsung menoleh penasaran ke asal suara. Ia mendapati beberapa orang sedang berkerumun tidak jauh dari tapatnya berdiri. Saat itu ia baru menyadari ketidakhadiran Ella di sisinya. Keningnya, bekerut fokusnya buyar. Suara di seberang telepon terabaikan. Langkahnya terayun mendekati kerumunan itu. Matanya melebar, tangannya yang memegang ponsel terjatuh di sisinya. Napasnya terhenti seketika melihat Ella tergeletak tak berdaya di atas aspal. darah menggenang di sisi tubuhnya. “ELLA!” teriak Lorenzo panik. Ia sontak berlutut di sebelah gadis itu. Melepas jasnya untuk menghentikan pendarahan Ella. tangannya gemetar hebat saat menekan luka itu. “Lo

  • Terjebak Obsesi Sang CEO   35. Kencan Berujung Celaka

    Ketidakhadiran Lorenzo pada makan malam keluarga Ella justru menjadi anugrah terindah untuk mereka. Pria itu menghilang tanpa pesan sejak siang setelah dering telepon yang tidak bekesudahan menyerbu ponselnya. Makan malam ini terasa seperi wujud dari impian Ella. Aroma masakan ibunya mengisi ruangan, candaan-candaan Thomas—yang meskipun kuno berhasil menciptakan tawa memenuhi ruang makan, terasa hangat, penuh kasih sayang. Sejenak mereka lupa tentang ketegangan pagi tadi, lupa tentang Lorenzo. Malam ini hanya ada mereka, keluaraga bahagia yang kembali bercengkerama tanpa khawatir hari esok. Ella makan dengan lahap, sangat menikmati masakan Karen yang terasa seperti hal langka untuknya. Ia megbadikan setiap momen di sini. Karen yang menceritakan gosip tentang tetangga mereka saat ia membantu Karen masak. Kejahilan Thomas padanya yang membuatnya merajuk, tapi kemudian kembali tersenyum ketika mendengar cadaan Thomas. “Siapa yang menyisakan makanannya bersisa harus cuci piri

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status