Plak!
Suara tamparan itu terdengar nyaring menggema. Ella berdiri dengan napas tersengal, telapak tangannya terasa panas setelah menampar wajah Lorenzo dengan penuh amarah Rasa geram di dadanya tidak lagi bisa dilampiaskan dengan kata-kata. Matanya cokelatnya berkilat penuh dendam. "Kau jahat, Lorenzo, kau anggap aku apa? Barang? Aku tidak akan pernah menjadi milikmu dengan cara seperti ini!” teriaknya frustrasi. Tubuh tegap Lorenzo tidak berpindah seinci pun bahkan setelah mendapat tamparan kuat Ella yang membekas kemerahan di pipinya. Keningnya berkerut dalam. Ia menatap Ella sesaat sebelum tawanya yang sinis memecah keheningan. Tangannya terangkat, mencengkeram rahang Ella membuat gadis itu meringis. Jari-jarinya menekan kulit Ella hingga meninggalkan bekas merah samar. "Dan aku akan membuatmu menarik kata-katamu, cepat atau lambat," sahut Lorenzo. “Bajingan! Aku tidak akan memaafkanmu meski kau berlutut sekalipun,” sergah Ella. Suaranya tegas, menolak menunjukkan ketakutannya di hadapan pria yang membuatnya tidak tahu apa itu artinya sabar. Lorenzo mendengus, napasnya menyapu wajah Ella. “Aku tidak pernah berlutut pada siapa pun. Jangan merasa superior hanya karena aku menginginkanmu. Aku yang akan membuatmu bertekuk lutut padaku.” Kata-katanya terdengar sangat percaya diri bahwa ia bisa menaklukkan Ella. Tatapan mereka bertubrukan, mata kelam Lorenzo menyelami mata cokelat Ella yang kini berkaca-kaca. Air mata yang tidak diundang perlahan mengalir di pipi gadis itu, bukan karena takut, tetapi karena tubuhnya tidak lagi mampu menahan tekanan emosi yang berputar liar di dalam dadanya. Sesuatu berubah di wajah Lorenzo, kerutan di dahinya mengendur, dan cengkeraman di dagu Ella perlahan lepas. Tanpa sepatah kata ia melangkah keluar kamar dengan langkah lebar. Pintu kayu tua itu dikunci. Ia memasukkan kunci tersebut ke saku celananya, meninggalkan Ella dalam gelombang emosi yang menyesakkan. Kaki-kaki panjangnya menuruni tangga dengan langkah berat, ekspresi wajahnya masih kaku. Rambut hitamnya yang sebelumnya tersisir rapi kini acak-acakan oleh tangannya sendiri. Langkahnya terayun menuju pantry. Jaket yang dikenakannya dilepas dengan gerakan kasar, kemudian melempar asal jaket itu ke meja. Wajahnya yang biasanya hanya memancarkan ketegasan dingin, kini dipenuhi garis-garis kelelahan. Helaan napasnya terdengar berat. Ia menghempaskan dirinya di kursi pantry sembari membuka sebotol wine. Dentingan pelan terdengar ketika ia menuangkan cairan merah gelap itu ke dalam gelas. Punggungnya yang tegap kini melemas pada sandaran kursi saat meneguk wine itu. Tiba-tiba, suara langkah ringan memecah kesunyian. Seorang pria mendekat padanya—dengan kemeja kusut dan rambut panjang yang diikat asal-asalan, pria itu langsung duduk di sebelah Lorenzo. Dia tersenyum tipis pada Lorenzo, menyapanya. Kehadirannya memberikan kesan santai yang begitu bertolak belakang dengan ketegangan Lorenzo. Namun, kehadirannya belum cukup mencairkan suasana. “Kau terlihat banyak pikiran. Apa karena gadis itu?” tanya pria itu—Alessio—penuh keingintahuan. Matanya mengamati setiap kerutan di wajah Lorenzo yang tegang. Lorenzo tidak menjawab, ia menggenggam gelasnya lebih erat sebelum menghabiskan isinya dalam satu tegukan. Lalu menuang lagi wine itu ke gelas hingga penuh dan meneguknya hingga tandas. Alessio mengernyit heran melihat cara minum Lorenzo yang terkesan tergesa-gesa. Ia menghela napas dan ikut menuangkan wine untuk dirinya sendiri, sambil mencuri pandang ke arah Lorenzo. “Orang tuanya sangat hebat menyembunyikan gadis itu selama dua bulan di negara kecil ini tanpa tercium jejaknya. Membuat kita kelabakan mencari keberadaannya. Seharusnya kau senang kerja keras kita berhasil sejauh ini, tapi lihat wajahmu, muram sekali,” lanjut Alessio sebelum menyesap wine. Pria itu mencondongkan tubuhnya pada Lorenzo. "Tapi gadis itu... sepertinya dia lebih sulit dihadapi daripada klien-klien bisnismu yang penjilat itu, kan? Jujur, aku terkesan dengan keberaniannya melawanmu." Lorenzo abai, seolah tidak menganggap keberadaan Alessio. “Aku mendapat informasi bahwa villa tempat gadis itu tinggal sedang kacau saat ini. Pasti mereka khawatir karena gadis itu belum kembali dan tidak ada kabar. Namun, dengan kekuatan, kekayaan, dan overprotektif kedua orang tuanya, tidak heran jika tiba-tiba ada yang menerobos masuk villa ini,” lanjut Alessio, suaranya kini sedikit lebih serius. Lorenzo mengangguk pelan, jari-jarinya memainkan kaki gelas wine. “Mereka penghalang sialan yang selalu mencoba memisahkanku dengan Ella. Aku tidak akan biarkan siapa pun mengambilnya, sekalipun itu orang tuanya. Perketat keamanan villa,” katanya, suaranya dingin. Alessio terdiam, matanya melebar dalam campuran kagum dan bingung. “Kau merebutnya dari tunangannya dengan cara yang paling ekstrem, dan sekarang kau ingin merebutnya dari orang tuanya. Sebenarnya, pa yang membuat dia istimewa untukmu?” Keheningan merayap setelah Lorenzo mendengar pertanyaan itu. Ia menunduk, matanya terpaku pada permukaan wine yang berkilau tertimpa cahaya. Tangannya menggerakkan gelas dengan gerakan memutar yang lambat, seolah jawaban atas pertanyaan Alessio tersembunyi dalam pusaran cairan merah itu. “Bukan hanya itu, kau bahkan membiarkannya bersikap kurang ajar. Jika posisinya dibalik, aku yang bersikap sepertinya, mungkin kau sudah memotong lidahku,” celetuk Alessio setengah mengejek. “Kau membiarkannya memaki, mengumpat. Bahkan kau rela mengerahkan banyak orang terlibat untuk melakukan hal kotor hanya untuk mendapatkannya. Kau pun meninggalkan bisnismu hingga berantakan, hanya demi dia. Kau sangat menyukainya, ya?” Lorenzo menghela napas dalam, ia melirik Alessio sekilas dengan senyum tipis, sebelum kembali menatap gelasnya. “Menyukainya? Mungkin lebih dari itu,” jawabnya ambigu, sengaja meninggalkan ruang untuk tanya. Alessio mengangkat alis, tidak mengerti. “Jika kau hanya berniat main-main, tinggalkan dia. Jangan buang-buang waktu, masih banyak yang harus kau urus.” Lorenzo mendengus jengkel. “Ini bukan urusanmu. Tutup mulutmu, Alessio, atau aku akan benar-benar memotong lidahmu,” ancamnya disertai tatapan tajam, penuh peringatan. Alessio terdiam sejenak, matanya menerawang ke gelas kosong di tangannya. “Apa dia pelampiasanmu dari Seline?” lirihnya, menolak diam menuruti perintah Lorenzo. Pertanyaan itu membuat mata Lorenzo menyipit, tangannya mencengkeram kuat gelas wine hingga buku jarinya memutih. Sebelum Lorenzo membalas perkataan Alessio, derap langkah tergesa memecah ketegangan. Dua pria bertubuh kekar dengan kemeja hitam muncul, wajah mereka terlihat panik. Lorenzo langsung menegakkan tubuh, instingnya menajam, menangkap urgensi dalam sikap mereka. “Tuan.” Salah satunya berucap, suaranya bergetar. “Nona keluar dari kamarnya.”Lorenzo tertawa. Tawa yang lega, hangat, dan penuh haru, bergema di ruangan ini. Ia mengenali nada suara sarkastik dan ketus itu. Ia mengenali sikap sinis dan menantang itu, ciri khas Ella untuk menyembunyikan kerentanan dan perasaan sesungguhnya. Dan sialnya semua sikap itulah yang membuat Lorenzo jatuh cinta pada Ella sejak awal. Ellanya telah kembali utuh setelah kehancuran perasaannya setahun yang lalu. Ia telah kembali seperti saat pertama kali Lorenzo mengenalnya. Tanpa bisa menahan diri lagi, Lorenzo menerjang Ella dengan pelukan erat yang hampir mengangkat tubuh mungil gadis itu dari lantai. Lengan Lorenzo melingkar posesif di pinggang ramping Ella. Ia menenggelamkan wajahnya di lekuk leher Ella. Merasakan kulit lembut Ella yang membuatnya merasa seperti pulang ke rumah. "Ambil saja, Sayang," bisik Lorenzo. Suaranya serak, berat, penuh hasrat dan kerinduan yang telah dipendam selama setahun. Napasnya yang hangat membuat gadis itu bergidik geli. "Bawa apa pun yang
Satu tahun. Tepat satu tahun sudah berlalu sejak Lorenzo terakhir kali merasakan kehangatan tubuh Ella dalam pelukannya. Satu tahun berlalu sejak gadis itu memutuskan untuk pergi ke Oklahoma, menciptakan jarak ribuan kilometer di antara mereka. Namun, perpisahan itu bukan berarti ketiadaan kontak sama sekali. Sesekali, pesan singkat masih terkirim di antara mereka. Walau hanya kalimat-kalimat pendek yang terasa dingin, sekadar basa-basi. Sesekali telepon masih tersambung, walau hanya sepatah dua patah kata yang terlontar. Lorenzo telah berjanji untuk memberikan kebebasan kepada Ella, memberikan waktu dan ruang untuk menyembuhkan lukanya dan membangun kembali kepercayaannya pada cinta. Walau di sini Lorenzo yang menanggung sakit karena menahan rindu yang menggerogoti jiwanya. Janji itu adalah bentuk penebusan atas rencana liciknya yang menghancurkan perasaan Ella dan sampai sekarang masih menjadi rahasia antara dirinya dan Lessa. Namun, nyatanya, janji itu membuatnya g
Senja di Oklahoma menyambut kepulangan Ella. Gadis itu melangkah turun dari mobil dengan gerakan yang kaku, setiap sendi tubuhnya seolah menahan beban yang tak terlihat. Ia berjalan menuju pintu masuk dengan langkah gontai karena kelelahan emosional. Wajahnya pucat, matanya masih sembab. Lorenzo berdiri di sampingnya dengan postur tubuh yang tegap. Matanya yang gelap memindai setiap sudut rumah dengan kewaspadaan. Tangannya bertumpu lembut di punggung Ella, memberikan dukungan tanpa kata. Suara langkah kaki terdengar samar-samar. Thomas muncul menuruni tangga dengan langkah terburu-buru. Wajah pria baya itu langsung tegang ketika melihat Lorenzo. Dahinya berkerut, rahangnya mengetat, tatapannya dingin. Lorenzo tentu menyadari pandangan menusuk dari Thomas. Ia bisa merasakan bahwa pria itu sedang menimbang-nimbang apakah ia layak untuk berdiri di rumahnya. Di belakang Thomas, Karen muncul dengan wajah yang dipenuhi kekhawatiran dan kebingungan yang mendalam. "Ella?" Karen
Pertanyaan itu bagaikan belati tajam yang menusuk tepat ke jantung Lorenzo. Namun, Lorenzo tidak menunjukkan keputusasaan dan rasa sakitnya di depan Ella. Lorenzo mengangkat dagu Ella dengan lembut. Ia mengecup singkat kening Ella. Berusaha menyikapi pertanyaan Ella dengan tenang, meskipun ia sendiri juga takut hal itu akan terjadi. "Aku akan membuat kenangan baru bersamamu yang lebih indah. Aku akan membuatmu mencintaiku lagi dengan setiap detik kebersamaan yang kita ciptakan. Jika masa lalu tidak bisa kembali, kita akan menciptakan masa depan yang jauh lebih indah dan penuh warna.” Keteguhan dalam suara Lorenzo membuat hati Ella berdebar tidak stabil. Ada sesuatu dalam tatapan mata pria itu yang membuatnya merasa aman meskipun dunianya sedang hancur. Namun, ketukan keras di pintu memecahkan momen haru mereka. Sebelum Lorenzo sempat mengeluarkan sepatah kata, pintu sudah terbuka. Alessio menerobos masuk dengan wajah tegang. "Maaf mengganggu," kata Alessio tegas. "Daren me
"Ella, aku paham kau mungkin telah kehilangan kepercayaan padaku. Apalagi di keadaanmu sekarang, di mana aku tidak ada di dalam ingatanmu," ucap Lorenzo, suaranya sedikit serak. "Aku tahu kau tidak akan percaya saat aku mengatakan bahwa aku tidak akan pernah melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Daren padamu, bahwa aku berbeda darinya." Lorenzo melanjutkan, sembari membelai rambut Ella. "Tapi izinkan aku membuktikan bahwa tidak semua pria seperti Daren. Izinkan aku menunjukkan padamu bagaimana seharusnya seorang wanita dicintai dan dihargai." Lorenzo perlahan melepaskan pelukan mereka, kemudia menangkup pipi Ella tang pucat agar menatapnya. Matanya yang kelam menatap lekat-lekat mata cokelat Ella yang masih bergelimang air mata. Ada sesuatu dalam tatapan Lorenzo yang membuat dada Ella terasa hangat. Tatapannya penuh cinta dan ketulusan yang tidak terhingga. "Berikan aku waktu. Biarkan aku membuktikan dengan tindakan, bukan hanya dengan kata-kata." Lorenzo menar
"Aku tidak tahu bagaimana caranya mempercayai seseorang lagi, bagaimana caranya membuka hati?" Kata-kata itu keluar dengan susah payah, setiap hurufnya terasa seperti bongkahan batu di tenggorokannya. Luka yang mengoyak jiwanya telah menghancurnya kepercayaan gadis itu. Ella menatap wajah Lorenzo dengan pandangan yang lelah. Namun, terselip rasa takut yang mendalam di matanya. Takut untuk membuka hati lagi, takut untuk mempercayai lagi, takut untuk mencintai lagi. Mata cokelatnya yang sembab bertemu dengan mata Lorenzo yang penuh dengan kekhawatiran dan sedikit kepanikan karena baru menyadari bahwa akibat dari tindakannya lebih parah dari yang ia duga. Lorenzo merasa seperti sedang menggali kuburannya sendiri sekarang. Ia ingin berteriak pada Ella, mengatakan bahwa ia bukan Daren. Ia ingin mengatakan bahwa ia bisa menjadi tempat yang aman untuk Ella, bahwa pelukannya bisa menjadi rumah yang paling nyaman di dunia. Ia ingin berteriak mengatakan bahwa ia bisa menjadi obat un