"Ella, aku paham kau mungkin telah kehilangan kepercayaan padaku, apalagi di keadaanmu sekarang, di mana aku tidak ada di dalam ingatanmu," ucap Lorenzo, lembut meski suaranya bergetar halus. "Aku tahu kau tidak akan percaya saat aku hanya mengatakan bahwa aku tidak akan pernah melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Daren padamu, bahwa aku berbeda darinya." Lorenzo melanjutkan, sembari membelai rambut Ella. "Tapi izinkan aku membuktikan bahwa tidak semua pria seperti Daren. Izinkan aku menunjukkan padamu bagaimana seharusnya seorang wanita dicintai dan dihargai." Lorenzo perlahan melepaskan pelukan mereka, kemudia menangkup pipi Ella tang pucat agar menatapnya. Matanya yang kelam menatap lekat-lekat mata cokelat Ella yang masih bergelimang air mata. Ada sesuatu dalam tatapan Lorenzo yang membuat dada Ella terasa hangat. "Berikan aku waktu. Biarkan aku membuktikan dengan tindakan, bukan hanya dengan kata-kata," ucap Lorenzo penuh keyakinan. Jemarinya bergerak m
"Aku tidak tahu lagi bagaimana caranya mempercayai seseorang lagi, bagaimana caranya membuka hati." Kata-kata itu keluar dengan susah payah, setiap hurufnya terasa seperti bongkahan batu di tenggorokannya. Ella menatap wajah Lorenzo dengan pandangan yang kosong.Namun di dalamnya tersimpan rasa takut yang mendalam. Takut untuk membuka hati lagi, takut untuk mempercayai lagi, takut untuk mencintai lagi.Mata cokelatnya yang sembab bertemu dengan mata Lorenzo yang penuh dengan kekhawatiran menyadari tindakannya lebih parah dari yang ia duga. Betapa hancurnya kepercayaan diri gadis itu, betapa dalam luka yang mengoyak jiwanya. Lorenzo merasa tercekat, merasa seperti sedang menggali kuburannya sendiri sekarang. Ia menahan diri untuk tidak berteriak mengatakan bahwa ia bukan Daren. Ia ingin mengatakan bahwa ia bisa menjadi tempat yang aman untuk Ella, bahwa pelukannya bisa menjadi rumah yang paling nyaman di dunia. Ia ingin berteriak, ingin mengatakan bahwa ia bisa menjadi obat unt
Sinar matahari pagi menembus celah-celah tirai tebal membelah kegelapan kamar. Mata Daren terbuka perlahan, kelopaknya mata terasa berat. Kesadarannya kembali secara bertahap, kepalanya terasa berdenyut. Pandangannya kabur sejenak sebelum akhirnya terfokus. Matanya membelalak terkejut mendapati suasana kamar yang berantakan. Pakaiannya berserakan, kemeja putihnya tergeletak tidak di lantai, jasnya ada di tepi meja nakas. Sepatu kulit terlempar begitu saja di sudut ruangan. Aroma parfum manis namun asing itu menusuk hidungnya. Detik pertama, kebingungan melanda pikirannya. Lalu ingatan-ingatan semalam mulai bermunculan yang membuat dadanya berdegup cepat. Kesadarannya mulai utuh, kepanikan melandanya. Daren bangkit terduduk dengan gerakan tergesa-gesa, tubuhnya hanya terbalut celana boxer. Dadanya yang telanjang naik turun dengan napas tidak teratur. Ia ingat wajah wanita dengan rambut bergelombang—Anne, yang mengantarnya pulang, yang menawarkan bantuan ketika langkah kakinya go
Awan tebal yang menghalangi cahaya bulan menembus kaca jendela suite mewah. Lorenzo berdiri tegak di hadapan jendela besar yang membentang dari lantai hingga langit-langit. Matanya yang tajam menatap ke arah cakrawala yang gelap. Tangannya terkepal erat di sisi tubuh, rahangnya mengeras menahan ketegangan yang memenuhi dadanya. Ia merasakan tekanan yang luar biasa di dadanya, antara antisipasi dan kegelisahan. Otaknya terus berputar, memikirkan setiap detail rencana yang telah tersusun. Apakah semua akan berjalan sesuai keinginannya? Apakah Ella akan datang padanya? Pertanyaan itu terus berputar-putar di kepalanya Di belakangnya, Lessa duduk dengan anggun di sofa, kakinya yang jenjang dilipat santai sambil sesekali menyeruput wine. "Tenang saja, Lorenzo," ujar Lessa dengan suara yang lembut namun penuh kepastian. "Percayalah padaku. Rencana kita sempurna. Daren sudah terjebak dalam perangkap yang kita buat. Sekarang tinggal menunggu Ella mengetahui kenyataan tentang tun
Taksi berhenti tepat di pelataran rumah yang menjadi tempat tinggal Ella bersama Daren selama di Chicago. Tangannya bergetar ketika ia membuka pintu. Langkahnya terasa berat saat ia memasuki rumah. Rumah terasa sunyi, terlalu sunyi untuk sebuah malam pergantian tahun, terasa asing dan menakutkan. Malam tahun baru telah berakhir, jauh dari harapan yang pernah ia rajut. Kehadiran Lorenzo dengan segala pesona dan rayuannya telah menciptakan puncak kerumitan malam tahun barunya. Bayangan ciuman dengan Lorenzo beberapa menit yang lalu terus berputar di kepalanya—bibir hangat pria itu, sentuhan lembut tangannya, dan tatapan mata yang begitu dalam hingga membuatnya melupakan dunia sejenak. Malam tahun baru yang seharusnya dihabiskan bersama Daren berakhir dengan kekacauan emosi yang tak terkendali. Namun, untuk saat ini Ella tidak peduli mana yang benar dan mana yang salah. Satu yang ia tahu bahwa dirinya berhasil melawati malam ini tanpa tangis, berdiri di kakinya sendiri, tidak b
Rapat selesai tepat satu jam sebelum tengah malam. Daren menghela napas panjang saat melihat jam dinding, ia sudah sangat terlambat untuk menghabiskan tahun baru dengan Ella. Perasaan bersalah memenuhi hatinya. Dengan tergesa-gesa, Daren melangkah keluar dari ruangan sembari melonggarkan dasinya. Anehnya, setelah seharian bekerja ia tidak merasa lelah, justru ia merasa penuh tenaga tapi di saat yang sama juga merasa gelisah. Sejak tadi, jantungnya berdebar kencang. Kepalanya terasa ringan, dan pikirannya dipenuhi perasaan senang yang berlebihan tanpa sebab. Tubuhnya panas, darahnya seperti mengalir lebih cepat. Ia merasa ada yang aneh dari tubuhnya malam ini, terasa sedikit sensitif. Penglihatan pun sesekali kabur, dan tangannya gemetar tanpa alasan yang jelas. Ia mengusap wajahnya kasar, mengira kelelahan yang membuatnya merasa seperti ini. Daren tidak tahu obat perangsang yang dicampur dalam kopinya mulai bereaksi. Ia mengambil ponsel dari saku jasnya. Ingin menghubungi Ella,