Masuk
“Kamu yakin ingin terus melanjutkannya?” tanya Baskara memastikan. Ada perasaan bersalah karena ia memanfaatkan kelemahan Aruna yang sedang tidak sadar demi memuaskan nafsunya. Tapi dalam pembelaannya, Baskara hanya menyambut apa yang Aruna berikan. Dan jika bicara teknis, Aruna yang memulai lebih dulu.
Bagai gayung bersambut, Aruna mengangguk kecil. Gerakan itu sudah cukup membuat Baskara yakin bahwa gadis itu juga menginginkan hal yang sama.
Tidak menunda lagi, Baskara kembali melanjutkan aksinya. Stimulus demi stimulus ia berikan pada Aruna hingga gadis itu kewalahan dalam gairahnya. Tidak ada bagian dari tubuh sang gadis yang Baskara lewatkan. Setiap sentuhan Baskara tepat di titik sensitif Aruna, membuat sang gadis merintih dan mendesah yang membuat Baskara semakin semangat.
“A–ku…nggak kuat!” jerit Aruna saat Baskara terus memainkan bibir dan lidahnya tepat di pusat sensitif sang gadis di bawah sana.
“Keluarkan saja, Sayang,” titah Baskara dengan nada sensual.
Lenguhan panjang memenuhi kamar apartemen Baskara. Untuk sesaat, Baskara membiarkan dulu Aruna menikmati puncak gairahnya. Ia juga mengambil pengaman di nakas lalu memasangkan pada dirinya. Ia mungkin gegabah karena tidur dengan wanita asing, hal yang sebenarnya tidak pernah ia lakukan. Namun ia masih berpikir rasional untuk tidak menambah masalah di masa depan.
Setelah pengaman terpasang sempurna, Baskara kembali memposisikan dirinya dan Aruna agar penyatuan mereka lebih mudah.
Perlahan tapi pasti, Baskara tenggelam dalam tubuh Aruna. Pria itu mengerang saat merasakan sensasi tubuh Aruna pada dirinya. Baskara terasa begitu dijepit di bawah sana, membuat perutnya diremas kuat.
“Ah…” desah Aruna saat tubuh keduanya berhasil menyatu.
Tanpa menunggu lagi, Baskara mulai beraksi. Ia bergerak maju-mundur ke dalam tubuh Aruna. Tiap gerakan hanya menambah hasrat pada dirinya, dan juga Aruna. Terlihat dari sang gadis yang semakin bergerak tidak karuan, mencengkram apa pun yang bisa diraihnya. Baskara bisa merasakan kuku-kuku Aruna tertancap di bahu dan punggungnya. Suara gadis itu juga semakin lantang, menyuarakan gairah yang ingin segera dicapainya.
“Ah! Ah…” jeritan panjang Aruna terdengar di telinga Baskara begitu sang gadis akhirnya kembali menemukan pelepasan.
Tidak ingin kalah, Baskara semakin cepat memompa dirinya ke dalam tubuh sang gadis, mencari juga pelepasannya. Suara keduanya berbaur dalam ruangan, menjadi musik indah yang mengalun sensual, membuat suasana semakin erotis.
“Aruna!” erang Baskara, merasakan puncak gairahnya juga.
Malam ini, Baskara baru saja mendapatkan ide bagaimana cara untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapinya. Jalan keluar dari masalahnya adalah wanita yang baru saja ia tiduri.
***
Aruna terbangun dengan kepala yang berdenyut hebat. Cahaya matahari yang menerobos masuk melalui jendela membuat matanya menyipit, menambah rasa pusing yang sudah cukup menyiksanya. Ia mengerang pelan, mencoba mengumpulkan kesadaran.
Bantal di bawah kepalanya terasa asing. Begitu pula dengan selimut yang melingkari tubuhnya. Ini bukan kamarnya.
Kesadarannya perlahan kembali, dan saat ia menoleh ke samping, napasnya hampir tercekat.
Seorang pria tertidur di sana.
Dada bidang yang terbuka, napas yang teratur, dan wajah yang terasa familiar namun samar dalam ingatannya. Aruna mengerjapkan mata, berusaha mengingat apa yang terjadi semalam.
Bayangan Adrian, mantan kekasihnya, yang ketahuan berselingkuh dengan Yura, sahabat baiknya, masih terpatri jelas di benaknya. Itu sebabnya ia menghabiskan malam di bar, menenggelamkan diri dalam minuman keras sampai perasaannya mati rasa. Namun, alih-alih mengalihkan diri, Aruna malah bertemu dengan pria asing di hadapannya hingga menghabiskan malam di apartemennya.
Siapa nama pria ini?
Sial! Aruna tidak bisa mengingatnya.
Ia duduk dengan cepat, namun kepalanya kembali berdenyut, membuatnya mengusap pelipis dengan frustasi. Pikirannya mencoba menghubungkan kepingan-kepingan yang hilang, tapi tidak ada yang benar-benar jelas. Yang ia tahu hanyalah ia ada di sini sekarang—di tempat tidur pria asing yang baru ia temui semalam.
Menyadari sesuatu, Aruna mengecek arloji yang masih dipakainya. Ia segera bergegas karena ia tidak punya waktu untuk berlama-lama. Ia harus segera bersiap ke kantor.
Dengan hati-hati, Aruna menyibak selimut dan turun dari tempat tidur. Langkahnya ringan, hampir tanpa suara saat ia mengumpulkan barang-barangnya yang tersebar di sekitar ruangan. Blouse-nya di sandaran kursi, tas kecilnya di meja, dan sepatunya entah di mana.
Ia melirik ke arah tempat tidur sekali lagi. Pria itu masih tertidur, napasnya stabil, ekspresinya begitu tenang. Tidak ada tanda-tanda pria itu akan terbangun dalam waktu dekat.
Bagus.
Aruna akhirnya menemukan sepatunya di dekat pintu dan segera memakainya. Ia harus pulang. Hari ini ia masih harus bekerja, dan ia tidak punya waktu untuk memikirkan bagaimana ia bisa berakhir di sini.
Tanpa melihat ke belakang lagi, ia membuka pintu apartemen dengan pelan dan menyelinap keluar, meninggalkan malam yang tak sepenuhnya bisa ia ingat.
***
Beberapa hari setelah kejadian tak terduga di malam itu, Aruna terus berusaha melupakannya. Namun sialnya, kepala Aruna malah melakukan hal sebaliknya. Ingatannya terus memunculkan kegiatan panas yang dilakukannya dengan pria itu. Aruna mengingat saat mereka bercumbu di dalam mobil lalu menghabiskan malam dengan bercinta di apartemen sang pria.
Aruna seketika mengingat tiap sentuhan dan sensasi yang diberikan sang pria padanya. Hal itu membuat perutnya tergelitik.
Untung saja pikiran kotornya langsung teralihkan ketika Hani, rekan kerjanya, tiba-tiba menghampiri dengan ekspresi penuh semangat.
“Aruna! Kamu sudah tahu kabar yang beredar?” tanyanya antusias.
Aruna menatap Hani dengan wajah yang masih lelah. “Kabar tentang apa?”
Hani menarik kursi di sebelahnya dan duduk, matanya berbinar. “CEO baru! Dia akhirnya diperkenalkan hari ini.”
Aruna mengernyit. Memang sudah ada rumor tentang pergantian kepemimpinan di perusahaan ini, tapi ia tidak terlalu memperhatikannya. “Jadi siapa CEO barunya?”
Hani bersandar ke mejanya, suaranya lebih dramatis. “Putra Pak Riadi, pemilik perusahaan. Dia baru pulang dari luar negeri dan akan mengambil alih jabatan ayahnya.”
Aruna hanya mengangguk datar. Ia tidak terlalu peduli. Yang penting baginya adalah pekerjaannya tetap berjalan lancar. Maka dari itu, setelah Hani puas memberitahu informasi yang ia tahu tentang CEO baru, Aruna kembali bekerja tanpa banyak berkomentar.
Namun kemudian, suasana kantor tiba-tiba menjadi hening. Bisikan-bisikan terdengar di seluruh ruangan, beberapa karyawan bahkan berdiri dari meja mereka, memperhatikan sosok pria yang baru saja memasuki area kantor.
Aruna yang awalnya tidak terlalu tertarik, ikut melirik. Ia melihat ke arah ruang Pak Riadi, sama seperti karyawan yang lain. Dari ruangan itu, Pak Riadi tampak berjalan dengan seorang pria muda bertubuh tegap dengan pakaian formal. Aruna tidak bisa melihat dengan jelas siapa pria itu.
Lalu saat Pak Riadi dan pria itu berjalan mendekat, mata Aruna bertemu dengan sang pria. Seluruh tubuh Aruna seketika langsung membeku.
Pria itu pun berhenti melangkah, tidak lagi berjalan di samping Pak Riadi.
Napas Aruna tercekat, sementara otaknya mencoba memproses apa yang sedang terjadi. Wajah pria itu terlihat familiar–
“Dia …” gumam Aruna pelan.
Ini pasti lelucon, kan? Tidak mungkin CEO baru yang dibicarakan Hani adalah pria yang menghabiskan malam panas dengannya. Tidak mungkin!
Ketika Aruna membuka matanya, dunia terasa lembut dan asing. Cahaya matahari menyelinap melalui tirai rumah sakit yang putih, menimbulkan bias hangat di sekujur wajahnya. Bau antiseptik yang biasanya membuatnya mual kini terasa menenangkan. Ia sempat berpikir mungkin ini hanya mimpi, sampai suara itu terdengar.“Aruna…” Nada itu serak, namun familiar.Ia menoleh perlahan. Di sisi ranjang, duduk seseorang dengan wajah letih, mata merah, dan senyum yang berusaha bertahan di antara luka yang belum benar-benar sembuh.Baskara.“Hey,” sapanya pelan, nyaris berbisik.Aruna tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap pria itu, mencoba memahami betapa banyak hal yang sudah mereka lalui—pengkhianatan, kehilangan, amarah, darah, tangis. Lalu keheningan.Baskara menunduk, menatap jemari Aruna yang terkulai di atas selimut. Ia menggenggamnya perlahan, seolah takut sentuhannya bisa menghancurkan perempuan itu lagi. “Aku… minta maaf,” katanya, suaranya pecah di tengah ruang sunyi. “Aku gagal menjagamu
“Operasinya berjalan lancar. Namun pasien belum sadarkan diri. Semoga saja secepatnya pasien sadar dan pemulihannya berjalan baik.” seorang dokter memberitahu Baskara setelah penantian berjam-jam di depan ruang operasi. “Syukurlah,” desah Baskara yang menahan napasnya entah sejak kapan. Anindya di sampingnya juga ikut lega. Ia bahkan sampai kembali menangis. “Terima kasih banyak dokter,” ucapnya penuh syukur. “Kalau begitu, saya permisi,” pamit sang dokter meninggalkan tempatnya. Baskara bisa bernapas sedikit lega meski ia belum sepenuhnya tenang setelah semua kejadi
Udara di ruangan itu tiba-tiba berubah berat, bukan lagi hanya karena kabut hujan dan bau kayu lembap, tapi karena logam dingin yang bersinar di bawah lampu. Arga mengangkat senjata dengan gerakan yang tenang dan pasti, matanya tak lagi menerangi ruangan; mereka memancarkan sesuatu yang hanya bisa disebut keheningan sebelum badai.“Aku tidak main-main Baskara,” ujar Arga dengan suara dingin.Anindya menjerit kecil dan meringkuk di belakang kakaknya. Aruna melangkah satu langkah maju, mencoba menjadi perisai antara adiknya dan pistol yang menodong mereka. Adrenalin menyalak dalam tubuhnya, bukan ketakutan kosong, tetapi sesuatu yang tajam dan terfokus. Ia harus melindungi adiknya.Baskara melangkah maju, rahang mengeras. “Arga, jangan lakukan ini,” katanya. “Kita bisa bicara —&rdqu
Udara di dalam rumah tua itu terasa menebal, pekat seperti kabut yang menempel pada kulit. Hujan di luar semakin deras, menabuh ritmenya di atap seng, membuat setiap langkah terasa bergema seribu kali. Lampu minyak di sudut ruang menyorot wajah-wajah yang terkunci dalam lingkaran. Arga satu sisi, berdiri dengan tenang tapi matanya berkobar, Baskara di depan pintu, otot-otot rahangnya tegang, lalu Aruna menggenggam Anindya, tubuh adiknya masih bergetar.Arga mengangkat dagu, memberi jarak dramatis, seolah ingin memberi mereka kesempatan menyerap apa yang akan ia ucapkan. Suaranya ketika akhirnya keluar, halus tapi menusuk, seperti air yang menetes di ruang kosong sampai nada gemanya memaksa.“Kalian tahu betapa senangnya aku ada di tempat ini sekarang. Akhirnya aku bisa menunjukkan siapa diriku sebenarnya setelah bertahun-tahun hidup dalam dusta, menjadi p
Langit malam tampak kelabu, seolah ikut menahan napas bersama seluruh ketegangan di rumah itu. Aruna duduk di tepi ranjang, tubuhnya condong ke depan, menatap layar ponsel Baskara yang dari tadi tak berhenti bergetar. Di luar kamar, suara langkah-langkah tim Baskara terdengar sibuk, mereka baru saja kembali membawa kabar baru.Aruna kembali keluar dan bergabung bersama Baskara.“Kami menemukan lokasi ponsel itu, tapi lokasinya agak janggal,” lapor Rafi.Aruna menegakkan tubuh, jantungnya langsung berdegup cepat. “Di mana?”“Daerah pinggiran, sekitar dua jam dari sini.” Rafi lanjut menjelaskan. Ia menunjukkan tab dengan peta dengan tanda merah. &ld
“Nomornya nggak aktif, Mas.” Suara Aruna terdengar serak, hampir putus di ujung. Ia baru menurunkan ponselnya setelah panggilan kesekian kali berujung nada sambung mati.Baskara berdiri di depan jendela besar ruang tamu rumah peninggalan Oma, menatap halaman yang basah karena hujan sore tadi. Lengannya terlipat di dada, tapi rahangnya tegang. “Coba lagi,” katanya datar.“Aku udah coba. Nomornya nggak aktif, pesannya juga nggak dibalas.”Aruna memandangi layar ponselnya, jari-jarinya bergetar. “Dia nggak mungkin tiba-tiba ngilang gini. Biasanya Arga selalu menjawab teleponku.”Baskara menarik napas panjang, lalu berbalik. “Justru itu masalahnya.”Ia meraih ponselnya s







