Mag-log inRuang konferensi penuh dengan para karyawan yang sudah duduk rapi, menunggu dengan antusias. Riadi, ayah Baskara, CEO lama sekaligus pendiri perusahaan, berdiri di depan ruangan dengan mikrofon di tangannya. Senyum bangga terukir di wajahnya saat ia melirik ke arah putra kebanggaannya.
Aruna duduk dengan gelisah, jari-jarinya saling memilin. Kepalanya dipenuhi pikiran-pikiran yang semakin membuat dadanya sesak. Dunia rasanya terlalu kecil jika pria yang pernah berbagi malam dengannya kini duduk di panggung utama, diperkenalkan sebagai CEO baru perusahaan tempatnya bekerja.
Baskara Adiwireja, nama pria itu.
“Saya tahu transisi kepemimpinan bisa menjadi hal yang sulit,” ucap Baskara di hadapan para karyawan. “Tapi saya ingin kalian tahu bahwa saya di sini bukan untuk mengubah segalanya secara tiba-tiba. Saya di sini untuk mendukung, memperbaiki yang perlu diperbaiki, dan memastikan bahwa kita semua bisa berkembang bersama.”
Namun Aruna tidak lagi bisa fokus mendengarkan. Kekhawatiran menyesakkan dadanya. Jika pria di hadapannya ini mengingat malam itu, apa yang akan terjadi? Apakah pria itu akan memecat Aruna? Menganggapnya tidak profesional? Atau lebih buruk lagi—menyebarkan sesuatu yang bisa menghancurkan reputasi sang gadis?
Kini, Aruna hanya berharap Baskara tidak mengingatnya, atau meski mengingatnya, Aruna berharap pria itu tidak menghiraukan keberadaannya di sini. Biar saja malam itu Aruna anggap tidak pernah terjadi. Lagipula pria seperti Baskara pasti sering melakukan hal seperti yang dilakukannya malam itu, ‘kan? Mengingat bagaimana pria itu mahir menggoda dan sangat hebat di ranjang, Baskara pasti pria yang senang melakukan hubungan satu malam.
Jika seperti itu kenyataannya, maka Aruna akan aman. Pekerjaannya di sini tidak akan terganggu dengan keberadaan Baskara. Aruna juga tidak akan membiarkan fokus bekerjanya teralihkan hanya karena ia pernah tidur dengan bosnya sendiri.
Jantung Aruna berdegup semakin cepat saat pria itu melayangkan pandangannya ke arah Aruna. Mata mereka bertemu sekejap, dan Aruna buru-buru menunduk, pura-pura sibuk dengan apa pun yang bisa dikerjakannya, meski hanya kembali meremas jari-jarinya.
‘Apakah dia mengingatku?’ Aruna membatin.
Aruna menggeleng pelan, mencoba mengusir pikiran-pikiran buruk yang terus menyerang. Tidak mungkin. Namun, setiap kali ia mengangkat wajah, pria itu masih menatapnya. Tatapan yang tajam, seolah menembus pertahanannya dan menyiratkan sesuatu.
Waktu terasa berjalan begitu lambat. Setiap detik yang berlalu terasa seperti hukuman. Aruna hanya bisa berharap, berdoa dalam diam.
‘Tolong, jangan ingat aku,’ batin Aruna berulang-ulang, berharap Tuhan mendengar doanya.
***
Namun, doa Aruna tidak terkabul. Segera setelah acara perkenalan CEO baru selesai, seseorang memanggil namanya.
“Aruna.”
Jantungnya mencelos.
Aruna mengangkat wajah, lalu kemudian napasnya berhembus lega. Karena terlalu memikirkan bosnya, untuk sesaat Aruna mengira suara itu adalah milik Baskara. Baru saja Aruna bertekad untuk tidak terganggu dengan kehadiran Baskara, tapi pikirannya sudah penuh dengan pria itu.
“Ya?” sahut Aruna pada Yasmin, asisten Pak Riadi.
Eh, tunggu dulu–
Jika Pak Riani sudah mengundurkan diri sebagai CEO, berarti Yasmin kini bertindak sebagai sekretaris bagi Baskara. Nama itu muncul lagi dalam kepala Aruna, semakin memenuhi pikirannya dengan ribuan dugaan dan pertanyaan yang menggantung.
Bayangan terburuk Aruna menjadi nyata saat Yasmin berkata, “Kamu dipanggil Pak Baskara.”
“Kenapa?”
Yasmin angkat bahu. “Nggak tahu. Kamu temui aja dia sekarang.”
Menghela napas berat, Aruna menurut. Ia bangkit dari kursinya dan berjalan menuju ruangan CEO. Sepanjang langkahnya, Aruna bisa merasakan beberapa rekan kerja di sekitarnya mulai memperhatikan. Posisi Aruna yang hanya sebagai staff biasa dan tidak langsung berurusan dengan para petinggi pasti membuat rekan kerjanya bingung. Tentu saja Aruna tidak mau menjadi pusat perhatian, apalagi setelah kejadian malam itu.
Sampai di depan ruangan, Aruna mengetuk pintu dua kali. Setelahnya ia masuk. Begitu pintu tertutup, Aruna berdiri canggung di dekat meja, sementara Baskara bersandar di kursinya, menatapnya dengan intens.
“Aruna,” suara Baskara yang berat menyebut namanya. Seketika Aruna mengingat sesuatu tentang malam itu, saat Baskara menyebut namanya di kala pria itu menemukan pelepasan dalam tubuhnya.
Cepat-cepat Aruna mengenyahkan pikiran itu sebelum tubuhnya bereaksi dan Baskara menyadarinya.
“Jadi,” ucap Baskara, suaranya lebih rendah, “sepertinya kita tidak menyangka akan bertemu lagi di situasi seperti ini.”
Aruna mengalihkan pandangannya. “Tentang malam itu….”
“Kamu ingat dengan apa yang kita lakukan malam itu?” tanya Baskara.
Aruna menghela napas berat. “Sebenarnya, saya tidak begitu ingat apa saja yang terjadi malam itu. Tapi saya ingat, kamu, eh, Pak Baskara–”
Baskara mengamati ekspresi Aruna, lalu menyeringai kecil. “Tidak usah terlalu formal, Aruna. Kita hanya mengobrol. Kamu terlihat tidak nyaman, berbeda sekali dengan sikapmu malam itu.”
“Tentu saja saya tidak nyaman,” balas Aruna cepat. “Saya terbangun di tempat asing bersama pria yang ternyata adalah bos saya? Pak Baskara juga pasti berpikir situasi kita ini aneh, ‘kan?”
Baskara menatapnya sejenak sebelum akhirnya tertawa pelan. “Tidak juga. Aku rasa situasi kita bukan hal yang aneh, tapi lebih seperti….takdir.”
Takdir yang bisa menyelesaikan masalah Baskara lebih tepatnya.
Alis Aruna naik, menatap heran pada bosnya.
“Bukankah sebuah kebetulan malam itu kita bertemu? Dari banyaknya klub di kota ini, aku memilih mendatangi klub itu, klub murahan yang tidak pernah aku datangi sebelumnya. Lalu dari sekian banyaknya hari, malam tadi kamu datang ke klub itu sendirian, tidak bersama teman yang selingkuh dengan kekasihmu–oh, mantan kekasihmu, kuharap?”
Sebanyak apa Baskara mengetahui masalahnya? Apakah Aruna banyak bercerita tentang masalahnya pada pria itu? Aruna seketika menyesali sikapnya saat terlalu banyak minum yang senang meracau.
Aruna menegang, namun ia mencoba tetap tenang dan bicara formal. “Pak Baskara, dengan hormat, saya tidak ingin kejadian malam itu mempengaruhi posisi saya di kantor. Saya berjanji apa yang terjadi di antara kita tidak akan mengurangi profesionalitas saya dalam bekerja.”
“Bagaimana kalau aku tidak setuju?” Baskara berdiri dari kursinya, berjalan mendekati Aruna dengan langkah santai. Pria itu seketika saja mengambil oksigen di sekitar Aruna.
“Maksudnya?” Aruna semakin panik.
“Karena sekarang aku tahu sesuatu yang orang lain di kantor ini tidak tahu,” kata Baskara pelan, mata gelapnya mengunci milik Aruna. “Aku tahu bagaimana ketika kamu bersikap tidak profesional. Dan sepertinya aku lebih tertarik dengan versi Aruna yang malam itu kulihat.”
Aruna menggigit bibirnya, berusaha menjaga ekspresinya tetap netral meski tubuhnya mulai menegang. “Saya tidak mengerti maksud Pak Baskara.”
Baskara menegakan tubuh. “Berapa lama kamu bekerja di sini?”
“Eh… tiga tahun?” Aruna mengingat-ingat untuk memastikan.
Baskara mengangguk-angguk dengan ekspresi yang tidak bisa dibaca oleh Aruna. Pria itu kemudian berbicara lagi. “Kamu tahu sekarang aku yang menjadi pimpinan di perusahaan ini, ‘kan?”
Aruna mengangguk tanpa suara.
“Jika begitu, kamu tahu perintahku valid dan tidak bisa ditolak, ‘kan?”
Alis Aruna bertaut, tidak mengerti dengan arah pembicaraan bosnya. Namun untuk menghindari konflik, Aruna hanya merespon dengan anggukan lain.
“Bagus,” sahut Baskara. Suara menggelap dan penuh dengan paksaan. “Kalau begitu saya akan memberikanmu perintah dan kamu harus menurutinya.”
“M-maksudnya perintah apa Pak—”
Belum sempat Aruna mencerna ucapan Baskara dan bertanya, pria itu berkata lagi. “Kamu harus menikah denganku.”
Ketika Aruna membuka matanya, dunia terasa lembut dan asing. Cahaya matahari menyelinap melalui tirai rumah sakit yang putih, menimbulkan bias hangat di sekujur wajahnya. Bau antiseptik yang biasanya membuatnya mual kini terasa menenangkan. Ia sempat berpikir mungkin ini hanya mimpi, sampai suara itu terdengar.“Aruna…” Nada itu serak, namun familiar.Ia menoleh perlahan. Di sisi ranjang, duduk seseorang dengan wajah letih, mata merah, dan senyum yang berusaha bertahan di antara luka yang belum benar-benar sembuh.Baskara.“Hey,” sapanya pelan, nyaris berbisik.Aruna tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap pria itu, mencoba memahami betapa banyak hal yang sudah mereka lalui—pengkhianatan, kehilangan, amarah, darah, tangis. Lalu keheningan.Baskara menunduk, menatap jemari Aruna yang terkulai di atas selimut. Ia menggenggamnya perlahan, seolah takut sentuhannya bisa menghancurkan perempuan itu lagi. “Aku… minta maaf,” katanya, suaranya pecah di tengah ruang sunyi. “Aku gagal menjagamu
“Operasinya berjalan lancar. Namun pasien belum sadarkan diri. Semoga saja secepatnya pasien sadar dan pemulihannya berjalan baik.” seorang dokter memberitahu Baskara setelah penantian berjam-jam di depan ruang operasi. “Syukurlah,” desah Baskara yang menahan napasnya entah sejak kapan. Anindya di sampingnya juga ikut lega. Ia bahkan sampai kembali menangis. “Terima kasih banyak dokter,” ucapnya penuh syukur. “Kalau begitu, saya permisi,” pamit sang dokter meninggalkan tempatnya. Baskara bisa bernapas sedikit lega meski ia belum sepenuhnya tenang setelah semua kejadi
Udara di ruangan itu tiba-tiba berubah berat, bukan lagi hanya karena kabut hujan dan bau kayu lembap, tapi karena logam dingin yang bersinar di bawah lampu. Arga mengangkat senjata dengan gerakan yang tenang dan pasti, matanya tak lagi menerangi ruangan; mereka memancarkan sesuatu yang hanya bisa disebut keheningan sebelum badai.“Aku tidak main-main Baskara,” ujar Arga dengan suara dingin.Anindya menjerit kecil dan meringkuk di belakang kakaknya. Aruna melangkah satu langkah maju, mencoba menjadi perisai antara adiknya dan pistol yang menodong mereka. Adrenalin menyalak dalam tubuhnya, bukan ketakutan kosong, tetapi sesuatu yang tajam dan terfokus. Ia harus melindungi adiknya.Baskara melangkah maju, rahang mengeras. “Arga, jangan lakukan ini,” katanya. “Kita bisa bicara —&rdqu
Udara di dalam rumah tua itu terasa menebal, pekat seperti kabut yang menempel pada kulit. Hujan di luar semakin deras, menabuh ritmenya di atap seng, membuat setiap langkah terasa bergema seribu kali. Lampu minyak di sudut ruang menyorot wajah-wajah yang terkunci dalam lingkaran. Arga satu sisi, berdiri dengan tenang tapi matanya berkobar, Baskara di depan pintu, otot-otot rahangnya tegang, lalu Aruna menggenggam Anindya, tubuh adiknya masih bergetar.Arga mengangkat dagu, memberi jarak dramatis, seolah ingin memberi mereka kesempatan menyerap apa yang akan ia ucapkan. Suaranya ketika akhirnya keluar, halus tapi menusuk, seperti air yang menetes di ruang kosong sampai nada gemanya memaksa.“Kalian tahu betapa senangnya aku ada di tempat ini sekarang. Akhirnya aku bisa menunjukkan siapa diriku sebenarnya setelah bertahun-tahun hidup dalam dusta, menjadi p
Langit malam tampak kelabu, seolah ikut menahan napas bersama seluruh ketegangan di rumah itu. Aruna duduk di tepi ranjang, tubuhnya condong ke depan, menatap layar ponsel Baskara yang dari tadi tak berhenti bergetar. Di luar kamar, suara langkah-langkah tim Baskara terdengar sibuk, mereka baru saja kembali membawa kabar baru.Aruna kembali keluar dan bergabung bersama Baskara.“Kami menemukan lokasi ponsel itu, tapi lokasinya agak janggal,” lapor Rafi.Aruna menegakkan tubuh, jantungnya langsung berdegup cepat. “Di mana?”“Daerah pinggiran, sekitar dua jam dari sini.” Rafi lanjut menjelaskan. Ia menunjukkan tab dengan peta dengan tanda merah. &ld
“Nomornya nggak aktif, Mas.” Suara Aruna terdengar serak, hampir putus di ujung. Ia baru menurunkan ponselnya setelah panggilan kesekian kali berujung nada sambung mati.Baskara berdiri di depan jendela besar ruang tamu rumah peninggalan Oma, menatap halaman yang basah karena hujan sore tadi. Lengannya terlipat di dada, tapi rahangnya tegang. “Coba lagi,” katanya datar.“Aku udah coba. Nomornya nggak aktif, pesannya juga nggak dibalas.”Aruna memandangi layar ponselnya, jari-jarinya bergetar. “Dia nggak mungkin tiba-tiba ngilang gini. Biasanya Arga selalu menjawab teleponku.”Baskara menarik napas panjang, lalu berbalik. “Justru itu masalahnya.”Ia meraih ponselnya s







