Share

7. Acara Kantor

Author: nesitara
last update Last Updated: 2025-02-28 16:41:53

Aruna berkali-kali menelan ludah saat langkahnya mengikuti Baskara memasuki salah satu ballroom hotel ternama di ibu kota. Ruangan itu memiliki langit-langit tinggi dan lampu kristal yang berkilauan. Dentingan gelas, suara obrolan rendah, dan alunan musik klasik mengisi udara, namun semua itu tidak mampu meredakan kegugupan Aruna.

Tatapan para tamu yang berbalik ke arah mereka semakin membuat Aruna merasa kecil. Mereka semua pasti orang kaya dan penting. Berbagai bisikan mulai terdengar begitu Baskara dengan percaya diri memperkenalkannya.

Tangan Baskara yang melingkari pinggang Aruna terasa hangat, tapi itu tidak cukup untuk meredakan kegugupannya. Apalagi saat mereka melewati beberapa tamu, Aruna bisa merasakan tatapan mereka menyelidik, penuh rasa ingin tahu.

“Itu istrinya?” bisik seseorang.

“Katanya sih karyawan di kantornya sendiri,” sahut yang lain.

“Kudengar dia hamil duluan…” tamu yang lain menimpali.

Semakin masuk ke dalam keramaian, semakin Aruna merasa ia tidak pantas berada di tempat itu. Kini perutnya diremas kuat seiring dengan rasa gugup yang semakin tidak tertahankan. Sayangnya, Aruna harus menahan apa pun yang ia rasakan. Malam ini ia harus bersandiwara menjadi istri seorang Baskara yang bahagia.

“Izinkan aku memperkenalkan istriku. Aruna,” ujar Baskara dengan suara tenang namun penuh ketegasan, memperkenalkan Aruna kepada beberapa rekan bisnisnya.

Aruna tersenyum kecil, meskipun ia bisa merasakan detak jantungnya berpacu cepat.

Beberapa orang mencoba basa-basi, sisanya hanya bisa menatap dan berbisik. Meski begitu, Aruna berusaha membalas dengan senyuman canggung, meski ia merasa semua pasang mata seolah sedang menilai dan menghakiminya.

Tidak lama, seorang wanita mendekat dengan langkah anggun. Gaun berpotongan mahal membalut tubuhnya yang indah. Senyum ramah terukir di wajahnya, meskipun ada sesuatu yang membuat Aruna merasa tidak nyaman dari gerak-gerik wanita itu.

"Halo, Baskara," sapa sang wanita dengan nada lembut namun mengandung sesuatu yang tersirat. Gadis itu kemudian beralih pada Aruna. “Kamu… Aruna, ya?”

Aruna mengangguk sopan. Wanita itu lantas beralih lagi pada Baskara, melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang Aruna tidak mengerti, membuatnya semakin merasa seperti orang asing di antara mereka.

“Jadi ini alasan kamu membatalkan kesepakatan keluarga kita?” tanya gadis itu pada Baskara.

Tatapan Baskara tetap tenang saat menjawab, suaranya terdengar datar namun memiliki intensi lain. Aruna masih tidak mengerti apa yang keduanya katakan, tapi dari gerak-gerik dua orang itu, Aruna bisa melihat bahwa mereka memiliki hubungan atau setidaknya mengenal satu sama lain sejak lama.

Obrolan dua orang itu membuat Aruna merasa semakin tersisih. Entah kenapa ia merasa sedang menjadi objek pembicaraan meski tidak mengerti bagaimana. Ia juga merasa kehadirannya di sini lebih sebagai pajangan daripada sebagai istri Baskara.

Karena merasa semakin tidak nyaman, Aruna beralasan harus pergi ke toilet. Secepat kilat ia berjalan menjauh menuju toilet, berusaha menenangkan diri sejenak dari atmosfer yang begitu menyesakkan.

***

Aruna menatap bayangannya di cermin, mencoba mengatur napas yang terasa berat. Tangannya bertumpu di tepi wastafel, berusaha meredakan kegugupan dan perasaan tidak nyaman yang sejak tadi menggelayutinya. Ia tidak menyangka acara ini menjadi sangat sulit.

Tiba-tiba, suara langkah kaki mendekat. Aruna menoleh dan melihat wanita tadi masuk ke dalam toilet dengan langkah anggun. Wanita itu berdiri di sebelahnya, juga menatap cermin sambil merapikan riasannya.

"Aku Tania," katanya tiba-tiba, dengan senyum tipis yang sulit diartikan. Mata mereka bertemu lewat pantulan di cermin.

Aruna langsung mengenali nama itu. Tania—wanita yang seharusnya dijodohkan dengan Baskara.

Jantungnya berdetak lebih cepat, tapi ia tetap berusaha menjaga ekspresinya agar tetap tenang.

"Aku tahu siapa kamu," jawab Aruna pelan.

“Baskara yang memberitahumu?”

Aruna menggeleng.

Tania melangkah lebih dekat hingga berdiri di hadapan Aruna. Tubuhnya menjulang mendominasi, berbanding terbalik dari Aruna yang sejak tadi menunduk, merasa gugup dan takut akan situasinya.

“Begini, Aruna. Kamu telah merebut apa yang jadi milikku. Tapi, tidak apa-apa, aku masih coba memberimu kesempatan. Mungkin kamu memang tidak tahu situasinya.” Tania berkata dengan santai namun nadanya mengintimidasi.

Aruna tidak menjawab, bibirnya terkatup.

Melihat diam Aruna, Tania bicara lagi. “Ini peringatanku yang pertama dan terakhir, tinggalkan Baskara.”

“T-tapi aku istrinya,” ucap Aruna saat ia akhirnya menemukan keberanian untuk bicara.

Tania mendengus. Kedua tangannya terlipat di depan dada. “Kita lihat saja nanti, Aruna. Memangnya kamu pikir kamu pantas menjadi istrinya?”

“Baskara sendiri yang memilihku,” ucap Aruna lagi, kali ini lebih berani dari sebelumnya.

Hal itu tentu saja membuat Tania naik pitam. “Dasar wanita rendahan!” umpatnya kesal.

Tanpa Aruna sadari, Tania menadahkan air ke tangannya lalu menyiram Aruna hingga tubuh dan wajah gadis itu basah.

Aruna menjerit, terkejut dengan serangan yang dilancarkan Tania. Setelah itu, Tania berjalan keluar dari toilet tanpa menghiraukan lagi Aruna.

Bibir Aruna bergetar menahan emosi saat ia berdiri di depan cermin, menatap bayangannya yang kacau dan basah. Tania telah berhasil mempermalukannya, dan ia hanya bisa diam. Meski ingin melawan, Aruna tahu ia tidak boleh membuat keributan yang lebih besar.

Menghela napas, Aruna menegakkan punggungnya dan melangkah keluar toilet dengan hati-hati. Namun, begitu ia kembali memasuki ruangan utama, tatapan-tatapan mulai menghujani dirinya. Beberapa tamu saling berbisik, sebagian bahkan menatapnya semakin sinis.

Aruna menundukkan wajah, berusaha menahan air mata yang hampir jatuh. Ini memalukan.  Baskara pasti akan memarahinya setelah pria itu memperingatkan Aruna untuk tidak membuat dirinya malu.

Tiba-tiba, Baskara menghampiri dengan ekspresi dingin dan tajam, matanya langsung menangkap kondisi Aruna yang basah kuyup.

"Apa yang terjadi?" suara pria itu nyaris seperti erangan.

Aruna menggeleng cepat, tidak ingin memperumit keadaan. "Tidak apa-apa, aku hanya—"

Namun, matanya tanpa sadar melirik ke arah Tania yang tengah berdiri di sudut ruangan, berbincang dengan beberapa orang sambil diam-diam melihat ke arah Aruna yang menjadi pusat perhatian karena kondisinya.

Baskara mengikuti arah tatapan Aruna, lalu rahangnya mengatup keras. Tanpa berpikir dua kali, pria itu menghampiri Tania dengan langkah cepat dan penuh amarah.

Para tamu mulai menyadari perubahan suasana. Beberapa orang melirik ke arah Baskara dan Tania dengan penasaran, bisik-bisik kembali terdengar di antara mereka.

"Baskara, ada apa?" tanya Tania polos, seolah-olah tidak tahu apa yang terjadi.

Hanya saja Aruna bisa melihat tatapan Baskara tajam seperti belati saat pria itu berhadapan dengan Tania. "Jangan pura-pura bodoh, Tania." Suaranya rendah, namun penuh ancaman. "Apa yang kamu lakukan pada istriku?"

Kening Tania mengerut. “Aku tidak melakukan apa pun. Mungkin istrimu saja yang gegabah? Dia pasti tidak terbiasa dengan pesta semewah ini karena berasal dari kalangan bawah. Kamu seharusnya mencari istri yang lebih baik, Baskara. Dia tidak selevel denganmu, denganku, dengan kita–”

Belum selesai Tania bicara, Baskara menggenggam pergelangan wanita itu dan mencengkramnya keras. Tania mengaduh dan minta dilepaskan, namun Baskara malah semakin mencengkram dan menatap gadis itu dengan tatapan membunuh.

“Jangan pernah kamu mengganggu istriku atau kamu akan rasakan sendiri akibatnya!” desis Baskara kemudian.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjebak Perangkap Sang CEO   83. Spekulasi Yang Beredar

    Sehari setelah acara tabur bunga di laut, halaman depan media nasional dipenuhi foto keluarga Adiwireja. Ada gambar Oma dengan wajah tua yang sembab, Kumala yang menggenggam foto Baskara erat-erat, dan tentu saja yang paling banyak tersebar dan menarik perhatian, foto Aruna yang menunduk dengan wajah pucat ditemani Arga di sampingnya.Judul-judul besar mengiringi: “Air Mata Aruna di Laut: Perpisahan Terakhir untuk Baskara Adiwireja.” “Arga Adiwireja, Setia Mendampingi Ipar.” “Siapa Aruna? Perempuan di Balik Kisah Cinta Terakhir Baskara.”Aruna membaca sekilas dari layar ponselnya, lalu buru-buru menutup. Dadanya berdenyut sakit. Seolah semua orang kini ikut masuk ke dalam luka yang seharusnya hanya miliknya.Di ruang makan vila, ia duduk sambil memegang gelas teh hangat yang tidak disentuh. Anindya memperhatikannya khawatir. “Kak, jangan buka berita dulu. Itu cuma bikin Kakak makin sakit.”Aruna mengangguk, tapi tatapannya tetap kosong. “Kenapa semua orang tidak punya empati? Merek

  • Terjebak Perangkap Sang CEO   82. Bunga Terakhir

    Hari itu, langit Lombok diselimuti awan tipis. Laut yang biasanya biru cerah kini terlihat muram, seolah ikut berduka. Di dermaga yang disterilkan untuk acara tabur bunga, keluarga besar Adiwireja berdiri dalam diam. Mereka baru saja kembali dari Jakarta untuk satu tujuan sama yaitu menggelar peringatan terakhir bagi Baskara Adiwireja, putra sulung, penerus keluarga, yang kini secara resmi dinyatakan hilang di laut.Di antara kerumunan, Aruna berdiri dengan wajah pucat. Pakaiannya serba hitam, selaras dengan warna perasaannya. Rambutnya digerai, matanya sembab karena tangis yang tidak kunjung reda. Sejak kabar pencarian dihentikan, ia belum pernah benar-benar pulih. Tubuhnya masih ada di sini, tapi hatinya seakan terkubur bersama lautan.Arga berdiri di sisi kanannya, selalu siaga menjaga. Di sisi kiri, Anindya menggenggam tangannya erat. Seolah-olah keduanya sepakat untuk tidak membiarkan Aruna jatuh, meski diri masing-masing tampak hanya bertahan dengan sisa tenaga.Wartawan sudah m

  • Terjebak Perangkap Sang CEO   81. Melewati Duka

    Hingga beberapa hari selanjutnya, kabar baik belum juga menghampiri.Langit pagi itu berwarna abu-abu pucat, seolah tahu bahwa hari ini akan menjadi penutup bagi semua harapan yang masih tersisa. Laut di hadapan Aruna bergelombang kecil, memantulkan cahaya mentari yang tertutup mendung tipis. Desir angin terasa dingin, menusuk ke dalam dada yang sudah penuh dengan luka.Aruna tanpa lelah tetap berdiri di tepi pantai setiap harinya. Kakinya nyaris tertanam dalam pasir yang lembap. Rambutnya yang panjang tertiup angin, menempel di wajah yang pucat dan letih. Di belakangnya, beberapa anggota Tim SAR bersiap dengan peralatan mereka. Hari itu, seperti hari-hari sebelumnya, mereka akan melanjutkan pencarian. Namun sejak pagi, Aruna bisa merasakan sesuatu yang berbeda. Ada nada keletihan dalam gerak mereka, ada kerutan berat di wajah para penyelamat yang selama ini tak pernah menyerah.“Bu Aruna, kami akan berangkat lagi,” ucap salah seorang anggota tim sambil menunduk hormat.Aruna hanya me

  • Terjebak Perangkap Sang CEO   80. Menenangkan Diri

    Arga menggenggam lengan Aruna dengan hati-hati, seolah takut ia akan hancur menjadi serpihan berantakan bila disentuh terlalu keras. Dari beranda penginapan, pria itu menuntunnya perlahan menuruni tangga kayu, membawa langkah-langkah kecil itu menuju jalan setapak berpasir yang mengarah ke pantai.Langit sudah mulai cerah. Sinar matahari menimpa permukaan laut, berkilau keperakan terlihat indah. Tapi bagi Aruna, indahnya pagi itu terasa menyakitkan. Bagaimana bisa dunia tetap bersinar, sementara hatinya tenggelam dalam kegelapan?Aruna membiarkan Arga menuntunnya tanpa perlawanan. Kepalanya menunduk dan matanya kosong. Hanya suara ombak yang semakin dekat mengisi telinganya, setiap debur mengingatkannya pada momen ketika Baskara hilang dari pandangan.Saat kaki mereka menyentuh pasir yang masih lembap, Arga melepaskan genggamannya. Ia berdiri di samping Aruna, memberi ruang. “Kamu mau duduk di sini?” tanyanya pelan.Aruna tidak menjawab. Ia melangkah sendiri, berjalan hingga batas pasi

  • Terjebak Perangkap Sang CEO   79. Yang Merasa Kehilangan

    Suasana ruang makan akhirnya kembali hening setelah isakan Aruna perlahan mereda. Teh manis di gelasnya sudah dingin, sarapan di piringnya tinggal separuh, tapi setidaknya ia berusaha menelan sesuatu demi menuruti Oma. Ruangan itu terasa pengap oleh perasaan duka yang tidak terucap. Namun paling tidak perasaan Aruna sedikit lebih hangat oleh upaya Oma dan Arga yang menemaninya.Aruna menyandarkan sendok, menarik napas panjang, lalu menatap Oma dengan mata sembab. “Terima kasih sudah memaksa aku keluar kamar, Oma. Terima kasih karena terus menyemangatiku. Arga juga.”Oma mengusap punggung tangan Aruna dengan lembut. “Kamu sudah berusaha. Itu yang penting. Jangan pikir kamu harus kuat setiap saat. Menangis pun tidak apa-apa.”Arga hanya mengangguk pelan, wajahnya menyiratkan kelelahan sekaligus keprihatinan. Ia tahu s

  • Terjebak Perangkap Sang CEO   78. Pagi Memilukan

    Pagi datang dengan enggan. Cahaya matahari menembus tirai tipis jendela kamar yang Aruna huni. Cahaya itu berwarna pucat, seakan segan menyentuh dunia yang sedang berduka. Aruna terbangun dengan kepala berat, mata sembab, dan tubuh lelah seolah semalaman ia berlari tanpa henti. Padahal kenyataannya ia hanya tenggelam dalam mimpi buruk tentang Baskara yang datang dan pergi dalam satu tarikan napas.Suara ombak dari kejauhan masih terdengar samar-samar berirama konstan. Namun bagi Aruna suara itu kini menyakitkan. Setiap debur ombak mengingatkannya pada air laut yang menelan Baskara. Ia menatap kosong ke langit-langit kamar, membiarkan air mata kembali mengalir tanpa bisa dicegah.Ponsel di meja samping ranjang bergetar. Awalnya ia tidak ingin peduli. Namun getaran itu terus berulang, membuat hatinya resah. Dengan tangan gemetar, ia meraihnya. Di layar tertera nama adiknya.Anindya.Aruna menahan napas. Bagaimana kabar ini sampai ke telinga Anindya? Ia bahkan belum sempat memberi tahu si

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status