“Maaf, Bapak mau menghadiri rapat pemegang saham PT Djaya Tambang?” tanya Manda.
Gadis itu akhirnya tiba di kantor setelah Yuike melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.
Hari pertamanya bekerja bertepatan dengan rapat pemegang saham luar biasa diselenggarakan. Sebagai seorang sekretaris baru, tugas pertama Manda adalah menjadi resepsionis di rapat pemegang saham PT Djaya Tambang.
Pukul 9.10 waktu Jakarta, pintu ruangan ditutup karena rapat sudah dimulai. Manda kira, sudah tidak ada lagi yang datang. Namun ternyata, tebakannya salah.
Masih ada seorang pria yang kini masih berdiri di hadapannya. Manda merasa, pria di hadapannya ini memandangnya tajam.
Pria yang datang terlambat itu adalah Raffael Indradjaya.
Karena ingatannya yang samar, Manda tidak mengenalinya.
Kemudian pria di hadapannya tadi mengangguk. Tatapan mautnya benar-benar membuat Manda tak nyaman.
Canggung, Manda pun bertanya, “Maaf, dengan bapak siapa, Pak?”
Manda masih menunggu si peserta rapat yang terlambat itu untuk menyebutkan namanya. Namun detik selanjutnya, ia dibuat gugup dengan senyum sinis sang tamu rapat.
Mulutnya kemudian terbuka untuk memberitahu namanya. “Raffael Indradjaya."
“Ba–baik, Pak Raffael. Mohon tunggu sebentar!"
Manda segera mencari nama tersebut. Ia menyadari bahwa Raffael jelas memiliki hubungan keluarga dengan CEO PT Djaya Tambang.
“Silakan tanda tangan di sini, Pak,” ujar Manda. Ia menunjuk kolom kosong pada lembar daftar pemegang saham, tepat di samping nama Raffael.
Raffael membungkuk sedikit untuk membubuhkan tanda tangan.
“Terima kasih. Silakan masuk, Pak. Ini materi rapatnya.” Manda menyerahkan tas berisi materi dan souvenir.
Sebelum pergi, pria itu menatap Manda lekat seolah ingin membunuhnya. Manda pikir ia akan mengatakan sesuatu, tapi ternyata hanya melengos begitu saja masuk ke ruang rapat.
Wajah pria bernama Raffael itu benar-benar terasa familiar. Dan hal itu sangat mengganggu pikirannya.
‘Rasanya kayak pernah lihat mukanya, tapi nggak tahu di mana,’ batin Manda sambil berusaha mengingat-ingat.
Seketika, sekelebat adegan saat Raffael menatap Manda barusan menimpa ingatannya yang lain, seolah membuka ingatan yang tadinya samar.
“Astaga!" Manda segera menutup mulutnya.
Semakin lama, kejadian semalam pun tampak jelas dalam ingatan. Tatapan Raffael tadi jelas seperti tatapan pria semalam yang bersamanya.
Manda sudah salah mengira bahwa pria semalam adalah seorang gigolo. Bahkan mereka terlibat hubungan satu malam.
‘Nggak, nggak! Nggak mungkin banget!’ raung Manda yang mulai panik, berusaha menolak kenyataan. ‘Mu–mungkin cuma mirip!’
Namun, ingatan samar yang akhirnya menjadi semakin jelas, membuat penolakannya tidak berdasar.
‘Mati aku! Makanya dia natap aku kayak tadi! Bisa gila!’ pekiknya dalam hati. ‘Ternyata orang itu bukan gigolo beneran. Ditambah, dia keluarganya Bu CEO pula!’
Mencoba mencari tahu, Manda bertanya pada Yana yang sedang sibuk dengan laptop di sebelahnya.
“Kak Yana, pria yang tadi baru datang itu siapanya Bu CEO?”
Sambil menahan sesuatu, Yana menjawab, “Pak Raffael? Beliau adiknya Bu CEO. Dia ngurusin kantor cabang luar negeri.”
Mendengar jawaban Yana, batin Manda berteriak panik, ‘Adiknya?! Jangan sampai aku berurusan sama dia. Sebaiknya aku izin sakit saja setelah ini.’
Namun, Yana tiba-tiba menyodorkan secarik kertas. “Kak Manda, tolong kasih kertas ini ke notaris di dalam ya!”
Manda ingin menolak. Tapi, dia harus profesional, kan? ‘Hah?! Aduh, gimana nih?! Aku kan mau menghindari Pak Raffael.'
Manda langsung menolak. “Kak Yana saja yang bawa ke dalam. Aku—”
“Aku sakit perut, Kak Manda,” potong Yana sambil memegangi perutnya yang memang sejak tadi terasa melilit. “Tadi pagi, aku minum kopi pakai krim. Sekarang, perutku jadi mules banget."
“Oh! Oke, oke.”
Manda pasrah menerima kertas berisi informasi terkait total jumlah pemegang saham yang hadir itu.
Yana mengangguk. Kemudian, berlari kecil menuju toilet wanita.
Manda segera berdiri, lalu melangkah menuju ruang rapat. Ia sudah menghafal tata letak ruangan. Dan kursi notaris berada di samping pintu masuk.
‘Gimana nih?! Rasanya kayak roh-ku hilang separuh,’ rintih Manda dalam hati.
Sudah satu menit Manda hanya berdiri mematung di depan pintu ruangan. Ia tidak berani membuka pintunya.
Setelah menarik napas dalam-dalam, Manda menarik pelan salah satu pintu.
Kemudian, ia berjalan masuk dengan tergesa-gesa. Matanya langsung menarget meja notaris dan menyerahkan kertas tersebut.
"Bu, ini total kehadirannya.” Manda menyerahkan kertas di tangannya sambil berbisik.
Asisten notaris langsung menerima kertas tersebut dan berterima kasih.
‘Astaga! Lega banget. Ayo, buruan keluar!’ pekik Manda dalam hati.
Namun, baru saja ia meraih gagang pintu, Kepala sekretaris–Elena, melambaikan tangan, meminta Manda untuk mendekat.
‘Haduh! Apa lagi sih? Mau nangis aku!’ raungnya tanpa suara.
Jantung Manda berdegup seperti orang yang sedang menghadapi hukuman mati. Punggungnya pun sudah terasa dingin.
Sementara mendengarkan apa yang dibutuhkan Elena, telinga Manda juga mendengarkan jalannya rapat.
“Pengangkatan Bapak Raffael Indradjaya sebagai Presiden Direktur perseroan.”
Manda membelalak mendengar kalimat yang baru saja dilontarkan sang notaris. Ia bahkan lupa kalau Elena sedang berbicara dengannya.
‘Apa?! Presiden direktur?! Nggak mungkin!'
“Manda! Dengar saya nggak, Manda?!”Elena berbisik. Nadanya penuh penekanan. Pasalnya, staf junior yang sedang menerima perintah darinya itu malah menjauhkan telinganya dan melamun seperti orang tak sadarkan diri.Untungnya, Manda segera tersadar dari lamunannya dan langsung teringat pada sang atasan. Ia langsung berjongkok di sebelah Elena sambil berbisik, “Ma–maaf, Bu. Saya kaget dengar kita punya presdir baru.”“Ya … kan, Bu Camelia naik jadi CEO. Posisi presdir jadi kosong.” Elena menjelaskan dengan singkat. “Kamu dengar saya nggak tadi? Nanti kamu urus payment sama pihak restoran. Ini kartunya. Jangan lupa tambahin porsi kamu sama Yana dan Jenny.”Mendengar itu, Manda buru-buru menjalankan rencananya untuk menghilang dari rapat itu. “Maaf, Bu. Saya tadinya mau izin. Badan saya nggak enak, Bu.”Wajah Elena terlihat gusar dan sedikit kecewa. Hal itu membuat Manda merasa sangat bersalah karena sudah berbohong. “Bisa tahan sampai makan siang selesai nggak?” tanya Elena mencoba mengo
“Banyak yang saya mau dari kamu, Manda Adinata.”Wajah Manda terlihat kaget. Ia belum berkenalan dengan sang presdir, tetapi sudah tahu namanya. “Kenapa? Kaget saya tahu nama kamu?” ledeknya yang masih tak melepaskan Manda dari kungkungan kakinya. “Saya tanya Elena, karena saya mau nagih utang.”Mendengar itu, Manda dengan yakin berkata, “Utang?! Saya udah kasih semua uang saya di nakas hotel. Bulan ini saya sudah nggak ada uang, Pak.”Sontak Raffael tergelak. Namun, netranya tak tampak seperti sedang tertawa. Malahan pria itu seperti akan memakan Manda kalau ia lengah sedikit saja.Dengan nada penuh ancaman, Raffael berkata pelan, “Ya, ya. Uang itu. Kau membuatku rugi karena lembaran uang sialan itu.”“Rugi? Saya kan bayar, Pak,” protes Manda dengan kening berlipat.Raffael mendengus. “Bayar?! Kamu sudah menyebut saya gigolo di depan umum. Kamu juga mencuri kemeja saya. Dan hari ini kamu korupsi jam kerja dengan pulang cepat.”Wajah Manda pucat pasi. Semua yang disebutkan benar-bena
‘Senang?!’ pekik Manda dalam hati. ‘Senang kepala kau peyang! Kau doang yang senang bapak tua kelebihan hormon!’Namun, ia juga tidak punya pilihan lain selain menuruti apa yang dikatakan oleh Raffael. Sekejap, mereka tiba di depan lobi sebuah hotel. Hotel yang ia datangi kali ini 5 kali lebih mahal dari hotel kemarin.“Turun.” Raffael memberi perintah.Menurut, Manda segera melangkahkan kaki keluar dari mobil dan mengekor di belakang Raffael. Ia terus saja meremas tangannya yang terkepal, tidak tahu apa yang akan terjadi padanya setelah ini. Malam itu, ia mabuk saat bercinta dengan Raffael. Namun sekarang, ia sedang dalam kondisi sadar. Ia tidak tahu apakah ia akan serela itu disentuh oleh pria yang baru 2 kali ditemuinya.Tak menyadari ke mana langkah membawanya, ia terkejut saat Raffael berhenti di depan sebuah restoran. “Selamat datang, Pak Raffael. Ruangan seperti biasa?” tanya staf restoran sambil melirik melewati bahu Raffael. Pria itu bergumam singkat. Kemudian staf restor
“Nggak nyangka aku bisa dibuat ketawa seperti ini. Manda Adinata. Besok bakal seperti apa ya dia?” Raffael tergelak di dalam mobil setelah Manda menutup pintunya.Sementara mobil sedan hitam itu melaju meninggalkan kediaman Manda, gadis yang pulang dengan wajah kusut itu mendapat tatapan penuh perhatian dari sang ibu. “Manda, wajahnya kesal banget kayaknya?” sapa ibunda. “Ada apa, Nak? Apa pekerjaan kamu nggak berjalan baik?”Manda menggeleng. “Nggak, Ma. Manda nggak apa-apa. Manda udah makan, jadi langsung ke kamar ya.”Tak ingin menambah beban putrinya, wanita tua itu membiarkan saja Manda melakukan apa yang diinginkan. Sampai di kamar, Manda tidak langsung mandi. Ia menghubungi Yuike dan menceritakan kejadian gila hari ini. “Mampus nggak sih kamu, Nda?! Kau bakal sekantor sama dia. Bahkan dia bos besarmu!” komentar Yuike, ikut panik. “Mending kamu cari kerjaan baru. Aku bantuin.”Manda menganggukkan kepalanya walau Yuike tak bisa melihat. “Benar. Sebaiknya aku segera mengundurka
‘Sakit! Dia nggak ngakuin ini punya dia, tapi dia juga nggak bolehin aku jual. Maunya apa sih orang ini?!’Manda benar-benar dibuat pusing oleh presdir barunya itu. Merasa tak akan menang berdebat dengannya, ia memutuskan untuk menyimpan kemeja itu di kantor saja nanti.Sepanjang perjalanan Raffael terlihat sibuk dengan laptopnya, sementara itu Manda yang tidur larut karena mencari pekerjaan baru pun terhanyut goyangan mobil. Tanpa sadar ia tertidur. “Nanti kamu minta kontak sekretarisnya Pak Juanda ya. Besok-besok, biar dia yang—” ucapan Raffael terhenti ketika sesuatu tiba-tiba menyentuh pundaknya. Manda yang tertidur pulas tak sadar kalau kepalanya terjatuh di bahu bos yang jadi lawan debatnya itu.Raffael mendengus geli menyadari dirinya bahkan tidak menolak kelakuan sekretaris muda di sebelahnya. “Dasar anak ini. Tidur jam berapa semalam dia, sampai nggak sadar begini.”Mengabaikan Manda yang tengah nyaman bersandar di bahunya, Raffael melanjutkan pekerjaannya. 2 jam berlalu s
“Eh?! Tu—tunggu dulu, Pak!” Manda mencoba melepaskan diri dari genggaman tangan Raffael. Ia tidak mau menambah skandal lain. Terlebih kalau sampai ada yang mengenali atasannya dan mengambil foto mereka. Sayang, Raffael malah terlihat menikmati keadaan. Dengan wajah sumringah ia menggandeng Manda berjalan menuju lift hotel. Walau begitu, Manda masih berusaha menyadarkannya terkait status mereka. “Pak, saya nggak mungkin sekamar sama atasan saya.”Persuasif Manda gagal. Raffael malah mendengus sambil menarik Manda masuk ke dalam lift, kemudian berbisik, “Kita sudah pernah sekamar, buat apa dipersulit.”Wajah Manda memerah bak kepiting rebus. Seketika, ingatan malam panas itu kembali merajai pikirannya. ‘Dasar bos gila satu ini! Ngapain dia nginget malam itu sih?!’Bisa menebak apa yang ada dipikiran sang sekretaris, penyakit jahil Raffael kambuh. “Oh! Kayaknya kamu seneng inget-inget malam itu.”Netra Manda membulat sempurna. Tak menyangka kalau atasannya itu masih saja membahas soal
“Astaga!” pekik Manda panik. Buru-buru ia melangkah maju, sehingga tubuhnya tersembunyi di balik kaca bertekstur. “Saya kan lagi mandi, Pak Raffael!” omelnya kesal.Percikan air dari selang shower juga membasahi baju Raffael yang sudah setengah badan memasuki kamar mandi. Raffael terdiam. Setengah mati menahan tawa sambil menggigit bibir yang terlipat ke dalam. Ia tidak tahu kalau gadis itu akan mandi tanpa menarik tirai. Dengan nada sinis ia berkata, “Saya sudah lihat semua badan kamu, buat apa disembunyiin?” Kemudian diletakkannya satu set piyama yang untungnya masih terbungkus rapat sehingga tidak basah, di atas meja wastafel. “Ini baju kamu, saya suruh Tara beli kemarin malam.” Tanpa mendengar ucapan terima kasih dari si gadis yang masih setengah jalan menyelesaikan mandinya, Raffael menjauh dari kamar mandi. Ia langsung melempar tubuhnya ke atas kasur sambil menutupi wajah. Bayangan tubuh Manda membuat wajahnya terasa panas. Jantungnya pun tak bisa diam sejak tadi. Baru k
‘Ha! Sial! Kupikir dia bengong karena lihat kegagahanku! Malah mempermasalahkan kemeja dan utang!’ Awalnya, Raffael memang tak ingin mengambil kemeja itu lagi. Namun, semalam ia terkesan dengan harum kemejanya yang sama seperti wangi Manda. Walau ia sekuat tenaga mengelak dari tuduhan yang diutarakan hatinya. ‘Lagian, nggak mungkin aku melepas kemeja ini dan membiarkannya dijual oleh Manda,’ batinnya beralasan.Raffael menatap tajam ke arah Manda sambil berjalan menghampirinya. Manda mulai merasa tak enak. Ia takut kalau atasannya itu terpancing berbuat sesuatu karena ucapannya tadi. “Ba–bapak mau apa?!” pekiknya sambil mengangkat kedua tangan di depan dada. Seringai penuh ancaman mulai muncul di wajah bos ganteng itu, membuat sekujur tubuh Manda merinding. Dalam sekejap, Raffael mengurung tubuh Manda yang sudah terbaring terpaksa di atas tepi ranjang karena menghindari kontak fisik dengan sang atasan. “Sa–saya cuma bilang kenyataan—”“Tangan saya yang kamu pinjam buat bantal tad
Hai! Romero Un menyapa!Novel ini akhirnya tamat ya ^_^Terima kasih buat para pembaca yang mendukung novel ini sampai selesai. Terima kasih juga untuk pembaca yang sudah memberikan komentar dan hadiah. Sampai ketemu di novel selanjutnya ya!Sayonara!
“Bos, sudah keluar hasilnya.”Bintang mengangguk. Ia segera mengecek hasilnya dan menemukan komposisi larutan yang tertulis dapat menyebabkan kerusakan pada pita suara. Ia pun langsung memberitahu Dennis. “Segera suruh Luna menemui dokter Gilian. Kuharap belum terlambat memperbaiki pita suaranya.”“Black, tangkap Kanya dan 2 temannya. Bawa mereka ke kapten. Aku sudah malas mengurusi mereka.”“Baik, Bos!”Sepeninggalan Black, Bintang langsung menyandarkan kepala, sambil memijat-mijat dahinya yang mulai pusing. Dengan posisi tak berubah, ia mencoba meraih gagang telepon dan menghubungi Tiara. “Auntie, tolong ke ruanganku.”2 menit setelahnya, Tiara sudah duduk di hadapannya. “Ada apa, Pak Bintang?”“Aku mau keluarkan berita dan juga peraturan baru.”Sang sekretaris senior itu mengangguk.‘Apa ini masalah artis Luna itu? Kurasa memang sudah keterlaluan sekali Kanya itu.’ Tiara membatin, sementara tangannya membuka laptop di pangkuan.Dalam berita internal itu, Bintang menjelaskan perka
“Oh! Lex, aku cari kamu. Ayo, ikut!”Bintang mengambil kesempatan untuk lepas dari Kanya. Ia segera pamit, menggeret adik perempuannya bersama. “Kau dikerjai si Kanya?” tanya Alexa setelah mereka cukup jauh dari target pembicaraan.Bintang menggeleng. “Sepertinya dia nggak suka dengan Lia dan membuat skandal untuk menghancurkan karir Lia sebelum debut.”Alexa mengerutkan dahi. “Kukira sasaran Kanya si Luna. Dia sering banget dipanggil Kanya sebelum latihan mulai. Dan pagi ini Luna kena marah karena suaranya tiba-tiba hilang.”Kali ini dahi Bintang yang berkerut tak mengerti. “Kenapa kau diam saja? Kanya sepertinya bukan perempuan yang baik, Lex. Hati-hati.”Alexa mendengus geli. “Siapa yang berani denganku?!”“Jadi, ini yang kemarin kakak tanyain ke aku? Skandal itu disengaja oleh Kanya?” Alexa kembali bertanya. Kepala Bintang bergerak naik-turun. “Kebetulan aku melihatnya.”Mereka terdiam sesaat, sebelum akhirnya Bintang memutuskan untuk pergi menemui Dennis. “Kau juga hati-hati. A
“Aku nggak peduli.” Bintang membalas pertanyaan Adelia dengan pernyataan keras kepala. “Kita bisa menyembunyikan pernikahan ini, untuk sementara.”“Buat apa?” tanya Adelia tak mengerti. “Kalau aku menikah, aku ingin bisa menceritakannya pada semua orang.”Mendengar itu Bintang tak bisa berkelit. Ia tak menyangkal. Mungkin dirinya yang paling sulit untuk menyembunyikan hubungan mereka. Bahkan sejak awal, dirinya lah yang tak bisa menahan diri untuk mengumbar kedekatannya dengan Adelia. “Tapi kalau tunangan, kurasa aman. Gimana?” usul Adelia yang merasa bersalah setelah pertanyaannya tadi. Bagaimanapun, saat ini, seorang CEO besar melamarnya. Dia, yang hanyalah seorang gadis biasa.Namun, Bintang menolak usulannya. “Aku ingin menikahimu karena aku mau semalam-malamnya kamu pulang, aku ada di rumah.”Wajah Adelia bersemu merah. Sebuah senyum tak sadar terbentuk di sana. “Hanya karena alasan itu?” gumamnya tak percaya.“Itu bukan ‘hanya’, My dear.” Bintang memeluk tubuh sang kekasih er
“Bos, Regan mengitrogasiku. Sepertinya Bos Raffael mencari Anda.”Black melapor pada Bintang, tepat di saat ia yakin kalau Adelia sudah masuk ke kamar mandi hotel. Ini adalah hari kedua Bintang dan Adelia berada di hotel. Seharian kemarin mereka menikmati renang dan layanan spa dari hotel itu. Dan pagi ini, seperti yang sudah ia perkirakan akan terjadi. Foto dirinya melangkah keluar dari apartemen para artis RAFTEN sambil merangkul seorang perempuan tak dikenal, menghiasi halaman depan media berita artis ibukota.Tentu saja, Raffael dan Manda akan marah besar, mengira bahwa putranya berselingkuh di belakang Adelia. “Mereka pikir Anda membalas dendam atas skandal Nona Adelia.”“Ah ….” Bintang terkekeh geli dengan tebakan orang tuanya. “Aku mematikan ponselku. Kau saja yang beritahu mereka kalau foto itu adalah fotoku dengan Lia.”Black mengangguk. “Baik, Bos.”“Tapi, jangan kasih tahu kami di hotel ini,” tambah Bintang, mengingatkan. “Aku dan Lia sedang liburan.”“Siap, Bos!”Sege
Ha! Ha! Ha! “Pertanyaan dari mana itu?” Bintang tergelak mendengar kenyataan bahwa Adelia tak merasakan cintanya.CEO RAFTEN bahkan tak bisa menyalahkan siapapun kecuali dirinya, karena sudah membuat Adelia bertanya demikian. Cinta yang ia berikan sepertinya tidak nyata. Seperti apa kata sang ibunda. Hambar.“Kau nggak tahu saja, tiap malam aku datang ke sini. Tapi kau nggak pernah ada.”Netra Adelia membulat kaget. “Bohong! Aku nggak pernah ketemu kamu! Nggak pernah ada tanda-tanda kamu mengunjungi apartemenku.”Bintang mengecup bibir sang kekasih, singkat. Kemudian berkata, “Aku malas kalau harus mengakui perbuatanku. Jadi, terserah kamu percaya atau nggak. Aku nggak masalah, Lia.”Melihat Bintang tidak bersikeras membuktikan ucapannya, Adelia memutuskan untuk percaya. “Terus, kenapa kau ke apartemenku nggak bilang-bilang?” tanyanya heran. Bibir Bintang bergerak ke kanan lalu ke kiri, menimbang apa juga yang membuatnya datang ke apartemen Adelia.“Awalnya mau kasih kejutan. Tapi
‘... dia nangis karena sudah lama nggak bisa ketemu kamu, Kak.’Ucapan Alexa tadi kembali terngiang di telinga Bintang, walau sambungan telepon sudah terputus sejak tadi. Senyuman lebar tak bisa ia tahan. ‘Kurasa aku terlalu percaya pada hubungan kami. Percaya bahwa kami mengerti satu sama lain, tanpa perlu banyak interaksi.’“Ternyata aku salah,” keluhnya menyimpulkan apa yang terjadi. Dengan cepat ia mengirim pesan pada Tiara, sekretarisnya. To Tiara:Besok saya libur satu minggu. Jangan cari saya!Pesan terkirim!Kemudian ia juga mengirim pesan yang sama pada Theo, tetapi terkait Adelia. To Theo:Besok Adelia libur 3 hari. Jangan cari dia!Pesan terkirim!Bintang mematikan ponselnya dan juga Adelia begitu saja dan mulai fokus mengurus sang kekasih. Ia menggulung lengan kemejanya dan mulai menyeka bagian tubuh Adelia yang terlihat. Malam itu ia memutuskan untuk menemani sang kekasih, tidur di ranjang yang sama.‘Ah … sebaiknya aku juga ganti saja itu!’*** Keesokan paginya, Ad
‘Kalau diingat-ingat … aku terakhir lihat Lia dari jendela pintu ruang latihan. 3 minggu lalu, kalau nggak salah.’Bintang menatap lurus tanpa berkedip. Pandangannya kosong, sementara ia menggenggam gelas wine di tangannya. Ia sedang duduk di sofa apartemen sang kekasih. Masih terdiam, pikirannya kembali mengingat hari itu. ‘Setelah itu, aku pergi dinas. Dennis bilang kalau Lia sangat bersemangat siap debut.’“Nggak ada yang salah dengan kami. Kurasa.”Pria yang tengah bingung dengan komentar ibu dan rekan kerjanya itu kembali menghela napas panjang. Ia tak tahu apa yang membuat hubungannya dicap hambar. Sejauh mereka belum menikah, jelas tidak ada yang bisa mereka lakukan selain pergi kencan. Sesekali berciuman atau tidur di kasur yang sama. “Apa aku harusnya menikahi Lia?” Lagi, ia berbicara dengan diri sendiri. “Tapi dia sedang bersiap debut. Bagaimana kalau langsung hamil dan merusak karirnya?”Sudah pukul 11 malam dan Adelia tak juga tiba di rumah. Mungkin penantian Bintang ma
“Dia tidur sambil berendam.”Bintang menggelengkan kepala, heran dengan kelakuan absurd sang kekasih kecilnya. Sekarang ia tidak tahu harus berbuat apa untuk mengangkat tubuh Adelia tanpa melihat. “Lia.” Bintang mencoba membangunkannya. “Adelia!”Dengkuran halus malah menjadi jawaban dari panggilan itu. Membuat Bintang mulai kehabisan akal setelah beberapa kali mencoba membangunkannya. Ia memutuskan untuk mengambil handuk dan menutupi tubuh gadis itu setelah berhasil mengangkatnya dengan menutup mata. Setelah bekerja keras, Bintang pun berhasil membaringkannya di tempat tidur. Namun, sampai di sana, Adelia malah terbangun. “Kenapa kau baru bangun sekarang, hm?” keluh Bintang. “Kau mengerjaiku ya?”Adelia mengerjapkan netranya beberapa kali, kemudian tersadar bahwa ia sudah ada di kasurnya, masih dengan tubuh yang basah. “Astaga! Apa aku ketiduran?”Melihat dari respon Adelia, Bintang tahu kalau gadis itu pasti kelelahan setelah beberapa minggu terus berlatih dan hanya bisa tidur 2