Share

Bab 3

Author: Zeya
last update Last Updated: 2025-10-05 19:53:33

Sorakan dari para penonton menggema di sepanjang arena balap. Tatapan tajam bak elang di balik helm full-face mengarah lurus ke jalanan di depannya.

Kedua tangan Stevano mencengkeram erat setang motor, napasnya memburu, ditemani riuh suara penonton yang semakin memanas. Empat motor berbaris rapi di garis start, bersiap untuk memenangkan balapan malam ini.

Seorang wanita berpakaian minim berjalan ke tengah area balap, seraya menggoyangkan pinggulnya dengan percaya diri. Di tangannya, selembar kain merah darah melambai-lambai di udara. Semua mata tertuju padanya. Dia mengangkat kain itu tinggi-tinggi, lalu melemparkannya ke atas.

Seakan dipantik api, keempat motor langsung meraung, gas ditarik secara penuh, dan dalam sekejap, mereka melesat melewati garis start.

"Stevano! Stevano!"

Sorakan para penonton membahana, menyuarakan dukungan untuk jagoan mereka masing-masing. Debu dan asap knalpot bercampur di udara, sementara suara deru mesin memekakkan telinga.

Sebuah motor sport berwarna hitam metalik menyelip ke samping, mengambil alih posisi terdepan. Stevano menambah kecepatan tanpa ragu, meninggalkan lawan-lawannya yang berdecak kesal di belakangnya.

Baginya, kecepatan adalah segalanya. Bahaya? Nyawa? Omong kosong. Stevano sudah terlalu terbiasa menari dengan maut, dan dia tidak peduli akan nyawanya sendiri.

Senyum miring tercetak di wajahnya saat garis finis terlihat di depan mata. Dia melirik kaca spion sekilas, para lawannya sudah tertinggal jauh yang artinya kemenangan untuknya sudah ada di depan mata.

Dengan penuh percaya diri, Stevano menggeser motornya ke arah kanan, mengangkat tangan kiri, dan mengacungkan jari tengah tinggi-tinggi.

SREEEKK!

Gesekan ban dengan aspal menjerit nyaring. Stevano mengendalikan motornya dengan presisi, membuat manuver tajam sebelum akhirnya melintasi garis finis. Kemenangan telak berhasil dia raih.

"Stevano!"

Sorakan kembali bergema, suara tepuk tangan membahana di seluruh arena.

Stevano mematikan mesin motornya dan menoleh ke samping, bertos ria dengan teman-temannya yang langsung mengerubunginya.

"Jadi... gimana, Bang?" Suaranya rendah dan tajam, cukup untuk membuat lawan-lawannya menunduk malu.

Tiga cowok yang sempat meremehkan Stevano sebelumnya kini berjalan mendekat. Rasa gengsi mereka yang tersisa harus mereka telan bulat-bulat saat berlutut dan mencium sepatu hitam milik Stevano di depan semua orang. Sebuah hukuman atas kesombongan mereka.

"Bangsat! Stev, kamu itu harusnya sedang menjalani malam pertama dan tetap berada di rumah, menghabiskan waktu dengan istrimu, bukan malah berkeliaran di jalan seperti ini," seru Ryker, disambut tawa riuh dari teman-temannya.

"Sial, aku masih belum bisa percaya kalau Stevano sudah menikah," timpal Nathan.

"Jaga suaramu, Nath! Nanti banyak yang dengar," sentak Stevano dengan nada tak suka.

Axel kemudian merangkul bahu Stevano sambil berkomentar, "Ah, perhatian sekali kamu, Stev. Tapi memang ada benarnya ucapanmu, kalau ada yang mendengar, istrimu bisa saja menjadi target musuh-musuhmu."

Stevano dengan kasar menepis tangan Axel dari pundaknya. "Berisik! Mau perempuan itu mati atau hilang, aku tidak peduli!" ucapnya dingin.

"Halah, omong kosong. Hati-hati, kalau nanti benar-benar hilang jangan sampai nangis sendiri," ejek Ryker.

Stevano tak menggubris ucapan temannya. Dia menyalakan kembali mesin motornya, bersiap untuk meninggalkan arena balapan.

"Cie, cie… Stevano sudah tidak sabar bertemu istri, ya?" goda Axel.

"Diam kamu!" Stevano merespon dengan kesal, lalu mengenakan helmnya dan mengacungkan jari tengah ke arah teman-temannya sebelum akhirnya menarik gas motornya, melesat meninggalkan mereka.

"STEV! JANGAN LUPA MALAM PERTAMANYA DISIARKAN LANGSUNG, YA! BIAR MAKIN SERU!" teriak Ryker, disambut gelak tawa dari seluruh sahabat mereka.

***

Stevano tiba di rumahnya yang menjulang megah, nyaris seperti istana. Malam begitu sunyi, hanya angin yang berbisik lembut di antara dedaunan.

Stevano melangkah menuju pintu utama, namun sebelum dia sempat mengetuk, pintu itu sudah terbuka dari dalam.

Sosok cewek berdiri di ambang pintu. Tatapannya penuh ketakutan, piyama berwarna coklat dengan motif beruang membuatnya terlihat begitu kontras dengan dunia yang baru saja Stevano tinggalkan. Kedua pipinya merona, matanya berkaca-kaca.

Raisha memilin ujung bajunya dengan gugup, menundukkan kepala menatap kakinya yang terbungkus sandal berbentuk kelinci.

Stevano menatapnya sekilas, lalu ekspresinya berubah dingin. Tanpa sepatah kata, dia melangkah masuk, mengabaikan cewek itu begitu saja.

Raisha menggigit bibir bawahnya, menelan ludah dengan susah payah. Dia tidak ingin terlihat lemah, tapi... perutnya menuntut sesuatu.

"K-Kak..." suaranya bergetar, hampir seperti bisikan. "Aku mau makan hamburger."

Langkah Stevano seketika terhenti. Raisha maju selangkah, memberanikan diri menyentuh lengan berotot suaminya. Dia tahu risikonya, dia tahu Stevano bukan tipe orang yang suka disentuh, tapi... dia tidak punya pilihan lain. Saat ini, hanya cowok itu satu-satunya yang bisa dia andalkan.

"Mau makan di luar... anterin." Cicit Raisha.

Stevano berbalik, menatapnya dengan sorot sinis. "Terus?"

Raisha menggigit bibir, menghindari tatapannya. "Temenin... aku."

"Tidak mau!"

Jawaban itu keluar tanpa ragu, tanpa belas kasihan sedikitpun.

"Apa salahnya menemani istrimu yang lagi ngidam, Stev? Kamu suaminya. Sudah sepantasnya kamu menuruti permintaan istrimu!"

Suara bariton dari arah tangga membuat keduanya menoleh. Kenzo, ayah Stevano berdiri di sana dengan tatapan tajam.

"Papa aja yang temani cewek ini," tukas Stevano dingin.

"Dia istri kamu, dan permintaannya datang dari calon anak kamu, Stev."

Stevano mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. "Pa, sekarang udah jam dua pagi. Tidak ada toko yang masih buka!"

"Justru karena sudah malam, kamu harus menemaninya." Kenzo melangkah lebih dekat, tatapannya tak terbantahkan. "Kalau siang, istri kamu bisa diantar sopir tanpa perlu kamu mengantarnya."

Stevano mengembuskan napas kasar. Sorot matanya menggelap. Dia menatap istrinya yang masih berdiri diam, jemarinya saling mencengkeram erat, seakan mencoba menahan dirinya agar tidak gemetar.

"Di dapur banyak bahan makanan, tinggal minta pembantu bikinin," ujar Stevano ketus.

Namun, Raisha segera menggeleng pelan. "Tapi... aku maunya makan di luar sama kamu, Kak."

Rasa kesal makin membuncah dalam diri Stevano. Dengan gerakan kasar, dia menarik tangan Raisha dan menyeretnya ke dapur.

Dia membuka lemari, mengambil piring, lalu meletakkannya di depan istrinya.

"Mau makan di luar, kan?" suaranya penuh sindiran. "Minta pembantu bikin hamburger, terus kamu bawa ke pinggir jalan. Bisa, kan?"

"Stevano!"

Kenzo menatap putranya dengan ekspresi penuh peringatan.

Stevano mendengus sebal. Dia hampir saja menarik kepala Raisha dan membenturkannya ke meja saking frustrasinya.

Belum lahir saja anak itu sudah merepotkan. Bagaimana nanti kalau sudah lahir?

"Temani dia," perintah Kenzo. "Jangan membantah, Stev."

Stevano mengeratkan rahangnya, lalu menoleh ke Raisha dengan tatapan dingin. "Ambil jaketmu!"

Namun, Raisha masih diam, dia terlalu terkejut dengan perintah suaminya.

Mata Stevano menyipit. "Ambil jaketmu, Raisha!"

Deg.

Jantung Raisha berdebar kencang. Suara bentakan itu membuat tubuhnya menegang, tapi... entah kenapa, dia malah melangkah maju dan memeluk tubuh suaminya.

Stevano seketika membeku.

Stevano juga tidak tahu kenapa dia melakukan ini. Tapi tubuh Stevano... terasa hangat. Meski cowok itu tidak membalas pelukannya, meski hawa dingin yang memancar darinya begitu menusuk, Raisha tetap menempelkan wajahnya di dada bidang suaminya.

Mungkin, ini adalah perasaan bayi yang dikandungnya. Stevano menghela napas panjang.

Dia melepas jaketnya, memakaikannya ke tubuh sang istri, lalu menarik tangannya keluar rumah.

"Biar cepat selesai."

Raisha tersenyum kecil di balik jaket yang kebesaran di tubuhnya. Dia tidak mengerti jika orang hamil akan sangat manja, dan suka merengek seperti ini.

Satu hal yang pasti, meski Raisha hanya jiwa asing. Dia berjanji akan menjaga anak yang ada di dalam kandungannya dan membesarkan anak itu layaknya anak sendiri.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjebak Pernikahan Berduri   Bab 67

    Satu minggu berlalu sejak Raisha dan Lander mendarat di Amerika. Dalam rentang waktu itu, keadaan Stevano justru semakin memburuk. Tidak ada seorang pun yang benar-benar memahami apa yang sedang terjadi dengannya. Bahkan Bianca yang selalu menuntut perhatian penuh mulai kehabisan kesabaran karena lelaki itu tampak seperti kehilangan arah.Pagi itu, suasana kediaman Bianca terasa sunyi, namun bukan sunyi yang menenangkan. Ada sesuatu yang menggantung di udara, seperti ketegangan yang tidak terlihat namun cukup kuat untuk membuat siapa pun enggan bersuara keras. Stevano duduk di ruang tamu, memandangi gelas kopinya yang sudah dingin sejak setengah jam lalu. Tatapannya kosong, seolah pikirannya melayang jauh dari tempat itu. Napasnya naik turun pelan, namun tidak pernah stabil.Bianca melangkah masuk dengan sepatu berhak tinggi yang berderap keras di lantai marmer. Gadis itu berdandan rapi, rambut pirangnya disanggul anggun dan bibirnya dilapisi lipstik merah muda yang biasanya mendapat

  • Terjebak Pernikahan Berduri   Bab 66

    Udara dingin langsung menyergap wajah Raisha begitu pintu pesawat terbuka. Embusan angin asing itu membuatnya merapatkan jaket yang ia kenakan jaket milik Lander, karena ia tidak punya cukup waktu membawa miliknya sendiri.Sedetik setelah kaki mungilnya menginjak lantai bandara, Raisha menutup mata sejenak, menarik napas panjang. Udara Amerika terasa berbeda. Lebih dingin, lebih tajam… dan entah mengapa, terasa lebih bebas."Welcome to New York," gumam Lander rendah sambil berjalan sedikit di depan.Raisha mengikuti dari belakang. Sejak tadi ia terus menatap sekeliling, lampu-lampu bandara, papan petunjuk digital, wajah-wajah asing yang bergerak cepat. Semuanya terasa seperti mimpi panjang yang belum sepenuhnya ia pahami.Ia melarikan diri.Menghilang.Meninggalkan Stevano.Hatinya kembali berdegup cepat.Raisha tidak menyesal telah pergi… tapi ketakutannya tidak berkurang sedikit pun.Lander menoleh. "Kamu baik-baik saja?"Raisha mengangguk pelan. "Iya, Paman. Hanya… belum terbiasa."

  • Terjebak Pernikahan Berduri   Bab 65

    Jam sudah menunjukan pukul dua belas malam ketika Stevano baru saja tiba di apartemennya, pemuda itu mendorong pintu lalu masuk ke dalam apartemen. Saat ia menutup pintu, suasana di apartemen itu sangat sepi. Bi Jumi sudah izin tadi pagi untuk pulang lebih awal karena tidak enak badan, ketika Stevano bertanya di mana Raisha, Bi Jumi menjawab bahwa Raisha sejak tadi pagi belum keluar kamar. Berpikir jika istrinya itu sakit, Stevano hanya menyetujui permintaan Bi Jumi dan melanjutkan perjalanannya menemani Bianca. Ia sama sekali tidak memikirkan istrinya sama sekali, meski seharian tak ada kabar darinya. "Sepi sekali," gumam Stevano. Ia menyalakan lampu apartemen itu, lalu melepas jaket yang sejak tadi ia kenakan. Stevano berjalan menuju dapur dan melirik meja makan yang sudah berisi makanan dingin. "Apa Raisha belum makan?" Stevano membuka tudung saji, dan makanan di sana masih utuh bahkan tidak tersentuh sedikit pun. "Ck, apa dia nungguin aku?" Stevano menutup kembali tudung sa

  • Terjebak Pernikahan Berduri   Bab 64

    Stevano menghela napas berat. "Bia, aku mulai lelah. Bisakah kita keluar dari tempat ini?" Bianca menoleh, ia terlihat tidak setuju dengan saran Stevano. Masih banyak barang yang belum ia beli di toko tersebut, Bianca melipat kedua tangannya di depan dada. "Tidak boleh! kita baru sebentar di sini, masa mau pulang?" Bianca berdecak sebal. "Kamu kenapa sih? biasanya juga tidak pernah protes." "Kita sudah dua jam di sini, dan kamu cuma belanja ini itu. Padahal barang-barang kamu yang bagus masih banyak di rumah," kata Stevano. Bianca mendengus jengkel, ia tak mau mengakui ucapan Stevano karena baginya semua barang dengan keluaran terbaru harus di beli, ia tak mau ketinggalan tren yang sedang muncul. "Memang kenapa? Aku hanya mau yang terbaik untuk diriku. Kamu tidak suka jika pacarmu membeli banyak barang mewah?" jawab Bianca sinis sambil mengangkat dagu. Stevano memejamkan mata sejenak, mencoba menahan emosi yang sudah naik ke ubun-ubun. Ia benar-benar lelah. Kedua tangannya

  • Terjebak Pernikahan Berduri   Bab 63

    Raisha menarik kopernya keluar kamar, suasana di apartemen itu sangat sepi karena Bi Jumi sedang ke pasar dan itu merupakan kesempatan besar baginya keluar tanpa ketahuan. Awalnya Raisha tak berniat pergi diam-diam, namun setelah pertimbangan yang cukup lama akhirnya ia mengambil keputusan ini. "Aku harus cepat," kata Raisha. Ia buru-buru melanjutkan langkahnya menuju pintu apartemen, sebelum ia menutup pintu itu untuk selamanya Raisha kembali menoleh ke belakang dan menatap ruangan yang sudah ia jadikan saksi hubungannya dengan Stevano. Raisha tersenyum pilu. "Selamat tinggal, Kak," Katanya parau. Pintu tertutup rapat dan Raisha berlari menuju lift yang akan membawanya menuju lantai dasar, selama berada di lift Raisha mencoba mengatur pernapasannya yang mendadak sesak. Perpisahan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya justru terjadi hanya dalam hitungan hari, ia tak sanggup jika terus menerus melihat Stevano dan Bianca bersama sedangkan dirinya masih berstatus sebagai istri

  • Terjebak Pernikahan Berduri   Bab 62

    Hari minggu akhirnya tiba, setelah menghabiskan waktu bersama Stevano dalam kebisuan di kamar hotel mewah akhirnya Raisha kembali pada rutinitasnya di apartemen.Saat ini Raisha sedang membereskan buku pelajarannya, ia memasukan buku-buku itu ke dalam lemari. Seperti biasa Stevano sudah pergi dari apartemen itu, jangan tanya ke mana ia pergi karena tujuan satu-satunya adalah Bianca."Sebentar lagi buku-buku bakal berdebu," gumamnya sendu.Tangannya meraih pigura foto pernikahannya dengan Stevano, Raisha mengusap foto itu perlahan lalu tersenyum tipis. "Sebentar lagi kamu bebas, Kak." Raisha menyeka sudut matanya yang berair, setelah seminggu memikirkannya Raisha akhirnya memilih keputusan terberat dalam hidupnya. Keputusan yang akan mengubah seluruh perjalanan hidup dan pernikahannya, ia meletakan kembali pigura itu dan melangkah menuju lemari pakaian. Raisha mengeluarkan koper berwarna hitam yang berukuran sedang, ia meraih pakaian miliknya lalu memasukan ke dalam koper. Pakaiann

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status