LOGINKeesokan paginya, Raisha dan juga Stevano menuruni anak tangga menuju meja makan untuk sarapan sebelum berangkat ke sekolah.
Namun, baru saja tiba di lantai satu suara lembut yang terdengar memuakan di telinga Stevano menyambut mereka berdua. "Selamat pagi, anak Mama." "Bacot!" seru Stevano dingin. "Stev! Jaga mulutmu!" bentak Kenzo pada putranya. Stevano mengabaikan teguran itu. Dia bahkan melirik sinis saat ibu tirinya mulai memasang topeng lemah lembut di depan ayahnya. Akibatnya, dia kembali mendapat teguran dari ayahnya. Raisha yang berada di belakang tubuh Stevano tercengang mendengar kata-kata suaminya. Dia melihat cowok itu berjalan menuju pintu keluar tanpa berniat mengikuti sarapan bersama ayah dan ibu tirinya. Raisha menoleh ke arah meja makan dan tersenyum canggung pada mertuanya serta Raya, adik tiri Stevano yang tampak masih canggung dengannya. "Aku juga langsung ke sekolah, Pa, Ma. Nanti aku sama Kak Stev sarapan di sekolah aja," ujar Raisha sopan. Helena, ibu tiri Stevano tersenyum hangat. "Kenapa tidak sarapan di sini saja, Sayang? Kamu lagi hamil, gimana kalau kelelahan karena nggak sarapan?" "Iya, Kak. Sarapan aja, ya! Nanti kita berangkat bareng," imbuh Raya. Belum sempat Raisha menjawab, suara bariton milik suaminya sudah menggelegar dari luar rumah. "CEPAT, BANGSAT! KAMU MAU SEKOLAH ATAU NGERUMPI?!" Raisha memejamkan mata dan segera berlari tergopoh-gopoh menuju pintu keluar tanpa sempat berpamitan pada mertuanya. Begitu tiba di depan rumah, Stevano sudah menyalakan motornya dan juga mengenakan helm. Namun, langkah Raisha tiba-tiba terhenti di samping motor suaminya. "Eum, Kak. Aku naik angkutan umum aja, ya?" ujar Raisha memelas. Stevano hanya melemparkan tatapan tajam, seolah memberi perintah agar istrinya itu tidak banyak protes dan segera naik ke motornya. Raisha menghela napas panjang. "Motor Kakak gede banget, aku pakai rok. Gimana kalau jatuh?" "Terus? Kamu mau duduk di depan?" Mulut Raisha terbuka tanpa sempat dia cegah. Entah dari mana isi kepala cowok itu sampai tak bisa peka dengan kode yang dia berikan. "Pinjem jaketnya," Raisha mengulurkan tangan. "Gak!" Tak ingin berdebat dengan suaminya yang keras kepala, Raisha memilih memegang bahu Stevano lalu naik ke atas motor dengan wajah cemberut karena suaminya benar-benar membuatnya jengkel. "Udah," ucap Raisha pasrah. Detik berikutnya, motor sport milik Stevano melaju dengan kecepatan rata-rata. Di tengah jalan, suara klakson dari belakang motor mereka terdengar. Tiga motor Ninja mengikuti mereka dari belakang. Stevano melirik dari kaca spion dan mendecak begitu menyadari siapa pemilik motor-motor itu. "WOI, Stev!" Teriak ketiga sahabatnya. "Raisha, peluk yang erat! Nanti jatuh!" seru Nathan dari belakang motor Stevano. Raisha yang sudah merasa canggung semakin tegang. Dia menggigit bibir bawahnya, enggan mengikuti saran Nathan tapi dia juga takut kalo nanti sampai jatuh. Namun, kecepatan motor suaminya yang sedikit meningkat memaksanya untuk segera mengambil keputusan. Dengan ragu-ragu, dia menggenggam bagian pinggir jaket Stevano, berharap itu cukup untuk menjaga keseimbangannya. Stevano melirik sekilas ke belakang lalu mendecak kesal. "Mereka memang tidak punya kerjaan lain selain menggangguku?" gerutunya. Nathan, Ryker, dan Axel tertawa puas melihat ekspresi canggung di wajah Raisha. "Raisha, kamu terlihat seperti sedang naik motor sama orang asing, bukan suamimu sendiri!" ejek Ryker. Axel menambahkan, "Stev, kamu tega banget. Berikan dia jaket atau kurangi kecepatannya. Kasihan wajahnya sudah tegang begitu, nanti bisa masuk angin loh." Stevano mendengus. "Urus urusan kalian sendiri," balasnya datar. Raisha semakin ingin menghilang dari situasi ini. Suaminya tidak membelanya, sementara sahabat-sahabatnya justru mempermalukannya. Mengapa kehidupannya jadi begini? Di tengah kebisuannya, Raisha dikejutkan oleh gerakan mendadak dari suaminya. Cowok itu menarik tangannya dan melingkarkannya ke pinggangnya sendiri. "Pegangan yang benar, nanti jatuh aku tidak mau tanggung jawab." Ucapnya, kali ini dengan suara lebih pelan dari biasanya. Raisha jelas terkejut, tapi dia tak punya pilihan lain. Dengan wajah panas, dia menurut. Sementara itu, tawa ketiga sahabat Stevani semakin pecah. "Udah mirip adegan drama Korea!" seru Nathan. Stevano kembali mendecak kesal, lalu menambah kecepatan hingga ketiga sahabatnya tertinggal di belakang. Raisha hanya bisa menggigit bibirnya, berusaha mengabaikan debaran aneh di dadanya. Namun, tentu saja para cowok Black Reapers tidak mau kalah. Mereka menambah kecepatan hingga menyamakan posisi dengan sang ketua. "Hey, Stev! Kok kita ditinggal?" Ryker menendang motor Stevano, membuatnya sedikit oleng. Raisha refleks berteriak ketakutan, menyembunyikan wajah di punggung Stevano. Jantungnya berdebar cepat. Bugh. Stevano menendang balik motor Ryker hingga cowok itu hampir terguling. "Gila, hampir aja aku jadi rempeyek di jalan," gumam Ryker syok. Berbeda dengan Axel dan Nathan yang tertawa, mereka bertiga kembali menyusul Stevano yang sudah jauh di depan. Saat memasuki kawasan sekolah Allicius, Ryker melambaikan tangan seakan artis papan atas. Mereka melewati gerbang sekolah, dan Ryker semakin tinggi mengangkat tangannya, diikuti Axel yang bersiul dan mengedipkan mata genit. Namun, tatapan para murid tertuju pada Raisha, gadis yang dibonceng ketua Black Reapers. Stevano dan teman-temannya memarkir motor, lalu turun. Raisha memegang ujung jaket suaminya karena malu menjadi tontonan. Stevani hanya melirik Raisha dengan ekor matanya sebelum masuk ke gedung sekolah. Tanpa pikir panjang, Raisha mengikutinya dari belakang. Ryker merangkul bahu Raisha santai. "Tenang aja, Sayang. Anggap aja mereka semua makhluk astral yang baru keluar dari goa." "Terus, anggap aja si Ryker itu orang dungu," cetus Axel. "Betul, kalau Stevano anggap aja pangeran babi," lanjut Nathan. Axel menyenggol lengan Stevani. "Tuh, lihat. Ryker mulai modus sama istrimu, Stev." Stevano hanya menatap Raisha dan Ryker sekilas, seakan tidak peduli dengan kedekatan mereka berdua. Nathan dan Axel yang sejak tadi mendengar obrolan itu langsung tertawa kecil. "Ryker, kamu tidak kasihan sama Raisha? Lihat tuh, wajahnya udah pucat," ujar Axel sambil menyenggol lengan temannya. Ryker hanya mengangkat bahu. "Aku cuma ingin menghiburnya. Lagipula, ini menarik, kan?" Stevano yang berjalan di depan tiba-tiba berhenti dan menoleh. Matanya menatap Raisha tajam. "Berhenti mengobrol. Kalau mau bergosip, jangan di belakangku." Nada suaranya datar, tapi Raisha bisa merasakan ketidaksukaannya. Dia mengangguk pelan, lalu mempercepat langkahnya menuju kelas. Saat sampai di depan kelas, Stevano langsung masuk tanpa menunggu Raisha. Cewek itu menghela napas panjang sebelum melangkah masuk. Begitu dia duduk di kursinya, tatapan-tatapan penasaran dari murid lain menusuk ke arahnya. "Hei, itu cewek yang dibonceng Stevano tadi!" "Dia siapa? Pacarnya?" "Apa mungkin dia cuma cewek yang dipermainkan Stevano?" Bisikan-bisikan itu terdengar jelas di telinga Raisha, membuatnya semakin canggung. Nathan, yang duduk di meja sebelahnya, menepuk pundaknya pelan. "Jangan diambil hati. Orang-orang di sini memang suka gosip." Raisha hanya tersenyum kecil. Namun, hatinya terasa semakin berat. Ini baru hari pertamanya di sekolah baru, tapi rasanya seperti mimpi buruk. Sedangkan Stevano yang duduk di bangku paling belakang, hanya melirik sekilas ke arah Raisha sebelum kembali sibuk dengan ponselnya. Seolah tidak peduli dengan situasi yang terjadi.Satu minggu berlalu sejak Raisha dan Lander mendarat di Amerika. Dalam rentang waktu itu, keadaan Stevano justru semakin memburuk. Tidak ada seorang pun yang benar-benar memahami apa yang sedang terjadi dengannya. Bahkan Bianca yang selalu menuntut perhatian penuh mulai kehabisan kesabaran karena lelaki itu tampak seperti kehilangan arah.Pagi itu, suasana kediaman Bianca terasa sunyi, namun bukan sunyi yang menenangkan. Ada sesuatu yang menggantung di udara, seperti ketegangan yang tidak terlihat namun cukup kuat untuk membuat siapa pun enggan bersuara keras. Stevano duduk di ruang tamu, memandangi gelas kopinya yang sudah dingin sejak setengah jam lalu. Tatapannya kosong, seolah pikirannya melayang jauh dari tempat itu. Napasnya naik turun pelan, namun tidak pernah stabil.Bianca melangkah masuk dengan sepatu berhak tinggi yang berderap keras di lantai marmer. Gadis itu berdandan rapi, rambut pirangnya disanggul anggun dan bibirnya dilapisi lipstik merah muda yang biasanya mendapat
Udara dingin langsung menyergap wajah Raisha begitu pintu pesawat terbuka. Embusan angin asing itu membuatnya merapatkan jaket yang ia kenakan jaket milik Lander, karena ia tidak punya cukup waktu membawa miliknya sendiri.Sedetik setelah kaki mungilnya menginjak lantai bandara, Raisha menutup mata sejenak, menarik napas panjang. Udara Amerika terasa berbeda. Lebih dingin, lebih tajam… dan entah mengapa, terasa lebih bebas."Welcome to New York," gumam Lander rendah sambil berjalan sedikit di depan.Raisha mengikuti dari belakang. Sejak tadi ia terus menatap sekeliling, lampu-lampu bandara, papan petunjuk digital, wajah-wajah asing yang bergerak cepat. Semuanya terasa seperti mimpi panjang yang belum sepenuhnya ia pahami.Ia melarikan diri.Menghilang.Meninggalkan Stevano.Hatinya kembali berdegup cepat.Raisha tidak menyesal telah pergi… tapi ketakutannya tidak berkurang sedikit pun.Lander menoleh. "Kamu baik-baik saja?"Raisha mengangguk pelan. "Iya, Paman. Hanya… belum terbiasa."
Jam sudah menunjukan pukul dua belas malam ketika Stevano baru saja tiba di apartemennya, pemuda itu mendorong pintu lalu masuk ke dalam apartemen. Saat ia menutup pintu, suasana di apartemen itu sangat sepi. Bi Jumi sudah izin tadi pagi untuk pulang lebih awal karena tidak enak badan, ketika Stevano bertanya di mana Raisha, Bi Jumi menjawab bahwa Raisha sejak tadi pagi belum keluar kamar. Berpikir jika istrinya itu sakit, Stevano hanya menyetujui permintaan Bi Jumi dan melanjutkan perjalanannya menemani Bianca. Ia sama sekali tidak memikirkan istrinya sama sekali, meski seharian tak ada kabar darinya. "Sepi sekali," gumam Stevano. Ia menyalakan lampu apartemen itu, lalu melepas jaket yang sejak tadi ia kenakan. Stevano berjalan menuju dapur dan melirik meja makan yang sudah berisi makanan dingin. "Apa Raisha belum makan?" Stevano membuka tudung saji, dan makanan di sana masih utuh bahkan tidak tersentuh sedikit pun. "Ck, apa dia nungguin aku?" Stevano menutup kembali tudung sa
Stevano menghela napas berat. "Bia, aku mulai lelah. Bisakah kita keluar dari tempat ini?" Bianca menoleh, ia terlihat tidak setuju dengan saran Stevano. Masih banyak barang yang belum ia beli di toko tersebut, Bianca melipat kedua tangannya di depan dada. "Tidak boleh! kita baru sebentar di sini, masa mau pulang?" Bianca berdecak sebal. "Kamu kenapa sih? biasanya juga tidak pernah protes." "Kita sudah dua jam di sini, dan kamu cuma belanja ini itu. Padahal barang-barang kamu yang bagus masih banyak di rumah," kata Stevano. Bianca mendengus jengkel, ia tak mau mengakui ucapan Stevano karena baginya semua barang dengan keluaran terbaru harus di beli, ia tak mau ketinggalan tren yang sedang muncul. "Memang kenapa? Aku hanya mau yang terbaik untuk diriku. Kamu tidak suka jika pacarmu membeli banyak barang mewah?" jawab Bianca sinis sambil mengangkat dagu. Stevano memejamkan mata sejenak, mencoba menahan emosi yang sudah naik ke ubun-ubun. Ia benar-benar lelah. Kedua tangannya
Raisha menarik kopernya keluar kamar, suasana di apartemen itu sangat sepi karena Bi Jumi sedang ke pasar dan itu merupakan kesempatan besar baginya keluar tanpa ketahuan. Awalnya Raisha tak berniat pergi diam-diam, namun setelah pertimbangan yang cukup lama akhirnya ia mengambil keputusan ini. "Aku harus cepat," kata Raisha. Ia buru-buru melanjutkan langkahnya menuju pintu apartemen, sebelum ia menutup pintu itu untuk selamanya Raisha kembali menoleh ke belakang dan menatap ruangan yang sudah ia jadikan saksi hubungannya dengan Stevano. Raisha tersenyum pilu. "Selamat tinggal, Kak," Katanya parau. Pintu tertutup rapat dan Raisha berlari menuju lift yang akan membawanya menuju lantai dasar, selama berada di lift Raisha mencoba mengatur pernapasannya yang mendadak sesak. Perpisahan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya justru terjadi hanya dalam hitungan hari, ia tak sanggup jika terus menerus melihat Stevano dan Bianca bersama sedangkan dirinya masih berstatus sebagai istri
Hari minggu akhirnya tiba, setelah menghabiskan waktu bersama Stevano dalam kebisuan di kamar hotel mewah akhirnya Raisha kembali pada rutinitasnya di apartemen.Saat ini Raisha sedang membereskan buku pelajarannya, ia memasukan buku-buku itu ke dalam lemari. Seperti biasa Stevano sudah pergi dari apartemen itu, jangan tanya ke mana ia pergi karena tujuan satu-satunya adalah Bianca."Sebentar lagi buku-buku bakal berdebu," gumamnya sendu.Tangannya meraih pigura foto pernikahannya dengan Stevano, Raisha mengusap foto itu perlahan lalu tersenyum tipis. "Sebentar lagi kamu bebas, Kak." Raisha menyeka sudut matanya yang berair, setelah seminggu memikirkannya Raisha akhirnya memilih keputusan terberat dalam hidupnya. Keputusan yang akan mengubah seluruh perjalanan hidup dan pernikahannya, ia meletakan kembali pigura itu dan melangkah menuju lemari pakaian. Raisha mengeluarkan koper berwarna hitam yang berukuran sedang, ia meraih pakaian miliknya lalu memasukan ke dalam koper. Pakaiann







