Share

Bab 5. Gadis berdada rata

Arimbi hanya bisa menatap lurus kedepan. Otak wanita itu terus saja memikirkan apa yang akan terjadi dalam hidupnya. Rumah tangga seperti apa yang tengah ia jalani? Berapa lama dia akan bertahan dengan pernikahan ini? Istri ke dua, suami sadomasis. Ah, lengkap sudah penderitaan Arimbi.

Membicarakan kelainan seks ini, Arimbi sudah mencari tahu tentang apa itu sadomasokis, dan itu membuat Arimbi ketakutan hingga kini.

"Kita sudah sampai, Nyonya kecil!" ujar seorang pengawal. Arimbi menarik napas, memenuhi seluruh rongga dadanya, untuk menekan rasa tegang dalam hati.

Arimbi turun dari mobil itu. Berdiri menatap rumah megah yang dua hari lalu sempat membuat gadis itu kagum akan tetapi kini malah membuatnya di landa rasa cemas, ngeri dan takut. Membayangkan bagaiman penghuni rumah ini bertingkah laku. Melebihi kelakuan bintang.

"Hm,hm!" deheman keras seseorang membuat Arimbi berjengit. 

"Apa yang sedang kau rencakan dengan menatap rumah ku? Apa sekarang kau sedang merencanakan untuk membakarnya?" ucap Sagara menatap tajam pada Arimbi. Memindai seluruh tubuh sang isteri. Refleks Arimbi menyilangkan kedua tangan di dada. Ada rasa ngeri saat membayangkan Sagara memukuli seluruh tubuh Arimbi. Rasa sakit itu membuat Arimbi bergidik ngeri.

"Sepertinya ide yang bagus. Bagaimana kalau nanti malam saat kalian semua sedang pulas lalu kubakar rumah ini!?" balas Arimbi. Gadis itu pun heran dengan keberaniannya berkata demikian.

"Coba saja kalau bisa? Kalau kau ingin kehilangan kaki, tangan dan kedua orang tuamu!" lanjut Sagara memberi ancaman pada Arimbi.

Arimbi mengedikkan bahu, dan memutar mata malas. Hal itu sebenarnya ia lakukan untuk menutupi rasa cemasnya.

Rahang Sagara mengeras. Pria itu mendengkus, berjalan mendahului Arimbi yang masih saja terus merutukinya dalam hati. Sebenarnya gadis itu tahu kalau ia berdosa karena sudah memaki-maki Sagara meski hanya dalam hati. Tapi, mau bagaimana lagi pria yang kini jadi suaminya tak hanya sombong, angkuh dan kasar dia juga sakit.

"Huh, bagaimana bisa ada orang seangkuh dan sesombong itu?" rutuk Arimbi. Gadis itu memutuskan untuk masuk ke dalam rumah mengikuti Sagara.

"Ck, kau ... rusa kecil menyusahkan saja!" bentak Felicia begitu Arimbi masuk dalam rumah. "Cepat ganti bajumu dan kita pergi sekarang!" titah Felicia lagi.

"Batalkan! Kita ke butikmu saja, Fel, setelah itu kita pergi makan malam!" tukas Sagara membuat Felicia mengerutkan kening.

"Maksudmu kami pergi ber--samamu? Dengan rusa kecil ini juga? Kita bertiga?" Felicia terlihat tak percaya. Selama hampir tiga tahun menjadi istri siri Sagara tak sekali pun pria itu mau menemaninya belanja atau sekedar makan malam. Dan, tiba-tiba sekarang, dia mengajak makan malam akan tetapi bertiga. "Apakah alasan Sagara rusa kecil itu?" batin Felicia. Netra wanita itu menatap tajam ke arah Sagara.

Sementara Felicia sibuk menebak-nebak alasan di balik ajakan Sagara. Arimbi, wanita itu malah sibuk mengamati wajah dan tubuh Felicia. Arimbi tak dapat menyimpan rasa penasarannya. Dengan memberanikan diri Arimbi pun bertanya pada Felicia.

"Mbak!" panggil Arimbi pada Felicia yang termenung. Tatapan wanita itu fokus pada ponsel tapi sebenarnya pikiran Felicia tengah berkelana entah kemana. Karena tak juga mendapatkan respon dari Felicia, Arimbi memberanikan diri menyentuh bahu wanita itu.

"Mbak, Mbak Felicia!" panggil Arimbi lagi. 

"Ha! Apa?" Felicia tergeragap. Namun, wajah wanita itu seketika masam ketika melihat wajah Arimbi tepat di depannya. Wanita itu memutar mata malas melihat Arimbi tengah mengamatinya. "Katakan apa yang ingin kau tanyakan? Wajah penasaran sangat mengganggu! Tidak enak dilihat!" Arimbi mencebikkan bibirnya mendengar kalimat terakhir Felicia.

"Itu ...!" Arimbi menunjuk wajah Felicia. "Kemana semua luka-luka di wajah dan lengan Mbak Felicia? Kok sudah gak ada! Apa mbak sedang membohongiku? Menakut-nakuti ku kalau Tuan Sagara seorang Sadomasokis?" Arimbi berbisik di telinga Felicia ketika mengatakan kalimat terakhirnya. Bisa habis dia kalau pria galak itu mendengarnya, pikir Arimbi.

Felicia menarik tubuhnya mejauh dari Arimbi. "Kau terlalu banyak bicara. Apa kau tak mendengar apa yang dikatakan oleh Sagara? Kita akan keluar, kebutikku dan makan malam. Sekarang bersiaplah! Kau menggangguku saja!" bentak Felicia geram.

"Ta-pi, Mbak ...!" Arimbi tak jadi melanjutkan ucapannya ketika melihat Felicia menatap dengan aura permusuhan. Arimbi mengembuskan napas kasar. "Saya tak ikut! Capek. Mau tidur!" tandas Arimbi.

"Dan aku tidak menyukai penolakan! Sekarang naik, ganti bajumu! Atau ....!"

"Oke-oke. Aku ikut. Bisanya cuman ngancam aja. Dasar arogan!" rutuk Arimbi. Wanita itu berjalan menuju tangga, namun langkahnya terhalangi Sagara yang berdiri tepat pada arah menuju tangga.

"Minggir!" bentak Arimbi. Dengan mendorong Sagara ke samping. Tapi karena tenaga Sagara lebih kuat, dorongan Arimbi sama sekali tak menggeser Sagara dari sana. Sagara tersenyum mengejek.

"Tubuh kurus kering seperti itu, coba-coba melawan ku, huh! Pikir dulu sebelum bertindak!" ejek Sagara seraya menjitak kening Arimbi. Wanita itu terlihat menggosok-gosok keningnya seolah-olah ingin menghapus bekas tangan Sagara di keningnya. Hal itu sontak membuat Sagara geram. Apa kau kira tanganku kotoran yang harua di bersihkan?" tanya Sagara dengan mata melotot ke arah Arimbi.

"Aku gak bilang lho! Tuan sendiri yang mikir begitu! Sekarang minggiiir, aku mau lewat!" bentak Arimbi, kakinya bergerak menginjak tulang kering Sagara. Membuat pria itu mengaduh kesakitan dengan memegangi kakinya. Kesempatan itu digunakan Arimbi untuk segera lari menuju tangga. Tapi sebelumnya Arimbi menjulurkan lidah, mengejek Sagara.

"Kau ...!" Sagara menunjuk Arimbi dengan wajah merah padam. Tapi istri kecilnya itu hanua tergelak dan terus berlari menuju kamar. Pelan dan samar segaris lengkungan di bibir Sagara. Pria itu tersenyum samar. Hal itu tak luput dari perhatian Felicia. Wanita itu terlihat geram, tangannya mengepal menahan amarah.

"Apa kah kau sudah mulai menyukai rusa kecil itu, Dear?" tanya hati Felicia. Wanita itu kemudian mendekati Sagara, menatapnya lekat dari jarak dekat.

Sagara mengerutkan kening saat Felicia menatap sedemikian rupa. "Apa ada yang ingin kau tanyankan, Fel?" tanyanya. Felicia menggelengkan kepala. "Tidak, tidak ada. Hanya aku merasa sepertinya kau mulai menyukai rusa kecil itu!" Wajah Sagara sedikit terkejut mendengar ucapan Felicia. Namun, pria itu tak membantah atau pun mengiakan ucapan Felicia.

"Benar tebakanku kan? Kau mulai menyukainya?"desak Felicia. Ia ingin sekali mendengar Sagara membantah ucapannya meski pun itu dusta. Karena Felicia mengenal Sagara dengan baik. Diamnya pria itu membuat sudut hati Felicia tiba-tiba memerih. Laksana tertusuk sembilu.

Sementara itu di dalam kamar, Arimbi masih saja bengong di depan cermin. Ia telah berganti pakaian, tapi enggan untuk turun. "Apa tindakanku tadi keterlaluan? Dia tidak akan menghukumku karena hal itu, kan?" tanya Arimbi pada dirinya sendiri. "Bagaimana kalau dia ....!" Arimbi menatap wajahnya di dalam cermin dan tiba-tiba ....

"Cetar!! Hii!" Arimbi bergidik ngeri ketika tiba-tiba bayangan Sagara melecut tubuhnya dengan cambuk melintas di hayalan Arimbi." Tidak-tidak. Kau tak boleh seperti ini terus, Imbi. Kalau kau selalu ketakutan seperti ini lama-lama bisa stress dan itu gak bagus. Masa cantik-cantik stress, sih?" Arimbi terkekeh dengan apa yang tengah ia pikirkan.

Arimbi kemudian menanggalkan pakaiannya. Menarik salah satu gamis dari dalam ransel. Ia tertegun melihat gamis berwarna hijau lumut dengan sentuhan warna merah di bagian pinggang, sulaman warna emas di bagian dada itu, pandangan mata Arimbi mulai mengabur, bulir-bulir bening tiba-tiba jatuh di sudut pipi. Baju itu adalah hasil jahitan sang ibu. Arimbi memang tak pernah membeli satu pun baju gamis semua adalah hasil jahitan sang ibu.

"Bu, Imbi kangen!" bisik Arimbi, wanita itu mendekap gamis itu dan menghidu aromanya. Untuk beberapa saat ia masih saja tersedu hingga suara bel di pintu mengagetkan wanita itu.

Dengan segera Arimbi memakai gamis itu, mengenakan pashmina plisket warna merah maron, menyapukan sedikit lipstik di bibir merekah. Dia tak memperdulikan bel yang ditekan berkali-kali. Menatap wajah yang terlihat sembab di cermin. Sebelum kemudian mengenakan plat shoes warna hijau lumut senada dengan aksen di pinggang gamisnya. Meletakkan tas selempang berukuran kecil berwarna merah di bahu.

Arimbi membuka pintu dengan kasar. Ia ingin melihat pelaku yang menekan bel pintu kamar dengan tak sabaran itu. Wajah Arimbi pias melihat wajah orang itu.

"T-uan!"desis Arimbi. Mendapati Sagara lah yang menekan bel pintu kamar Arimbi. Pria itu menatap lekat ke arah Arimbi. Memindai seluruh tubuh Arimbi mulai ujung kepala sampai kaki. Menyadari kemana arah tatapan Sagara refleks Arimbi menutup dadanya dengan tas.

"Tuan liatin apa?!" bentak Arimbi. Jangan bilang kalau Tuan sedang memikirkan yang tidak-tidak!"tebak Arimbi membuat Sagara mengerutkan kening. "Memikirkan yang tidak-tidak? Seperti apa contohnya?" tanya Sagara.

"Seperti, itu, anu, seperti itu ...! Ah sial kenapa aku jadi gagu dan gugup begini sih?!"gerutu Arimbi yang dapat didengar jelas oleh Sagara. 

"Apa kau pikir aku akan memikirkan sesuatu yang erotik dengan memandang tubuhmu. Aku tak tertarik pada gadis berdada rata sepertimu!" ejek Sagara tersenyum sinis. "Sekarang cepatlah turun, kami sudah hampir lumutan menunggumu!" Sagara kemudian berjalan terlebih dahulu menuruni tangga.

Wajah Arimbi memberengut mendengar ejekan Sagara tentang dadanya yang rata. Tapi sejurus kemudian dia tersenyum lebar. Bahwa pria itu tak tertarik padanya adalah sebuah keberuntungan karena dengan begitu dia tak akan mengalami siksaan oleh Sagara.

"Syukur deh, kalau seperti itu, jadi aku tak merasakan sakit dan takut, karena dia tak tertarik pada ku!" Arimbi bermonolog seorang diri.

.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status