Setuju sih sama Arsen. Mending ngilang aja dulu ya kaan....
Walau lelah, Allice tetap membantu bibi menyiapkan makan malam. Baginya, melayani anak dan suami merupakan asupan energi baginya. Terlebih kalau mereka menyukai apa yang Allice persembahkan pada mereka, termasuk masakan yang disediakan. “Mama!” Anna, si kecil dengan dress rumahan berpita itu datang lebih dulu. “Sayang, Brian sama papa mana?” tanya Allice sembari mengisi empat gelas kosong di meja dengan air putih. “Kak Brian masih nanggung main lego katanya. Paling juga bentar lagi papa gotong ke sini.” Anna sudah nampak lebih tinggi sekarang. Dia duduk dengan mudah di kursi langganannya. Yaitu sebelah kanan kursi tengah milik Arsen. "Mama, tadi Jasmine bilang dia bakal punya adik lho!” ucap Anna dengan wajah ceria, sambil membiarkan Allice mengisi piring dengan nasi dan lauknya. “Oh, ya? Adik kandung? Maksudnya Tante Astri atau adik dari Uncle Hexa?” Allice jadi menghentikan gerakannya menunggu jawaban Anna. Pasalnya Hexa dan Dhea belum menceritakan apapun padanya. “Dari Uncle
Allice duduk dengan tegang di ruang obsgyn rumah sakit tempatnya bekerja. Dia membiarkan teman satu profesinya mengurus hasil dari serangkaian tes yang kembali Allice lakukan. Yaitu mengenai kondisi rahimnya.“Bagaiman Dokter Sesil? Apa hasilnya berbeda dari yang sebelumnya?” tanya Allice dengan wajah gelisah.Dokter wanita itu masih menilai isi kertas yang ada di tangannya. Sampai dia menghela nafas panjang kemudian menggeser hasil tes ke hadapan Allice.“Maaf, Dokter Allice. Hasil tes kali ini menunjukkan kondisi yang serupa dengan sebelumnya. Kehamilan masih akan membawa risiko serius bagi kesehatanmu. Bahkan kondisinya semakin buruk kalau dipaksakan untuk hamil,” ungkap Dokter Sesil.Allice ikut membaca isi beberapa lembar kertas di hadapannya. Raut kecewa tentu terpampang di wajah cantik ibu dua anak itu. “Tapi apakah tidak ada pengobatan lain? Saya ingin memiliki anak lagi, Dok.” Dia kembali menatap dokter di depannya.“Aku paham keinginan kamu, Dokter Allice. Namun, mengingat k
"Kamu yakin akan tinggal di sini?" Dev menatap wanita cantik bergaun sederhana warna tosca di sampingnya ini dengan kedua alis yang saling bertautan. Merasa tidak percaya kalau tempat ini adalah pilihan yang terbaik.Meski sejujurnya kampung kecil yang tergolong sangat terpencil ini berbanding terbalik dengan kehidupan metropolitan, tapi Nadya tetap menganggukkan kepala dengan mantap."Tentu. Kenapa enggak?" Nadya tersenyum penuh keyakinan seakan mengusir kekhawatiran Dev.Laki-laki berkemeja dongker yang setia menemani Nadya ini menghela napas berat. Susah jika seorang perempuan sudah memutuskan, maka tidak ada gunanya berdebat. "Baiklah kalau itu maumu. Aku cuma takut kalau kamu akan kesulitan selama tinggal di desa terpencil seperti ini," ungkap Dev jujur.Sudut bibir Nadya terangkat. Sebelah tangannya menepuk bahu Dev ringan. "Tenang saja. Everything will be okay."Bersamaan dengan itu, seorang pria paruh baya berjaket kulit melangkah ke arah Nadya dan Dev dengan sebuah senyuman
Senyum Nadya memudar. Lengkungan simetri sabit berubah terjun ke bawah. Tak ada lagi keramahan dan hanya tersisa tanda tanya juga tawa kecut. "K-Kamu cuma becanda kan, Dev? Nggak mungkin seorang kamu mencintai ak-" "Kenapa tidak, Nad? Kamu pantas dicintai dan aku bersedia menerima kamu apa adanya karena perasaan aku tulus ke kamu," potong Dev kilat. Lagi-lagi Nadya menggeleng tak percaya. Otak dan pikirannya seolah tidak mampu untuk mencerna kenyataan yang baru saja Dev ungkapkan. Sejak awal, kebaikan Dev diyakini penuh oleh Nadya atas dasar tali pertemanan. Ikatan juga kedekatan yang tercipta semata-mata karena Dev adalah sahabatnya dari kecil. Tidak lebih. Itulah mengapa, hingga detik ini, Nadya tidak pernah mengira kalau Dev menaruh perasaan padanya. Sungguh, dia benar-benar terkejut. Gelengan tegas kembali Nadya layangkan. Kali ini, Nadya ingin bertindak logis. "Tidak, Dev. Jangan sama aku. Kamu itu pria yang baik, cerdas, pengertian, dan mapan. Di luar sana banyak wanita y
Hati gelisah, pikiran bercabang, dan kecemasan yang menerjang kuat, membuat malam ini terasa begitu menyiksa batin Lucetta. Sambil mengigit bibir bawahnya, Lucetta berjalan mondar-mandir. Terhitung sudah lebih dari sepuluh kali memutar langkah, tapi perasaannya belum juga tenang. "Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku tidak mungkin terus-terusan diam saja," gumam Lucetta sembari memutar otak, berusaha mencair solusi.Ya, persoalan yang tadi tentu membuatnya tak bisa memejamkan mata. Tentang ayah mertua juga suaminya yang sudah sepakat untuk mencari keberadaan wanita tidak tahu diri yang diam-diam mengandung darah daging Oscar.Dari tempatnya berdiri, Lucetta menatap langit malam yang begitu kelam. "Jika sampai Daddy ikut membantu mencari jalang murahan itu, posisiku akan terancam.""Tidak. Aku tidak akan membiarkan itu. Tapi apa harus apa?" "Sayang? Kamu bicara dengan siapa?" Oscar masuk ke kamar, menyorot penuh tanya ke arah wanita berambut blonde dengan piyama merah itu.Spont
“Pelan-pelan, Arsen. Sakiit!” Seorang wanita memekik sakit saat tangannya ditarik kasar oleh suaminya. Pria itu bernama Arsenio Mahardika. Tubuh tingginya berbanding terbalik dengan wanita berambut hitam di belakangnya. Telapak kekar Arsen terus saja menarik tangan wanita yang 24 jam lalu resmi menjadi istri keduanya. Kaki mereka masih menginjak rumput di lokasi pemakaman yang becek. Sebab, beberapa menit lalu saat semua meninggalkan tempat peristirahatan terakhir, hujan mulai turun. Hingga wanita yang terseok-seok sejak tadi akhirnya terpeleset dan terjatuh. Arsen menghentikan langkahnya. Netra tajam di balik kacamata hitamnya itu menyorot penuh kebencian pada wanita bernama Allice. “Aku sedang tak ingin bermain drama. Cepat berdiri!” Arsen meraih tangan Allice lagi lalu dia paksa wanita itu untuk berdiri untuk meneruskan langkah mereka. Rasa sakit pun menyengat di pergelangan kaki Allice. “Arsen, kakiku terkilir. Please, berhenti!” Rasa sakit di kaki sekaligus dihatinya memb
LIMA TAHUN KEMUDIAN “Brian! Anna! Sarapannya sudah siap!” Suara teriakan itu khas terdengar setiap pagi. Allice menata meja makannya. Rambut panjangnya dia gelung. Apron juga belum sempat dia lepas. Meski begitu, wajahnya tetap bersinar dan cantik tanpa make up sekalipun. Lima tahun berlalu, hampir lima tahun pula Allice memiliki sepasang anak kembar laki-laki dan perempuan, anak dari Arsenio Mahardika. Lelaki yang masih menjadi suaminya saat ini. Ya, setelah dia melahirkan tanpa didampingi Arsen. Bertarung nyawa sendirian di ruang bersalin. Allice pikir, dia bisa terlepas dari pria yang pernah berkata akan menceraiakannya setelah memberikan anak. Tapi nyatanya, sampai detik ini, Arsen masih menjeratnya begitu erat dengan status istri sekaligus pembunuh. Kehadiran dua bayi lucu itu di rumah megah sang CEO sama sekali tak merubah sifat dan sikap dingin Arsen terhadap Allice. Meski begitu, Brian dan Brianna adalah satu-satunya alasan Allice bertahan dalam nerakanya Arsen. “Aduh,
“Arsen.” Allice langsung berdiri sebagai tanda dia meminta penjelasan. Rupanya bukan hanya Allice, dua anak disana pun ikut terkejut dengan suasana ini. “Papa, siapa dia?” tanya Brian dengan pipi masih mengembung isi makanan. Dahinya mengernyit melihat kedua orang dewasa di depannya bertingkah "aneh". Anak itu memperhatikan sosok wanita muda dengan pakaian sedikit seksi berdiri merangkul lengan Arsen. “Terus, kenapa pegang-pegang papa begitu? Kalau di film yang aku lihat. Hanya papa dan mama yang boleh begitu,” lanjutnya. Menyadari posisinya, Arsen pun langsung melepas tangan Nadya. Seketika, keduanya kikuk di hadapan anak berusia lima tahun itu. Jika yang memprotes adalah Allice sudah pasti Arsen tak peduli. Tapi ini dari anaknya sendiri. Sedangkan nama baik seorang ayah tentu harus dia pertahankan di depan kedua anaknya. “Anna ... Brian .... Ini adalah Tante Nadya,” jawab Arsen seraya tersenyum canggung. Merasa disebut namanya, Nadya pun melambaikan tangan dengan anggunnya pa