"Kenapa lagi sih Samira? Kenapa kamu masih nangis saja? Barusan kan sudah makan? Kamu masih lapar?!! " Davino menatap Samira dengan tatapan kesalnya.Samira menggeleng tapi isak tangisnya masih terdengar. Padahal sudah makan banyak tapi tetap saja dia masih menangis. Begitu batin Davino."Tolong ya,, sudahi nangis mu itu Mir. Saya harus istirahat, besok harus kerja lagi. Kalau kamu nangis terus, kualitas tidur saya jadi terganggu Samira! " Haduh, lagi-lagi Davino merasa heran dengan Samira yang hobi nya menangis tidak jelas itu. Ini kan sudah malam. Harusnya kalau tidak bisa menyenangkan suami ya tidur saja, jangan nambah cenat cenut di kepalanya."Aku kangen mamah papah.. Hiksss. " Kata Samira persis anak kecil sambil memeluk bantal dan melihat foto kedua orang tuanya di ponsel miliknya."Astaga! Kalau gak bisa jauh dari orang tua kenapa milih kuliah di Jerman? ""Tapi itu juga cita cita aku… hikss… ""
"Berkas yang aku minta kemarin sudah kamu siapin belum Ra? " Tanya seseorang bernama Raja.Raja memiliki paras tampan dengan kulit putih dan kemerahan. Terdapat freckles di bagian pipinya menghiasi ketampanannya. Giginya rapih dengan senyumnya yang manis. Usianya sekitar tiga tahun di atas Samira, tepatnya 21 tahun.
"Kak, emang kakak gak ada kelas apa? sampai ajak aku keliling kampus gini? " Tanya Samira mengekor di belakang tubuh Raja. Hari ini tiba-tiba tanpa sebuah pesan. Raja menjemput gadis cantik itu. Katanya, ia ingin memperkenalkan setiap sudut kampus pada Samira. Berhubung Samira belum di sibukkan dengan kegiatan mahasiswa baru, jadi ini waktu yang tepat untuk Samira meluangkan waktunya. "Kelasku besok, hari ini kosong. Tapi besok langsung full. " Jawab Raja. "Fakultas kedokteran ada di lantai 7." Kata Raja sambil menekan angka 7 di dalam lift. Ting! Samira hanya menjadi buntut dan pendengar yang baik. Tidak perlu banyak tanya karena Raja sudah menjelaskan dengan detail setiap sudut di sana. Raja sangat cocok menjadi tour guide. Bahasanya cukup jelas dan mudah di mengerti. Apalagi dia sangat asik di ajak berbincang, menurut Samira. Pembawaan Raja sangat friendly, membuat rasa sungkan itu memudar dengan perlahan, nampaknya Samira sudah mulai bisa mengakrabkan diri dengan Raja. "Nah
Bibir ranum itu terngiang-ngiang dalam benak Davino. Iya, bibir Samira, yang teramat menggoda apalagi saat dipandang ketika istrinya sudah terlelap. Karena hanya saat itu, Davino bisa menatap Samira semaunya. Harus Davino akui, jika istrinya memiliki paras yang cantik dan aduhai. Tubuhnya terbilang pas dengan tinggi 163 cm, dengan buah dada yang ditaksir berisi dan sekal dibalik piyama tidurnya. Apalagi bagian pinggul yang terlihat seperti gitar Spanyol. Ada rasa ingin meraba dan mengelus setiap lekukan di sana, namun untuk saat ini bisa memandang Samira sebebas ini saja rasanya sudah cukup. Jika Davino memaksakan kehendaknya, bisa habis dia dihajar gadis kecil itu. Bukan kecil fisiknya, tapi fikiran nya yang terbilang masih seperti anak kecil jika dibandingkan dengan Davino yang sudah matang di usia kepala tiga. Meski teramat menguji iman suami, namun Davino tetap menahan sampai waktu itu tiba. Daun muda memang lebih segar dan menggiurkan kan? Batin Davino dengan senyuman mesemnya
"Oh aku mengerti, ini soal harga diri bukan perasaan. Yakan? " Kata Samira tajam. "Lalu apalagi? Kan kamu sendiri yang bilang kalau kita tidak saling cinta! "Degghhh, Samira seperti terkena pukulan dari lidah nya sendiri. "Oke! Kalau begitu sepertinya akan ada perceraian nanti, cepat atau lambat! " Samira menatap tajam Davino. Sementara mata Davino menatapnya nyalang memancarkan aura kemarahannya. Dia sangat tidak suka jika Samira membawa kata cerai dalam pernikahan mereka. Bukan karena sudah mencintai, tapi agaknya itu sangat tidak pantas di ucapkan pada usia pernikahan yang baru seumur jagung. "Jaga ucapanmu Samira! ""Kenapa? Kita tidak saling mencintai bukan? Jadi hubungan ini tidak perlu seserius itu kan Om?!""Ini bukan masalah cinta Samira! Kita sudah membangun ikatan resmi. Tidak bisa kamu bertindak semaumu! "~~~~~~~~~~~~~"Suntuk banget? " Raja memperhatikan raut Samira yang tidak seperti biasanya. Wanita itu lebih banyak diam dari biasanya. Sesekali Samira tertangkap
Davino mencoba menerima penolakan istrinya dengan lapang, dia tidak boleh menyerah begitu saja. Samira pasti bisa ia luluhkan. Bukankah begitu hakikatnya? Perempuan hanya butuh di luluhkan agar bisa tunduk dan menurut, mungkin begitu juga dengan Samira. Davino hanya harus lebih bisa bersabar untuk bisa mendapatkan istrinya seutuhnya. "Samira, saya tau kamu belum tidur. " Davino memandang lamat tubuh Samira yang membelakangi nya. Jauh di ujung ranjang, seolah jarak memang sengaja di bentang oleh istrinya, Samira memang tidak ingin berdekatan dengan dirinya. Ada rasa ngilu di hatinya saat Davino menerka semuanya. Samira masih diam tidak menjawab, meski sebenarnya dia mendengar ucapan suaminya. Entah apa yang di fikirkan Samira sampai membuat space dalam hubungan mereka. Tidak bohong, tubuh Samira yang dipandangi dari belakang benar-benar menggugah selera Davino. Lekukan tubuhnya begitu jelas dipandangi. Pinggul nya
POV Samira"AHH AHH AHHHH.. ""AKHHHH ARGHH!!!... ""OHH SHIT!!! OUGHHH?? "Samar-samar aku mendengar sesuatu begitu nyata sampai mengusik tidurku. Semakin lama desahan itu semakin nyata, dan semakin membuat tidurku jadi terganggu. Ku beranikan untuk membuka mataku meski rasanya begitu berat. Entah suara darimana itu namun hatiku begitu takut saat telingaku semakin jelas mendengar itu semua. Ternyata bukan suara samar, itu Terdengar begitu jelas ketika mataku sudah terbuka dan nyawaku sudah terkumpul. Astaga! Kemana Om Davino? Hatiku mulai berdetak kencang, fikiranku berkelana tak karuan sementara suara itu masih terdengar sangat nyata. Apa jangan jangan itu suara Om Davino? Tapi dia kenapa? Jujur saja, aku begitu panik karena overthinking. Aku takut ada orang yang jahat yang sedang melukai Om Davino di dalam kamar mandi. Ya! Suara i
Sepersekian detik, Om Davino mengangguk seolah memberi keyakinan untukku. Dengan naluri, aku menggerakan jariku. Ibu jariku tergerak untuk mengelus pelan ujung kepala jamur yang jadi tempat pembuangan air seni itu. "Ahh.. Ayo sayang.. "Belum apa-apa, tapi Om Davino sudah menggigit bibir bawahnya. Matanya benar-benar terlihat begitu bergelora. Kemudian genggamanku mulai turun ke bawah, dan naik lagi keatas, begitu terus berulang-ulang dengan perlahan dan lembut. Memberikan rangsangan, pijatan dan kehangatan disana. "Arghhh.. Enak sayang.. Tanganmu hangat. Pijitan kamu enak Samira. " Puji Om Davino dengan suara seraknya. Blushhhh… Pipiku terasa hangat ketika mendengar pujian itu. Pujian yang mengapresiasi kehebatan ku yang baru saja ku temui. Melihat Om Davino mengarahkan ke atas sambil terus mengerang membuatku semakin bersemangat terus memanjakan senjatanya dengan kedua