Kesadaran Kael berangsur kembali. Nyeri di tengkuk masih terasa, sementara Ezra menindih tangannya yang terikat ke belakang. Punggung mereka saling berhimpitan, sementara Kira masih mendebat sikap Nick yang sudah keluar dari rencana.“Taruhannya nyawa kita!” sentak Kira, sambil menyibak kasar rambutnya ke belakang.“Tidak jika kita habisi dulu nyawa mereka semua.” Nick terdengar santai, kontras dengan Kira yang meledak-ledak.“Semua? Pria berambut hitam itu bagian dari kita juga, kan?” Kira melirik sekilas ke arah Ezra. “Kau juga mau membunuhnya?”“Bos bilang bunuh semua yang ada di rumah ini. Dia ada di sini, berarti dia juga termasuk target.” Nick kembali mengikat tali di pergelangan tangan Aurora.Kira menghela napas, lalu berjongkok di hadapan Aurora yang kehilangan kesadarannya. “Harusnya kau menurut sejak ancaman pertama dikirim. Sekarang kau harus menanggung risikonya, Princess.”Rahang Kael mengetat saat mendengar ucapan Kira. Dadanya bergemuruh, tak tahan dengan ocehan sampah
Membutuhkan beberapa saat bagi Aurora untuk memutuskan keluar kamar. Meskipun sebenarnya ada perasaan enggan untuk melihat wajah Kael, tapi pria itu pasti butuh masuk kamar untuk menyiapkan diri sebelum berangkat kerja.Bunyi klek pelan terdengar ketika Aurora memutar kunci. Hening. Tak ada suara sama sekali ketika ia melangkah. Sofa yang seharusnya menjadi tempat tidur Kael pun kosong. Kemana pria itu? Apa mungkin pria itu berada di ruang kerjanya?Penasaran, langkah Aurora mendekat pada ruangan yang selalu tertutup itu. Namun pagi ini pintunya terbuka sedikit—tidak biasanya. Tangan wanita itu meraih gagang pintu tanpa banyak berpikir, namun napasnya tertahan saat menatap hal yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.“Kael?” Suara Aurora bergetar, berhasil membuat Kael menoleh cepat, wajahnya terlihat panik. Sementara Celeste yang menindih pria itu menyeringai puas ketika Aurora membelalak di ambang pintu. “Apa yang kalian lakukan?” Suara Aurora pecah, terdengar penuh luka.Lengan K
Hanya karena pria memiliki insting berburu, bukan berarti ia bebas memburu siapa pun dan menerkamnya, kan? Ada aturan dan norma dalam sebuah hubungan—setidaknya bagi Aurora. Bercinta tanpa cinta, bagaimana bisa Kael melakukannya?Pria itu tak mengejarnya. Cukup mengecewakan, tapi juga melegakan. Saat ini Aurora tak ingin menatap wajahnya. Bayangan Kael dan Celeste sedang bergelut di atas kasur, membuatnya murka. Bagaimana pria itu mengecup, mengecap, dan menghentak. Oh, shit! Aurora tak sanggup membayangkannya.“Rora?”Aurora buru-buru menghapus air matanya. “Kau kah itu?” Ezra mendekat, menyusuri dermaga kayu menuju tepi danau—tempat Aurora dan Kael menikmati sunset waktu itu.Tak ada jawaban, hanya dehaman pelan untuk menyamarkan suara yang serak setelah terisak.“Benar kau,” ucap Ezra, lalu duduk di sebelah Aurora. “Sedang apa di sini? Ada masalah dengan Kael? Aku mendengar kalian saling teriak.”Desah frustrasi menjadi jawaban pertama yang lolos dari bibir Aurora. Tangannya salin
Tak ada sentuhan malam ini. Aurora meringkuk di balik selimut dengan pikiran liarnya tentang hubungan Kael dan Celeste waktu itu. Tak mungkin mereka hanya saling duduk berhadapan. Mantan tunangan seperti Celeste, jelas Kael pun akan tergoda meskipun tanpa cinta.Ia kembali mengingat bagaimana Kael berbicara dengan Celeste saat mereka menghadiri acara gala di Mirador Heights. Lembut, dengan tatapan yang sejauh itu tak pernah ia dapatkan. Bahkan Kael tak menepis tangan Celeste. “Jelas bohong kalau mereka tidak pernah melakukannya,” dengusnya.Hening.Kael belum keluar dari ruang kerjanya. Entah apa yang dilakukan di sana, mungkin benar sedang menghindarinya. Sial. Baru sehari Celeste masuk ke kehidupan mereka, bahkan tak saling bertatap tapi telah berhasil mengubah situasi. Tak pernah sedetik pun Kael meninggalkan malamnya sejak mereka saling mengungkap perasaan. Namun sekarang?Semakin memikirkannya, semakin rasanya ingin berteriak. Aurora sampai mencengkeram erat ujung selimut yang
Cukup sulit untuk menjaga emosi—terutama ekspresi wajah—ketika Kael menatap Ezra. Semua detail yang ada di dalam dokumen tadi masih tercetak jelas dalam pikirannya. Ezeriah Roux, mungkinkah betul Ezra?Dari foto memang sama. Namun Kael tak menutup mata dengan wajah beberapa orang yang terkadang mirip. Lebih dari itu, sebenarnya ia merasa takut membuat Aurora kecewa. Hal itu membuatnya menjadi lebih berhati-hati dalam mengambil langkah.“Jangan bilang kau mulai menyukaiku.” Ezra menyeringai, sadar dengan sorot tajam Kael yang tak lepas darinya sejak duduk di meja makan, lima menit yang lalu.Jika bukan karena Aurora yang saat ini tengah menatapnya—memastikan tidak ada pertengkaran—pasti pisau steak di genggaman kanannya telah dilempar ke arah kening pria itu.Namun detik berikutnya, ucapan Luther tadi siang kembali terngiang. Ada hal lebih penting yang harus ia lakukan saat ini selain menargetkan lubang kecil di kening pria itu. Dengan terpaksa, sudut-sudut bibirnya tertarik kaku. “Sek
“Bekas luka apa ini?” Celeste menyentuh kulit punggung Ezra—satu garis miring—seperti bekas koyakan.Ezra menoleh, sampai mampu menatap ujung pundaknya. “Kau mulai tertarik padaku?”Satu dorongan kuat dari tangan Celeste pada pundak Ezra membuat pria itu mengaduh kesakitan. “Perasaanmu digadaikan, ya?!” protes Ezra sinis, masih sedikit membungkuk karena nyeri pada tangannya yang masih dibungkus gips.Celeste meraih kaus yang telah diambil dari lemari Ezra. “Jangan menggodaku, atau itu yang akan kau dapatkan dariku.” Ezra mendengus, tak ada niatan untuk memperpanjang perdebatan. Tangannya terangkat pelan, memberikan ruang untuk Celesta yang berhati-hati agar tak menyentuh area sensitif tangan Ezra yang patah.“Ok, selesai.” Celeste menghela napasnya. “Maaf karena aku bertanya tentang bekas lukamu. Aku hanya tidak bisa menahan rasa penasaranku.”Celeste memahami jika luka seseorang pasti memiliki sejarah. Setelah Ezra hanya membalas ucapannya dengan dengusan, ia kembali merasa bersalah