Sementara Kael dan Luther berusaha menjauhkan Aurora dari kekacauan, di tempat lain, seorang pria terengah dalam ruangan gelap tanpa penerangan. Cahaya malam yang menyusup melalui celah angin-angin menjadi satu-satunya yang mampu menampilkan lekuk samar wajahnya yang kini penuh memar dan lelehan merah pekat di pelipis, menjejak kental, menyebar bau anyir tipis.Napas terengah dan geraman menjadi suara yang mendominasi. Kali ini disertai dengan suara retakan nyaring dari rahang yang dihantam buku jari milik Bastien Vireaux. Sudut bibir pria itu pecah—darah menciprat, memercik para bidang kosong di tembok yang menghimpit.“Mereka… tahu ka-kau pelakunya… Tuan,” sengal pria itu. Rambutnya basah terkena peluh, menutup semua sisi wajahnya yang tertunduk.“Dan kau yang akan menanggung akibatnya karena pekerjaanmu yang tidak becus!” Pukulan demi pukulan semakin agresif. Pria muda itu tak lagi memiliki tenaga untuk berontak atau hanya sekedar meminta ampun. Kebas di tiap pukulan telah menggant
Luther tidak berbohong dengan senja yang tidak seharusnya dilewatkan di halaman belakang villa tua peninggalan keluarganya. Semburat jingga dengan gradasi ungu pekat dan merah muda menyebar serentak—seakan sedang berada di dunia lain.“Aku tidak pernah menyangka Vallmont memiliki senja yang nyaris tanpa cela.” Mata Aurora tak lepas dari gradasi langit yang terus berubah sepersekian detiknya.Di sebelahnya, Kael duduk di kursi santai yang sama dengan Aurora. Tangan kanannya memegang cangkir kopi dan menyesapnya pelan. Hanya kopi sachet karena villa ini tidak memiliki mesin kopi canggih seperti di penthouse—tapi lucunya—rasanya terasa lebih nikmat.“Bisa d
“Aku tak pernah tahu kau memiliki tempat seperti ini.” Langkah Aurora pelan, sedikit gelisah ketika menjejakkan kaki di halaman basah yang penuh dengan rumput liar. Kakinya bahkan sampai berjinjit beberapa kali untuk menghindari genangan air. Kael di depannya tampak tak terpengaruh dengan hal itu, seakan ia telah seringkali datang ke tempat ini.“Aku tak pernah memilikinya.” Kael mendorong pintu kayu dengan banyak goresan di bagian bawah. Entah apa yang telah terjadi sebelumnya, sedangkan cat di bagian atas telah sedikit mengelupas. “Dan aku baru sekali ini datang ke tempat ini.”“Lalu?” Aurora mengerutkan kening, masih mengikuti Kael dengan penuh pertanyaan. “Kau menerobos masuk begitu saja? Aku tidak tahu kau memiliki attitude yang jelek, Husband.”Kael menyibak kain putih yang menutup seluruh perabot di dalam. Cukup mengejutkan ketika situasi di dalam lebih terlihat… manusiawi. “Dan aku sudah menyangka jika kau selalu protes dengan semua hal yang baru kau hadapi, My Dear.”Dengusa
“Kau harus siap menanggungnya jika benar-benar menginginkanku.” Dalam, suara Kael mengunci logika Aurora dengan penuh kesadaran.Deru napas yang semakin cepat, seakan menjadi jawaban. Aurora tak menjawab, hanya menggigit bibir bawahnya—menatap Kael dalam.Saat rengkuhan Kael semakin rapat, tak ada lagi kesempatan untuk mundur. Ketika Aurora telah membuka jalan menuju hal terdalam pada dirinya, saat itulah ia jatuh ke dasar pesona Kael tanpa perlu dipaksa.Sesapan menyentuh bibir Aurora perlahan—lembut, basah. Semua hal yang beberapa terakhir ini mereka tahan, saat ini tak ada sekat yang perlu dipertahankan. Kael menarik tubuh Aurora, menggulingnya perlahan sampai berganti posisi.Dalam sekejap, Aurora telah duduk di atas pria dengan sejuta rahasia itu. Sesapan yang sempat terputus, kembali disambar menjadi lumatan penuh desah. Tubuh mereka tak berjarak, kulit yang telah polos bersentuh—dipenuhi desiran tak tertahankan.“Kau tak bisa lari dariku setelah ini,” geram Kael rendah.Erangan
Gila…Ini benar-benar gila!Aurora membeku, hampir tak mampu menggerakkan persendiannya. Matanya bergetar, ia yakin putihnya telah memerah. Sementara Kael menatapnya ragu, gerakan tangannya terlalu canggung untuk berusaha meraih lengan kecil Aurora.“Berarti kau terlambat karena berusaha menyelamatkan nyawaku?” Kael mengangkat sebelah alisnya. Sejujurnya, pertanyaan itu bukanlah kalimat yang ia bayangkan. Namun kepalanya mengangguk tipis—tanpa berani memberi penjelasan lagi. Ekspresi Aurora saat itu teramat sayang untuk dilewatkan. Wanita itu bahkan tertawa dan mengernyit dalam satu waktu.“Dan aku marah padamu hanya karena perutku yang tak tahu malu?” gumam Aurora lagi, kali ini lebih ke dirinya sendiri.“Well… perut lapar memang menyebalkan. Aku bisa memahaminya.” Kael memiringkan wajahnya, terkejut karena menyadari bahwa ia mulai memiliki selera humor.Aurora kembali diam. Tangannya masih mengepal erat, lalu terduduk lemas di sofa. Kali ini Kael bertindak cepat. Ia berlutut di had
“Pastikan bawa air minum? Hah!” Aurora menghempas tubuhnya kasar ke atas kasur. Tangannya masih membawa semangkuk lasagna, dan ia tak ada rencana untuk berbagi dengan pria itu. Ia telah main-main dengan wanita yang kelaparan, dan itu tandanya benar-benar menabuh genderang perang.Yah… si paling berlebihan. Aurora selalu saja begitu jika ia sedang kelaparan. Seakan rasionalisnya hanya sebatas lambung terisi penuh.Suapan besar langsung mengisi penuh mulutnya. Dua suap… tiga suap… sampai sepuluh suap ia baru sadar jika sikapnya benar-benar menyedihkan. Marah hanya karena Kael tidak menganggap perkataannya sebuah janji adalah… memalukan. Dan semuanya sudah terlanjur. Kini ia terlihat menggelikan di mata pria angkuh itu.“Bodoh!” Aurora menepuk jidatnya sendiri, lalu kembali menyuap lasagna sambil terus meratapi kecerobohannya. Tidak seharusnya ia menunjukkan sikap kekanakannya pada pria itu.Ketukan pintu membuatnya terlonjak pelan. Dari balik pintu, Kael kini memanggilnya pelan.“Ror