"Papa!" Samudra urung membalikkan badan saat suara putrinya memanggil.
"Sini masuk! Lihat Mama menguncir rambut cantik! Bagus nggak, Pa?" Gadis kecil itu meminta pendapat papanya atas penampilan barunya."Iya, bagus. Cantika selalu cantik dalam kondisi apapun," jawab Samudra datar."Kalau Mama cantik nggak, Pa?"Spontan sepasang pengantin baru itu saling tatap.***"Kalau Mama cantik nggak, Pa?" tanya Cantika dengan mata berbinar-binar.Samudra melirik Kiara sekilas, laluengelus puncak kepala sang buah hati."Mama masih kalah cantik dengan putri Papa. Karena putri Papa ini nggak ada tandingannya," jawab Samudra lembut.Berbeda sekali ketika berbicara dengan orang lain, termasuk Kiara. Samudra akan menunjukkan sisi lain yang berbeda pada putri semata wayangnya. Tak ada sakit hati pada diri Kiara karena dia tahu bahwa Samudra mengatakan itu untuk menyenangkan hati putrinya. Dirinya pun tak merasa kecewa dikatakan kalah cantik dengan bocah yang kini menjadi putri sambungnya itu karena pada dasarnya Kiara tidak pernah gila pujian.Sarapan pagi kali ini terasa lebih hidup dari biasanya. Celotehan Cantika mewarnai pagi itu. Mau tak mau semua orang ikut tersenyum mendengarnya."Papa, nanti hari Minggu kita jalan-jalan bertiga ke Dufan ya? Cantika ingin merasakan ke Dufan sama Mama dan Papa seperti teman-teman Cantika yang lain."Permintaan gadis itu sangat sederhana sebenarnya. Namun sangat sulit untuk dikabulkan oleh Samudra mengingat hari Minggu sudah memiliki janji dengan seseorang."Berdua saja sama Mama, ya? Papa nggak bisa," ujar Samudra.Seketika wajah Cantika berubah muram. Bibirnya mengerucut dengan mata berkaca-kaca. Kiara langsung memeluk putri sambungnya dengan kasih sayang."Nggak papa, Sayang. Kita pergi berdua saja. Kita puas-puasin naik wahana yang ada di sana, gimana?" bujuk Kiara.Sengaja dia melakukan itu karena dirinya juga belum siap pergi dengan suaminya. Entah mengapa mengetahui kalau suaminya tidak menginginkan pernikahan ini sungguhan, hatinya terasa sakit. Sebisa mungkin Kiara membangun benteng yang tinggi agar tidak jatuh cinta pada pria dingin itu.Selesai sarapan, Samudra mengantar Kiara dan Cantika ke sekolah. Seperti permintaannya kemarin, hari ini Kiara mendampingi Cantika lomba. Semalam dia juga sudah izin pada kepala sekolah tempatnya mengajar kalau hati ini tidak bisa masuk karena ada kepentingan mendesak.Memang Kiara tidak mengatakan kalau dirinya sudah menikah karena menurutnya tidak perlu. Toh pernikahannya baru nikah siri saja. Prosesnya yang mendadak tidak sempat mengurus surat-surat ke KUA. Samudra menjanjikan akan mengurusnya nanti dan Kiara harap lelaki itu tidak lupa.Meskipun pernikahan ini tidak diharapkan, tapi baginya tidak ada pernikahan main-main. Prinsipnya menikah hanya sekali seumur hidup.Sepanjang jalan menuju sekolah, Cantika tampak ceria. Wajahnya berseri-seri. Sesekali dia menyanyi lalu mengomentari apapun yang dia lihat di jalan. Hanya suara bocah itu yang mendominasi dan sesekali Kiara menanggapi."Sudah sampai!" ucap Samudra datar.Kiara langsung membuka pintu samping tanpa menunggu lelaki itu turun dan membukakannya. Wanita itu sadar diri kalau keberadaannya hanya untuk melengkapi keluarga kecil yang tumpang karena ditinggal salah satu orang penting dalam hidup mereka. Ya, Kiara hanya sebagai pengganti mama Cantika yang lebih dulu meninggalkan keluarga kecil itu."Yuk, Ma!" Cantika menarik tangan Kiara menuju ke kelasnya yang tampak sudah ramai dari luar. Di teras juga ada beberapa ibu-ibu yang masih berbincang.Samudra hanya memandang kepergian Cantika dan Kiara dari dalam mobil. Tidak ada niatan lelaki itu untuk sekadar turun dan mengantar sampai depan kelas. Baginya, kebahagiaan sang buah hati yang nomor satu. Dan kini ia melihat kebahagiaan putri kecilnya itu sudah menyertai sehingga ia merasa tidak perlu terlalu dalam ikut terlibat lagi dalam mengasuh Cantika.Ya, sejak saat ini, ia menyerahkan kebahagiaan putrinya pada wanita yang telah ia nikahi itu."Eh, Cantika sama siapa ini?" sapa seseibu dengan dandanan maksimal."Mama! Ini mamaku!" jawab Cantika ceria.Akibat ucapannya yang lantang itu, semua yang ada di sana langsung menatap bocah dengan rambut dikucir dan berhias pita warna pink itu. Ada yang menatap Kiara dengan tatapan kagum ada juga yang menatapnya dengan tatapan sinis."Kamu sudah punya mama? Beneran ini mama kamu? Bukan pengasuhmu?" Entah apa yang ada dalam pikiran seseibu tersebut. Kenapa begitu tega mengatakan hal itu pada Cantika.Kiara sendiriasih terdiam sambil mengulas senyum tipis. Membaca situasi sebelum bertindak."Ini mamaku! Tadi malam Mama baru aja menikah dengan papan. Iya kan, Ma?" Cantika meminta dukungan pada mamanya.Sementara orang yang barusan berbicara menatap Kiara tak suka. Lalu tatapannya memindai penampilan Kiara dari ujung kepala hingga ke ujung kaki dan kembali lagi ke ujung kepala seolah-olah sedang menilai."Kok bisa sih, Pak Sam yang ganteng maksimal itu menikah dengan wanita model begini? Nggak ada menarik-menariknya sama sekali," gumam wanita itu.Sejak tadi wanita yang memakai pakaian glamour dengan make up tebal itu menatap Kiara tak suka. Sementara ibu-ibu yang lain hanya diam menyaksikan mereka.Dalam hati Kiara terus mengucap istighfar agar tidak meladeni mulut pedasnya. Bagaimanapun dia ke sini untuk Cantika. Dia tak mau merusak kebahagiaan putrinya dengan meladeni wanita itu."Ya bisalah, mamaku kan baik!" Cantika memasang badan untuk membela mama sambungnya. Keberanian gadis kecil itu mendadak naik berkali-kali lipat.Jika sebelumnya dia hanya diam saja saat di-bully karena tidak memiliki ibu, sekarang dengan adanya Kiara, gadis kecil itu menjadi lebih berani. Nampak sekali dia tengah membanggakan Kiara sebagai ibunya.Tak berapa lama terdengar pengumuman bahwa acara lomba ibu dan anak akan segera dimulai. Semua peserta lomba diminta untuk berkumpu di aula."Yang sabar ya, Mbak. Bu Heni memang begitu. Dia sudah lama sekali naksir sama Pak Sam, tapi tidak pernah digubris. Mungkin dia cemburu karena Mbak ...?""Kiara. Panggil saja Kiara," potong Kiara."Ya, Mbak Kiara. Bahkan setiap hari Bu Heni akan dandan seperti itu untuk menarik perhatian Pak Sam. Sayangnya Pak Sam memang tidak tertarik padanya. Siapa juga yang mau sama wanita model begitu?" bisik wanita itu lagi.Saat ini Kiara duduk berdampingan dengan wanita yang terlihat lebih ramah dibanding ibu-ibu lainnya. Penampilannya juga sederhana dan tidak neko-neko. Sepertinya Kiara cocok berteman dengannya nanti."Kenalkan, saya Yulia," wanita itu mengulurkan tangan kembali mengulas senyum.Kiara menerima uluran itu dan tersenyum ramah. Di depan tampak seorang MC tengah membuka acara. Untuk sesaat fokus mereka teralihkan."Mbak Kiara berarti pengantin baru dong!" Tiba-tiba Yulia kembali berbisik.Kiara hanya menanggapi dengan mengangguk serasa tersenyum."Wah, masih anget-angetnya ini. Gimana, Pak Sam pasti hot banget ya? Lihat postur tubuhnya, pasti hot." Yulia tersenyum sembari mengedipkan mata.Kiara hanya tersenyum kikuk. Tidak tahu harus menanggapi seperti apa karena semalam terlewat begitu saja. Bahkan hingga pagi, lelaki itu masih datar-datar saja."Tukeran nomor HP yuk! Kayaknya kita bakalan cocok!" Yulia menyodorkan ponselnya pada Kiara.Meski agak ragu, wanita berhijab itu tetap menuliskan nomor di ponsel Yulia lalu mengembalikannya."Aku Miss call, ya?""Iya."Kiara mengambil ponselnya dari dalam tas. Lalu membuka kunci dengan pola yang sudah dia setting. Saat itulah sebuah pesan masuk dari nomor asing."Nanti saya nggak bisa jemput. Pulangnya naik taksi saja! Saya juga sudah transfer uang bulanan buatmu. Terserah mau digunakan buat apa saja. Kalau untuk kebutuhan dapur sudah diatur Mama!"Tak berselang lama notifikasi M-banking berbunyi. Kiara membukanya dan seketika kedua matanya membelalak.Sudah sebulan sejak ingatan Kiara pulih sepenuhnya. Rumah kembali terasa hangat, dipenuhi canda tawa dan kisah-kisah baru yang terus mereka rajut setiap hari. Meski rutinitas mulai kembali seperti semula—Samudra ke kantor, Cantika ke sekolah, dan Kiara mulai menulis kembali—ada satu hal yang membuat segalanya lebih istimewa.Pagi itu, Samudra pulang lebih awal dari biasanya. Ia membawa sekotak roti hangat dan segelas jus jeruk, seperti yang biasa diminta Kiara sejak pagi-pagi belakangan ini.“Kamu bangun pagi, langsung ke dapur?” tanya Kiara, duduk di teras belakang sambil mengelus perutnya yang mulai membuncit.Samudra duduk di sebelahnya dan mencium kening istrinya. “Khusus buat mama dari dua bayi kecil ini,” jawabnya sambil meletakkan tangan di atas perut Kiara.Kiara tertawa lembut. “Masih nggak nyangka bakal hamil anak kembar...”“Aku juga.” Samudra menatapnya penuh rasa syukur. “Tapi rasanya seperti hadiah dari Tuhan setelah semua yang kita lewati.”Kia
Langit pagi bersih. Udara segar menyapa dari celah-celah jendela saat Kiara duduk di kursi roda, mengenakan gamis cream longgar dan kerudung instan yang nyaman. Wajahnya masih pucat, tapi matanya lebih hidup dari sebelumnya. Di belakangnya, Samudra berjalan perlahan, mendorong kursi roda itu menuju mobil yang telah menunggu di depan rumah sakit.Cantika berdiri di dekat pintu mobil, melambaikan tangan dengan semangat. “Mama, ayo cepat pulang! Aku udah bersihin kamar Mama dan nambahin bunga kesukaan Mama!”Kiara tersenyum. Senyum yang belum sepenuhnya pulih, tapi tulus. “Bunga kesukaan Mama? Yang mana?”Cantika mengedipkan mata. “Rahasia. Tapi nanti Mama ingat sendiri deh!”Mobil melaju tenang di antara hiruk-pikuk kota yang mulai ramai. Di bangku depan, Samudra sesekali melirik ke belakang, memastikan istrinya nyaman. Sementara Cantika duduk di samping Kiara, menggenggam tangannya erat.“Aku senang Mama pulang. Rasanya kayak lebaran,” gumam Cantika.Kiara mengusap rambut anak itu deng
Langit sore mulai meredup saat warna jingga menguasai jendela kamar rumah sakit. Cahaya matahari yang menembus tirai tipis menyorot wajah Kiara yang kini tengah memandangi tangannya—tangan yang tadi digenggam erat oleh Cantika. Wajahnya tampak kosong, namun dalam sorot matanya mulai tumbuh gelisah yang tidak bisa ia jelaskan.“Mama haus? Aku ambilin minum ya,” ucap Cantika yang masih duduk di tepi ranjang.Kiara mengangguk pelan. Begitu Cantika turun dari ranjang, Kiara menatap punggung gadis kecil itu—perlahan, samar, ada percikan rasa hangat dalam dadanya yang tak mampu ia pahami sepenuhnya. Perasaan itu aneh, seperti kerinduan yang tak tahu asal.Samudra menutup laptopnya dan beranjak mendekat. Ia meletakkan laptop di meja kecil, lalu duduk di kursi tepat di samping tempat tidur Kiara.“Kiara...” panggilnya dengan nada hati-hati.Wanita itu mengalihkan pandangannya, menatap pria yang katanya adalah suaminya. Tatapan mereka bertaut sesaat. Tak ada kata yang langsung terucap, hanya d
Sudah tiga hari sejak Kiara sadar, Samudra dan Cantika tetap setia mendampingi meskipun wanita itu masih belum bisa mengingatnya. Komunikasi mereka juga sudah lumayan baik meski Kiara seperti masih menjaga jarak pada Samudra. Sepulang sekolah, Cantika akan selalu minta diantar ke rumah sakit untuk mendampingi dan menghibur Kiara. Kali ini dia bahkan membawa album foto-foto kebersamaan mereka untuk membuat Kiara percaya jika mereka adalah keluarga. "Mama gimana kabarnya hari ini? Apa sudah tidak ada yang sakit lagi?" Cantika duduk di kursi yang ada di samping brankar dengan sebuah album foto di tangan.Kiara mengulas senyum lalu berusaha untuk duduk. Hanya dengan gadis kecil ini dia bisa berbicara banyak meskipun kadang hanya membicarakan hal-hal random. "Aku, baik. Sudah mendingan kok."Cantik membuka album yang dibawa di hadapan Kiara. Wanita yang masih mengenakan baju pasien itu menatap benda itu dalam diam. Lembar pertama menampilkan foto Cantik dan Kiara yang sedang duduk di ay
"Bagaimana kondisi istri saya, Sus?"Perawat itu tersenyum. "Alhamdulillah, pasien sudah sadar tapi ..." Ia menggantung kalimatnya. "Tapi kenapa, Sus?""Pasien mengalami amnesia.""Apa?!"Kiara menatap ke sekeliling. Ruangan serba putih dan infus serta sekantong darah mengalir melalui selang yang tertancap di lengan kirinya. Pandangannya mengernyit ketika menatap seorang pria tampan yang berdiri di sisi brankar. Ia mencoba untuk menggali ingatannya tentang pria ini. Namun tak ada satupun informasi yang tersimpan di dalam memorinya. Lalu tatapannya beralih pada Melinda, mamanya Samudra. Kiara semakin bingung karena tidak ada satupun orang yang dikenalnya. Suara seorang gadis kecil yang memanggilnya mama memaksanya untuk mengalihkan pandangan dari wanita paruh baya itu. "Sebenernya siapa mereka semua? Kenapa ada di sini? Di mana ayah dan ibu?" Kiara membatin. Samudra mendekat. Tatapan penuh penyesalan itu semakin membuat otak Kiara seperti benang kusut. Sungguh ia benar-benar tak me
Samudra segera menghubungi setiap orang yang dikenalnya termasuk kolega bisnis yang dimiliki. Ya segera menyebarkan pengumuman meminta bantuan donor darah untuk sang istri. Sekitar 30 menit berlalu ada beberapa karyawan perusahaan yang datang ke rumah sakit untuk mendonorkan darahnya. Samudra bernapas lega karena akhirnya nyawa sang istri tertolong. Meski demikian Kiara masih dalam keadaan koma. Wanita yang ia cintai itu baru saja melalui masa kritisnya. Berjuta penyesalan berjalan di dalam dada hingga membuat lelaki itu tak berdaya. "Anda tadi aku bisa menahan emosi sedikit saja dan membiarkannya untuk mengistirahatkan tubuhnya dulu, mungkin kecelakaan ini nggak akan pernah terjadi," gumam Samudra. Lelaki itu hanya bisa duduk di ruang tunggu dengan tangan menyangga kepala sambil menunduk. Bayangan kejadian saat mereka berguling-guling di tangga terus berputar-putar di otaknya seperti kaset film. "Ini semua salahku. Ini semua salahku," ucap Samudra berulang sembari menjambak rambut