Share

Bab 6

"Papa!" Samudra urung membalikkan badan saat suara putrinya memanggil.

"Sini masuk! Lihat Mama menguncir rambut cantik! Bagus nggak, Pa?" Gadis kecil itu meminta pendapat papanya atas penampilan barunya.

"Iya, bagus. Cantika selalu cantik dalam kondisi apapun," jawab Samudra datar.

"Kalau Mama cantik nggak, Pa?"

Spontan sepasang pengantin baru itu saling tatap.

***

"Kalau Mama cantik nggak, Pa?" tanya Cantika dengan mata berbinar-binar.

Samudra melirik Kiara sekilas, laluengelus puncak kepala sang buah hati.

"Mama masih kalah cantik dengan putri Papa. Karena putri Papa ini nggak ada tandingannya," jawab Samudra lembut.

Berbeda sekali ketika berbicara dengan orang lain, termasuk Kiara. Samudra akan menunjukkan sisi lain yang berbeda pada putri semata wayangnya. Tak ada sakit hati pada diri Kiara karena dia tahu bahwa Samudra mengatakan itu untuk menyenangkan hati putrinya. Dirinya pun tak merasa kecewa dikatakan kalah cantik dengan bocah yang kini menjadi putri sambungnya itu karena pada dasarnya Kiara tidak pernah gila pujian.

Sarapan pagi kali ini terasa lebih hidup dari biasanya. Celotehan Cantika mewarnai pagi itu. Mau tak mau semua orang ikut tersenyum mendengarnya.

"Papa, nanti hari Minggu kita jalan-jalan bertiga ke Dufan ya? Cantika ingin merasakan ke Dufan sama Mama dan Papa seperti teman-teman Cantika yang lain."

Permintaan gadis itu sangat sederhana sebenarnya. Namun sangat sulit untuk dikabulkan oleh Samudra mengingat hari Minggu sudah memiliki janji dengan seseorang.

"Berdua saja sama Mama, ya? Papa nggak bisa," ujar Samudra.

Seketika wajah Cantika berubah muram. Bibirnya mengerucut dengan mata berkaca-kaca. Kiara langsung memeluk putri sambungnya dengan kasih sayang.

"Nggak papa, Sayang. Kita pergi berdua saja. Kita puas-puasin naik wahana yang ada di sana, gimana?" bujuk Kiara.

Sengaja dia melakukan itu karena dirinya juga belum siap pergi dengan suaminya. Entah mengapa mengetahui kalau suaminya tidak menginginkan pernikahan ini sungguhan, hatinya terasa sakit. Sebisa mungkin Kiara membangun benteng yang tinggi agar tidak jatuh cinta pada pria dingin itu.

Selesai sarapan, Samudra mengantar Kiara dan Cantika ke sekolah. Seperti permintaannya kemarin, hari ini Kiara mendampingi Cantika lomba. Semalam dia juga sudah izin pada kepala sekolah tempatnya mengajar kalau hati ini tidak bisa masuk karena ada kepentingan mendesak.

Memang Kiara tidak mengatakan kalau dirinya sudah menikah karena menurutnya tidak perlu. Toh pernikahannya baru nikah siri saja. Prosesnya yang mendadak tidak sempat mengurus surat-surat ke KUA. Samudra menjanjikan akan mengurusnya nanti dan Kiara harap lelaki itu tidak lupa.

Meskipun pernikahan ini tidak diharapkan, tapi baginya tidak ada pernikahan main-main. Prinsipnya menikah hanya sekali seumur hidup.

Sepanjang jalan menuju sekolah, Cantika tampak ceria. Wajahnya berseri-seri. Sesekali dia menyanyi lalu mengomentari apapun yang dia lihat di jalan. Hanya suara bocah itu yang mendominasi dan sesekali Kiara menanggapi.

"Sudah sampai!" ucap Samudra datar.

Kiara langsung membuka pintu samping tanpa menunggu lelaki itu turun dan membukakannya. Wanita itu sadar diri kalau keberadaannya hanya untuk melengkapi keluarga kecil yang tumpang karena ditinggal salah satu orang penting dalam hidup mereka. Ya, Kiara hanya sebagai pengganti mama Cantika yang lebih dulu meninggalkan keluarga kecil itu.

"Yuk, Ma!" Cantika menarik tangan Kiara menuju ke kelasnya yang tampak sudah ramai dari luar. Di teras juga ada beberapa ibu-ibu yang masih berbincang.

Samudra hanya memandang kepergian Cantika dan Kiara dari dalam mobil. Tidak ada niatan lelaki itu untuk sekadar turun dan mengantar sampai depan kelas. Baginya, kebahagiaan sang buah hati yang nomor satu. Dan kini ia melihat kebahagiaan putri kecilnya itu sudah menyertai sehingga ia merasa tidak perlu terlalu dalam ikut terlibat lagi dalam mengasuh Cantika.

Ya, sejak saat ini, ia menyerahkan kebahagiaan putrinya pada wanita yang telah ia nikahi itu.

"Eh, Cantika sama siapa ini?" sapa seseibu dengan dandanan maksimal.

"Mama! Ini mamaku!" jawab Cantika ceria.

Akibat ucapannya yang lantang itu, semua yang ada di sana langsung menatap bocah dengan rambut dikucir dan berhias pita warna pink itu. Ada yang menatap Kiara dengan tatapan kagum ada juga yang menatapnya dengan tatapan sinis.

"Kamu sudah punya mama? Beneran ini mama kamu? Bukan pengasuhmu?" Entah apa yang ada dalam pikiran seseibu tersebut. Kenapa begitu tega mengatakan hal itu pada Cantika.

Kiara sendiriasih terdiam sambil mengulas senyum tipis. Membaca situasi sebelum bertindak.

"Ini mamaku! Tadi malam Mama baru aja menikah dengan papan. Iya kan, Ma?" Cantika meminta dukungan pada mamanya.

Sementara orang yang barusan berbicara menatap Kiara tak suka. Lalu tatapannya memindai penampilan Kiara dari ujung kepala hingga ke ujung kaki dan kembali lagi ke ujung kepala seolah-olah sedang menilai.

"Kok bisa sih, Pak Sam yang ganteng maksimal itu menikah dengan wanita model begini? Nggak ada menarik-menariknya sama sekali," gumam wanita itu.

Sejak tadi wanita yang memakai pakaian glamour dengan make up tebal itu menatap Kiara tak suka. Sementara ibu-ibu yang lain hanya diam menyaksikan mereka.

Dalam hati Kiara terus mengucap istighfar agar tidak meladeni mulut pedasnya. Bagaimanapun dia ke sini untuk Cantika. Dia tak mau merusak kebahagiaan putrinya dengan meladeni wanita itu.

"Ya bisalah, mamaku kan baik!" Cantika memasang badan untuk membela mama sambungnya. Keberanian gadis kecil itu mendadak naik berkali-kali lipat.

Jika sebelumnya dia hanya diam saja saat di-bully karena tidak memiliki ibu, sekarang dengan adanya Kiara, gadis kecil itu menjadi lebih berani. Nampak sekali dia tengah membanggakan Kiara sebagai ibunya.

Tak berapa lama terdengar pengumuman bahwa acara lomba ibu dan anak akan segera dimulai. Semua peserta lomba diminta untuk berkumpu di aula.

"Yang sabar ya, Mbak. Bu Heni memang begitu. Dia sudah lama sekali naksir sama Pak Sam, tapi tidak pernah digubris. Mungkin dia cemburu karena Mbak ...?"

"Kiara. Panggil saja Kiara," potong Kiara.

"Ya, Mbak Kiara. Bahkan setiap hari Bu Heni akan dandan seperti itu untuk menarik perhatian Pak Sam. Sayangnya Pak Sam memang tidak tertarik padanya. Siapa juga yang mau sama wanita model begitu?" bisik wanita itu lagi.

Saat ini Kiara duduk berdampingan dengan wanita yang terlihat lebih ramah dibanding ibu-ibu lainnya. Penampilannya juga sederhana dan tidak neko-neko. Sepertinya Kiara cocok berteman dengannya nanti.

"Kenalkan, saya Yulia," wanita itu mengulurkan tangan kembali mengulas senyum.

Kiara menerima uluran itu dan tersenyum ramah. Di depan tampak seorang MC tengah membuka acara. Untuk sesaat fokus mereka teralihkan.

"Mbak Kiara berarti pengantin baru dong!" Tiba-tiba Yulia kembali berbisik.

Kiara hanya menanggapi dengan mengangguk serasa tersenyum.

"Wah, masih anget-angetnya ini. Gimana, Pak Sam pasti hot banget ya? Lihat postur tubuhnya, pasti hot." Yulia tersenyum sembari mengedipkan mata.

Kiara hanya tersenyum kikuk. Tidak tahu harus menanggapi seperti apa karena semalam terlewat begitu saja. Bahkan hingga pagi, lelaki itu masih datar-datar saja.

"Tukeran nomor HP yuk! Kayaknya kita bakalan cocok!" Yulia menyodorkan ponselnya pada Kiara.

Meski agak ragu, wanita berhijab itu tetap menuliskan nomor di ponsel Yulia lalu mengembalikannya.

"Aku Miss call, ya?"

"Iya."

Kiara mengambil ponselnya dari dalam tas. Lalu membuka kunci dengan pola yang sudah dia setting. Saat itulah sebuah pesan masuk dari nomor asing.

"Nanti saya nggak bisa jemput. Pulangnya naik taksi saja! Saya juga sudah transfer uang bulanan buatmu. Terserah mau digunakan buat apa saja. Kalau untuk kebutuhan dapur sudah diatur Mama!"

Tak berselang lama notifikasi M-banking berbunyi. Kiara membukanya dan seketika kedua matanya membelalak.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status