Share

Bab 7

Kiara mengambil ponselnya dari dalam tas. Lalu membuka kunci dengan pola yang sudah dia setting. Saat itulah sebuah pesan masuk dari nomor asing.

"Nanti saya nggak bisa jemput. Pulangnya naik taksi saja! Saya juga sudah transfer uang bulanan buatmu. Terserah mau digunakan buat apa saja. Kalau untuk kebutuhan dapur sudah diatur Mama!"

Tak berselang lama notifikasi M-banking berbunyi. Kiara membukanya dan seketika kedua matanya membelalak.

***

Deretan angka dengan jumlah nol sebanyak 7 itu membuat pikiran Kiara mendadak blank. Dia memang bukan orang miskin sebelum perusahaan ayahnya bangkrut. Namun dia tidak pernah diberi uang bulanan sebanyak itu oleh sang ayah karena ayahnya senantiasa mendidik Kiara untuk menjadi gadis yang pandai bersyukur berapapun uang jajan yang diberikan.

Kini baru sehari menjadi istri Samudra, lelaki itu sudah membuat rekeningnya mendadak gendut. Mahar dua miliar yang dikasih kemarin pun belum dia sentuh sama sekali. Dan sekarang dia mendapatkan 50 juta per bulan. Mendadak Kiara tertawa miris. Di satu sisi Samudra tak menganggap pernikahan ini sungguhan, tapi di sisi lain semua kebutuhan hidupnya bahkan utang dan biaya pengobatan ayahnya dibayar semua.

"Mungkin ini bayaranku sebagai mama pengganti untuk Cantika," gumam Kiara.

Di saat pikirannya masih menjelajah, nama Cantika dipanggil. Seketika kesadarannya kembali.

"Ayo Mama!" Cantika menarik tangan Kiara. Dengan penuh percaya diri, Cantika maju. Senyumnya mengembang sempurna memperlihatkan giginya yang rapi. Pipi cabynya semakin menggemaskan saat seperti itu.

Kiara ikut tersenyum melihat binar di mata putri sambungnya. Hatinya menghangat kala di akhir penampilannya Cantika memeluk dan mencium ke dua pipinya.

"Ah, rasanya aku tak butuh perhatian Mas Sqm lagi kalau sudah mendapat hujan kasih sayang dari gadis cantik ini," batin Kiara.

"Kenapa Mama menangis?"

"Tidak, Sayang. Mama hanya terharu." Kiara mengusap air matanya lalu mendekap erat tubuh Cantika.

Ketulusan Kiara membuat Cantika semakin nyaman berada dalam pelukannya. Pelukan seorang ibu yang ia rindukan sejak bayi kini ia dapatkan dari mama sambungnya ini.

Selesai acara Kiara mengajak Cantika makan siang di luar. Keduanya tampak sangat akrab layaknya ibundan anak sesungguhnya.

"Sayang, mau makan apa?" tawar Kiara.

"Mau ayam kentucky sama es cream, Ma!" Cantika berjingkrak kegirangan. Pasalnya selama ini pola makan Cantika selalu dijaga. Gadis kecil itu tidak diperbolehkan makan makanan semacam itu. Dan sekarang, kesempatan baginya untuk bisa makan makanan yang sudah sangat lama ia inginkan itu.

"Oke, Cantik. Let's go!" Kiara ikut menirukan gaya Cantika.

Kebetulan sekali jarak tempat makan dengan sekolah hanya beberapa puluh meter saja. Mereka menempuhnya dengan berjalan kaki sambil bergandengan tangan. Cantika menyanyi riang sepanjang jalan.

"Anak Mama bahagia sekali," ujar Kiara.

"Iya dong, Ma. Cantik sudah lamaaaa banget ingin makan seperti ini sama Mama. Papa selalu melarang Cantik keluar rumah." Mendadak mendung bergelayut di wajah cantik bocah itu.

"Berarti ini pertama kalinya dong Cantik makan ayam kentucky sama es cream?"

Cantika mengangguk mantap. "Jangan bilang-bilang Papa ya, Ma. Pasti Papa marah kalau tahu kita makan seperti ini," bisik Cantika seolah takut ada orang lain yang mendengar padahal mereka hanya berdua saat ini.

Kiara mengangguk. Lalu menyodorkan jari kelingkingnya pada bocah cantik itu. Seketika senyum Cantika kembali mengembang dan sesegera mungkin jari mereka saling bertautan.

"Cantik tunggu di sini ya? Jangan kemana-mana. Biar Mama ambil pesanan kita dulu!" Kiara mengelus puncak kepala Cantika sekilas lalu pergi ke counter untuk mengambil pesanannya.

Tak berselang lama Kiara sudah kembali dengan sebuah nampan di tangan.

"Yuk makan!"

Kiara menyodorkan ayam ke arah mulut Cantika setelah ia cuil kecil-kecil. Dengan senang hati Cantika membuka mulutnya. Gadis kecil itu makan dengan sangat lahap membuat Kiara tersenyum senang.

"Mama, Cantik mau es creamnya!"

"Makan sendiri bisa? Mau yang ada kacangnya atau yang nggak ada kacangnya?" tawar Kiara.

"Em ... Cantik boleh nyicip dua-duanya?" Kedua bola mata Cantika mengerjap-ngerjapkan lucu.

"Tentu saja boleh. Tapi jangan semuanya, ya. Nyicip aja. Nggak boleh banyak-banyak."

Cantika langsung menyendok es cream yang ditaburi kacang dan cokelat. Kedua matanya lkbali berbinar.

"Enak, Ma!" Cantika menyuap sekali lagi.

"Sayang, kok mukanya merah-merah?" Kiara menatap putrinya dengan panik. Lalu melihat leher gadis kecil itu yang ternyata juga merah-merah.

"Ma, Cantik sesak na-fas!"

Spontan Kiara berdiri lalu menggendong gadis itu dan berlari keluar. Kebetulan sekali ada taksi yang baru saja berhenti menurunkan penumpang.

"Ke rumah sakit, Pak!" teriak Kiara. Pikiran gadis itu mulai kalut. Dia tahu apa yang dialami oleh Cantika adalah gejala alergi pada makanan tertentu.

"Tolong lebih cepat, Pak!"

"Iya, Bu!" Sopir taksi langsung tancap gas. Beruntung jalanan tidak terlalu ramai sehingga tidak terkendala macet.

"Sayang, Cantika kamuasih kuat kan? Cantik bisa denger Mama?" Kiara mengajak bicara Cantika agar kesadarannya tetap terjaga.

"Ma, sa-kit!"

"Iya, Sayang. Sabar ya. Sebentar lagi kita sampai rumah sakit." Kiara berusaha tenang. Dalam kondisi panik dia akan kehilangan kemampuan otaknya untuk berpikir.

Sesampainya di rumah sakit, Cantika langsung dibawa ke UGD. Kiara tidak boleh ikut masuk dan itu membuatnya semakin tidak tenang.

"Allah, sembuhkan putriku." Kiara menunduk. Sedetik kemudian teringat sesuatu. "Mas Sam, aku harus memberi tahu Mas Sam!"

Dengan tangan gemetar, Kiara mencari kontak suaminya yang baru tadi ia simpan.

Dering pertama, panggilannya diabaikan. Lalu ia mencoba lagi. Masih belum diangkat juga.

"Kamu di mana sih, Mas?" Kiara berdiri lalu kembali mencoba menghubungi suaminya. Pada dering ke lima, baru telepon tersambung.

[Ada apa?]

Belum sempat mengucap salam, sosok di seberang telepon langsung bertanya.

[CK, malah diam. Ada apa? Kalau tidak ada yang penting saya tutup! Saya sedang meeting]

"Tu-tunggu, Mas! Jangan ditutup dulu."

[Makanya cepat bicara! Ada apa?]

"Cantika masuk rumah sakit, Mas! Tad-"

[Apa? Kenapa bisa? Tadi pagi masih baik-baik saja, kan?]

Kiara menahan nafasnya. Belum sempat ia menjelaskan apapun, pria di seberang telepon sudah kembali menyambar. Tak bisa membayangkan jika nanti lelaki bergelar suami itu tahu kalau dirinya sudah salah memberinya makanan yang selama ini tidak boleh dimakan.

"Tadi ... kami sedang-"

Klik. Sambungan diputus sepihak. Belum sempat Kiara menceritakan kronologi kejadiannya, Sam sudah mematikan telepon. Sepertinya lelaki itu sedang marah dan mungkin langsung meluncur ke rumah sakit.

"Keluarga pasien anak Cantika!"

"Saya, Dok!" Kiara buru-buru mendekati dokter. "Bagaimana anak saya, Dok?"

Dokter menghela nafas panjang lalu tersenyum. "Nggak papa. Untung segera dibawa kemari. Jadi reaksi alerginya bisa langsung diobati. Kalau terlambat sedikit saja bisa berbahaya bagi pasien. Tolong, ke depan makannya dijaga ya, Bu. Jangan dikasih makanan yang menimbulkan alergi.

"Baik, Dok." Dalam hati Kiara bersyukur karena Cantika sudah tidak apa-apa.

"Apa sekarang saya boleh melihatnya, Dok?"

"Boleh. Silakan. Kalau kondisinya sudah membaik, nanti bisa dibawa pulang. Tapi sebaiknya tunggu dulu sampai kondisinya benar-benar membaik."

Kiara mengangguk. "Makasih, Dok."

Hembusan nafas lega terdengar dari mulut Kiara. Wanita itu lalu masuk ruang UGD untuk melihat keadaan Cantika.

"Sayang, maafin Mama ya? Mama nggak tahu kalau Cantik alergi sama kacang," ucap Kiara dengan penuh penyesalan.

"Nggak papa, Mama. Cantik sudah nggak sesak nafas lagi. Yang penting Cantik sudah tahu rasanya makan es cream," jawab Cantika membuat Kiara yang menangis jadi terkekeh.

"Jadi kamu mencoba meracuni anak saya?!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status