Share

Bab 5. Pingsan

"Nanti pulang jam berapa?"

Zee mengernyitkan dahinya. "Buat apa tanya aku pulang jam berapa?" Sewotnya.

"Mau nebeng. Aku tadi berangkatnya kan sama kamu. Ke sini nya naik ojek, jadi buat menghemat biaya, boleh dong numpang lagi."

"Dasar gak modal."

"Modalnya aku tabung buat masa depan kita. 'Kan tadi kamu minta aku tanggung jawab."

"Ah, benar. Untung kamu ingatkan. Aku gak ngerasa sakit apa-apa. Kamu jujur, sebenarnya kita gak ngapa-ngapain semalam 'kan?"

Haikal mengedikkan bahunya. "Mana aku tahu kenapa gak sakit. Itu juga yang pertama kali buat aku. Atau jangan-jangan kamu." Haikal menatap tubuh Zee dari bawah ke atas. Seperti gerakan memindai.

"Itu juga yang pertama buat aku." Zee marah karena merasa diremehkan.

"Ya sudah kalau begitu. masih perlu dibahas?" Ucap Haikal dengan wajah tengil.

Zee baru pertama kali menghadapi bocah seperti ini. Dia geram dan gemas diwaktu bersamaan.

"Jadi bisa numpang tidak?"

"Iya." Entah mengapa Zee mengiyakan hal ini.

"Jadi jam berapa pulangnya?"

hari ini dia tidak lembur, jadi ... "jam 7." ucap Zee.

"Bagus! aku tunggu di sini jam segitu, makasih ya sayang." ucap Haikal, mendaratkan satu kecupan di dahi Zee dan pergi begitu saja. lagi. sama seperti tadi pagi.

Sialan itu bocah! Dia kesal tapi tidak begitu marah juga. Apakah ini yang dikatakan mencari pelampiasan? Zee jadi merasa bersalah. dia harus meluruskan hal ini nanti.

Jam 7 malam, Zee kembali ke cafe. Dia tidak harus menunggu lama, karena Haikal sudah berdiri di depan cafe.

"Memangnya jam kerja kamu, dari jam berapa sampai jam berapa?" Tanya Zee.

"Ah, sebenarnya hari ini gak ada jam kerja, hanya saja tadi ada teman yang tiba-tiba izin datang terlambat, jadi aku yang isi sebentar."

Zee mengangguk. Mempersilakan Haikal masuk ke dalam mobilnya. Setelah mereka duduk dengan nyaman, Zee mulai membicarakan hal yang sudah dia pikirkan sejak siang tadi.

"Soal ini, aku ingin minta maaf lebih dulu sama kamu." Zee menarik napasnya. "Aku baru saja putus dari pacarku, dan mungkin saja aku memperlakukan kamu sebatas pelampiasan saja. Jadi..."

"Tidak masalah. Anggap aku seperti apapun asalkan bukan sebagai gangguan." Potong Haikal. Dia mendengarkan apa yang Zee katakan dengan wajah tersenyum.

"Tapi aku lebih berharap kita gak akan ketemu lagi, sih." Ujar Zee.

"Kenapa? Aku kurang seksi? Kurang memuaskan? kalau gitu sampai di apartemen kita ulangi saja gimana?" Haikal duduk menyamping.

"Gila ya! Gak mau lah!" Tolak Zee langsung.

"Tapi kemarin, kamu duluan yang minta di sentuh."

"Mana aku ingat." Serunya dengan suara yang nyaris berteriak.

"Nah, maka dari itu. Ayo lakukan lagi!" Usulnya. Haikal memalingkan wajahnya. dia menggigit bibirnya untuk menahan senyumnya. Dia merasa gemas sendiri.

Zee malas berdebat. Dia tidak lagi menjawab Haikal, dan lebih memilih mengabaikannya. Sampai mereka tiba di apartemen Haikal dan pemuda itu membuka pintu di mana Zee duduk.

"Ayo turun."

"Jangan gila ya, Haikal."

"Gak mau? Gimana kalau di dalam mobil aja?" Dia mencondongkan tubuhnya ke dalam mobil. Posisi Zee yang Masih duduk di dalam.

"Aku timpuk kamu pakai tas ya?" Ancam Zee.

"Bercanda sayang." Haikal mengelus kepala Zee dengan lembut.

"Sayang, sayang. Memangnya hubungan kita ini apa?" Tanya Zee, dengan wajah yang dibuat garang.

"Apa? Kok masih tanya, ya pacarku lah." Haikal, membulatkan matanya.

"Sejak kapan? Jangan mengada-ada ya! Hari ini, pokoknya hari terakhir kita ketemu, bicara, dan juga saling kenal."

"Oh, jadi gitu. Kamu mau lepas tanggung jawab setelah apa yang kamu lakuin ke aku." Haikal menaikkan alisnya tinggi-tinggi. Nada bicaranya semakin tinggi.

Dia marah?

Seharusnya Zee yang berkata begitu 'kan?"

Setelah perdebatan di parkiran apartemen. Zee malah berakhir di apartemen Haikal, lagi. Bocah itu mengancamnya akan berteriak, jika Zee tidak mau menurutinya. Dan dengan bodohnya, dia mengikuti Haikal hingga ke apartemennya.

Lihat betapa bahagianya, itu bocah. Sejak tadi bersenandung tidak jelas, sambil membereskan apartemennya yang berantakan. Kondisinya masih sama, seperti terakhir mereka tinggalkan.

"Mau makan malam apa, sayang." Tanya Haikal, begitu selesai beberes. Zee jadi memindai ulang tempat yang sudah di rapikan seadanya. Dia melipat tangannya di depan dada. Tidak berniat menyahut sama sekali.

"Apa? Mie instan? Okey, tunggu sebentar ya!" Haikal bertanya dan di jawab sendiri. Sepertinya pemuda itu sudah gila. Dia bahkan kembali bersenandung di dapur. Seakan tidak terjadi apa-apa.

Zee masih bisa mendengar suara Haikal. Dia ingin sekali pulang. Kalau ditanya mengapa Zee belum pulang?

Alasannya, setelah terpaksa mengantar Haikal pulang ke apartemennya, Zee di ancam untuk ikut naik, atau bocah itu akan mengamuk di parkiran bawah yang masih banyak orang berlalu lalang. Demi menjaga gengsinya, dia pun akhirnya mengikuti keinginan Haikal.

Lalu, begitu Zee masuk. Pintu apartemennya ternyata di kunci dari dalam dan Haikal menyimpan kuncinya.

Ini termasuk penculikan tidak sih? tapi masa iya Zee akan melaporkan, jika dirinya sedang diculik berondong. apa kata orang-orang nantinya.

Haikal benar-benar menyajikan mie instan. Dengan telur mata sapi sempurna di tengahnya. Zee yang memang sedang Lapar, jadi tergugah melihatnya.

"Ayo, dimakan."

Sekali lagi, gengsi Zee yang besar, memilih kelaparan dari pada makan satu piring berdua dengan bocah itu. Ya. Haikal hanya menyiapkan sepiring Mie instan. Tapi dari banyaknya, harusnya itu dua porsi yang disatukan.

"Mau disuapi?" Tanya Haikal lagi. Pemuda itu masih terus berusaha membuat Zee bicara. Harusnya dia mengerti, arti sikap dingin Zee. Tapi Haikal belum juga menyerah untuk menaklukan wanita yang lebih tua darinya itu.

"Tidak mau? Ya, sudah. Biar aku habiskan."

Zee sepertinya sudah salah langkah. Haikal memakan sendiri sepiring besar Mie instan itu. Padahal Zee kira bisa bernegosiasi dulu. Contohnya, jika Haikal terus memintanya makan, dia akan bilang, akan makan asal setelahnya dipulangkan. Tapi lihat bocah itu. Dia malah makan dengan lahapnya, di depan Zee.

Mungkinkah pikiran Zee saja yang terlalu polos dan sederhana?

"Aku mau ke kamar mandi." Zee beranjak dari ruang tengah, menuju kamar Haikal. Dia tidak tahu, jika di dapur ada kamar mandi juga. Dengan sendirinya, Zee sudah masuk ke kandang singa sekali lagi.

Haikal sampai menggigit bibirnya kuat, saking gemasnya pada wanita itu. Tidak apa-apa dia menolak Haikal saat ini, karena pemuda itu sudah menyiapkan banyak sekali rencana.

Zee keluar dari kamar mandi kamar Haikal. Dia tidak memperhatikan jika si pemilik kamar, juga sudah berada di dalam sana. Saat Zee hendak membuka pintu kamar, ternyata sudah dikunci.

"Ayo tidur. Sudah malam."

Zee terperanjat kaget, saat tangan Haikal memeluk pinggangnya dari belakang. "Lepas!" Pekik Zee. Haikal tidak memaksa, dia langsung melepaskannya dan mundur.

"Maaf, sayang. Aku cuma mau ngajak kamu tidur. Besok kerja 'kan? Aku juga ada kuliah." Ucapnya. Meskipun ada permintaan maaf , tapi raut wajah Haikal tidak menunjukkan, dia merasa bersalah. wajahnya masih tengil seperti biasanya..

"Aku mau pulang!" Dia sudah lelah, perutnya juga lapar. Tidak ada tenaga lagi untuk meladeni pemuda itu.

Haikal mengernyit saat melihat wajah ketakutan dari Zee. Apakah dia sudah keterlaluan? "Hei, lihat aku." Haikal panik saat merasakan tubuh Zee gemetar. "Naya. Lihat aku. Nay!" Dia menopang tubuh Zee yang tiba-tiba tidak sadarkan diri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status