Lizzie tersentak ketika tangan Daxon mulai menjamah pahanya yang tertutup oleh handuk. Kedua tangan pria itu menyelinap untuk memberikan pijatan di sana. Lizzie mengerang tanpa sengaja, matanya tertutup rapat sejalan dengan memposisikan sebelah tangan untuk memblokade suara erotis yang keluar dari mulutnya. Daxon hanya terkekeh, mengambil lotion itu lagi dan kembali berlutut diantara kedua kaki Lizzie.
Serius, ada sesuatu yang aneh dengan lotion itu. Tubuh Lizzie terasa panas dan bergairah untuk hal kecil yang sebenarnya tidak begitu merangsangnya. Lizzie merasa tubuhnya merinding tatkala Daxon sedikit menyentuh paha dalamnya. Seolah pria itu sengaja melakukannya untuk menggoda. Lizzie merasa tidak tahan lagi, tapi Daxon seolah tidak peduli dan malah menyibukan diri dengan aksi memijat tubuhnya. Bahkan dia malah menuangkan lotion itu ke punggung Lizzie, membuat gadis itu merasakan rasa dingin yang tiba-tiba membuat punggungnya menggigil.Daxon menyeringai, mengolesi dengan rata punggung Lizzie. Sesekali dia bahkan terlalu jauh dan menyentuh dadanya dari samping. Tapi hanya sebatas itu saja, dan sungguh itu membuat Lizzie kian dibuat frustasi. Lizzie mencoba untuk bangkit dari posisinya yang tengkurap tapi tangan Daxon dengan kuat menahan pergerakannya.“Tidak, sayangku. Kita belum selesai,” ujar Daxon dengan suaranya yang rendah sambil terus mengusap punggungnya dengan pijatan yang lembut.“Ayolah Om … bercinta saja denganku dan jangan buang-buang waktu begini.” Dia mencoba untuk menaikan pinggulnya ke atas tapi Daxon tidak bergeming. Pengendalian pria itu cukup baik, dan itu adalah sesuatu yang patut dikagumi. Tapi dalam situasi ini, Lizzie merasa pria itu menekannya hingga titik dimana dia sebal dan frustasi.“Jadilah gadis yang baik untukku,” sahut Daxon sambil mengusap bahu dan lengan atas Lizzie.Merasa makin di goda, Lizzie kini berhasil melarikan diri atau memang pada dasarnya pria itu sengaja membiarkannya lepas? Entahlah… tapi karena kesabarannya kini sudah habis Lizzie lantas melepaskan handuk yang mengganggunya, kemudian merangkak ke arah pria itu seraya mengigit bibirnya.“Aku tidak suka dibuat menunggu, Om. lagipula mana ada gadis baik yang telanjang diatas kasur seorang pria,” sahut Lizzie setengah mendengkur. Menekan hasratnya yang luar biasa membuatnya gila. Tubuhnya panas, bahkan napasnya sudah memburu dan tak tentu. Begitu mendekat pada Daxon, Lizzie mengelus leher pria itu dengan pelan, memandangnya dengan seribu makna yang tentu saja diketahui betul artinya oleh pria itu. “Aku ingin kau meniduriku seolah aku adalah pelacurmu.”Ini benar-benar memalukan, memohon pada seseorang untuk memasukinya adalah satu hal yang tidak pernah Lizzie lakukan. Kebutuhannya sudah terlampau mendesak. Dia membutuhkan Daxon segera.Tapi pria itu tidak bergeming mulanya, mengindahkan godaan luar biasa dari Lizzie dan malah memilih melingkarkan lengannya ke pinggang Lizzie, menarik gadis itu sehingga kini berada tepat dipangkuannya. Lizzie mengambil posisi ternyaman, napasnya terengah dan pipinya sudah semerah tomat. Tapi meski telah sedekat ini, Daxon sama sekali tidak menyentuh dia sesuai dengan apa yang Lizzie harapkan. Dia masih terlihat cukup sadar, dan baik-baik saja dengan pakaian yang utuh. Malah pria itu membungkuk dan mengembalikan Lizzie untuk terlentang di tempat tidur.“Berbaliklah,” kata Daxon tegas dan berulang-ulang membuat Lizzie merasa dia sedang dipermainkan sedemikian rupa oleh pria ini. Dia melihat Daxon kembali duduk pada tempatnya semula, menunggu dengan sabar. Gusar dan sebal, Lizzie membalikan badannya. Membenamkan wajahnya ke bantal, enggan bertatap muka dengannya.Dia mendengar suara familiar dari botol lotion yang dibuka dan tangan Daxon yang kembali bergesak dengan kulitnya yang tidak tertutup apa-apa. “Yang harus kau lakukan sekarang adalah belajar untuk mendengarkan,” kata Daxon kemudian sambil meraih bahu Lizzie.“Terserah kau sajalah …,” sahut Lizzie yang kemudian mengerang, karena tiba-tiba saja diberi perhatian oleh Daxon dengan cara yang tidak dia sangka.“Tubuhmu indah sekali,” gumam Daxon sambil bersandar pada punggungnya. Napas hangat yang menerpa punggungnya membuat Lizzie bergidik. “Kau benar-benar mahluk kecil yang menakjubkan.”“Komentar yang sangat konyol, Om,” timpal Lizzie sambil menggelengkan kepalanya, pipinya terasa panas. Sial, mau sampai kapan dia bermain-main seperti ini?Belum habis tanya itu hendak dia ungkapkan, tiba-tiba saja bibir pria itu telah menggigit kecil telinganya dengan tangan Daxon telah meraih bagian dirinya yang memang sejak tadi minta disentuh, ”Basah sekali disini, sayang,” bisik Daxon sekali lagi membuat Lizzie menggigit bibirnya, gemetar hebat dia saat Daxon bicara tepat di telinganya. “Boleh aku mencicipinya?”Pipi Lizzie memerah lebih dari pada yang dia bayangkan. Gadis itu membenamkan wajahnya lebih dalam ke bantal untuk menyembunyikan fakta itu sebisa mungkin, tapi Daxon malah lebih jauh menggodanya dengan menurunkan tubuhnya sendiri. Jari-jari pria itu terasa ringan di punggungnya, tapi kemudina menjadi sedikit lebih bertenaga saat mencapai pangkal pahanya. Dia menaikan pinggul Lizzie dan sedikit meremas otot bundar diantara jari jemarinya.“Brengsek, Om Daxon!”“Aku bahkan belum melakukan apa-apa tapi bagian tubuhmu ini sudah memohon padaku,” ungkap Daxon tanpa malu.Lizzie kira dia akan berhenti disana, namun siapa sangka pria itu malah berbuat lebih brutal. Lizzie dengan cepat mengendalikan dirinya agar tak menggila. Sebelah tangan dia gunakan untuk menutup mulutnya sementara kedua matanya terpejam rapat. Meski memang kedua kakinya gemetaran hebat, tapi dia setidaknya tidak melenguh nakal hanya karena sedikit permainan oral. Tapi pria itu rupanya jauh lebih gila dari pada yang Lizzie duga, lidahnya dengan cekatan bergumul kesana kemari. Memberikan sentuhan pada seluruh bagian terluarnya dan bahkan mencapai dalamnya pula. Makin lama makin menggila ketika pria itu menghisapnya disana, Lizzie mulai kehilangan kendali.Erangan dan desahannya tidak dapat dia tahan, dia pasrah ketika tubuh bagian bawahnya telah dibombardir tanpa ampun oleh mulut pria itu. Suara basah yang erotis terdengar ke seluruh penjuru ruangan, membuat Lizzie semakin bergairah dan kepalanya mulai kosong. Merasakan bagaimana lidah basah Daxon itu menusuk dan memberikan pijatan lembut dengan cara yang tidak dapat dia sangka. Lizzie mencoba menghentikannya dan berusaha kabur, tapi bukannya berhasil tubuh Lizzie justru dibalikan sehingga dia kini bisa menatap pria itu sedang memakannya di bawah sana. Lizzie meremas seprai kuat-kuat ketika pria itu makin rakus dan lahap, tubuh bagian bawahnya terangkat ke atas lantaran Daxon mengangkatnya, meminum semuanya seolah dia lapar dengan kedua tangan yang memegang pinggangnya erat-erat. Lizzie tidak kuasa menahan dirinya dalam puncak, sehingga melengkungkan punggung ketika pria itu menghisapnya kuat-kuat.Dia merasa seluruh beban di tubuhnya menghilang, seluruh otot ditubuhnya melemas, napasnya yang compang-camping masih berusaha dia stabilkan. Lizzie tidak dapat menghitung seberapa banyak umpatan yang keluar dari bibirnya. Untungnya Daxon memberi jeda padanya untuk bernapas. Daxon menatapnya dengan kilatan yang berarti sesuatu, seringai licik tercetak di wajahnya sejalan dengan dia yang menjilat bibir bawahnya sendiri. Lihat betapa menyebalkannya pula ekspresi yang dia buat dengan wajah yang terciprat cairan cintanya. Dia seolah puas mengolok-olok Lizzie dengan ekspresi itu.“Kau suka itu?”“Berisik!”“Hm~” Daxon tiba-tiba sudah meraih kedua tangan Lizzie dan menariknya sedikit.“Tidak! jangan dulu!”Lizzie sedikit panik sekarang, dia menatap Daxon dengan air mata yang mengalir di sudut matanya. Wajah Daxon yang berkilat oleh keringat dan cairan cintanya memberikan kesan cabul yang mendalam. Tapi masalahnya sekarang adalah Lizzie merasa akan agak kewalahan melawannya. Apalagi saat kini dia telah tertindih dan dengan mudah berada dibawah kendali pria itu.Sambil membungkuk, Daxon menempelkan bibirnya ke telinga Lizzie, bukan sebuah ciuman yang dia dapatkan melainkan hanya bisikan pelan dengan napas yang memburu. “Lebarkan kakimu.”Lizzie mengangguk sambil menarik kemeja Daxon. Pria itu menggigit puncak dadanya, seraya menanggalkan pakaiannya sendiri begitu pula Lizzie yang melakukan hal serupa. Daxon meraih gadis itu dan menciumnya dalam-dalam, membuat mulutnya terasa panas. Daxon kembali meraih sela-sela kaki Lizzie, kali ini melepaskan mainan yang menyumbatnya menciptakan bunyi yang lucu dan basah disana. Lizzie bergidik karena Daxon memeluk erat dirinya ketika sensasi tersebut menyapu dirinya. Sambil melingkarkan lengannya di pinggang Lizzie, Daxon membantu gadis itu untuk duduk dipangkuannya. Lizzie membuka lebar kedua kakinya, seraya memegang bahu Daxon dengan jarinya yang gemetaran. Dengan hati-hati Lizzie memposisikan dirinya di pangkuan Daxon, menemukan bagian diri dari Daxon yang menggodanya ketika dia mencoba memposisikan dirinya disana. Secara perlahan Lizzie meraihnya, menyelipkan bagian itu ke dalam dirinya. Dengan pelan, dengan sangat hati-hati setiap inchi dari bend aitu mulai melesak masuk pada
Tiga tahun kemudian …Lizzie bersenandung seraya meletakan paletnya, mundur selangkah dari posisi untuk mengagumi lukisan baru hasil buah tangannya selama berjam-jam. Bunga-bunga berwarna biru dengan gradasi ungu yang disusun sedemikian rupa di sebuah lapangan yang hijau, sangatlah kontras dengan lukisan yang sebelumnya dia selesaikan dan bertemakan soal medan perang terpencil yang hanya memuat tiga bunga yang tercecer darah dari prajurit. Jika disuruh memilih jelas, Lizzie lebih suka lukisan terbarunya. Tentang ladang bunga yang sedang mekar dan memberikan nuansa penuh kedamaian dan ketenangan di bandingkan lukisan perang. Tentu ada perbedaan signifikan, mulai dari hasil akhirnya sampai pada bagaimana cara dia menyapukan kuasnya dan pemilihan warna juga. Tetapi karena perasaan yang ditimbulkan setelah dia menyelesaikan luksian itu, dia entah kenapa merasakan seperti sebuah kenangan disana. Padahal jelas-jelas Lizzie tidak hidup pada zaman itu. Tetapi lukisan ini adalah representasi a
Ketika itu cukup pagi, Lizzie dan ibunya telah berada di bandara. Armant yang bertugas mengantarkan mereka sampai ke sana, karena Dion harus bekerja, tetapi faktanya Lizzie memang punya niatan untuk pergi pagi-pagi sekali supaya tidak perlu berpamitan dengan pria itu. Sungguh, meski hubungan mereka sudah jauh lebih baik tetapi dia masih saja merasa canggung kepada pria itu. Terlepas dari hal-hal gila yang terjadi diantara mereka berdua yang dipicu oleh Lizzie yang memutuskan keluar dari jalur yang digariskan ayahnya dan memilih menjadi seorang seniman alih-alih menjadi dokter idaman. Tetapi setidaknya hubungan mereka berada sekarang sudah terbilang sedikit lebih sehat dibandingkan sebelum-sebelumnya. Bisa dibilang insiden yang tercipta dari perpisahannya dengan Daxon dua tahun lalu, memberikan sebuah hikmah tersendiri. Lizzie mendapatkan kembali hubungan baik dengan ayahnya. Ya, itu patut disyukuri.Lizzie memeluk mereka berdua sebelum benar-benar pergi. “Kamu tidak merasa terlalu pay
“Aku mencintaimu, Om,” bisik Lizzie, matanya terpejam rapat. “Aku mencintaimu dan aku akan selalu begitu.”Kata-kata itu sesungguhnya kata yang manis, tetapi sekarang saat dia mendengarnya itu jadi begitu menyakitkan. Meskipun memang dia bersungguh-sungguh mengatakannya tetapi setelah dia melakukan sabotase seperti ini. Sudah jelas tidak mungkin pria itu masih ada di balik pintu dan menunggunya, atau mendobrak pintu dan menyangkal penolakan Lizzie terhadapnya. Namun dia tahu, jauh dilubuk hatinya, Lizzie telah menghancurkan segala kemungkinan hal itu terjadi.Dua tahun adalah waktu yang telah dia lewati dalam kesengsaraan, apakah aneh baginya untuk menerima begitu saja kesempatan yang Daxon tawarkan kepadanya? Dan untuk apa semua itu? kesempatan untuk memperbaiki karena saat itu dia belum cukup dewasa? Tapi kesalahan akan terus membayangi dan Lizzie tahu bahwa dia sesungguhnya harus bedamai dengan dirinya dahulu.Meskipun cara memotong ikatannya sangatlah egois, tetapi itu yang terbai
Daxon mengetuk pintu dan kemudian dia mundur selangkah. Dia kembali menatap ponselnya sendiri, tidak untuk menghubungi Lizzie tetapi justru nama Armant yang terdapat disana. Dia membaca ulang seluruh teks yang dikirimkan pemuda itu terhadapnya. Izin telah diberikan…Pintu dibukan dan dia langsung disambut oleh sepasang mata cantik yang telah lama tidak pernah dia lihat. Ada kantung mata yang tercipta dan matanya sedikit membengkak. Sepertinya dia kurang tidur dan sedang putus asa. Kini kedua mata itu dipaksa untuk membelalak lebih lebar.“Daxon …,” bisik Lizzie dengan napas yang terengah-engah.Daxon hanya bisa tersenyum mendengar namanya disebut oleh suara yang teramat dia rindukan. Begitu pula pergerakan bibir itu ketika melafalkannya. Dua tahun tidak banyak mengubah orang rupanya.Dia menatap bibir itu, bibir yang menjadi miliknya dan beberapa kali telah dia cium, diklaim, dan dia gigit ketika tiba pada titik dimana gairah luar biasa menyapu dirinya. Ya, setidaknya hal itu berlaku
Smith menyerbu ke arahnya dan mencoba menghentikan Daxon. Pria itu memandangnya dengan amarah yang menggebu, disertai ekspresi wajah yang tertekan luar biasa.“T-Tidak!” Daxon berteriak ketika Smith menyeretnya untuk masuk kembali ke dalam ruangan. “Smith berhenti! Lepaskan aku sialan!”Smith mendorong Daxon ke lantai seperti pria itu adalah boneka kain. Terlepas dari ukuran dan massa otot Daxon, Smith masih jauh lebih kuat darinya. Oleh karena itu Smith dengan mudah berada diatasnya. Berkuasa atas Daxon dan mengendalikannya seperti seorang ayah yang mencoba menenangkan anak laki-lakinya yang sedang mengamuk dan histeris. Daxon membuka mulutnya untuk terus berteriak tetapi Daxon pada akhirnya menampar pipi pria itu sebelum dia bisa melakukannya.Daxon terkejut.“Ada apa denganmu, Daxon?” bentak Smith. “Demi Tuhan, apa yang ada di kepalamu saat ini? kau sedang bekerja. Ada banyak orang disini, tapi kau sudah kehilangan akal. Ini benar-benar sangat tidak professional.”Daxon menarik nap