Share

Kepergian Seseorang

Hidup kerap kali membawa kita pada adegan buruk. Namun, inilah hidup di mana kita harus menerima apa saja yang kita alami. Seperti apa yang tengah dirasakan salah satu Editor kita. Riehla baru saja mendapat sebuah tamparan yang cukup membuat pipinya merasa panas dan sedikit perih.

"Saya ini sudah bertahun-tahun menjadi Penulis di sini! Kamu kira saya baru bergabung di sini?!" ucap seorang wanita berambut biru tua lurus sedada yang saat itu dibiarkan terurai.

"Tapi, Mbak juga gak bisa seenaknya! Baru tiga hari yang lalu buku Mbak-nya terbit."

"Saya bilang saya akan bayar kerugian yang kalian alami!"

Walau selama ini tidak pernah memiliki masalah dengan Penulis, Riehla sudah menduga bahwa suatu hari hal seperti hari ini akan terjadi. Hidup ini penuh misteri.

"Saya tahu Mbak punya uang banyak, tapi ini bukan soal uang." Riehla masih belum menyerah untuk memenangkan perdebatan sengit itu.

"Biarkan saja," ujar Ellio yang baru saja tiba bersama Randy. Randy memberikan sebuah amplop pada Penulis wanita itu. Wanita itu langsung membukanya dan nampak wajah yang perlahan terlihat kemarahannya memudar.

Randy memberikan sebuah pena yang digunakan wanita itu untuk menandatangani surat yang dimasukkan kembali ke dalam amplop yang diberikan pada Randy. "Akan segera saya kirimkan salinannya," ucap Randy.

"Terima kasih." Seraya tersenyum pada Randy dan Ellio.

Riehla masih belum mengerti situasi yang tengah terjadi itu. "Pembicaraan kami belum selesai," kata Riehla sembari menatap Ellio.

"Semuanya sudah selesai. Kamu gak perlu berdebat lagi."

"Selesai? Saya gak mendengar kalau dia akan tetap di sini sampai waktu yang ditentukan."

"Surat yang baru saja dia tandatangani adalah surat kalau dia akan mengganti rugi kerugian yang kita alami akibat novelnya yang baru rilis beberapa hari terpaksa ditarik dari pasaran," jelas Randy.

Riehla menatap tak percaya Ellio. Tak habis pikir dengan apa yang ada di isi kepala Ellio. Bukankah mereka harus menang? Tapi, Ellio malah menyerah. Padahal Riehla yakin ia akan memenangkan perdebatan itu. "Apa sesulit itu buat memenangkannya?" tanya Riehla pada Ellio.

"Mungkin selama ini kamu selalu berhasil membujuk Penulis-Penulis untuk bergabung dengan kita, tapi ada saat di mana kamu harus menyerah. Kamu gak lihat kalau dia sekeras kepala itu? Saya gak mau buang-buang waktu buat hal yang ujungnya sudah kelihatan." Lalu, melangkah pergi dari sana bersama Randy.

"Mungkin ini yang terbaik," kata Kepala Editor yang berada di samping Riehla.

"Saya masih percaya yang terbaik itu kita mempertahankan Penulis itu. Saya yakin novel itu akan best seller." Lalu, menoleh ke arah Kepala Editor yang hanya bisa memperlihatkan ekspresi bahwa seperti itulah yang perlu mereka terima.

Beberapa jam kemudian...

Hari sudah memasuki malam, dan Riehla masih berada di Ruang Kerja seorang diri. Perempuan itu sedang menatap layar komputer, membaca file novel Penulis yang siang tadi berdebat dengannya. "Kehilangan satu penulis terbaik tuh rasanya ...."

Drrrtt

Menoleh ke arah handphone yang berada di meja, nampak satu pesan masuk dari Ellio. Tentu Riehla langsung membukanya. "Sebaiknya kamu hapus semua file yang bersangkutan dengan Penulis itu" seperti itulah isi pesannya. Ellio benar-benar menyerah.

Riehla menoleh kembali ke layar komputer. Dengan berat hari ia menghapus file cerita itu serta file lainnya. Riehla berharap jika ia tidak akan kehilangan Penulis terbaik lainnya. Jika terus kehilangan bukankah akan berdampak buruk untuk Perusahaan?

Setelah semua pekerjaannya selesai, Riehla beregas untuk pulang. Saat berada di depan lift, handphone yang berada di dalam tote bag terdengar berdering. Diambilnya handphone, terdapat satu panggilan masuk dari nomor tidak dikenal. Takut telepon penting, ia menerimanya.

"Hallo," ujar Riehla.

"Benar ini dengan Editor Riehla?" tanya seorang perempuan di seberang sana.

"Iya. Ini siapa ya?"

"Saya Rani, Adik-nya Kak Maudya."

"Ohh, Adik-nya Maudy. Ada apa telepon saya?"

Tiba-tiba terdengar suara tangis dan itu membuat Riehla heran. "Kamu kenapa nangis?"

"Kak Maudy mengalami kecelakaan, Kak. Dan sekarang ada di ICU."

Ting

Pintu lift terbuka, tetapi Riehla hanya diam dengan sorot mata terkejut. Dirinya terguncang mendengar kabar kurang baik itu. Belum lama Riehla berharap jika ia tidak harus kehilangan Penulis terbaik lagi. Lantas, apa yang sedang terjadi?

"Gimana keadaan Maudy?"

"Kritis."

'Hufftthhh' Riehla menghela nafas berat. Bagaimana jika ia? Tidak. Riehla tidak ingin berpikiran buruk. "Kak Riehla sekarang ke sana. Kirimin alamat Rumah Sakit-nya."

Beberapa saat kemudian...

Motor Riehla terhenti saat lampu merah dan ia mendapat telepon dari Rani. "Kenapa, Ran?" tanya Riehla sembari menatap lampu merah.

Suara tangis Rani sangat mengganggu dan membuat pikiran Riehla semakin buruk. "Kak Maudy ...."

"Kak Maudy kenapa? Sudah sadar?" Riehla berharap jika hari ini tidak menjadi hari terburuk yang rasanya ingin ia hindari.

"Kak Maudy sudah gak ada, Kak!"

Deg

Tin tin tin

Riehla matikan panggilan itu, memasukkan handphone ke dalam tote bag. Segera ia lajukan motor yang tidak lama kemudian dihentikan di tepi jalan beriringan dengan turunnya hujan dengan langsung deras. Hatinya sedang tidak baik-baik saja. Kenapa Tuhan memberikannya cobaan seperti itu?

Disentuhnya dada yang terasa sedikit sesak. Air mata pun perlahan mengalir. Ini bukan masalah harus kehilangan Penulis terbaik yang kedua kalinya dalam waktu hanya beberapa jam. Bagi Riehla, Maudy bukan hanya sekedar Penulis yang selama ini berhubungan baik dengannya, berada di bawah pengawasannya. Maudy yang usianya tiga tahun di bawah Riehla, sudah seperti Adik perempuan.

Rasa sedih itu membuat Riehla tidak peduli sebanyak apa hujan membuat pakaiannya basah. Hingga sebuah mobil sport hitam berhenti di dekatnya. Keluar seorang lelaki tampan dengan sorot mata dingin dengan sebuah payung merah dari dalam sana. Berjalan ke arah Riehla.

"Apa yang sedang kamu lakukan hujan-hujanan seperti ini?!"

Riehla menoleh ke arah pria yang ada di sampingnya yang tengah berbagi payung dengan Riehla. "Pak Ellio," ucap Riehla dengan nada pelan.

"Kamu sudah gila malam-malam gini hujan-hujanan? Gimana kalau sakit? Kamu kan tahu kita belum mendapatkan Editor baru."

"Penulis Maudya, Pak."

"Kenapa?" Tidak bisakah Ellio melihat mata merah Riehla yang seperti sedang menangis itu? Apa air hujan membuatnya benar-benar tidak terlihat?

"Meninggal." Lalu, muncul isakan-isakan kecil.

Ellio memang bukan manusia yang peka, ia baru menyadari apa yang terjadi dengan Riehla setelah mendengar isakan tangis itu. Tidak peduli jika kemeja putihnya akan ikut basah, Ellio bawa Riehla ke dalam dekapannya. Ellio pikir itu mungkin akan sedikit menenangkan Riehla.

Riehla jauhkan diri dari dekapan Ellio. "Saya harus segera menemui Maudy. Duluan, Pak." Ellio perhatikan Riehla.

***

Ellio berpapasan dengan Riehla saat di Lobi. Riehla hanya sedikit membungkukkan badan, tanda hormat. Dapat Ellio lihat ada yang beda dari Riehla. Sorot matanya masih terlihat sendu dan kosong.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status