Helaan nafas perempuan yang tengah terbaring di atas brankar itu cukup terdengar oleh lelaki yang berdiri di dekatnya. "Pak Ellio pergi bukan berarti dia marah sama kamu," ucap Randy."Apa iya? Saya kan sudah merepotkannya.""Sebaiknya kamu banyak-banyak istirahat karena besok kita akan tetap balik ke Jakarta." Lalu, Randy juga pergi meninggalkan Riehla.Riehla tatap pintu. Wajahnya nampak murung. Tidak menyangka bahwa aksi menolongnya malah membawanya ikut menjadi korban. 'Hufftthhh' lagi-lagi ia hanya bisa menghela nafas dengan kekhawatiran yang tengah menyapa itu. Walau Randy berkata bahwa Ellio bukannya marah, Riehla tetap pada pemikirannya bahwa pasti Ellio merasa kesal dengan apa yang disebabkan Riehla.Melangkah masuk ke dalam Ruang Rawat Inap Ellio. Dilihatnya Bos-nya itu yang sedang berdiri di depan jendela, menatap ke arah luar. "Seharusnya Bapak gak pergi gitu aja setelah mengatakan hal seperti itu. Seseorang bisa saja salah paham, dan Riehla pikir Bapak marah sama dia." Ya
Tak tahan dengan Ellio yang terlihat cukup tidak nyaman, Riehla merasa seperti harus melakukan sesuatu. Perempuan itu dengan pastinya berjalan ke arah meja Ellio. Mendudukkan diri seperti itu saja di samping Ellio yang menatap datar. "Gak bisakah Anda melihat seseorang di hadapan Anda yang merasa gak nyaman?!"Kania dibuat tak percaya dengan Riehla. "Saya rasa gak seharusnya Anda di sini!" Tentu Kania tidak ingin kalah dari Riehla."Oh ya? Kamu lupa siapa saya?!" Lalu, menoleh ke arah Ellio yang hanya diam. Pria itu bahkan menatap ke arah lain.Sepertinya Riehla sejenak melupakan siapa dirinya. Di meja tempat para Editor berada, tengah menatap tak percaya dengan apa yang di lakukan Riehla yang dengan beraninya duduk di samping Ellio tanpa Ellio menyuruhnya duduk. Entah dari mana asal keberanian itu."Aku rasa Riehla sudah gak waras," kata salah satu Editor sembari menatap Riehla.Tiba-tiba sembari berdiri dari duduk, perempuan itu meraih tangan CEO-nya. Sontak Ellio menoleh. "Apa yang
"Riehla itu teman apa? Kuliah? Sma? Smp?" tanya Ellio sembari fokus mengemudi."Sma," jawab Yura sembari mengingap setiap kenangan yang mereka lalui bersama."Sekelas?""Mm.""Pasti gak dekat. Beda geng."Yura tersenyum mendengar hal itu. "Sok tahu." Lalu, menoleh ke arah Ellio."Kalau kalian dekat reaksi Riehla gak akan seperti itu." Lalu, menoleh sebentar ke arah Yura."Benar. Kita kayak orang asing." Nampak wajah seperti orang yang menyesal. Yura merasa bersalah atas apa yang terjadi di antara dirinya dan Riehla.Di tempat lain, lebih tepatnya di Ruang Kerja, Riehla yang sedang mengerjakan pekerjaannya itu, diam sejenak. Pikirannya tertuju pada Yura. Setelah sekian lama akhirnya mereka kembali bertemu. Bahkan yang membuat Riehla tak menyangka bahwa Yura adalah Sepupu Ellio. Rasanya dunia ini benar-benar sempit."Kamu gakpapa?" tanya Kepala Editor yang sudah berdiri di samping Riehla."Gakpapa, Bu." Sembari menatap Kepala Editor."Ada beberapa yang perlu direvisi," sembari meletakka
Tiba-tiba Ellio mendapat telepon mengenai pekerjaan sehingga ia sejenak meninggalkan Kakek-nya bersama Riehla. Riehla hanya bisa tersenyum sopan pada pria lansia itu. Rasanya cukup canggung. Tidak tahu harus membicarakan apa. "Pasti melelahkan," kata Kakek-nya Ellio."Gak ada pekerjaan yang gak melelahkan," jawab Riehla seraya tersenyum."Bukan itu. Melainkan memiliki kekasih seperti Ellio. Ellio itu tipe orang yang bekerja keras. Pasti ada saat di mana dia lebih mementingkan pekerjaannya."Dengan alaminya Riehla tersenyum lembut. Seolah ia benar kekasih Ellio yang sedang berbicara dengan Kakek sang kekasih. "Memang ada saat seperti itu, tapi apa yang Mas Ellio lakukan gak akan mengubah rasa cinta kami." Perkataan itu terdengar apa adanya dan tulus. Siapa sangka bahwa itu hanya akting? Kakek-nya Ellio nampak mempercayai perkataan Riehla.Kembalinya Ellio, ia langsung mengajak makan malam di meja makan yang sudah disiapkan Randy. Mereka bertiga pergi ke meja makan. Randy juga ikut makan
Sebelum Ellio mengatakan apa yang sudah berada di otak-nya itu, terlihat sebuah tangan terulur ke arahnya. Ellio tatap Riehla yang sudah siuman. "Handphona saya, Pak." Dengan nada suara pelan.Ellio berikan handphone pada pemiliknya. Berjalan ke arah sofa."Iya, yah.""Kenapa belum pulang juga?""Maaf ya sudah buat Ayah sama Ibu khawatir. Selama beberapa hari ini kayaknya Riehla akan tinggal di Kos'an teman Kantor.""Kenapa gitu?""Riehla lagi lembur terus jadi biar aman tinggal di Kos'an teman yang dekat dengan Kantor."Pria yang terduduk di sofa terpantau tengah memperhatikan perempuan yang berada di brankar. "Harus sekali bohong?" tanya Ellio setelah Riehla selesai teleponan dengan Ayah-nya."Saya gak mau buat kedua orang tua saya khawatir. Saya gak mau nambah beban pikiran mereka.""Bukannya lambat laun mereka akan tahu? Terlebih mereka pasti akan curiga soal keberadaan motor kamu." Lalu, menyandarkan badan ke sandaran sofa."Benar. Tapi, saya lebih memilih membohongi mereka. Kala
Jika Ellio tidak memiliki pemikiran untuk memberi nomornya pada salah seorang Perawat yang merawat Riehla, untuk memberitahunya jika sesuatu terjadi pada Riehla, Ellio tidak akan tahu bahwa sepertinya Riehla tidak bisa ditinggal sendiri. "Saya akan di sini." Lalu, berjalan ke arah sofa."Kan sudah saya bilang gak perlu datang."Ellio dudukkan diri di sofa. "Kalau saya gak datang, gak tahu hal apa lagi yang akan terjadi.""Pria-pria itu gak akan sampai datang ke sini.""Bagaimana bisa saya mempercayainya?""Saya lagi gak mau berdebat.""Saya juga. Sudah waktunya tidur." Lalu, melipat kedua tangan di depan dada, menyandarkan kepala ke sandaran sofa. Perlahan matanya menutup.Riehla yang masih memperhatikan tidak habis pikir dengan sikap CEO-nya itu. Kenapa Ellio sebaik itu? Kenapa harus peduli? Bukankah Riehla hanya menyusahkan? Apa nyatanya Ellio orang yang sebaik itu?"Bisa aja dia baik ke semua orang. Sadarlah, La! Jangan berpikiran yang nggak-nggak." Dengan nada cukup pelan namun ma
Walau Riehla belum sempat melakukan sesuatu pada Bos-nya itu, perempuan itu terlihat tegang. Memilih menatap ke arah lain dari pada bertemu dengan mata tajam Ellio. Ellio tegakkan badan. "Sudah menentukan tempat yang akan kamu tinggali setelah keluar dari Rumah Sakit?""Sudah." Sembaru menatap Ellio, lalu kembali menatap ke arah lain."Di mana?""Apartement Kepala Editor."Ellio berdiri dari duduk. "Saya pulang." Lalu, melangkah."Gak perlu menyuruh orang lain buat menjaga saya." Sembari menatap Ellio.Ellio yang langkahnya terhenti, menoleh ke arah Riehla. "Karena hari ini hari terakhir kamu di sini, saya akan membiarkannya.""Terima kasih.""Untuk?""Semuanya. Semua hal yang sudah Pak Ellio lakukan buat saya." Riehla perhatikan Ellio yang pergi meninggalkannya.Beberapa saat kemudian...Riehla yang duduk di atas brankar dengan bersandar ke bantal yang disandarkan ke kepala brankar, tengah mencoba menghubungi kepala Editor-nya."Ada apa, La? Kamu sudah keluar dari Rumah Sakit?""Beso
Sepeninggalan Ellio yang tentu harus pergi ke Kantor, yang dilakukan Riehla bukanlah terdiam di Kamar yang ditempatinya. Turun ke bawah, mendudukkan diri di sofa panjang. Mengambil remot yang ada di atas meja, menyalakan tv. Riehla memutuskan menonton suatu film Korea. "Rasanya kayak ada yang kurang," gumamnya. Benar. Ia butuh makanan ringan. Apakah Ellio memilikinya? Perempuan itu melangkah ke arah Dapur. Sampainya di Dapur, membuka satu persatu rak hingga ditemukannya makanan ringan. Membawa beberapa.Setelah meninggalkan makanan ringan di meja Ruang Tengah, Riehla segera ke Kamar Tamu. Mengambil handphone yang ada di atas nakas. Mencoba menelepon seseorang.Riehla sungguh tidak tahu jika Ellio sedang meeting. Ellio yang sedang mendengarkan Intan berbicara, sejenak perhatiannya teralihkan ke handphone yang terus bergetar di atas meja. "Sebentar. Saya terima telepon dulu," kata Ellio mengintrupsi. Intan langsung menghentikan ucapannya. Ellio yang tetap duduk di kursi, menerima telepo