Share

4. Punya Rekening

Punya Rekening

“Aku sudah mau mengaku di depan semua orang sebagai suamimu, dan kau masih bilang tidak menikmati tubuhku?”

“Cuma akting! Ingat itu Cuma akting!”

“Aku tidak mau tahu, kau harus membayar lima ratus ribu atau aku bongkar semua kebohongan ini sekarang juga!”

Ancaman Jayid sukses membuat Nawa takut dan panik, dan dia langsung melambaikan tangannya sebagai isyarat dia tidak mau.

“Baiklah, baiklah, kirim nomor rekeningmu, dan aku akan mentransfer uangnya, kalau aku sudah punya!” kata Nawa pada akhirnya.

“Bayar sekarang juga!”

“Sekarang aku tidak punya uang, sialan!”

“Aku tidak punya rekening, jadi bayar saja kalau kau punya uang, berikan nomor ponselmu!” kata Jayid sambil mengeluarkan ponsel dan memberikannya pada Nawa.

Nawa mengambil ponsel dari tangan Jayid dan mengetikkan nomornya sendiri. Setelah itu, Jayid memanggil nomor yang sudah diketik Nawa, hingga tersambung ke ponsel dalam tas Nawa.

“Ingat, jangan mencoba mengganti nomormu atau kabur dariku, aku bisa mengadukanmu ke polisi atas pencemaran nama baik! Apa kau mengerti?”

“Iya, iya! Cerewet!”

Nawa tertegun dan heran, mengapa seorang pria bayaran mau melaporkan dirinya dengan tuduhan melakukan pencemaran nama baik.

“Memangnya apa baiknya, dia Cuma pria sewaan, sampai merasa di cemarkan namanya?” pikir Nawa lagi, sambil tersenyum merendahkan.

“Dan, ingat kau harus membayarnya dalam waktu satu Minggu!”

“Hai! Aku baru gajian bulan depan, mana bisa aku bayar uang sebanyak itu dalam seminggu?”

“Aku tidak peduli! Mana ada gigolo dibayar nyicil?” Jayid berkata sambil mencolek hidung Nawa, memperlihatkan lagi cincin di jarinya, sebelum melangkah pergi.

“Hai! Apa kau berasal dari keluarga Solomon?” tanya Nawa.

“Bukan urusanmu, aku Cuma orang sewaan dan suami palsu, jadi untuk apa kau tahu?”

“Dasar gigolo sialan!” kata Nawa sambil mengentakkan kakinya.

Setelah Jayid menghilang dari pandangan, dia mencoba menghubungi Neti, tapi ponselnya tidak aktif dan pesannya pun tidak di balas.

“Ke mana anak itu, sih? Awas dia kalau sampai salah orang, malu aku. Mana sekarang aku punya utang lagi! Akh ....!” gumam Nawa seorang diri.

Nawa berjalan sambil mengingat kembali bentuk cincin yang terlihat di matanya, saat jari Jayid mencolek hidungnya tadi.

Sesampainya di rumah sederhana peninggalan kedua orang tuanya, Nawa mencari sesuatu, membongkar isi laci dan lemari di kamar yang dulu ditempati oleh ibu dan ayahnya. Semua barang keluar dari sana, hingga tampak begitu berantakkan. Namun, akhirnya dia bisa menemukan benda yang dicarinya.

Sebuah cincin perak dengan ukiran singa di atasnya, pada mata singa ada batu kecil berwarna merah.

“Mungkin, ini kebetulan saja dia memiliki cincin yang sama dengan Ayah, tapi aku merasa aneh.” Nawa bermonolog.

Dia memasukkan cincin itu ke dalam tasnya dan kemudian membereskan tempat tidur yang, sudah dibuat acak-acakan.

“Kenapa acak-acakan begini, Na, apa terjadi sesuatu?” kata seorang pria bertubuh gempal sambil berkacak pinggang di hadapan Nawa. Dia kakak Nawa satu-satunya, Rasyid, yang tinggal bersama setelah kedua orang tua mereka tiada. Dia sangat menyayangi Nawa, sebagai amanah dari ayah ibu, yang harus dijaga sampai wanita itu menemukan pendamping hidupnya.

“Hehe, Kakak udah pulang?” Nawa menjawab pertanyaan Kakaknya dengan pertanyaan pula.

Dia kemudian duduk di sisi tempat tidur, milik ayah dan ibunya di kamar itu, sambil menceritakan pengalamannya tadi di pesta pernikahan Marhan, dan pertemuannya dengan Jayid, yang memakai cincin yang sama dengan milik ayah mereka.

Cincin itu sengaja dibuat oleh sang kakek dengan maksud mengabadikan persahabatannya dengan seorang teman bernama Solomon. Mereka sepakat memberikannya secara turun temurun kepada anak cucu.

Namun, di tengah perjalanan, sebuah kejadian menewaskan kedua orang tua Nawa secara misterius, sedangkan polisi menemukan cincin itu di lokasi kematian mereka.

“Siapa orang itu?” tanya Rasyid.

Nawa tersadar saat mendengar pertanyaan Kakak laki-lakinya tentang pria sewaannya tadi, karena tidak tahu siapa namanya.

“Aku tidak tahu, cuman melihat saja!” jawab Nawa tidak ingin mempermasalahkannya lebih jauh. Biar bagaimanapun, peristiwa itu sudah terjadi belasan tahun silam.

“Oh, ya sudah ... mandi sana, ganti baju, berarti sukses kan, rencananya, mempermalukan Marhan?”

“Iya, Kak!”

“Ya! Syukurlah kalau sukses, pasti Marhan malu dan menyesal sudah melepaskan perempuan secantik adikku!”

“Akh, Kakak bisa saja!”

“Apa suami bohonganmu itu tampan? Siapa tahu kau benar-benar berjodoh dengannya!”

Nawa hanya mengedikkan bahunya saat Rasyid berkata demikian, tentu saja dia tidak mau menjadi istri seorang gigolo, yang pastinya punya banyak penyakit menular. Namun, dia tidak bercerita kalau dia memiliki utang.

Hari sudah malam saat Nawa menerima panggilan dari nomor yang tidak dikenal. Dia sedang makan malam dengan nasi goreng bersama Rasyid di ruang tamu rumah itu.

“Halo!” kata Nawa di sela-sela makan.

“Ingat, sekarang sudah malam, jadi, waktumu tinggal enam hari lagi untuk membayar utang!” kata suara di balik telepon.

“Ya! Aku tahu!”

Nawa menutup panggilan secara sepihak, seraya melanjutkan makan malam, dan saat Rasyid menanyakan siapa orang yang menghubunginya, gadis itu hanya menjawab bahwa, yang menelepon adalah temannya.

❤️❤️❤️

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status