Share

3. Punya Utang

Punya Hutang

Nawa diam sejenak, dia bukannya tidak ingat kalau sudah merelakan semuanya, tapi ini hanya pembalasan saja, untuk merusak pesta mereka.

“Ya! Sebaiknya kau pergi sana! Aida jauh lebih baik darimu!” kata Rima sambil melangkah lebih dekat dan menarik tangan Nawa yang memegang ponsel, tapi Nawa menepisnya.

“Aku tidak membuat kegaduhan, aku hanya mau menunjukkan padamu, kalau aku juga sudah menikah!” kata Nawa kembali bergelayut di lengan Jayid yang masih saja diam, dia melirik jam di tangannya.

“Aku tidak peduli kau menikahi pria seperti apa? Cepat pergi dari sini! Aku sudah tahu sejak lama kalau kau tidak pantas untuk anakku!” kata Rima lagi, sambil mendorong Nawa, tanpa melihat sedikit pun ke arah pria yang mengerutkan kening disebelahnya.

Pakaian kebaya yang dipakai Nawa saat itu memiliki bawahan span Maxi dan, sepatu hak tinggi, membuat keseimbangannya goyah, hingga dia terhuyung ke belakang.

Jayid dengan sigap memapah tubuh Nawa dan membawanya dalam pelukan, hingga tatapan kedua mata mereka, kembali saling beradu. Itu adalah tatapan mata yang kedua, diam-diam mereka saling mengagumi satu sama lain.

Dengan gerakan lembut, Jayid mengambil toa pengeras suara dari tangan Nawa, tanpa mengalihkan tatapan matanya, sedangkan tubuh mereka saling menempel.

Setelah kesadarannya pulih, Nawa melepaskan diri dari pelukan Jayid, dia kembali menegakkan tubuhnya.

“Tidak ada masalah kau anggap aku kurang pantas untuk anakmu, tapi aku cukup pantas untuk pria lain, kan?” Katanya sambil menepuk dada Jayid lembut.

Nawa tersenyum lebar demi melihat tatapan mata semua orang yang tercengang setelah melihat laki-laki yang ada di sampingnya.

“Ya!” kata Jayid sambil melingkarkan tangannya lebih erat di pinggang Nawa dan berteriak dengan toa di tangannya, “Aku suaminya!” Sambil tersenyum lembut ke arah Nawa yang justru terlihat gugup, debaran jantungnya seperti sedang bergemuruh riang.

Bukan hanya keluarga Marhan saja yang mengenal pria itu, sebagian orang yang ada di sana pun, ternyata mengenal Jayid.

Saat itu Ahmada, Ayah Marhan, yang hanya diam dari tadi, pun langsung berdiri di samping Rima—istrinya. Dia tahu persis siapa yang sedang mengaku sebagai suami Nawa, Jayidian Razee seorang CEO PT. Alrazee yang terkenal. Perusahaan itu bisa dikatakan sebagai rajanya properti. Dahulu, kakek Marhan sempat bersahabat dengan kakek Jayid, bahkan mereka menganggap saudara satu sama lain.

Rima pun mengetahui sedikit tentang pria itu, tapi dia menolak kenyataan jika pria seperti Jayid bisa menjadi suami Nawa, hanya dalam hitungan hari berpisah dari putranya.

Dengan penuh kebencian, dia pun mengusir dua manusia yang hatinya kini tengah tak menentu, dengan berkata, “Terserah mau apa kalian, yang penting jangan di sini! Kalian tidak diundang!” sambil menggerakkan tangannya. Namun, Ahmada menahan sikap Rima yang terlihat sedikit kurang ajar.

Jayid tidak memedulikan sikap Rima dan Ahmada, dia justru memeluk Nawa lebih erat.

“Apa kau tidak apa-apa, Sayang?” katanya, sambil tersenyum begitu manis.

Nawa seperti terhipnotis, dia tidak mengatakan apa pun selain mengangguk.

“Kalau kau tidak apa-apa, ayo! Kita pergi dari sini, pesta ini kurang pantas untuk aku datangi!” kata Jayid lagi sambil melepaskan pelukan, menggamit tangan Nawa dan berjalan ke luar ballroom.

Disaat yang bersamaan, Rizal mendekat dan Jayid menyerahkan pengeras suara itu padanya.

Sesampainya di lobby hotel, Nawa menepis keras tangan Jayid dengan kesal dan gantian dia menyeret Jayid ke sisi ruangan lain yang tidak banyak orang.

“Hai! Tidak seperti ini kesepakatan kita, kan?” Katanya setelah melepaskan tangan Jayid, “Tidak ada peluk-pelukan! Apa kau memanfaatkan aku, dasar laki-laki sewaan! Kau pandai mencari-cari kesempatan!”

Jayid menyeringai dan berkata, “Kau yang jelas-jelas memanfaatkan aku, tapi bilang aku mencuri kesempatan?”

“Itu sudah jelas! Aku bilang kau harus mendekat sesuai isyarat, tapi kau—“ ucapan Nawa terputus, karena Jayid tiba-tiba mencium bibirnya sekilas, membuat Nawa terkejut, tapi ciuman itu hangat dan lembut.

“Tidak ada waktu, lihat sudah lebih dari satu jam ... jadi, kau harus membayar kompensasi padaku!” Jayid berkata sambil menunjukkan jam di tangannya.

“Apa-apaan, mana mungkin lewat dari satu jam!” Nawa tidak percaya dan meraih tangan Jayid untuk, melihat jam di tangannya.

Seketika Nawa melotot, pikiran berkecamuk bukan hanya karena merek jam tangan yang, dinilainya tidak pantas dipakai oleh seorang laki-laki sewaan tetapi, cincin yang ada di tangannya.

“Mana mungkin seorang pria sewaan punya jam semahal ini, dan cincin itu, apa dia berasal dari keluarga Solomon? Menjijikkan sekali, ternyata keluarga itu lebih buruk dari cerita Ibu!” pikir Nawa.

“Sekarang kau percaya, kan?” tanya Jayid membuyarkan lamunan Nawa.

“Ya! Tapi, mana mungkin lebih dari satu jam?”

“Apa jam ini bohong?” Jayid berkata sambil menyeringai, “Jadi bayar kompensasinya sekarang!”

Nawa melihat tas dan isi dompetnya, dia tidak memiliki uang lagi selain untuk makan dan ongkos taxi.

“Sialan, kau! Aku tidak punya uang lagi! Tahu?”

“Kalau begitu, kau berutang padaku, lima ratus ribu!”

“Apa kau gila, mana ada gigolo di bayar semahal itu dalam satu jam? Kita tidak melakukan apa pun, aku juga tidak menikmati tubuhmu sama sekali!”

❤️❤️❤️

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status