Share

Bab 3 Harapan

Kedua gadis memakai baju dinas putih bercerita di meja cafetaria dengan ceria. Mereka cekikikan. Menceritakan beberapa hal yang penting dan juga hal tidak penting sama sekali. Makanan dan minuman yang mereka pesan sudah dilahap sampai tak bersisa.

Cafe yang tak jauh dari tempat kerja mereka menjadi tempat alternatif untuk makan siang selain rumah makan padang yang ada di sebelah kantor mereka. Cafe yang menyajikan menu masakan nusantara yang cocok dengan lidah mereka, membuat mereka betah dan sering berkunjung ke cafe tersebut.

Di saat jam makan siang seperti saat ini, pelanggan harus sabar menunggu pesanan mereka. Karena begitu banyak pelanggan yang antri di jam padat seperti siang ini.

Kedua gadis yang bercengkrama tidak memedulikan begitu banyaknya orang di cafe tersebut. Mereka tetap bercerita dan bercanda dengan alur mereka sendiri. Jika bertemu, tak akan habis bahan yang menjadi obrolan bagi kedua gadis itu, tapi mereka tak suka menceritakan aib orang lain. Mereka lebih memilih untuk bercanda mengenai situasi yang sudah mereka lalui atau hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan.

"Terkadang, aku membayangkan kehidupan rumah tangga yang sempurna. Suami yang ganteng, mapan, dapat mertua yang baik dan punya anak yang lucu-lucu. Ah... sangat indah, Tis."

Nadia bercerita dengan penuh semangat sambil memegang tangan teman yang ada di seberangnya.

"Pacar aja belum punya, udah mikirnya ke mana-mana," seru gadis yang di hadapan Nadia. Jarak mereka terhalang dengan meja yang terbuat dari kayu.

"Idih... nanti juga bakal ketemu kok, aku mah santai aja." Nadia sedikit mencibir manja.

"Yakin kamu dalam keadaan santai saat ini?" tanya perempuan berpakaian warna putih secara keseluruhan.

"Huhuhu... tidak Bu..., umurku sudah 25 dan aku belum menemukan jodohku."

Nadia berpura-pura menangis dan berpura-pura menghapus air mata yang tidak ada sama sekali. Dia membuat mimik wajah mewek seperti e-moticon di handphone.

Teman yang di depannya tertawa melihat kelakuan Nadia.

"Seorang Tisna dong ya, yang lagi naik daun sekarang ini, punya pacar pengacara dan beberapa bulan lagi akan menikah." Nadia berseru dan berusaha memuji temannya itu. Sembari mengetuk-ngetukkan jari jemari ke atas meja. Melakukan aksi penekanan pujian yang dilontarkannya.

Gadis yang disebut Nadia bernama Tisna, hanya tersenyum. Dia menyeruput gelas yang sudah kosong. Mungkin gadis itu salah tingkah karena ucapan Nadia. Gadis itu tersenyum kecil.

"Kamu, kenapa sih belum pacaran sampai sekarang?" tanya Tisna setelah menelan minuman yang masuk ke tenggorokannya.

"Apa ya? Pertama mungkin karena aku sibuk. Kedua belum ada pangeran yang hadir secara jantan mendatangi ayah dan ibuku untuk melamar." Nadia berpikir keras untuk menjawab pertanyaan Tisna. Memasang wajah serius dengan kadar berlipat ganda.

"What?... apa ada zaman sekarang lelaki yang langsung mau ngelamar perempuan yang belum dia kenal? Imposible." Tisna membelalakkan kedua bola mata. Maskara di matanya seakan ingin berontak keluar. Mulutnya terhenti menyedot minuman. Bibirnya sedikit terbuka.

"Hmmm... gimana ya? Aku yakin sih itu bakal terjadi." Nadia mengatakan kalimat harapan sembari mengambil benda di dalam tas dan tangannya langsung membuka benda itu di depan wajah. Dia berkaca. Memeriksa gigi, apakah masih ada sisa makanan yang tertinggal. Kemudian memeriksa lipstik yang tertempel di bibirnya yang menawan.

"Serah lu dah." Tisna mengambil tisu dan menempelkan ke hidung yang berkeringat, setelah merasa puas dengan minuman yang telah habis.

"Aku yakin kok bakal mendapatkan pria yang aku idamkan. Mapan, cakep, kehidupan rumah tangga yang sempurna," harap Nadia. Gadis itu tersenyum kecil. Kaca kecil menjadi saksi senyum menawan yang dipasangnya.

"Seperti drama korea?" ketus Tisna.

"Mungkin tidak persis seperti itu tapi... mendekati."

"Ho-oh." Tisna seakan mengejek pendapat Nadia.

"Kenapa?"

"Nad, kata ibuku, kehidupan berumah tangga tidak seindah yang kita bayangkan. Banyak cobaan di lima tahun pertama dari pengenalan masing-masing karakter pasangan, setelah itu, lima tahun berikutnya akan banyak cobaan dari keluarga di sekeliling kita." Kini Tisna yang berkaca dengan benda kepunyaan Nadia, setelah mengutarakan pendapatnya. Gadis itu merebut benda berwarna coklat muda dari tangan kanan temannya beberapa detik lalu.

"Terus... ngapain kita berumah tangga kalau dikasi cobaan melulu?" tanya Nadia dengan wajah serius.

"Tau' dah gua," jawab Tisna cuek. Melihat ke arah kaca kecil yang diambil dari tangan Nadia tadi.

"Tapi kata dosen reproduksiku, kawin itu cuma lima persen yang enak."

Tisna terpaku. Mulutnya sedikit terbuka menghadap ke cermin kecil berbentuk lingkaran di depannya. "Lah... sembilan puluh lima persen enggak ada enaknya?” Kedua matanya yang kecil berusaha dibesarkan. Melotot ke arah Nadia. Penasaran, apakah pernyataannya benar atau tidak.

"Sembilan puluh persen lagi... enaaaak... tenan." Nadia tertawa cekikikan, setelah mengutarakan kalimat itu.

"Hadeh... sangat tidak lucu." Tapi Tisna tertawa setelah mengucapkan kalimat itu, sembari menutup cermin kecil di tangan kanan.

Nadia dan Tisna sudah lama berteman semenjak mereka kerja di Rumah Sakit dr. Moewardi, sekitar dua tahun yang lalu. Walaupun mereka berbeda profesi, Tisna sebagai perawat sedangkan Nadia sebagai dokter umum, pertemanan mereka tidak terhalang oleh hal itu. Nadia sangat menyukai Tisna karena perawat ini sering membuatnya terhibur dan memiliki sifat apa adanya. Berteman dengan tulus. Nadia tahu akan hal itu.

Mereka sering menghabiskan waktu berdua di jam makan siang, seperti sekarang ini. Curhat mengenai masalah pribadi atau hanya sekedar bercerita kecil masalah pekerjaan dan bercanda ria.

Tisna akan menikah beberapa bulan lagi. Dia siap untuk dipinang oleh seorang pengacara berasal dari Jakarta.

Sedangkan Nadia, sampai sekarang jodohnya pun belum jelas, jangankan untuk dipinang, lelaki yang dekat dengannya juga belum ada. Sepertinya harapan itu terlalu jauh.

Setelah hampir satu jam mereka berada di cafe, Nadia dan Tisna beranjak dari tempat langganan untuk mengisi perut mereka. Tisna melontarkan beberapa guyonan yang membuat Nadia tertawa. Walaupun mereka telah selesai melakukan kegiatan pengisian perut untuk jiwa raga mereka. Malah Tisna semakin semangat bercanda ketika merasa kenyang. Nadia hanya terkekeh dan sedikit menutup mulutnya dengan tingkah laku Tisna yang kocak. Banyak hal yang ditanggapi Tisna dengan candaan, tapi ketika dia serius, maka akan lebih serius daripada Nadia untuk mengungkapkan pendapatnya. Itulah karakter Tisna yang menjadi asisten Nadia di ruangan kerjanya.

Mereka menyebrang jalan untuk menuju ke kawasan Rumah Sakit Dr. Moewardi. Bergandengan tangan, seakan tak ingin melepaskan momen-momen indah di masa muda sebelum mereka membangun rumah tangga yang penuh dengan misteri, konflik dan permasalahan. Mereka mendapatkan cerita-cerita rumah tangga dari orang tua, keluarga atau teman mereka yang sudah berumah tangga. Tapi, walaupun demikian, kehidupan rumah tangga sangat ingin mereka rasakan, terutama Nadia.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status