Harusnya Gisella hidup di dunia nyata, bukan fiksi. Harusnya dia hidup dengan takdir realita yang diatur Tuhan, bukan oleh pengarang. Harusnya, harusnya, harusnya!
Bagaimana nasibnya nanti? Disakiti oleh suaminya sendiri dan diselingkuhi. Air mata Gisela pun luruh seketika. Jika memang Tuhan memasukkannya ke dunia fiksi, setidaknya biarkan jiwanya masuk ke karakter bahagia, bukan mati dengan tragis. Sama saja dirinya menukarkan kebahagiannya di dunia nyata hanya untuk masuk ke dalam dunia fiksi yang penuh kesengsaraan ini. Apakah dia bisa merubah alur cerita ini? Apakah dia bisa berbuat sesuka hati di sini? Cukup lama dia merenung, hingga akhirnya, Gisela pun berdiri. Menurutnya,tidak ada gunanya jika menangisi takdir saat ini. Dirinya sendirilah yang meminta tadi, kan? Sekarang yang bisa dia lakukan hanyalah bertahan hidup di sini. "Aku harus bisa bertahan di sini. Aku masih bisa untuk mengubah takdir Gisella Almaira, kan? Tunggu saja, akan kupastikan raga ini dan jiwaku hidup dengan bahagia. Tidak ada lagi acara mengemis di bawah kaki lelaki berengsek bernama Wiliam itu. Tidak ada!" ujar Gisella Almaira yang berjiwa Gisella Putri dengan lantang. Jika di cerita sebelumnya, Gisella Almaira tidak ingin menggugat cerai sang suami karena terlalu mencintainya. Maka, Gisella Putri lah yang akan mengubahnya dengan cerita yang berbeda. Jiwanya bukan lagi seorang Gisella Almaira yang haus perhatian dan cinta dari suaminya, tapi ini adalah Gisella Putri, seorang pecinta novel yang antipenderitaan.***
Jdar!
Tiba-tiba saja, suara gemuruh terdengar keras di atas langit.
Padahal sedari siang, hujan tak kunjung berhenti dan terus membasahi kota Jakarta.
Banyak orang lebih memilih berdiam di dalam rumah dan menghangatkan diri. Termasuk Gisella yang sedang meringkuk di sofa yang menghadap ke arah luar kamarnya. Ah, sebenarnya dia tidak sedang menghangatkan diri, sih. Namun, lebih tepatnya meratapi nasib.
Setelah dokter memeriksanya beberapa jam yang lalu, dia terus duduk di sofa dan melamun seperti orang yang hilang akal. Makanan yang disajikan oleh Wenny, tak disentuhnya sama sekali.
Suara ketukan pintu akhirnya membuyarkan lamunan Gisella Almaira Tanpa mendengar instruksi darinya, bik Iati langsung masuk, lalu berdiri di samping gadis itu. "Permisi, Nyonya. Mohon maaf bila saya mengganggu waktu anda. Tuan William sudah datang. Beliau sudah menunggu di ruang makan," ujarnya, lalu pamit undur diri. Gisella terlihat terkejut. Oh, ayolah! Meski tadi sok berani dan berwibawa, tapi sejujurnya jiwa seorang Gisella ini sangatlah penakut. Bagaimana jika dia diseret atau dibanting seperti dalam novel?Membayangkannya saja membuatnya merinding.
Namun, ketakutan itu akhirnya dilawannya. Gadis itu berdiri dan bergegas untuk keluar kamar. Di dalam novel, Gisella tidak punya teman dekat. Bahkan, para pelayannya pun takut kepadanya. Sikap yang semena-mena dan keras kepala membuatnyadisegani oleh mereka. Namun, beda jiwa beda kepribadian, kan? Berbeda dengan Gisella. Meski dirinya pendiam dan tertutup, tapi dia adalah gadis baik yang disukai oleh semua orang. Apalagi jika berdekatan dengan sahabatnya, dia langsung menjadi seorang yang periang. Selain itu, Gisella sendiri adalah orang yang berbakat dan memiliki banyak hobi, seperti membaca novel, memasak, bermain gitar, dan bernyanyi. Ah, sudah selesai sesi berceritanya. Saatnya kembali ke masalah utama, di mana Gisella menuruni tangga dengan langkah pelan. Dia berpikir, bagaimana kira-kira rupa dari seorang Wilian hingga membuat wanita pemilik tubuh ini sangat mencintainya dan enggan untuk melepasnya? Meski masuk ke dalam tubuh Gisella Almaira tetapi ingatannya mash mengikuti Gisella Putri. Ini yang membuatnya agak kesusahan. Setelah sampai di pintu ruang makan, seorang pelayan lantas membukakan pintu untuk Gisella Dari dalam sana, terlihat seorang pria bertubuh atletis yang menatapnya dengan tajam. Mata biru samuderanya terlihat jernih dan indah. Alisnya tebal, bibirnya indah, dan hidungnya pun mancung. Rambut hitam legam yang terpotong rapi membuat kadar ketampanannya bertambah 10x lipat. Apakah ini Wiliam? Pantas saja gisella sangat tergila-gila dengan pria iblis satu ini! Batin Gisella dalam hati. "Ck! Kenapa kau menatapku seperti itu? Hentikan sekarang juga karena raut mukamu itu persis seperti keledai!" ujar pria itu ketus.Namun sayang, Gisella tidak menggubris.
Tubuh wanita itu terlalu lelah untuk meladeni pria gila tak berperasaan satu ini. Lantas, dia pun berjalan masuk dan menduduki kursi paling ujung yang jauh sekali dengan Wiliam.Pria itu sontak mengernyit heran. Biasanya Gisella sangat bersemangat bila diajak bicara, walau Wiliam mengejeknya. Dan juga, biasanya Gisella duduk di kursi yang bersebelahan dengan dirinya.
Mengapa sekarang gadis itu malah duduk di kursi paling ujung?Meski sebenarnya, pria itu masa bodoh dengan Gisella. Akan tetapi, aneh saja jika kelakuannya tiba-tiba berbeda.
Hanya saja, mata William tak sengaja melihat meja makan yang sudah tersaji berbagai macam seafood dan jamur. Asalkan kalian tahu, Wiliam sengaja menyuruh koki untuk memasak makanan tersebut karena gisella tidak suka dengan keduanya. Bukan alergi, cuma gadis itu akan segera muntah jika melihatnya.
Pria itu senang jika melihat istrinya tidak berdaya karena sakit!
'Ya, mari kita lihat apakah kau masih akan berpura-pura?'
Di sebuah tempat yang bahkan tidak tercatat dalam peta Swiss, seorang pria duduk di atas ranjang, mengenakan hoodie gelap dan syal tipis untuk menutupi sebagian wajahnya. Wajah itu sudah tidak asing, meskipun kini lebih kurus dan ada bekas luka samar di pipi kirinya.Wiliam.Ia tidak mati. Ia hanya disembunyikan, dijauhkan, agar para musuh yang masih tersisa percaya bahwa semuanya telah selesai. Tapi bagi Wiliam, semuanya belum berakhir. Masih ada satu hal yang belum ia lakukan: mengembalikan kebahagiaan Gisella dan membimbing Arxavie.Pintu kamar diketuk.“Masuk,” ucap Wiliam, tanpa menoleh.Suara langkah pelan terdengar. Dan detik kemudian, suara yang sudah lama ia rindukan akhirnya memecah udara.“Kalau kau ingin tetap menyamar, setidaknya jangan memakai parfum khasmu.”Wiliam membeku.Perlahan ia menoleh.Gisella berdiri di sana. Mengenakan mantel putih, rambutnya kini lebih panjang, dan matanya—mes
Kuil Valerium, 06:33 AMMatahari belum sepenuhnya terbit. Kabut dingin masih menggantung di antara pilar-pilar batu kuno Valerium.Namun di tengah aula utama, tiga sosok sudah berdiri: Wiliam, Gisella, dan Arxavie. Ketiganya menatap ke depan, pada dinding batu besar yang menjulang tinggi dengan ukiran aneh yang memancarkan cahaya keemasan samar.Itulah Pintu Eden.Bukan sembarang pintu. Tapi sebuah gerbang kuno yang hanya akan terbuka oleh “yang membawa darah dua dunia”—mereka yang lahir dari garis manusia dan keturunan purba.Arxavie berdiri di tengah, antara kedua orang tuanya. Ia menatap pintu besar itu, lalu menengadah pada ayah dan ibunya.“Apa... aku bisa?” bisiknya.Wiliam mengangguk pelan. “Kau anak kami, Arxavie. Kau lebih dari cukup.”Gisella menggenggam tangannya. “Apa pun yang terjadi nanti, kami bersamamu.”Arxavie menelan ludah. Kemudian, ia berjalan perlahan ke depan, mengikuti pola cahay
Wiliam duduk memandangi langit dari jendela kaca. Napasnya berat, dadanya sesak. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya—ia benar-benar merasa seperti ayah... dan gagal.Langkah kaki lembut terdengar dari belakang. Gisella masuk perlahan, tubuhnya dibalut jubah Valerium yang hangat, tapi matanya masih menyimpan banyak luka.Ia berdiri diam di dekat Wiliam.“Apa kau... masih akan tetap diam?” tanyanya pelan. Suaranya nyaris patah.Wiliam tidak langsung menjawab. Hanya memejamkan mata. Hanya suara detak jantungnya sendiri yang menggema dalam kepala.“Kalau aku mulai bicara... aku takut semuanya akan runtuh,” katanya akhirnya. “Kau. Aku. Arxavie. Dan semua yang sudah kita pertahankan selama ini.”Gisella tertawa kecil. Pahit.“Semuanya sudah runtuh sejak hari kau memilih menghilang dan membiarkanku menangis di depan makam kosong.”Ia duduk di kursi sebelahnya.“Kenapa, Wiliam? Kenapa kau lakukan itu? Kenapa k
Lokasi: Valerium, kota tersembunyi di bawah lapisan es abadi di Pegunungan Ural.Waktu: Hari ke-5 sejak Arxavie menghilang.❄️ Scene: Pintu Gerbang ValeriumUdara di sini membeku seperti kematian. Arxavie berjalan perlahan menuruni tangga batu yang dipahat dari dinding-dinding es ribuan tahun lalu. Gema langkah kakinya beradu dengan keheningan yang ganjil—sunyi, namun seolah banyak mata tak kasat mata yang memperhatikan.Di hadapannya, sebuah pintu raksasa dengan simbol bercahaya: sebuah mata dengan dua lingkaran dan satu panah menembus dari bawah."Yang membawa darah Cahaya Terakhir, hanya dia yang boleh masuk."Tangan Arxavie menyentuh permukaan pintu. Dan saat itu juga, pintu batu itu bergetar, lalu terbuka sendiri. Cahaya biru menyelimuti tubuh Arxavie sejenak, dan dunia berubah. Ia masuk ke dimensi lain—sebuah ruang antara waktu dan kenyataan.🌀 Scene: Kota Tanpa WaktuDi dalamnya, Arxavie melihat bangunan-bangunan transparan
Lokasi: Pegunungan Alpen, Swiss. 5 Tahun Setelah Insiden Prilly.Waktu: 06:00 PagiEmbun masih menggantung di dedaunan saat cahaya fajar menyusup dari balik kabut tebal. Di sebuah rumah kayu yang berdiri di ketinggian hampir 3.000 meter dari permukaan laut, suasana damai terasa mengisi udara. Di sinilah keluarga kecil itu tinggal—Gisella, Wiliam, dan Arxavie.Arxavie kini telah berusia 9 tahun. Tak lagi bocah lemah dan rapuh, kini ia tumbuh sebagai anak yang tenang, cerdas, dan... anehnya terlalu bijak untuk anak seusianya. Kadang, bahkan Wiliam merasa ia sedang berbicara dengan seseorang yang jauh lebih tua.Pagi itu, Wiliam tengah menyeduh kopi. Gisella berdiri di dekat jendela, melihat Arxavie yang duduk di tepi danau, bermeditasi. Mata anak itu tertutup, tangannya terbuka, dan udara di sekitarnya perlahan membentuk kristal es, meski matahari mulai naik.“Dia melakukannya lagi,” gumam Gisella, lirih.Wiliam ikut menatap. Lalu menar
Lokasi: Markas Cadangan Seraphim (bunker bawah tanah milik Wiliam) Waktu: Pukul 03:12 dini hari Gisella duduk di sisi tempat tidur Arxavie yang kini tertidur pulas setelah sempat mengalami kejang aneh. Di dalam tidur itu, tubuh anak itu tampak tenang… tetapi di balik kelopak matanya yang terpejam, matanya bergerak cepat—tanda mimpi yang terlalu dalam, terlalu jauh… terlalu nyata. Gisella meremas selimutnya kuat-kuat. Perasaannya gelisah sejak ledakan gudang tadi malam. Wiliam selamat. Tapi belum juga menghubungi langsung. Padahal... dia berjanji akan langsung datang. Tiba-tiba, lampu ruangan berkedip. Suara gemuruh lembut terdengar seperti getaran tanah jauh di bawah. Gisella menoleh ke monitor keamanan. Semua kamera di sektor D... padam. "Frey! Apa yang terjadi?" Gisella berteriak ke arah bodyguard wanita yang berjaga. Wanita itu segera meraih headset. "Ada gangguan sinyal. Seperti…