Suara ketukan jari di atas meja menggema di kamar yang sepi dan dingin. Suara tersebut berasal dari seorang pria dewasa berusia 28 tahun yang duduk santai di sofa sambil menatap ke arah luar jendela.
Ah, siapa lagi kalau bukan Wiliam. Dia mengamati air hujan yang menetes dari ranting pohon dan merembes ke kaca jendela. Cukup membosankan sebenarnya, tapi hal tersebut tidak akan dirasakan oleh seseorang yang pikirannya sedang kalut ke mana-mana. Pastinya, Wilian saat ini tengah memikirkan tingkah laku istrinya yang kelewat aneh. Apa yang membuatnya berbeda seperti itu? Apa karena pingsan tadi? Tanyanya dalam hati. Tadi pagi, siska. meneleponnya dan mengabarkan bahwa Gisella tiba- tiba pingsan di dapur. Dia tidak peduli, bahkan berharap gadis itu mati sekalian. Memang iblis orang ini! Sayangnya, harapannya itu tidak terkabul, malah istrinya tersebut seperti mengidap kepribadian ganda. Pria itu berpikir untuk menunggu sampai besok. Apakah sikap menyebalkan istrinya yang kemarin akan kembali atau tidak. Di tengah rasa bingungnya, tiba-tiba ponsel mahal milik Gisella berdering. Pria itu langsung mengambil benda tersebut dan mengembangkan senyumnya seketika saat melihat ke layar. Wanita tercintanya kini meneleponnya. Dia adalah Prili, seorang model papan atas sekaligus mantan dari Wiliam sendiri. Wiliam memutuskan kembali menjalin hubungan dengannya setelah 1 hari menikah dengan Gisella. Pria itu seharusnya menikahinya, tapi terhalang oleh restu kedua orang tuanya. Malahan, mereka berdua langsung menjodhkannya dengan putri rekan kerja ayahnya-Gisella. Wiliam sangat membenci istrinya. Alasannya tentu karena wanita itu dianggap menghancurkan rencana yang telah disusunnya. Rencana indah untuk mengukir masa depan bersama wanita yang dicintainya. Tanpa pikir panjang, Wiliam segera mengangkat telepon yang barusan berdering. "Halo," sapanya. "Halo, Sayang. Maaf mengganggu waktumu malam-malam,"jawab Prili malu-malu di seberang sana. "Tidak perlu merasa begitu. Aku tidak pernah merasa terganggu olehmu. Ada apa, Sayang?" tanya Wiliam sambil tersenyum. Dia sangat menyukai priu lebih dari apa pun. Wanita itu adalah tipenya. Baik, kalem, lemah lembut, dan anggun. Berbeda sekali dengan istrinya yang kasar, ketus, keras kepala, dan cerewet. "Apakah besok kau sibuk? Aku ingin mengajakmu berbelanja keperluan untukku ke Paris nantinya," ujar Prilli. Ya, wanita itu akan pergi ke ingris beberapa hari lagi. Dia ada tugas untuk menghadiri acara Fashion Week di sana. "Waktuku selalu ada untukmu, Sayang. Bahkan, aku rela meninggalkan pekerjaanku sejenak demi dirimu," Wiliam berkata tulus. Ketulusannya itu hanya untuk Prilli, tidak kepada orang lain, terutama istrinya sendiri. "Terima kasih, Sayang. Aku tutup dulu, goodnight Baby, "kata Prilli. Dia langsung menutup teleponnya tanpa mendengar jawaban dari sang kekasih terlebih dahulu. Hal tersebut langsung membuat Prili mendesah pelan. Sebenarnya, pria itu ingin sekali ikut kekasihnya pergi ke ingris. Sayangnya, ada sejumlah pekerjaan yang tidak bisa dia tinggal. Ditambah lagi, ada proyek penting yang harus diselesaikannya. Gisella meregangkan tubuhnya sambil menggeliat kecil. Dia habis membantu para pelayan untuk mencuci piring dan membersikan meja makan. Tentu saja para pelayan menolak awalnya. Namun, bukan Gisella jika tidak keras kepala. Karakter Gisella Amaira dan gisella Putri tidak jauh berbeda. Mereka sama-sama berkepala batu. Bukan kepalanya yang jadi batu, ya! Namun, keras kepala yang dimiliki Gisella adalah untuk kebaikan. Dia akan menunjukkan sisi tersebut jika akan melakukan hal baik, tapi malah ditolak seperti tadi. Saat ini Gisella hendak menuju kamarnya. Namun, saat di tengah jalan, mata ambernya tak sengaja menangkap siluet pria yang berjalan mendekat ke arahnya. Belum lagi, tatapan pria itu-Gisella, setajam singa yang hendak menerkam mangsanya. Gisella hanya memutar bola matanya malas. Ganteng sih, tapi sayang kelakuannya seperti iblis! Batinnya. Saat kedua orang itu sudah berdekatan, Wiliam melirik gadis tersebut dengan tajam. Gisella pun melakukan hal yang sama. Dia melirik pria itu tak kalah tajam. Padahal dalam novel asli, Gisella tidak akan berani untuk menatap mata sang suami. Wiliam terkesiap sebentar melihat perubahan dalam diri gadis itu. Gisella langsung berlari masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya dengan keras, tak lupa pula menguncinya. Dia takut nanti pria iblis itu akan masuk karena kesal ditatap seperti tadi. Ditambah lagi, ada acara banting pintu. Bisa-bisa, dirinya kena cekik setelah ini! Dugaannya itu ternyata tidak meleset. Wiliam terlihat murka dan tak terima. Akhirnya, dia pun menghampiri dan menggedor pintu kamar Gisella dengan keras. Gadis itu langsung kaget setengah mati. "Aduh, apa yang harus kulakukan?!" tanyanya pada diri sendiri karena panik. "Buka pintunya, Jalang!" teriak Wiliam dari luar. Mendengar hal itu, Gisella pun naik pitam dan membalas sambil berteriak kencang. "Aku sangat sibuk! Pergi dan jangan ganggu aku, Keparat!" Teriakan gadis tersebut sontak membuat Wiliam terkejut dan bertambah emosi.Di sebuah tempat yang bahkan tidak tercatat dalam peta Swiss, seorang pria duduk di atas ranjang, mengenakan hoodie gelap dan syal tipis untuk menutupi sebagian wajahnya. Wajah itu sudah tidak asing, meskipun kini lebih kurus dan ada bekas luka samar di pipi kirinya.Wiliam.Ia tidak mati. Ia hanya disembunyikan, dijauhkan, agar para musuh yang masih tersisa percaya bahwa semuanya telah selesai. Tapi bagi Wiliam, semuanya belum berakhir. Masih ada satu hal yang belum ia lakukan: mengembalikan kebahagiaan Gisella dan membimbing Arxavie.Pintu kamar diketuk.“Masuk,” ucap Wiliam, tanpa menoleh.Suara langkah pelan terdengar. Dan detik kemudian, suara yang sudah lama ia rindukan akhirnya memecah udara.“Kalau kau ingin tetap menyamar, setidaknya jangan memakai parfum khasmu.”Wiliam membeku.Perlahan ia menoleh.Gisella berdiri di sana. Mengenakan mantel putih, rambutnya kini lebih panjang, dan matanya—mes
Kuil Valerium, 06:33 AMMatahari belum sepenuhnya terbit. Kabut dingin masih menggantung di antara pilar-pilar batu kuno Valerium.Namun di tengah aula utama, tiga sosok sudah berdiri: Wiliam, Gisella, dan Arxavie. Ketiganya menatap ke depan, pada dinding batu besar yang menjulang tinggi dengan ukiran aneh yang memancarkan cahaya keemasan samar.Itulah Pintu Eden.Bukan sembarang pintu. Tapi sebuah gerbang kuno yang hanya akan terbuka oleh “yang membawa darah dua dunia”—mereka yang lahir dari garis manusia dan keturunan purba.Arxavie berdiri di tengah, antara kedua orang tuanya. Ia menatap pintu besar itu, lalu menengadah pada ayah dan ibunya.“Apa... aku bisa?” bisiknya.Wiliam mengangguk pelan. “Kau anak kami, Arxavie. Kau lebih dari cukup.”Gisella menggenggam tangannya. “Apa pun yang terjadi nanti, kami bersamamu.”Arxavie menelan ludah. Kemudian, ia berjalan perlahan ke depan, mengikuti pola cahay
Wiliam duduk memandangi langit dari jendela kaca. Napasnya berat, dadanya sesak. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya—ia benar-benar merasa seperti ayah... dan gagal.Langkah kaki lembut terdengar dari belakang. Gisella masuk perlahan, tubuhnya dibalut jubah Valerium yang hangat, tapi matanya masih menyimpan banyak luka.Ia berdiri diam di dekat Wiliam.“Apa kau... masih akan tetap diam?” tanyanya pelan. Suaranya nyaris patah.Wiliam tidak langsung menjawab. Hanya memejamkan mata. Hanya suara detak jantungnya sendiri yang menggema dalam kepala.“Kalau aku mulai bicara... aku takut semuanya akan runtuh,” katanya akhirnya. “Kau. Aku. Arxavie. Dan semua yang sudah kita pertahankan selama ini.”Gisella tertawa kecil. Pahit.“Semuanya sudah runtuh sejak hari kau memilih menghilang dan membiarkanku menangis di depan makam kosong.”Ia duduk di kursi sebelahnya.“Kenapa, Wiliam? Kenapa kau lakukan itu? Kenapa k
Lokasi: Valerium, kota tersembunyi di bawah lapisan es abadi di Pegunungan Ural.Waktu: Hari ke-5 sejak Arxavie menghilang.❄️ Scene: Pintu Gerbang ValeriumUdara di sini membeku seperti kematian. Arxavie berjalan perlahan menuruni tangga batu yang dipahat dari dinding-dinding es ribuan tahun lalu. Gema langkah kakinya beradu dengan keheningan yang ganjil—sunyi, namun seolah banyak mata tak kasat mata yang memperhatikan.Di hadapannya, sebuah pintu raksasa dengan simbol bercahaya: sebuah mata dengan dua lingkaran dan satu panah menembus dari bawah."Yang membawa darah Cahaya Terakhir, hanya dia yang boleh masuk."Tangan Arxavie menyentuh permukaan pintu. Dan saat itu juga, pintu batu itu bergetar, lalu terbuka sendiri. Cahaya biru menyelimuti tubuh Arxavie sejenak, dan dunia berubah. Ia masuk ke dimensi lain—sebuah ruang antara waktu dan kenyataan.🌀 Scene: Kota Tanpa WaktuDi dalamnya, Arxavie melihat bangunan-bangunan transparan
Lokasi: Pegunungan Alpen, Swiss. 5 Tahun Setelah Insiden Prilly.Waktu: 06:00 PagiEmbun masih menggantung di dedaunan saat cahaya fajar menyusup dari balik kabut tebal. Di sebuah rumah kayu yang berdiri di ketinggian hampir 3.000 meter dari permukaan laut, suasana damai terasa mengisi udara. Di sinilah keluarga kecil itu tinggal—Gisella, Wiliam, dan Arxavie.Arxavie kini telah berusia 9 tahun. Tak lagi bocah lemah dan rapuh, kini ia tumbuh sebagai anak yang tenang, cerdas, dan... anehnya terlalu bijak untuk anak seusianya. Kadang, bahkan Wiliam merasa ia sedang berbicara dengan seseorang yang jauh lebih tua.Pagi itu, Wiliam tengah menyeduh kopi. Gisella berdiri di dekat jendela, melihat Arxavie yang duduk di tepi danau, bermeditasi. Mata anak itu tertutup, tangannya terbuka, dan udara di sekitarnya perlahan membentuk kristal es, meski matahari mulai naik.“Dia melakukannya lagi,” gumam Gisella, lirih.Wiliam ikut menatap. Lalu menar
Lokasi: Markas Cadangan Seraphim (bunker bawah tanah milik Wiliam) Waktu: Pukul 03:12 dini hari Gisella duduk di sisi tempat tidur Arxavie yang kini tertidur pulas setelah sempat mengalami kejang aneh. Di dalam tidur itu, tubuh anak itu tampak tenang… tetapi di balik kelopak matanya yang terpejam, matanya bergerak cepat—tanda mimpi yang terlalu dalam, terlalu jauh… terlalu nyata. Gisella meremas selimutnya kuat-kuat. Perasaannya gelisah sejak ledakan gudang tadi malam. Wiliam selamat. Tapi belum juga menghubungi langsung. Padahal... dia berjanji akan langsung datang. Tiba-tiba, lampu ruangan berkedip. Suara gemuruh lembut terdengar seperti getaran tanah jauh di bawah. Gisella menoleh ke monitor keamanan. Semua kamera di sektor D... padam. "Frey! Apa yang terjadi?" Gisella berteriak ke arah bodyguard wanita yang berjaga. Wanita itu segera meraih headset. "Ada gangguan sinyal. Seperti…