Share

BAB 2: "Toko Antik"

Ulangan harian yang sangat menguras otak itu telah berakhir. 

Kalian tahu pelajaran apa itu? 

Ya! Itu matematika! 

Rasanya kepalaku selalu berasap bila dihadapkan dengan rumus-rumus matematika yang memusingkan itu. Belum lagi guru yang mengajar di depan suaranya sangat lembek. Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. 

Aku terkejut setengah mati ketika mendapati seseorang menggebrak mejaku. Jantungku berdetak kencang, aku terdiam karena shock. Pelan-pelan kuangkat wajahku dan melihat siapa si penggebrak meja. 

Aku sangat yakin wajahku semakin memucat mendapati wajah marah Riana sedang menatap tajam ke arah ku. 

Riana mendesis, “Kau tahu kan apa tugasmu dikelas ini?” 

Aku mengangguk takut-takut. 

Aku benar-benar ketakutan! Riana tidak pernah semarah ini sebelumnya, bahkan wajahnya saja sampai memerah menahan emosi. Kalau aku tidak membuat PR miliknya saja sudah dipermalukan, apalagi sekarang. 

Gadis itu kembali menggebrak mejaku dengan lebih kencang. 

“LALU KENAPA KAU TIDAK MENOLEH SAAT AKU MEMANGGILMU TADI!!!” Teriaknya tepat di depan wajahku. 

Tenggorokanku tercekat. Tubuhku menggigil ketakutan, aku tidak pernah dibentak seperti ini sebelumnya. Orang tuaku yang biasanya selalu bertengkar saja tidak pernah membentakku. Aku bahkan tidak mendengar apapun saat ulangan tadi. 

Tanpa kusadari air mata lolos begitu saja melewati pipiku. 

Secepat air mataku turun jugalah Riana menamparku. Rasanya sakit sekali, bahkan rasanya bibirku mengeluarkan darah sangking kerasnya gadis itu menamparku. 

Gadis itu menampar pipiku lagi dan kurasa kali ini darah keluar dari bibirku. 

Aku melihat ke sekeliling, berusaha mencari bantuan. Tetapi yang kulihat malah mereka semua menonton, bahkan merekam kami dengan ponsel mereka, seolah ini adalah hal yang sangat seru dan yang mereka nanti-nanti selama ini. Beberapa pun ada yang mendukung Riana. 

“Ah, menjijikkan! Jerawatnya pecah di tanganku!” Dan mereka semua tertawa. 

Hatiku semakin hancur. Tidak ada yang mau menolongku. Tidak seorang pun. 

Air mataku kembali menetes. 

Bukan tamparan kali ini yang kudapat, melainkan jambakan yang sangat kuat dari tangan Riana ke rambutku. Rasanya sangat sakit, dapat kurasakan kalau rambutku banyak yang rontok. 

Aku mendorong Riana, aku tidak akan tinggal diam diperlakukan seperti ini. Mendapati dorongan dariku membuat emosi Riana semakin tersulut. Dia kembali menamparku, tetapi aku kembali mendorongnya. 

Emosiku benar-benar sudah dipuncak. Aku benar-benar tidak bisa menahan semua ini. Rasanya sangat menyiksa. 

Aku tidak tahan. Benar-benar tidak tahan. “AKU BUKAN ORANG YANG DAPAT KALIAN SURUH-SURUH SEENAKNYA!!” Suara ku melengking, memenuhi setiap sudut ruangan. Emosi menguasai diriku saat ini. Dan semua orang terdiam mendengarnya termasuk Riana. 

Aku mengatur nafas, lalu kembali bersuara dengan volume yang lebih pelan tapi penuh dengan emosi. “Kalian kira aku mendengar disaat kalian memanggilku?! AKU BAHKAN TIDAK TAHU! Aku selalu diam disaat kalian berbicara yang tidak-tidak terhadapku! AKU JUGA MENURUTI APA YANG KALIAN MINTA! Tapi kalian bahkan selalu mengucilkan aku! 

Diluar dugaan. Mereka semua malah kembali tertawa mendengar segala penderitaan yang aku keluarkan. Aku melihat ke sekeliling, mereka semua benar-benar tertawa tanpa ada satupun yang berniat membelaku. Bahkan si ketua kelas berkata “Hei teman-teman! Si buruk rupa itu sudah tidak kuat katanya!” 

Suara tawa mengerikan mereka memenuhi pikiran ku. Menusuk gendang telinga serta hati. 

Riana maju dengan angkuhnya, melipat tangannya seperti sedang menantang dan menatapku seolah-olah aku adalah makhluk yang paling menjijikkan di bumi. Dia berjalan lalu berhenti tepat di depanku, memajukan wajahnya dan berbisik tepat di samping telingaku dengan suara yang paling mengerikan yang pernah kudengar. 

“Kau tidak kuat ya, Alana sayang? Kalau begitu, mati saja!” 

Aku terdiam di tempatku berdiri. Mencerna setiap kata-kata yang keluar dari bibirnya. Menelan saliva ku susah payah. Tak lama, suara tawa sumbangku mengisi kekosongan kelas. Aku keluar dari kelas itu dengan emosi yang sudah tidak dapat aku kontrol. Tapi sebelum pergi aku mengatakan sesuatu yang membuat mereka terdiam. 

“Baiklah, aku akan mati!” 

*** 

Aku berjalan di trotoar seperti orang gila. Rambut kusut, wajah lebam, seragam acak-acakan. Dan terlebih lagi aku sekarang sedang membolos untuk pertama kalinya! 

Yah, aku memilih untuk membolos karena suasana hatiku sedang sangat kacau. Maksudku, benar-benar kacau. Aku sedang tidak ingin bertemu Riana, sedang tidak ingin bertemu guru-guru yang tidak peduli dengan muridnya, dan sedang tidak ingin melihat tatapan merendahkan murid-murid di sekolahku. Di jalan ini, aku tidak begitu diperhatikan karena setiap pejalan kaki sedang sibuk dengan urusannya sendiri. Cukup membuatku tenang. 

Lelah berjalan, aku memutuskan untuk berdiam ditempat aku berpijak sekarang. Sebetulnya aku tidak tahu mau kemana, kalau aku pulang sekarang pasti ibu akan memborbardir ku dengan berbagai macam pertanyaan. Dan aku sedang tidak ingin ditanyai. 

Mataku memandang ke sekeliling. Jujur saja aku tidak tahu sekarang berada di daerah mana. Aku adalah seorang yang buta arah. Tapi entah mengapa aku sudah merasa tidak peduli apakah aku bisa pulang ke rumah atau tidak. Karena aku lelah. Lelah dengan semuanya. 

Sebuah toko antik memaku pandanganku. Tempat itu tidak pernah kulihat dimana pun sebelumnya. Membuat kakiku melangkah ke toko antik tersebut. 

Bunyi bel terdengar begitu aku membuka pintu. Toko antik ini benar-benar sepi, hanya ada aku dan seorang pria pemilik toko yang sudah tua. Di tempat ini ada begitu banyak buku-buku tua, kaset-kaset lama, dan berbagai hal yang aku tidak tahu namanya tapi aku pernah lihat entah dimana. 

Jari-jari ku menelusuri buku-buku tua itu, dan berhenti tepat di sebuah buku yang sampulnya masih terlihat sangat baru. Aneh, semua buku disini sudah lumayan usang, tapi hanya buku ini yang masih terlihat baru. 

Tanpa membaca sinopsisnya, aku membuka lembar demi lembar. Cerita ini lumayan seru, meskipun ceritanya cukup pasaran. Sepertinya ini fiksi penggemar, karena tokohnya adalah Adnan Bastian Danish, salah satu aktor muda yang saat ini sangat digandrungi masyarakat. Tidak ada yang tidak mengenalnya, dari yang tua sampai yang muda. Semuanya menyukai pria itu. 

Aku ingin tertawa karena namaku ada di sana, tertulis sebagai adik dari Adnan yang sangat cantik dan pemberani. Aku ingin menangis, kenapa nasibku tidak seperti itu? Benar-benar tidak adil! 

“Hey, nak. Apa kau menyukai buku itu?” 

Pertanyaan kakek pemilik toko membuat aku mengalihkan fokusku dari buku, dan melihat ke jendela kaca transparan. Sudah gelap rupanya. 

“Iya, kek. Ceritanya lumayan menyenangkan.” Jawabku, berusaha untuk sopan. 

Kakek itu kemudian tersenyum lembut, mengingatkanku pada kakekku yang sudah meninggal, ah aku merindukannya. “Bawalah buku itu pulang, hari sudah gelap.” 

Aku terdiam. Sebetulnya aku ingin sekali membawa buku ini pulang. Tetapi aku meninggalkan tas ku begitu saja di kelas, dan dompetku ada di dalam tas itu. 

“Tapi saya tidak bawa uang, besok saya akan kembali lagi untuk membeli buku ini.” 

Lagi-lagi kakek itu tersenyum, “Karena kau anak yang cantik, aku akan memberikannya padamu secara gratis.” 

Aku terhenyak saat kakek itu bilang aku anak yang cantik. Aku ingin tertawa menanggapi kalimat itu seolah-olah itu adalah lelucon. Tetapi, dia mengatakannya dengan senyuman tulus seperti itu. Ah, sudah berapa lama orang mengatakan hal itu kepadaku? Bahkan aku tidak ingat orang tuaku pernah mengatakan itu padaku setulus kakek ini. 

Aku pun ikut tersenyum, “Baiklah, terima kasih banyak kakek.” 

Aku keluar dari toko itu dengan perasaan yang lebih tenang. Nah, sekarang bagaimana aku harus pulang? Aku melihat lampu lalu lintas, dan menyebrang saat lampu itu berwarna hijau untuk pejalan kaki. 

Karena jalanan sepi, aku memutuskan berjalan lambat di zebra cross sambil menatap senang ke arah buku yang kini tengah ku pegang. 

Seorang lelaki seumuran denganku, berlari ke arahku sambil berteriak. Aku juga merasa ada cahaya yang datang dari arah kiri. Saat itu, waktu berjalan lambat. Seseorang yang menarik tanganku itu, ikut tidak bergerak bersamaku. 

Tubuhku terpelanting ke belakang. Rasanya kepalaku sangat sakit, bagai terhimpit batu. Pandanganku memburam, awalnya hanya kepalaku yang terasa sakit, tapi kini seluruh tubuhku terasa seolah mati rasa. 

Dan perlahan-lahan semuanya menjadi hitam. 

*** 

“Hey!” 

Sebuah suara berat khas laki-laki mengusik tidurku. Mataku terasa berat untuk dibuka dan tubuhku rasanya mau patah seakan-akan habis ditabrak oleh sebuah truk. 

Eh, tunggu! Ditabrak truk? 

“Hey! Alana! Kau tidak mau bangun?” 

Suara itu---tunggu tadi kubilang itu suara berat khas laki-laki? TUNGGU! INI SEBENARNYA ADA APA?! 

Rasa kantukku mendadak hilang seutuhnya. Mataku melotot tak percaya mendapati wajah yang tidak asing sedang menatapku jengkel itu. Mulutku semakin terbuka lebar. 

“A-adnan...Bastian...?” Panggilku ragu. 

IYA! DIA ADALAH AKTOR YANG TERKENAL ITU! SI ADNAN BASTIAN DANISH ITU! 

Lelaki itu melotot kecil, “Aku adalah kakakmu! Panggil aku kakak! Dasar tidak sopan.” 

Ka-kakak... katanya? 

Lalu dia berdecak kesal sambil lanjut mengomeliku, “Gadis macam apa yang bangun di siang hari? Kau mau menjadi apa, huh?” sindirnya, tapi tidak mampu membuat aku tersindir. Lalu keluar dari kamarku tanpa menutup pintunya. 

Aku mengerjapkan mataku pelan, beberapa kali aku menepuk pipiku dengan keras. Apa aku bermimpi? Tapi aku barusan bermimpi kalau aku ditabrak sebuah truk dan terasa sangat nyata sekali. Lalu ini apa? Mimpi didalam mimpi kah? 

Aku memperhatikan ruangan yang aku tempati ini. Kuperhatikan meja rias, meja belajar, tas, perhiasan, dan sebagainya. Dan ini benar adalah kamarku. Lalu apa lelaki ini yang salah? 

Aku menyibak kain selimut dan berlari keluar kamar untuk memastikan apa yang seharusnya dipastikan. Rasa pusing yang luar biasa saat aku berdiri, dan rasa nyeri tubuhku benar-benar terasa seperti baru saja sehabis kecelakaan, tetapi aku abaikan karena ada hal yang lebih penting menanti. Dan aku tak sengaja melihat diriku, wajahku... wajahku mulus! Tapi tidak bisa berlama-lama senang karena wajah ku ini, aku harus memastikan sesuatu! 

Aku berlari menuju ruang makan. Di sana aku melihat kedua orang tua yang memunggungiku dengan Adnan yang duduk dihadapan mereka dan tak lupa ada sebuah kursi kosong disampingnya pria tampan itu. 

Tapi, kedua orang tua itu tampak begitu asing bahkan saat aku lihat dari belakang. 

Suara langkah kakiku yang terdengar begitu jelas membuat seluruh pusat perhatian tertuju padaku yang terlihat linglung ini. 

Seorang wanita paruh baya yang masih terlihat sangat cantik itu tersenyum penuh keibuan kepadaku, 

“Ayo kita sarapan. Kami sudah menunggumu dari tadi.” 

Apa ini? Kenapa jadi seperti ini? Kepalaku... kepalaku sangat pusing. 

Dan sekali lagi, semuanya menjadi gelap. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status