Sesuatu yang terasa basah mengganggu tidurku. Sepertinya ada seseorang yang sedang mengelapku dengan kain basah. Aku membuka mataku perlahan-lahan, awalnya memang sangat berat untuk dibuka tapi tetap aku paksa.
Spontan, aku melotot tak percaya melihat apa–maksudku, siapa–yang ada dihadapanku saat ini.
Rasa sakit di sekujur tubuh terasa olehku begitu aku membuka mata, tapi tak kuhiraukan karena aku malah beranjak duduk dan menyeret tubuhku ke dinding.
"Se-sebentar! Terlalu dekat!" Ujarku dengan panik.
Bagaimana aku tidak panik kalau aku sedang berduaan dengan lelaki yang tak kukenal? Di kamarku pula?
Yah, aku kenal sih, tapi dia memangnya kenal aku?
“Hey, kenapa kau waspada seperti itu kepadaku?” tanya Adnan yang heran dengan tingkahku.
"Bukan begitu..." Aku bergumam pelan, entah dia mendengarku atau tidak.
Aku saat ini sedang bingung. Barusan aku bermimpi aku ditabrak sebuah truk, lalu aku bangun dan mendapati Adnan sebagai kakakku, dan disaat kukira aku sudah sadar ternyata Adnan masih ada dihadapan ku!
Jadi apa aku belum sadar? Apa ini benar-benar mimpi didalam mimpi?
Kulihat Adnan yang awalnya heran kini menjadi panik. Pria itu mendekat ke arahku dan mengguncang bahuku. Dengan kencang, sampai-sampai kepalaku terasa semakin pusing. “Hey! Alana! Kau kenapa?” tanyanya dengan suara panik.
“Se-sebentar...” ucapku disela-sela guncangannya.
Dia berhenti mengguncangku, dan kembali bertanya dengan wajah panik. “Apa? Kenapa? Ada apa?”
Aku...baru sadar kalau wajah kami begitu dekat. Sangat...tampan...
“Alana! Putriku, apa kau sudah sadar?”
Bunyi pintu yang dibuka dengan keras, membuatku tersadar dengan posisiku yang terlalu dekat dengan Adnan. Kemudian aku mendorong wajah tampan Adnan menjauh. Lalu, menatap sepasang suami istri–itu perkiraanku–yang tampak sangat khawatir dengan keadaanku. Sepertinya.
“Sa-saya... Baik-baik saja...”
Dapat kupastikan kalau ketiga orang yang ada didalam kamarku ini menatapku dengan heran. Adnan kemudian menyuarakan keheranannya, “Kenapa kau menggunakan bahasa formal?”
Aku ikut-ikutan heran, “Memangnya ada apa?”
“Kau itu kan anaknya terlalu bersemangat, suka berkelahi, dan tomboy! Kau adalah preman yang terjebak ditubuh seorang gadis manis! Kau bukanlah anak manis yang sopan!”
Paman tampan itu–kau harus percaya semua keluarga ini memiliki visual luar biasa–memukul bagian belakang kepala Adnan. “Bagaimana bisa kau berbicara seperti itu kepada adikmu?”
Ha? Apa katanya? Adik?
Perempuan cantik yang ada diantara mereka berdua berjalan menghampiriku, membiarkan paman tampan dan Adnan bertengkar. Dan mengecek suhu tubuhku.
“Apa kau tidak apa-apa?” Tanyanya dengan lembut.
Aku mengangguk pelan, “Saya tidak apa-apa. Memangnya apa yang terjadi pada saya?”
Wanita itu mengelus rambutku dengan lembut. Sudah berapa lama aku tidak dielus seperti ini oleh ibuku? “Tadi kau pingsan. Mungkin kau demam karena semalam mandi hujan.”
Hujan? Memangnya semalam hujan ya?
“Oh, begitu. Terimakasih bibi, telah menolong saya. Dimana ibu dan ayah saya?” tanyaku sambil melihat keluar kamar.
Tapi pertanyaanku barusan sepertinya membuat ketiga manusia itu shock. Mereka terdiam beberapa saat, bahkan mulut Adnan dan paman tampan sedikit terbuka.
Kupikir mereka tidak mendengar pertanyaanku, jadi aku mengulanginya sekali lagi. Tapi jawaban wanita cantik itu malah membuatku terdiam.
“Apa maksudmu Alana? Aku ibumu dan pria itu adalah ayahmu.”
Apa...katanya?
Sebentar, apa ayah dan ibuku menelantarkan aku karena sudah malas mengurusku? Hey, ada apa ini? Tidak ada yang bisa tolong beritahu aku sesuatu?
Bunyi ponsel di ruang tamu membuat wanita yang menyebut dirinya ibuku pergi. Sementara kedua pria itu menyentuh kening dan tanganku seperti sedang memeriksa ku sambil mengulangi pertanyaan “Apa kau baik-baik saja?” tapi aku masih terlalu shock untuk sekedar menjawab ‘ya’.
Paman yang menyebut dirinya sebagai ayahku itu berjalan mondar-mandir sambil menggigiti kukunya dengan cemas, “Tidak bisa seperti ini. Kita harus membawa Alana ke rumah sakit.”
“Benar, ayah. Kondisinya cukup mengkhawatirkan.” Adnan membenarkan perkataan pria itu, “Tapi apa bisa hanya karena bermain hujan dia menjadi lupa ingatan?”
“T-tunggu...” gumamku pelan. Tapi mereka berdua yang sudah kepalang panik tidak mendengarku.
Apa ini? Ini benar kok rumahku, lalu bagaimana ketiga orang asing itu bisa masuk dan mengatakan aku anak mereka? Masa ada tiga orang gila yang masuk ke rumahku? Lalu, masa seorang aktor boleh gila?
Kepalaku rasanya semakin mau pecah.
“Ingat Mulan, kan? Dia jadi wawancara kerja tapi dia akan ke sini. Aku takut mau meninggalkan Alana dan aku juga tahu kalau kalian berdua tidak akan meninggalkan rumah ini karena Alana.” kata wanita cantik itu sambil berjalan ke arah kamarku. “Setelah kita selesai mewawancarai Wulan, baru kita pergi ke rumah sakit untuk memeriksa Alana.”
Apa? Mulan? Itu kan nama karakter utama novel yang aku dapat dari toko antik itu! Bagaimana bisa..?
Adnan... Mulan... Alana...? ”A-apa Tuan Adnan memiliki teman bernama Tuan Septa dan Tuan Ervan yang bekerja di toko roti?”
Adnan semakin menatapku dengan heran, meski begitu dia tetap menjawab pertanyaanku. “Ya.. tentu saja. Mereka kan sahabat baikku dan mereka juga membutuhkan pekerjaan. Jadi aku memperkerjakan mereka di toko roti keluarga kita.”
Ah...A-aku harus memastikan hal lain lagi. Ini tidak mungkin...
Dengan tubuh yang masih begitu lemah dan begitu nyeri, aku memaksakan tubuhku untuk keluar kamar. Aku berjalan dengan tertatih. Adnan dan pria yang menyebut dirinya ayahku itu mengejarku, tapi tidak bisa karena aku mengambil sepeda yang tergeletak di halaman depan rumahku. Dengan cepat aku mengayuh sepeda itu.
Aku tidak yakin, tapi aku akan kembali ke toko antik tempat aku mendapat novel ini. Aku tidak tahu pasti apa yang akan aku dapat di sana. Tapi kaki dan tanganku terus mengarahkan sepeda ke tempat itu. Entah mengapa aku yang buta arah ini dapat mengingat jalan dengan benar.
Aku menjatuhkan sepeda itu begitu saja saat aku menemukan toko antik itu. Saat kubuka pintunya, bukan barang-barang lama yang menyambut ku melainkan toko kosong yang isinya hanya debu. Meskipun ruangan ini kosong, aku tetap melangkah ke dalam. Kepalaku menoleh ke kanan dan ke kiri, berharap dapat menemukan sesuatu yang dapat menjelaskan situasi ini.
Langkah kakiku terhenti saat aku merasa menginjak sesuatu. Itu sebuah kertas berwarna coklat usang. Karena penasaran, aku membaca kertas itu. Setelah kubaca, aku kaget bukan main. Tubuhku yang sudah lemah terjun bebas ke lantai, terduduk lemah.
Tulisan dari kertas itu adalah, “Ini adalah kesempatan mu untuk menikmati kehidupan yang engkau impikan, nak.”
Semua ini tak terasa nyata sekarang. Kehidupanku memang menyedihkan, jadi karena tahu hidupku menyedihkan maka Tuhan memberikan ku sebuah hadiah karena telah bertahan di kehidupan menyedihkan itu?
Kepalaku terasa kosong. Aku bingung, apa yang harus aku lakukan. Semuanya terasa mendadak dan tidak nyata! Apa... Apa yang harus kulakukan? Aku tidak tahu...
Wajah kedua orang tuaku yang kutinggal memenuhi isi kepalaku. Bagaimana kalau mereka kembali bertengkar? Aku bukannya tidak tahu kalau mereka tetap mempertahankan pernikahan mereka karena aku. Mereka telah berkorban sangat banyak terutama kebahagiaan mereka, hanya demi aku.
Aku keluar dari toko tua ini kemudian meraih sepeda yang kulempar sembarangan itu.
"Hah? Kenapa tidak bisa dijalankan?" Aku panik saat sepeda ini tidak mau dikayuh ke depan.
"Astaga! Rantainya putus. Bagaimana aku bisa pulang?"
Ah! Aku benar-benar ingin menangis. Mau tak mau aku harus mendorong sepeda ini sampai pulang. Dan juga, ini bukan sepedaku!
Dengan wajah tertekuk aku terus mendorong sepeda ini. Saat kulihat, tidak ada siapapun di jalanan ini. Benar-benar tidak ada siapapun! Padahal kalau ada yang lewat, ingin kumintai tolong.
Kenapa aku sial sekali sih?!
Kakiku yang sudah lemah terus kupaksa berjalan di bawah matahari yang bersinar terik. Tubuhku sudah dibanjiri oleh keringat yang terus keluar dari pori-pori tubuhku. Aku tidak kuat lagi...
Aku juga... Lupa jalan pulang... Bagaimana ini?
Tanpa dapat kutahan lagi, air mata pun jatuh membasahi pipi ku yang sudah basah karena keringat.
"Aku mau pulang..."
Aku mendengar derap langkah kaki terburu-buru yang semakin mendekat ke arahku. Aku pun menolehkan kepala ke belakang, tapi aku malah terjatuh. Terbentur orang itu, terbentur sepeda, terbentur aspal. Wah benar-benar!
"Aw! Lihat-lihat kalau jalan!"
Aku sudah kesal karena berada di dunia yang tidak ku kenal. Aku juga tersesat dan kini aku ditabrak sampai terjatuh dan terbentur tiga kali?
"Alana?"
Ada... Yang mengenaliku?
Aku menatap ke arah anak laki-laki yang menabrak ku tadi.
Jantungku seolah berhenti saat kutatap wajahnya yang begitu pucat dengan pakaian lusuh yang ia kenakan. Nafasku tertahan bersamaan dengan mata kami yang saling bertemu. Kenapa rasanya sulit untuk bernafas?
"Benarkan kau Alana?" Pria itu seperti melihat sebuah cahaya di depan matanya saat melihat ku.
Suara itu... Suara yang pernah mengisi hari-hariku. Kepalaku kini diisi kenangan-kenangan manis dan pahit secara bersamaan.
Aku... Tidak mampu berkata apa-apa. Pria itu... Adelio, Adelio Hazard. Pria yang membuatku membenci diriku sendiri. Dan membuat kehidupanku menderita.
Bagiku Lio–nama panggilan Adelio–adalah titik balik di hidupku.Masih terbayang jelas di benakku ketika dia menatapku dengan sorot mata dingin, jijik, dan... Yah, intinya yang buruk-buruk."Aku membencimu!"Dan kalimat itu juga pasti akan selalu terputar di otakku ketika mendengar namanya. Bagai lagu yang tak sengaja terputar di radio rusak, berulang-ulang hingga aku ingin menghancurkan segalanya.Lio lah yang membuatku seperti ini. Membenci dan menyalahkan diriku sendiri tanpa sebab. Aku tidak tahu kami akan bertemu di dunia ini."Jawab aku! Kau benar Alana kan?" Lio berteriak membuat lamunanku buyar.Aku beringsut mundur, "Bukan! Aku tidak mengenalmu!"Lio tampak begitu menyedihkan sekarang. Dia seperti kehilangan arah. Aku tidak tahu pasti, tapi kelihatannya dia tersesat di dunia
Suara berisik itu perlahan-lahan mengganggu tidurku. Seperti suara ayah dan ibu yang sedang bertengkar, sangat berisik. Tak tahan, akhirnya perlahan-lahan aku membuka mataku.Tapi entah mengapa seluruh tubuhku rasanya sangat berat, belum lagi aku sulit bernafas. Nafasku seperti dibatasi oleh sesuatu, apa karena alat yang ada di wajahku ini? Dan juga kepalaku kini diserang rasa sakit yang luar biasa."A-ayah... Ibu..." Hanya suara lirih yang dapat kukeluarkan, karena jujur saja rasanya sangat sulit untuk berbicara. Untuk menggerakkan jariku saja rasanya tidak bisa.Kenapa begini? Perasaan tadi aku baik-baik saja."Alana!" Ibu menyerukan namaku. Wajahnya yang pucat itu basah oleh air mata, "Kau sudah sadar, nak?""Aku akan memanggil dokter!" Kudengar suara langkah kaki ayah menjauh dari kamar."Maafkan kami, Alana. Kami minta
Lio sudah duduk di kursi yang Adnan duduki tadi. Di ruangan ini hanya ada kami berdua, aku sengaja menyuruh Adnan untuk meninggalkan kami. Yah, walau sangat sulit untuk membujuknya keluar."Ada apa anda mencari saya?" Suaraku bergetar saat berbicara. Padahal aku ingin terlihat biasa saja, tapi kenapa suaraku mesti gemetaran?!"Apa kau benar-benar tidak mengenaliku?" Tanya Lio dengan suara sendu yang tak dapat ia sembunyikan.Melihatnya begini aku jadi merasa kasihan. Wajahnya pucat dan dia berjalan sambil menarik-narik tiang infus. Jangan bilang dia keliling rumah sakit dengan tiang itu demi mencari diriku?Tapi sejujurnya, bagaimana dia bisa ada di dunia ini bersamaku? Dunia ini memiliki terlalu banyak teka-teki. Apa jangan-jangan ada orang lain lagi yang berasal dari duniaku? Atau... Ah aku tidak tahu. Rasanya kepalaku akan sakit lagi kalau memikirkan teori dunia novel ini.
Adnan tidak kembali ke kamar inap ku, bahkan ketika malam sudah berganti menjadi pagi. Apa dia semarah itu kepadaku?Ya, suasana di kamar inap ini semakin sepi tanpa ada dirinya. Karena dia yang selalu mengoceh di antara canggungnya suasana keluarga ini karena aku."Kau bertengkar ya dengan kakakmu?"Mendengar pertanyaan tiba-tiba itu dari ibu–maksudku bibi, membuatku terkejut. Pantas saja sedari tadi dia menatapku dengan tatapan penuh kecurigaan dan penasaran, ternyata ada yang ingin dia tanyakan."Tidak, kok!" Elak ku dengan cepat.Ibu, ah maksudku bibi–ini karena aku terbiasa memanggilnya ibu, tapi kalau aku memanggilnya bibi pasti dia akan langsung murung–tersenyum miring, "Kalian bertengkar karena apa?""Kubilang kami tidak bertengkar." Kurasa inilah yang dimaksud dengan insting tajam seorang ibu, meskipun aku bukan an
"Barang mu tidak ada yang tinggal kan?"Aku menggeleng menjawab pertanyaan bibi.Hari ini aku sudah boleh pulang ke rumah setelah lima hari di rawat inap. Jangan tanyakan seberapa leganya hatiku saat aku sudah melepaskan seragam pasien itu."Tampaknya kau sangat senang,"Kutolehkan kepalaku menghadap Adnan. Bisa-bisanya dia bertanya dengan nada menjengkelkan begitu di hari yang indah ini!"Tentu saja aku senang. Siapa yang tahan tinggal di rumah sakit berhari-hari? Pinggang ku sudah sakit karena hanya digunakan untuk duduk dan tidur saja." Gerutuku yang mendapat balasan tawa oleh paman, bibi, dan Adnan.Memangnya omonganku ini terdengar seperti lawakan?Bibi menggenggam tanganku, "Baiklah. Ayo kita pulang. Jangan biarkan tuan putri kita menunggu.""Ugh, mau sampai kapan bibi menggod
Apa ini adegan dimana Adnan bertemu dengan tokoh utama wanita, yaitu Mulan untuk pertama kalinya?Ah, aku ingat! Di dalam buku, diceritakan Adnan yang membawa adiknya pulang dari rumah sakit. Kemudian mereka bersenda gurau di depan rumah dan di saat itulah Mulan datang. Adnan kemudian terpesona pada kecantikan luar biasa milik Mulan.Benar-benar persis seperti yang ada di novel! Tapi kenapa aku tidak ingat kenapa Alana bisa masuk rumah sakit? Seharusnya itu diceritakan di bagian awal novel kan?"Permisi? Apakah benar ini rumah Tuan Adnan? Pemilik toko roti Lavender bukan?" Tanya Mulan pada Adnan yang terus terpesona pada kecantikan wanita itu.Lagipula siapa yang tidak akan terpesona pada seorang Mulan Sasikirana? Tubuhnya ramping tapi tidak terlalu kurus, rambutnya yang hitam legam bergelombang, spesifikasi wajahnya yang sangat sempurna dan saling melengkapi satu sama lain, dan satu yang
Kakiku melangkah mengelilingi kamar tidur Alana dengan mata yang sibuk memandangi seisi kamar ini. Sedari tadi aku tidak bisa berhenti bergidik ngeri karena melihat kesamaan kamar Alana dengan kamarku yang ada di dunia nyata.Mulai dari kasur, meja belajar, buku-buku kami, tulisan tangan kami, pakaian-pakaian kami, bahkan noda terkecil yang ada di dinding pun! Semuanya sama persis dengan kamar yang ada di dunia ku!Apa ini dunia paralel?Setidaknya aku harus mencari petunjuk lain. Aku tidak bisa tidak tahu apapun mengenai dunia ini karena aku belum baca novel itu sepenuhnya. Jadi paling tidak aku harus menemukan petunjuk yang Alana dari dunia ini miliki untuk ku gunakan.Aku pun kembali membongkar meja belajar Alana. Bisa saja dia menulis buku harian. Tapi sepertinya dia tidak melakukan hal itu karena aku juga tidak. Aku biasanya mencurahkan segala isi hatiku di ponsel. Jadi mungkin...
"Alana, kapan kau akan bangun nak?"Hm, suara ibu? Tapi mengapa semuanya gelap? Pernafasan ku rasanya sama seperti waktu aku bermimpi bertemu ibu dan ayah, rasanya seperti dibatasi oleh alat bantu pernafasan."Maafkan kami Alana. Kami janji tidak akan bertengkar lagi."Itu suara ayah? Kenapa suara mereka berdua terdengar samar-samar?Aku ingin membuka mataku, tapi rasanya berat sekali. Seperti ada lem yang menempel di kelopak mataku. Tapi aku tidak boleh terus menutup mataku, aku harus melihat wajah mereka. Karena aku sangat merindukan mereka."Kalau kau membuka matamu sekarang, kami benar-benar tidak akan berkelahi lagi." Ibu berkata sambil menangis sesegukan.Benarkah? Benarkah kalian tidak akan bertengkar kalau aku membuka mataku?Perlahan-lahan kubuka mataku yang berat ini. Rasa sakit luar bia