Beranda / Romansa / Terjerat Aturan! / 2. Jebakan Pernikahan

Share

2. Jebakan Pernikahan

Penulis: Rainy
last update Terakhir Diperbarui: 2022-01-06 17:35:09

.

.

.

Maharani. Itulah namaku. Dulu aku tidak tahu yang namanya kehidupan. Setelah lulus bangku SMA, tiba-tiba saja seorang pengusaha muda melamarku. Ckck … waktu itu aku masih berusia 18 tahun. Apa yang kutahu tentang kehidupan? Begitu polos dan lugu aku menerima lamarannya. Meninggalkan mimpiku dan rencana kuliahku, hanya untuk hidup sebagai isteri dari Adam Kanzani.

Cinta. Dulu aku tergiur olehnya. Hanya satu bulan berkenalan kemudian kami menikah. Dikala itu aku bahagia dan semua orang tertawa, menyangka bahwa kehidupanku akan berubah layaknya cerita putri Cinderella. Tetapi siapa yang menyangka jika di dalamnya, bukan kemewahan yang kudapat. Bukan manis madu, dan juga bukan rangkaian bunga!

Penuh kepalsuan. Cintanya kepadaku tidak begitu dalam bagai embun pagi yang menetes dan menguap begitu saja. Mudah dilupakan! Rapuh dan tidak bisa digenggam. Andai aku dulu tahu akan menjadi seperti ini, mungkin aku tidak akan tergiur dengan paras tampannya itu!

Tetapi nasi telah menjadi bubur. Sekarang usiaku sudah 25 tahun. 7 tahun kusia-siakan menjadi ibu rumah tangga yang hanya melakukan pekerjaan rumah. Tidak memiliki pendidikan tinggi. Tidak punya keahlian khusus. Dan tidak memiliki pergaulan. Bagai seekor burung gelatik buruk rupa aku terkungkung dalam sangkar.

Sedangkan dia, Adam Kanzani, suamiku itu, dia masih sangat tampan. Menginjak usia 30 tahun kariernya begitu berjaya. Dia menjadi sibuk dengan dirinya sendiri, pekerjaannya, kawan-kawannya, dan juga hobinya. Mungkin saja, begitu banyak wanita sedang menunggunya untuk menjadi duda.

Rasa-rasanya, aku ingin menertawakan kebodohanku sendiri. Mengusap air mataku, aku lalu memandang ke hadapan cermin di depanku. Pantulan diriku sendiri membuatku tersentak. Maharani, dimanakah dirimu yang dulu? gumamku kepada jiwaku yang sedang sengsara.

Tenanglah hai jiwaku, tenanglah hai batinku! Esok hari, kau akan menjadi pribadi yang baru. Seraya bergumam, aku mengelus hatiku untuk mengurangi rasa sakitnya. Setelahnya, kutanggalkan semua baju lusuh itu, kubuka ikat rambutku untuk melihat seberapa banyak aku telah berubah.

****

Adam POV

Pada waktu yang sama di kamar sebelah ….

“Shit!” teriakku di dalam kamar.

Keputusan hakim mediator hari ini membuatku naik darah. Awalnya aku berpikir bahwa program mediasi yang dimaksud hanyalah akan berupa sesi kelas bagi kami. Tetapi siapa yang menyangka, hakim itu malah meminta dia untuk menjadi sekretarisku di kantor.

Aku mengacak rambutku karena merasa jengah. Di rumah saja, aku sudah mengecap rasanya api neraka. Wanita itu selalu menyulut emosiku dan merusak suasana hatiku. Jujur, aku tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupanku selama tiga bulan ke depannya bersama wanita itu.

Sesekali hatiku memberontak. Bagai seorang petinju aku ingin menghancurkan kertas bermeterai dihadapanku. Memukulnya, menginjakkan, dan bahkan merobeknya menjadi serpihan-serpihan kecil. Sayangnya tidak bisa! Aku telah terikat hukum dengan menanda-tanganinya.

Bagai sebuah drama, pengadilan menyuruhku untuk bersamanya di kantor. Ckck ... aku menertawakan ide konyol itu. Semua hanya akan menjadi kesia-siaan. Jika dengan pertemuan singkat saja kami selalu terlibat adu mulut, bagaimana dengan kebersamaan yang begitu panjang di dalam kantor?!

Berbaring sejenak, aku ingin menenangkan diriku sejenak. Hari ini terlalu melelahkan bagiku. Semua emosi dan pikiranku terkuras hanya untuk mengurusi masalah perceraian. Padahal hidupku tidak tentang hal itu saja. Ada begitu banyak proyek besar yang menungguku di depan. Pikiranku tidak boleh terpecah, dan fokusku tidak boleh terbagi! 

Hanya tiga bulan, aku berusaha meyakinkan diriku sendiri untuk bertahan. Setelah itu, aku akan terbebas dari belenggu berat yang mengikatku.

Maharani atau biasa kupanggil Rani. Dia adalah isteri yang kunikahi 7 tahun lalu. Waktu itu, aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Dia begitu lucu, lugu dengan memakai seragam SMA yang sudah dicorat-coret dengan spidol warna-warni. Benar, saat itu adalah hari kelulusannya. Entah mengapa saat itu hatiku berdegup kencang dan aku mengikutinya dari belakang. Setelah mengetahui alamatnya, aku langsung melamarnya begitu saja.

Bagai sebuah jebakan, aku masuk ke dalamnya. Rani ternyata bukanlah isteri idamanku. Dia masih kecil dan tidak tahu apa-apa. Baru beberapa tahun bersama, aku sudah merasa lelah dengannya. Kami tidak satu pikiran maupun satu tujuan. Aku bahkan tidak bisa mengerti ada apa di otaknya yang kecil itu.

Semakin hari, dia semakin lusuh dan tidak bisa diajak bicara. Sinarnya memudar dan aku menjadi hilang hasrat dengannya. Salahkah aku jika menyuruhnya untuk pindah ke kamar lain? Sudah tiga tahun kami tidak tidur seranjang, dan dia masih tidak mengerti akan hal itu.

Yang ada dipikirannya hanyalah memasak dan memasak. Memang, menu masakannya selalu bertambah dan semuanya enak. Tetapi apa dia kira aku akan senang dengan semua makanan itu?!

Bukan itu! Aku tidak butuh makanan buatannya. Yang kuperlukan hanyalah ketenangan dan pengertiannya, bukannya ocehan yang membuatku tidak berselera makan setiap harinya.

“Rani, cepat menyingkirlah dari hidupku,” gumamku dengan lirih.

Percuma kami bersama! Bagai dipersimpangan jalan, aku harus memilih, antara dia atau kebahagiaanku. Dan aku telah memilih untuk bahagia. Tentu saja, tanpa dia di dalam hidupku. Apapun akan kulakukan untuk menyingkirkan keberadaannya yang menjemukan itu dan keluar dari jebakan pernikahan ini.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Terjerat Aturan!   30. Seperti Kapal Pecah!

    ...Akhirnya aku menyetujui perkataan Mas Adam. Mau bagaimana lagi, Pak Hakim akan mengadakan inspeksi dan besok aku juga harus membayar arisan. Jadi, ya, aku tidak memiliki pilihan selain kembali ke rumah.Dan sekarang, kami telah masuk area perumahan kami. Suasananya cukup ramai karena waktu masih menunjukkan pukul 19.00 malam. Beberapa anak muda terlihat sedang bersama-sama hendak pergi ke suatu tempat. Dan beberapa keluarga juga nampak sedang bercengkerama di depan rumah mereka. Tak heran, ini adalah sabtu malam minggu. Waktu yang tepat bagi orang untuk bersenang-senang, batinku sebelum aku berbicara kepada Mas Adam.“Mas Adam, nanti mau pergi lagi?” tanyaku kepadanya.Ya, Mas Adam dahulu sering merasa terkekang karena aku selalu menuntutnya di rumah setiap malam minggu. Mengingat itu, aku jadi merasa sedih. Jadi aku sekarang sudah menyiapkan hati andaikala dia ingin bersama dengan teman-temannya.“Engga Ran,&r

  • Terjerat Aturan!   29. Intimidasi untuk Pulang

    . . . Perasaanku begitu kacau. Sudah dengan sekuat tenaga aku berusaha melupakan Mas Adam. Tetapi pria itu … dia malah bersikap manis dan membuat jantungku berdetak kembali manakala dia memandangku. Dan seperti sekarang, aku bahkan dibuat tertarik untuk mencuri pandang kepada pria yang sedang membantu memperbaiki lampu yang padam di luar. “Ehem!” sebuah suara tiba-tiba saja menyadarkanku. Aku terkejut karena ibuku mendadak datang ke dapur dan menepukku dari belakang. “Eh, Ibuk kenapa ngagetin Maharani sih?” keluhku seraya meletakkan apel yang baru saja kucuci ke atas piring buah didepanku. “Ran, kamu itu yang kenapa? Dari tadi ibuk manggil kamu tapi kamu itu malah fokus ngelirik suamimu terus dari jendela. Memangnya kamu engga puas apa liat dia siang-malam? Kayak lagi pacaran aja,” sahut ibuku yang dapat didengar oleh Mas Adam dari luar. Aku menutup mulutku karena merasa sangat malu. Astaga, kenapa ibuk mengatakan hal itu sih?!

  • Terjerat Aturan!   28. Khilaf

    Adam Pov...Malam telah berganti pagi di kediaman mertuaku di Bandung. Samar-samar, aku dapat mendengar suara nafas Maharani yang mengalun begitu lembut. Aku tahu dia begitu lelah, karena dini hari tadi aku sempat membangunkannya untuk sekedar berciuman hingga akhirnya aku khilaf dan hampir saja menidurinya andai saja dia tidak mengatakan bahwa dirinya sedang datang bulan.Dan lihatlah, sekarang leher putihnya itu sudah penuh dengan tanda kebiruan. Hanya saja, aku belum begitu puas karena Maharani terus saja berusaha menutupi bagian dadanya yang sedari sebulan lalu sudah membuatku sangat penasaran itu.Ah! Tidak apa-apa! Mungkin sekarang memang belum waktunya bagiku untuk meminta lebih. Jadi aku tidak ingin memaksanya, batinku merasa yakin bahwa hubungan kami akan kembali seperti semula.Sejenak, aku mengamatinya tidur. Isteriku itu sebenarnya memang sangat cantik. Alisnya begitu tebal dan terbentuk secara alami. Bulu matanya begit

  • Terjerat Aturan!   27. Tidur Sekamar

    ...Dari jendela lantai atas, aku dapat melihat Mas Adam dan para pria bercengkerama dengan begitu asyiknya. Ah, aku tidak ingin mengganggu mereka. Jadi tadi aku dan ibu memilih makan di dapur sambil bercerita singkat.Dan sekarang, aku bingung sendiri. Waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 malam. Sebentar lagi, para bapak-bapak itu akan pulang dan Mas Adam akan naik ke lantai atas. Lalu bagaimana ya kalau Mas Adam tahu kalau aku akan tidur sekamar dengan dia? Batinku.Sambil menggigit jariku, aku berpikir serius. Aku yakin Mas Adam tidak akan suka jika aku tidur sekamar dengan dia. Aku masih ingat, 3 tahun lalu dia mengatakan bahwa dia lebih suka tidur sendiri karena aku hanya akan mengganggunya tidur.Memang benar sih! Dulu aku selalu saja menggelendoti dia. Kalau dia tidur, aku suka memeluk dia dengan erat sampai dia merasa kepanasan dan susah bernafas. Tapi mau bagaimana lagi? Aku dulu kan memang mencari perhatiannya.Mengingat it

  • Terjerat Aturan!   26. Ingin Rujuk?

    ...Setelah Maharani pergi, Bapak terlihat menghela nafasnya dengan berat. Sambil membolak-balikkan ayam bakar itu kembali, Bapak kembali berbicara denganku.“Maharani itu masih kecil, Dam,” ujar Bapak secara tiba-tiba kepadaku. “Teman-teman seumurannya banyak yang masih main-main, jadi kalau Maharani kurang melayani kamu sebagai isteri, Bapak harap kamu bisa mengerti,” tambah Bapak.Mendengar itu, aku menggelengkan kepalaku pelan. Maharani sampai lupa merawatku? Mustahil Pak, batinku seraya mengingat kehebohan isteriku itu dalam melayaniku selama 7 tahun ini.“Tidak Pak, Maharani sangat bisa melayaniku, jangan khawatir,” sahutku sambil mengambil ayam lain untuk kuletakkan ke atas perapian."Baguslah kalau begitu. Itu memang tugas seorang isteri untuk merawat suaminya. Kalau Maharani sampai cuek sama kamu, kamu harus bilang ke Bapak ya, biar Bapak nasihati dia," ucap Bapak."Iya Pak,"

  • Terjerat Aturan!   25. Pulang ke Bandung

    ...Perjalanan Jakarta-Bandung memakan waktu 3 jam. Setelah travel menurunkanku di pinggir jalan, aku langsung menderek koperku untuk menuju ke rumah besar dengan warna kuning gading disana. Itu adalah rumah warisan kakek untuk Bapak. Melihat bahwa lampu di dalam rumah masih menyala terang, aku langsung tersenyum. Sudah tidak sabar aku untuk bertemu dengan kedua orangtuaku sehingga aku mempercepat langkahku untuk lekas sampai kesana.“Bapak, Ibu, Maharani pulang … “ sapaku kepada rumah yang nampak sepi itu.Eh? Ini baru pukul 8 malam, pintu tidak dikunci dan lampu masih menyala terang, tetapi mengapa orang-orang sudah pada tidur? Batinku seraya menarik koperku untuk masuk ke dalam rumah.“Ibu… aku pulang,” kataku kembali.Bergegas, aku lalu meletakkan koperku di dekat kursi meja makan. Setelah itu, aku meletakkan tas plastic besar berisi oleh-oleh dari Jakarta dan mengeluarkan isinya satu-persat

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status