Share

6. Ledakan

"Anger is a valid emotion. It's only bad when it takes control and makes you do things you don't want to do." 

~ Ellen Hopkins ~

♠ ♠ ♠ ♠ ♠

Pintu kamar mandi dalam kamar Abby terbuka. Terlihat wanita itu dalam balutan bathrobe tengah menggosokkan handuk ke rambutnya yang basah. Tubuh Abby merasa jauh lebih ringan setelah mandi. Gaun pengantin sutranya terasa berat sudah ditanggalkannya dan juga riasan serta rambutnya yang disanggul ke belakang kepalanya terlepas membuat kepalanya terasa ringan.

Wanita itu duduk di depan meja riasnya. Dia melihat wajahnya yang polos tanpa riasan serta rambut basahnya yang sedikit berantakan. Dia telah melewati pernikahannya dengan Gio. Dan sekarang ada hal besar yang perlu dikhawatirkannya.

Malam pertama. Dua kalimat itu seakan menjadi momok menakutkan bagi Abby. Dia tidak tahu apapun tentang bercinta karena wanita itu sama sekali belum pernah melakukannya. Dia yakin meskipun Gio bersikap dingin, tapi dia pasti memiliki kemampuan yang lebih tinggi darinya. 

Membayangkan dirinya akan menyerah di bawah dekapan pria dingin itu membuat Abby merinding takut. Bagaimana bisa dia bercinta dengan pria yang baru kemarin ditemuinya? Itulah yang membuat Abby gusar.

Tiba-tiba terdengar pintu kamarnya terbuka. Dari cermin meja riasnya, Abby bisa melihat Gio berdiri menjulang memenuhi ambang pintu. Tatapannya sedingin biasanya sehingga Abby tidak lagi terkejut.

"Apa kau sengaja melakukannya?" tanya pria itu lebih terdengar seperti geraman.

"Melakukan apa?" bingung Abby.

"Mempermalukanku karena lebih akrab dengan Xavery dibandingkan suamimu sendiri?"

Baiklah. Beruang kutub itu telah menyulutkan amarah dalam diriku. Geram Abby dalam hati.

Wanita itu berdiri dan berjalan menghampiri Gio. Tatapan tajamnya berserobok dengan manik mata Gio yang terkesan sedingin es.

"Jadi kau menyalahkanku hanya karena aku lebih akrab dengan Xavery?"

"Tentu saja. Bukankah kau tampak seperti wanita penggoda yang meninggalkan suaminya untuk mengakrabkan diri dengan asistennya? Kupikir kau akan lebih menguntungkan dengan mengakrabkan diri dengan petinggi De Luca Inc."

Amarah Abby mendorong tangannya melayang hendak menampar pipi pria itu. Namun Gio berhasil menangkap pergelangan tangan wanita itu sebelum mendarat dengan keras di pipinya.

"Tak akan kubiarkan kau menamparku untuk kedua kalinya, Abby." Gio mendengus sinis.

"Bahkan tamparan berapa kali pun tidak akan menghentikan mulut bangsatmu, Gio. Seharusnya aku menjahit mulutmu."

"Kau memiliki bahasa yang kasar, Abby."

Ingin rasanya Abby berteriak keras tepat di depan wajah pria itu. "Itu karena kau yang memancingku, Gio. Sebelum menuduhku sebaiknya kau ingat apa yang telah kau lakukan. Kau yang pergi menjauhiku dan melenggang ke sana kemari bersama sekretarismu. Kau bahkan tidak berusaha mengajakku berbicara. Apakah aku salah memilih Xavery sebagai teman bicara yang kukenal?"

"Aku hanya menyapa orang-orang penting di De Luca Inc. bersama Lucy."

Jika Abby bisa, ingin rasanya dia melipat Gio menjadi pesawat kertas dan menerbangkannya sejauh mungkin. Bagaimana bisa ada seseorang yang memiliki tingkat egois begitu tinggi.

"Jadi jika kau pergi melakukan pekerjaanmu bersama sekretarismu, kau menuntutku untuk diam dan menunggumu menghampiriku?"

"Itu jauh lebih baik dibandingkan bercanda dengan Xavery."

"HAH...." Abby benar-benar emosi menghadapi beruang kutub di hadapannya, "aku bukan patung atau boneka yang bisa kau atur, Mr. Pole bear. Aku punya mulut yang bisa aku atur sendiri. Kau bisa mengaturku untuk menjadi istrimu, tapi jangan harap kau mengatur apapun yang akan kulakukan. Kau adalah pria dengan tingkat kesombongan tinggi yang membuatku muak. Jadi kusarankan kau keluar dari kamarku. Atau kau akan merasakan amukanku." Abby terengah-engah setelah mengeluarkan emosinya.

"Ini rumahku, Abby. Terserah aku mau pergi atau tidak."

Abby mendengus kesal untuk kesekian kalinya, "Baiklah. Kau memang rajanya. Jadi aku yang akan keluar."

Gio tidak percaya saat Abby benar-benar akan keluar dari kamar. Untuk pertama kalinya dalam hidup Gio, tidak pernah ada orang yang menentangnya. Semua orang tunduk padanya atau bahkan takut padanya. Tapi Abby tidak memiliki rasa takut itu.

Langkah Abby terhenti sebelum mencapai pintu saat sebuah tangan menahan lengannya. Dia menoleh dan melayangkan tatapan penuh amarah pada Gio.

"Kau pikir kau mau ke mana dengan pakaian seperti itu?" Gio menunjuk ke arah bath rope yang hanya menutupi tubuh Abby hingga mencapai lututnya.

"Mencari pria kaya lainnya yang tidak memiliki mulut tajam seperti beruang kutub." 

Gio mengamati rona merah di pipi Abby karena amarah yang melandanya. Pria itu mengumpat dalam hati ketika dia berpikir betapa cantiknya Abby dengan kemarahannya.

"Tidurlah. Aku yang akan keluar." Gio melangkah melewati Abby dan menghilang dari balik pintu yang tertutup.

Abby melangkah menghampiri ranjang. Dia mengambil bantal dan melemparkan ke arah pintu. Seakan dirinya sedang melemparkan bantal itu ke muka Gio.

"DASAR BERUANG KUTUB MENYEBALKAN!" Seru Abby dengan sangat keras.

Gio yang sedang melangkah menuju kamarnya langsung terhenti. Dia berbalik dan menatap pintu kamar Abby.

"Beruang kutub? Wanita itu berani sekali menjuluki beruang kutub." Kesal Gio.

Malam pertama Gio dan Abby pun dimeriahkan dengan amarah Abby yang meledak-ledak. Tapi setidaknya Abby merasa bersyukur karena Gio pergi dan tidak akan tidur bersamanya. Yang lebih melegakkan Abby adalah ketakutannya akan malam pertama tidak terwujud. Dia bisa tidur tenang malam ini.

♠ ♠ ♠ ♠ ♠

Keesokan harinya di ruang makan sudah terhidang beberapa jenis makanan di atas meja. Namun kelezatan makanan itu tidak mampu melenyapkan ketegangan yang terjadi di meja makan. Abby sedang menyuapkan Prosciutto pasta dengan kacang polong dan keju parmesan ke dalam mulutnya. Tidak ada sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Wanita yang saat ini mengenakan kaos putih dan celana jeans biru itu merasa tidak melakukan kesalahan apapun sehingga dia tidak akan meminta maaf untuk pembelaan yang dilakukannya semalam.

Sedangkan Gio yang mengenakan setelan abu-abu gelapnya tampak santai menikmati sarapannya. Dia juga menolak angkat bicara. Ego prianya yang tinggi melarangnya untuk meminta maaf pada Abby. Meskipun ucapan wanita itu ada benarnya. Gio telah mengabaikan Abby dalam pesta semalam. Sehingga Abby memilih mengobrol dengan Xavery. Tapi pria itu tetap tidak akan meminta maaf.

Bahkan sampai makanan di piring mereka habis pun tidak ada pembicaraan di antara mereka. Abby bahkan menghindari kontak mata dengan Gio. Bagi wanita itu menatap beruang kutub seperti Gio bisa membangkitkan amarahnya kembali.

"Xavery akan mengajakmu berbelanja pakaian." Akhirnya Gio membuka pembicaraan.

"Aku sudah memiliki pakaian sendiri di San Fransisco. Jika kau mengizinkan aku mengambilnya sebelum kau menculikku, aku tidak akan kekurangan pakaian."

Gio memejamkan matanya dengan perdebatan yang dimulai. Abby tidak pernah bisa tunduk pada perintahnya.

"Akan lebih mudah jika kau membeli pakaian bersama Xavery."

"Bagaimana jika aku tidak mau?"

"Jangan berusaha memancingku, Abby." Gio menggeram kesal.

"Atau apa? Kau menggunakan ancaman yang sama kembali?"

Gio mendorong kursinya ke belakang dengan kasar. Dia berdiri dan berjalan menghampiri Abby. Pria itu meletakkan kedua tangannya di lengan kursi Abby dan membungkuk mendekatkan wajahnya. Abby berusaha keras untuk tidak terintimidasi pria itu.

"Jadi kau sudah melupakan alasanmu, Abby? Bagaimana jika aku menyuruh Xavery menghancurkan perusahaan itu hingga rata sampai tanah?"

♠ ♠ ♠ ♠ ♠

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Irwan Rj
mahal banget
goodnovel comment avatar
Finya Kocu Ho
seruu bangett
goodnovel comment avatar
Pak Tani
seruuuu ...lanjuttt
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status