LOGIN
“Tante tidak jelek.”
Ibu jari Gara yang besar dan hangat mengusap jalur air mata di pipi Mita. Gara menahan napas saat menyelipkan helai rambut Mita ke belakang telinganya, gerakan lembut itu membuat napas pemuda itu berembus sangat dekat.
Mita menatap Gara, mata sembabnya menelisik mencari bukti. Jangan-jangan pemuda itu hanya sedang kasihan.
“Tante cantik.” Gara menelan ludah dengan susah payah, suara seraknya mengandung kejujuran. “Mungkin suami Tante yang buta.”
Belum sempat Mita bereaksi, jemari Gara meluncur menyusuri garis rahangnya, turun ke leher yang berdenyut cepat. Pandangan Gara terkunci pada bibir Mita yang pucat, dan sentuhan ibu jarinya membuat Mita tanpa sadar sedikit membuka bibirnya, mengundang.
“Tante tidak hanya cantik,” bisik Gara, suaranya kini bergetar karena desakan. “Tapi juga indah.”
Gerakan Gara tak lagi lembut, melainkan memutuskan, bibirnya menyergap bibir Mita dalam sebuah ciuman yang mendesak, panas, dan menggairahkan.
***
"Selingkuh? Kayaknya ga mungkin deh, Mas Pram selingkuh."
Amara memegang tangan Mita, mencoba menenangkan. Mita mengangguk, mencoba percaya, atau minimal terlihat percaya.
"Mungkin cuma perasaanku aja. Kami sama-sama sibuk. Komunikasi juga berantakan," katanya pelan, meski ia sendiri tahu itu kedengarannya klasik, tapi ya … apa lagi yang bisa ia pegang?
“Kalau capek, istirahat Mit,” ucap Amara kala menatap wajah lelah sahabatnya.
Mita menggeleng getir. “Untuk sekarang belum bisa, Ra. Pinjaman modal Mas Pram sebagian besar aku yang tanggung. Kamu ingat kan, proyek konstruksi yang ambrol dua tahun lalu?”
Amara mengangguk, tentu dia ingat. Karena hubungan baiknya dengan salah satu petinggi bank swasta, bisa membantu Mita dan Pram mendapat pinjaman dalam jumlah besar.
“Sekarang ini berat, Ra. Konveksiku harus bersaingan dengan produk murah dari China. Kalau aku berhenti putar modal, bisa-bisa Mas Pram semakin kesulitan menutup cicilan bank. Terpaksa deh, aku harus kerja keras bagai kuda,” sambung Mita, memejamkan mata menahan lelah.
Amara terkekeh, suara tawanya sedikit menusuk. “Kerja keras bagai kuda, sampai lupa ‘kuda-kudaan’ ya, Mit!”
Seringai Amara itu membuat Mita tersentak. Ia merasakan guyonan Amara terdengar seperti ejekan, seolah tahu betapa dingin dan hambar kehidupan ranjangnya kini.
“Mau gimana lagi, Ra. Hutang kami banyak, apalagi Mas Pram berencana ambil proyek besar lagi untuk menutupi kerugian lama. Kalau itu berhasil, mungkin kami bisa sedikit bernapas lega.” Mita berusaha mengabaikan sindiran Amara.
Mita menghela napas panjang. Pram mengambil pinjaman bank yang nominalnya sangat besar. Selama perusahaan properti Pram belum stabil, tidak jarang Mita yang harus menomboki dari keuntungan garmentnya, hanya demi menyelamatkan rumah tangga dan nama baik suaminya.
“Kamu tidak usah mikir yang nggak-nggak, Mas Pram sudah terlalu sibuk dengan berbagai proyek, sudah tidak ada waktu untuk yang aneh-aneh. Doakan saja rejekinya selalu lancar, biar perusahaannya tambah gede.”
“Amin.”
Terlalu asik berbincang membuat Mita lupa waktu. Tanpa terasa sudah berjam-jam dia duduk hingga kandung kemihnya terasa penuh.
“Maaf, Ra. Mau numpang pipis,” ucap Mita yang terlihat sudah tidak nyaman. “Eh, kamar mandinya di mana, ya?”
Amara langsung berdiri. “Lewat sini.”
Mita melangkah mengikuti Amara menuju bagian belakang rumah, menyusuri lorong yang luas dengan pencahayaan hangat. Mita menarik napas dalam-dalam. Bahkan kamar mandinya pun berbau mahal. Kemewahan ini adalah kontras tajam dari hidupnya yang penuh perhitungan utang.
Amara memiliki kehidupan yang makmur dan stabil meski menikah muda. Rumor yang pernah dia dengar, Amara melahirkan tiga bulan setelah acara perpisahan sekolah. Ya, dia memang hamil duluan, tapi beruntung menikah dengan anak orang kaya.
Beberapa menit kemudian, setelah menyelesaikan hajatnya, Mita langsung keluar. Tapi saat membuka pintu, tepat di depannya ada pintu kamar lain yang terbuka.
Tubuh Mita menegang.
Di sana, pria tinggi tegap sedang membelakangi sambil membuka kemeja flanelnya. Gerakan tangannya yang cepat menarik kaus itu ke atas, memperlihatkan punggungnya bidang, otot-ototnya tegas bagai pahatan. Saat ia berbalik, six-pack di perutnya lebih mencolok daripada keterkejutan di mata pemuda itu.
Tanpa sengaja mereka saling beradu pandang.
Mita terpaku, darahnya mendadak berdesir cepat karena terkejut dan panik. Ia merasa seperti sedang mengintip momen pribadi yang seharusnya tak ia saksikan. Matanya cepat-cepat beralih, namun sensasi visual itu sudah terekam jelas di benaknya.
“Ma-maaf,” ucap Mita terbata.
Pemuda itu mengangkat alis, berusaha tetap sopan. “Oh… saya tidak tahu kalau ada tamu.”
Wajah Mita memanas, lalu bergegas ke ruang tamu, menekan rasa malu yang anehnya sulit dijelaskan.
Mita duduk, mencoba mengatur napasnya. “Suamimu sudah pulang, Ra?” tanya Mita berusaha mengalihkan pikiran yang dia anggap tidak pantas, dia merasa sudah mengintip suami dari sahabatnya.
Amara tertawa kecil, sedikit menunduk. “Suamiku? Astaga, Mit. Di rumah ini aku hanya tinggal bersama anakku. Aku sudah lama bercerai dari suamiku.”
Mita tercekat. Ia tak pernah mendengar kabar perceraian sahabatnya itu. Dan ia tak menyangka, pria bertubuh kekar itu adalah putra Amara.
Belum sempat Mita bertanya lebih, Gara sudah muncul di ruang tamu. Pemuda itu hanya mengenakan celana jins, dengan tubuh bagian atasnya masih polos.
“Ma, handuk di mana?” tanya Gara dengan Santai.
Amara memarahi putranya, "Gara! Pakai bajumu! Ada tamu, tidak sopan!"
“Gerah, Ma,” jawab Gara ringan sambil mengusap lehernya.
Gara hanya menyeringai cuek, lalu menoleh pada Mita. Mata mereka kembali bertemu. Kali ini, tidak ada kepanikan, hanya sebuah tatapan intens yang berlangsung sedikit lebih lama.
“Mit, ini anakku, Gara.”
Mita mengulurkan tangan, menjabat tangan Gara. Telapak tangan Gara terasa hangat, sedikit kasar, namun genggamannya mantap.
“Gara,” ucap Gara singkat.
“Mita,” balas Mita.
“Panggilnya apa, ya?”
“Ya, tante dong, Gar,” sahut Amara. Nada suaranya mengandung perintah. “Tante Mita kan, sahabat mama waktu SMA.”
“Sayang,” celetuk Gara, senyum jahilnya menyergap. Ia melirik tajam ke arah Mita.
“Jangan iseng, Gar," hardik Amara, suaranya tiba-tiba dingin dan matanya menyipit. “Tante Mita sudah punya suami dan anak.” Suara Amara tegas, seperti sebuah peringatan.
“Masa sih sudah tante-tante, Ma. Orang masih cantik gini.”
Mita hanya tersenyum tipis, lalu menundukkan kepala menyembunyikan rona merah di pipinya. Guyonan garing pemuda di hadapannya terdengar seperti gombalan. Tapi kata ‘sayang’ yang sempat terucap mampu membangkitkan sesuatu yang telah lama ia rindukan. Sang suami, yang sudah lama hanya melihatnya sebagai mesin pencetak uang, bukan sebagai istri yang seharusnya disayang.
Gara berada di tengah keriuhan yang ia cintai, deru mesin motor gede yang menjadi bagian dari hobinya. Celoteh keras para pengendara, dan tawa berderai yang memantul di udara terbuka. Ia sedang beristirahat sejenak bersama klub motornya di sebuah rest area di pinggiran kota.Di depannya, Darren, temannya yang paling konyol, sedang bercerita tentang insiden lucu saat perjalanan tadi.“Untung saja, remku masih pakem! Kalau tidak anak-anak ayam tadi sudah kena genosida,” seru Darren dengan mimik wajah berlebihan, disambut tawa ngakak Gara.Gara, dengan jaket kulit hitamnya yang khas dan helm yang diletakkan di samping, tertawa renyah, menikmati momen tanpa beban. Masa muda yang ia genggam terasa nyata di tengah kawan-kawan sebaya. Ia menenggak minumannya, matanya sesekali menyapu jalanan raya di depan mereka.Tawa itu tiba-tiba terhenti.Di antara deretan mobil yang melintas, mata tajam Gara menangkap sebuah sedan berwarna gelap yang sangat ia kenali. Mobil itu melaju dengan kecepatan ya
Mita memutuskan kembali mengenakan topeng. Berperan menjadi istri yang selalu mendukung apapun langkah suaminya. Mita hanya ingin menjaga situasi tetap kondusif, setidaknya sampai ia menemukan celah untuk menyelamatkan asetnya.“Besok aku ada pekerjaan di luar kota beberapa hari, Ma,” ujar Pram saat menikmati sarapan bersama.“Keluar kota lagi?” tanya Mita sambil menatap penampilan Pram sudah rapi, seolah selalu sibuk mengumpulkan pundi-pundi rezeki.“Iya, ada proyek lama yang butuh negosiasi ulang.” Pram tampak sedikit gelisah, biasanya istrinya hanya mengiyakan tanpan banyak bertanya.Mita terdiam sejenak, dalam benaknya timbul ide untuk mengikuti alur sandiwara sang suami.“Aku ikut ya, Pa.”Pram tersentak. “Ikut? Ngapain? Jauh.”“Aku bisa ambil cuti beberapa hari. Rasanya sudah lama kita tidak pergi berdua. Aku juga bisa melihat perkembangan market di sana, sekalian refreshing.” Mita menyodorkan ide itu dengan nada ceria seolah tidak terjadi apa-apa.Ekspresi Pram menegang, kepani
Gara memutar kemudi, menjauhi hingar bingar pusat kota dan kemewahan Hotel Red Orchid. Ia memilih jalan menuju pinggiran, mengarah ke pantai yang sepi, yang ia tahu jarang didatangi orang. Keputusan yang Gara Ambil secara sepihak, karena dia tahu Mita butuh ruang untuk melepas semua amarahnya.Saat mobil berhenti di tepi pantai, suara ombak yang memecah karang terdengar nyaring, seolah menenggelamkan semua kebisingan pikiran Mita.Mita keluar dari mobil. Angin laut menerpa wajahnya, sedikit meredakan panas di hatinya. Ia berjalan ke pasir, membiarkan deburan ombak menyentuh ujung sepatu haknya.Gara menyusul, berdiri di sampingnya. Ia tidak bertanya, hanya menunggu.Mita menatap lautan yang luas, air matanya sudah mengering. Mita menumpahkan unek-unek yang selama ini dia pendam sendiri.“Aku tidak pernah menduga jika dia akan membalasku seperti ini. Aku kira setelah kami berjuang bersama, kami juga akan memetik hasil bersama. Tapi ternyata…”Mita menggelengkan kepala, tidak sanggup me
Seolah tidak pernah terjadi huru-hara di hatinya, pagi ini Mita kembali menjalankan tugasnya sebagai ibu rumah tangga seperti biasanya, meski tubuhnya kurang fit karena semalam tidak bisa tidur.Pram yang baru pulang subuh, sudah berangkat lagi, berdalih ada pertemuan mendadak di luar kota. Kebohongan yang kini terasa sangat menjijikkan bagi Mita.Setelah Samudra berangkat sekolah, Mita duduk di meja makan, mencoba menenangkan diri sambil menyeruput kopi, tapi tenggorokannya menolak. Ia terdiam menatap layar ponsel di hadapannya, seolah menimbang-nimbang sesuatu.Mita menekan nomor Gara.“Halo, Gar. Maaf mengganggu pagi-pagi begini.” Suara Mita terdengar datar dan dingin, tapi terkontrol, seperti atasan yang akan membahas pekerjaan.“Ada apa, Tan?” Suara Gara langsung berubah serius.Ada hela napas panjang penuh keraguan. “Aku ingin memastikan, apakah suamiku benar-benar cek in di hotel semalam.”Meski sudah berusaha tegar, tapi air mata Mita kembali luruh saat mengingat kejadian sema
Gara kembali, langkahnya terhenti beberapa meter dari Mita. Ia melihat perubahan ekspresi pada bosnya, yang tadinya tersenyum lega dan bahagia setelah negosiasi sukses, kini wajah Mita pucat pasi.Gara mengikuti arah pandangan Mita, yang dia lihat hanyalah pintu lift yang tertutup perlahan, tanpa tahu siapa yang berada di dalamnya.Jemari Mita refleks meraih ponsel di tas. Dengan tangan gemetar, ia menekan nomor suaminya.Panggilan pertama tidak dijawab.Panggilan kedua berdering panjang, lalu terputus.Panggilan ketiga langsung masuk ke kotak suara.Suara merdu operator terdengar seperti tawa ejekan yang keras. Mita yakin, Pram pasti mematikan ponselnya di kamar hotel itu, karena sedang bersama perempuan lain.Mita ingin mengejar, berlari ke arah lift, menjerit di depan suaminya, tapi kakinya terasa kaku.“Tante… kenapa?” Gara menatap sahabat mamanya penuh kekhawatiran.Mita menoleh, air mata yang ia tahan sejak tadi langsung meledak bersama amarah yang memuncak.Mita menggenggam pon
Malam mulai merangkak dan menebar sepi, kala semua karyawan sudah pulang. Namun, di ruang kerja Mita, lampu masih menyala terang.Mita duduk di balik meja, jemarinya lincah menggoreskan sketsa di atas kertas. Lembar-lembar desain berhamburan, kain sample bertumpuk di sudut meja. Matanya tampak lelah, tapi enggan berhenti.Seolah dengan bekerja, ia bisa mengusir rasa sesak yang sejak tadi malam mengerogoti kewarasannya.Dian, sahabat sekaligus asistennya, berdiri di dekat pintu dengan perutnya yang membuncit, sorot mata menyiratkan kekhawatiran.“Mit, sudah jam sembilan malam. Pulang yuk! Besok bisa dilanjutkan lagi, Sam pasti nungguin mamanya.”Mita berhenti sebentar, menekan pensil di atas kertas. Lalu ia menghela napas, menahan letih. “Aku sudah hubungi Sam kalau aku lembur. Besok desain ini sudah harus aku presentasikan, kalau sampai gagal, bisa hancur reputasi kita.”Dian melipat tangan di dada, menggeleng pelan. “Kerja keras boleh, tapi kamu juga manusia, Mit. Badan kamu bisa sa







